Membantu memastikan kemudahan, kemanan, dan kenyamanan Anda dalam melalukan transaksi perbankan di Private Center
Memberikan wawasan dan strategi dalam memenuhi kebutuhan finansial sesuai profil Anda
Memberikan wawasan, memprioritaskan kemudahan dan strategi dalam setiap keputusan transaksi valas Anda
Laporan konsolidasi akan dikirimkan ke nasabah Private Banking setiap bulannya sebagai sumber informasi terkait total relasi nasabah dengan bank OCBC baik berupa rekening produk keuangan Bank dan Non Bank.
Laporan Konsolidasi mencakup:
Untuk memudahkan transaksi nasabah, khususnya untuk Produk Valuta Asing, di seluruh Private Center OCBC kami menyediakan fasilitas Phone Recording. Melalui fasilitas ini, Anda dapat melakukan transaksi Produk Valuta Asing melalui telepon, tanpa harus datang ke cabang.
Fasilitas ini dapat nasabah apabila sudah melengkapi dokumen yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Acara hanya untuk nasabah OCBC Private Bank dengan harga spesial dari berbagai merchant.
Nasabah Private Bank mendapatkan tarif dan biaya khusus dari Bank OCBC
Nasabah Private Bank mendapatkan tarif dan biaya khusus dari Bank OCBC yang terdiri dari:
* Syarat dan ketentuan berlaku
Penyesuaian Tarif & Biaya Khusus Nasabah Private Bank efektif per tanggal 3 November 2023 sebagai berikut:
Private Bank dengan rata-rata minimum saldo gabungan bulanan IDR 1,000,000,000 | ||
---|---|---|
Jenis | Channel | Kuota |
Bebas biaya transfer BI Fast | Cabang, IBMB, ATM, OCBC Business | Unlimited |
Bebas biaya tarik tunai | ATM | Unlimited |
Bebas biaya transfer online | IBMB, ATM, OCBC Business | Unlimited |
Bebas biaya pembayaran/pembelian | IBMB, ATM, OCBC Business (termasuk autodebet) | Unlimited |
Bebas biaya transfer RTGS | Cabang | 10x per bulan |
Bebas biaya transfer RTGS | IBMB, OCBC Business | 10x per bulan |
Bebas biaya TT | OCBC mobile | 1x per bulan (hanya biaya swift/telex) |
Bebas biaya cek saldo | ATM jaringan | unlimited |
Bebas biaya transfer SKN LLG | Cabang, IBMB, OCBC Business | unlimited |
Bebas biaya kliring | Cabang | unlimited |
Bebas biaya inkaso | Cabang | unlimited |
Notes:
Fasilitas khusus yang kami sediakan untuk Anda yang ingin memeriksa kesehatan di tengah kesibukan sehari-hari.
Paket pemeriksaan yang diberikan terdiri dari:
Paket Spesial (Asset Under Management Rp1 Miliar -< Rp10 Miliar) |
Paket Advance (Asset Under Management ≥ Rp10 Miliar) |
---|---|
Hematologi Lengkap | Hematologi Lengkap |
Fungsi Hati: SGOT, SGPT | Vitamin D |
Fungsi Ginjal: Ureum, Creatinine, Uric Acid | Fungsi Hati: SGOT, SGPT |
Profil Lipid: Total Cholesterol, Triglyceride | Fungsi Ginjal: Ureum, Creatinine, Uric Acid |
Profil Diabetes Melitus: Fasting Glucose | Profil Lipid: Total Cholesterol, Triglyceride |
Pemeriksaan Urine | Profil Diabetes Melitus: Fasting Glucose, Hba1C |
Pemeriksaan Urine | |
EKG |
Fasilitas ini diberikan satu kali dalam setahun (berjalan) kepada nasabah OCBC Private Banking.
Laboratorium Klinik Rekanan kami:Fasilitas ini tidak dikenakan biaya untuk nasabah. Dan apabila nasabah ingin memberikan fasilitas ini bagi anggota keluarga nasabah, maka dikenakan biaya sesuai tarif yang berlaku.
Fasilitas penjemputan dari bandara ke tempat tujuan Anda. Tersedia di Indonesia yaitu, Jakarta (Bandara Internasional Soekarno – Hatta / Halim Perdanakusuma), Surabaya (Bandara Internasional Juanda) dan Singapura (Bandara Internasional Changi).
Nikmati fasilitas penjemputan dari Bandara dengan armada Toyota Alphard, Mercedes-Benz atau Toyota Innova yang kami sediakan, bekerja sama dengan rekanan superior kami khusus untuk Anda.
