Industri perbankan merupakan salah  satu komponen sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga  keseimbangan kemajuan dan kesatuan eknonomi nasional. Stabilitas industri  perbankan dimaksud sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara  keseluruhan. Beberapa peristiwa pada penghujung tahun 1997 di antaranya  likuidasi 16 bank yang diikuti dengan krisis moneter dan perbankan pada tahun  1998 telah mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan  di Indonesia menurun, sehingga terjadi penarikan dana masyarakat dari sistem  perbankan (bank runs) dalam jumlah yang sangat signifikan. Untuk meningkatkan kembali  kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional sekaligus guna menghambat  melemahnya nilai tukar rupiah, Pemerintah memberikan jaminan atas seluruh  kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (Blanket Guarantee).  Pemberian jaminan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun  1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan  Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran  Bank Perkreditan Rakyat.
Sejak 1998 hingga Februari 2004 program penjaminan Pemerintah dilaksanakan oleh  Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Badan ini menangani pelaksanaan  penjaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran 52 bank yang dibekukan  operasi atau kegiatan usahanya sejak 1998.
Pada saat BPPN berakhir tugasnya pada 27 Februari 2004, pelaksanaan program  penjaminan Pemerintah dialihkan ke Menteri Keuangan berdasarkan Keputusan  Presiden nomor 17 Tahun 2004. Program penjaminan yang belum diselesaikan oleh  BPPN selanjutnya dilaksanakan oleh Menteri Keuangan. Untuk melaksanakan program  penjaminan Pemerintah ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk membentuk  unit pelaksana penjaminan Pemerintah dalam lingkungan Departemen Keuangan.  Berdasarkan hal tersebut, pada tanggal 27 Pebruari 2004 Menteri Keuangan  membentuk Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah (UP3).
Dalam pelaksanaannya, penjaminan yang sangat luas tersebut memang terbukti  dapat menghentikan arus penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan dan  secara perlahan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri  perbankan. Namun demikian, luasnya ruang lingkup penjaminan tersebut telah  membebani anggaran negara dan dapat menyebabkan timbulnya moral hazard baik  dari pengelola bank maupun dari masyarakat. Pengelola bank menjadi kurang  hati-hati dalam mengelola dana masyarakat, sementara nasabah tidak peduli untuk  mengetahui kondisi keuangan bank karena simpanannya dijamin secara penuh oleh  pemerintah. Dengan demikian program penjaminan atas seluruh kewajiban bank  kurang mendorong terciptanya disiplin pasar. Selain itu, penerapan penjaminan  secara luas ini yang berdasarkan kepada Keputusan Presiden kurang dapat  memberikan kekuatan hukum sehingga menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan  penjaminan. Oleh karena itu diperlukan dasar hukum yang lebih kuat dalam bentuk  Undang-Undang.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi  nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan  yang sangat luas tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang  terbatas. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan  untuk membentuk suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana  penjaminan dana masyarakat. Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik  Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga  Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, dibentuk LPS, suatu  lembaga independen, yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan  turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan  kewenangannya. Undang-undang tersebut berlaku efektif sejak tanggal 22  September 2005, dan sejak tanggal tersebut LPS resmi beroperasi.