Hibah beda dengan wakaf! Kenali 4 rukun hibah yang benar: Al Wahib, Mauhub Lah, Mauhub, Shighat. Berikut dasar hukumnya yang sangat penting diketahui!
Hibah adalah hadiah untuk seseorang yang masih hidup. Definisi lainnya hibah adalah pemberian secara sukarela untuk orang lain.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1666, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
Sedangkan menurut KBBI, hibah adalah pemberian (sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain. Hibah bisa dilakukan tanpa adanya ikatan pernikahan atau hubungan darah.
Praktik hibah juga sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam urusan kenegaraan, pendidikan, sosial, hingga agama.
Baca juga: Akad Ijarah Adalah: Pengertian, Rukun, Syarat dan Jenis
Hibah itu sama seperti akad muamalah lain yang memerlukan adanya rukun agar praktiknya sah. Nah dalam hibah, ada 4 rukun, yaitu Al Wahib, Mauhub Lah, Mauhub, Shighat.
Berikut penjelasan masing-masing rukun hibah tersebut.
Al Wahib adalah orang yang memberikan hibah. Ia harus memenuhi beberapa syarat agar hibahnya sah menurut hukum Islam:
Misalnya, seseorang tidak bisa menghibahkan mobil milik perusahaan, kecuali ia memiliki otoritas penuh dan legal atas perusahaan dan barang yang dihibahkan itu.
Al Mauhub Lah adalah orang yang menerima hibah. Dalam fikih Islam, yang bisa menerima hibah bukan hanya individu dewasa, tetapi juga:
Syarat pentingnya, penerima harus bisa memiliki barang tersebut secara hukum dan tidak menyalahi ketentuan Islam, misalnya hibah tidak diberikan untuk tujuan maksiat.
Al Mauhub adalah objek atau barang yang diberikan dalam hibah. Tidak semua barang bisa dihibahkan, karena objek ini harus memenuhi persyaratan yaitu:
Contoh: Tanah seluas 100 m² dengan sertifikat jelas bisa dihibahkan. Tapi kalau barang itu milik bersama yang belum dibagi waris, maka tidak bisa dihibahkan sepihak.
Shighat adalah akad atau pernyataan saling setuju antara pemberi dan penerima hibah. Bisa dilakukan secara:
Shighat harus dilakukan tanpa paksaan, jelas maksudnya, dan sebaiknya disaksikan oleh pihak ketiga untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.
Baca juga: Akad Salam dalam Transaksi Jual Beli, Ini Rukun & Syaratnya!
Di Indonesia, hibah termasuk dalam salah satu objek pajak, tepatnya Pajak Penghasilan (PPh). Pajak Hibah adalah PPh yang dikenakan atas hibah yang diberikan oleh pemberi kepada penerima.
Dengan begitu, secara umum harta hibahan bisa menjadi salah satu objek pajak penghasilan (PPh). Namun, pemerintah memberikan pengecualian terkait harta hibah yang dikecualikan dari objek PPh.
Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90/PMK.030/2020 dan ditegaskan kembali melalui UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam PMK tersebut dijelaskan bahwa harta hibah kepada keluarga sedarah, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, dan orang pribadi yang menjalankan usaha mikro kecil sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha antara kedua pihak, dikecualikan dari objek PPh.
Dengan demikian, pajak hibah hanya dikenakan ketika proses hibah melibatkan dua pihak lain yang tidak memiliki hubungan darah dan tidak termasuk dalam pihak-pihak seperti diatur dalam PMK tersebut.
Adapun pengenaan pajak hibah terdiri dari dua jenis, yaitu PPh dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). PPh harus dibayar oleh pemberi harta hibah, sementara penerima hibah harus membayar BPHTB.
Sehingga, kamu harus memastikan tanggung jawab pajak ini terpenuhi ketika menerima hibah. Setelah membayar pajaknya, harta hibah jika berbentuk dana bisa kamu simpan Unit Syariah OCBC, sebagai solusi perbankan syariah anti riba!
Baca juga: Mengenal Kartu Keluarga Sejahtera, Manfaat dan Cara Buatnya