Deskripsi Layanan/Fasilitas | Minimum saldo rata-rata bulanan selama 3 bulan terakhir (dalam Rp) | ||
---|---|---|---|
2 miliar < 5 miliar | 5 miliar < 10 miliar | > 10 miliar | |
Airport Pickup (Jakarta - Surabaya) | 8x setahun dengan kendaraan Toyota Innova | 12x setahun dengan kendaraan Toyota Alphard / Mercedes | 20x setahun dengan kendaraan Toyota Alphard / Mercedes |
Airport Pickup (Singapura) | – |
Fasilitas berlaku untuk pemilik rekening dan dapat berubah sewaktu-waktu.
Special Fees and Charges:
*Syarat dan ketentuan berlaku
Penempatan dana (Asset Under Management / AUM) pada produk Simpanan, yaitu Tabungan, Giro, Depositor dan termasuk diantaranya produk Wealth Management, misalnya Obligasi, Bancassurance, Reksadana, Treasury dan produk investasi lainnya baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing.
Acara hanya untuk nasabah OCBC Private Bank dengan harga spesial dari berbagai merchant.
*Fitur Global Debit adalah nama baru dari fitur Global Wallet
Tarik tunai dan belanja di luar negeri tanpa konversi, langsung mendebet mata uang asing di Tanda 360 Plus
*Fitur Global Debit adalah nama baru dari fitur Global Wallet
Nikmati berbagai promo menarik untuk berbagai kebutuhan perbankan khusus untuk nasabah OCBC Private Bank
Lihat PromoBiaya istimewa untuk sewa Safe Deposit Box untuk mempermudah Anda menyimpan berbagai barang berharga dengan aman.
Nilai Penempatan Dana
|
Ukuran Safe Deposit Box*
|
||
---|---|---|---|
AUM dalam Rupiah |
Small**
|
Medium **
|
Large **
|
≥ IDR 500Juta - < 2 Milyar | Gratis | 50% diskon | 50% diskon |
≥ IDR 2 Milyar - < 5 Milyar | Gratis | Gratis | 50% diskon |
≥ IDR 5 Milyar | Gratis | Gratis | Gratis |
*) Hanya dapat memilih salah satu fasilitas diskon/gratis dari skema diatas
**) Selama ukuran SDB tersedia
Jajaran analisis terpercaya di industri perbankan yang pendapat mereka dijamin berkualitas dalam pasar keuangan. Ulasan analisa dari Wealth Panel dapat mengoptimalkan pertumbuhan investasi Anda
Wealth Management Head
OCBC Indonesia
Head of Investment Strategy
Bank of Singapore
Senior Investment Strategy
OCBC Bank
Meredam Kekhawatiran Pertumbuhan Ekonomi
Wall Street sepanjang bulan Agustus berhasil mencatatkan penguatan dengan ketiga Indeks utama Dow Jones Indistrial Average, S&P 500, dan NASDAQ composite masing-masing meningkat sebesar 1.76%, 2.28%, dan 0.65%. Musim laporan keuangan korporasi Q2-2024 telah mencapai puncaknya di akhir bulan Agustus kemarin. Berdasarkan data Factset untuk earnings Q2-2024 tercatat sebanyak 79% perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 telah berhasil melaporkan kinerja keuangan Q2-2024 yang melebihi ekspektasi, dan 60% diantaranya melaporkan pendapatan di atas ekspektasi. Hal ini yang mendorong penguatan untuk bursa saham AS secara keseluruhan di bulan Agustus lalu dan juga kinerja sektor teknologi yang membaik setelah pada perdagangan bulan sebelumnya mengalami penurunan yang signifikan.
Di pertemuan Jackson Hole, Jerome Powell meredam kekhawatiran pelaku pasar dengan pernyataan yang mengindikasikan pelonggaran kebijakan bank sentral akan segera dimulai. Kini, perhatian pelaku pasar saat ini tertuju pada kebijakan suku bunga Federal Reserve, dimana berdasarkan konsensus Bloomberg, diprediksi The Fed akan memangkas suku bunga acuan untuk pertama kalinya sejak tahun 2022 lalu. Hal ini juga didukung oleh rilisan angka inflasi AS untuk bulan Juli yang kembali menurun dari level 3% ke level 2.9% dan yang terbaru adalah data Core PCE Price Index AS untuk bulan Juli yang sesuai ekspektasi berada pada level rendah yaitu 0.2%.
Di Asia, pemulihan perekonomian China terlihat masih berlangsung sampai dengan saat ini, terlihat dari beberapa indikator utama seperti Caixin Manufacturing PMI bulan Agustus yang telah berada pada zona ekspansi 50.4, meningkat jika dibandingkan dengan periode sebelumnya di level kontraksi 49.8. Selain itu pula, industrial profit China untuk bulan Juli meningkat dari level 3.5% ke level 3.6%. Sementara itu, pemerintah China tetap berkomitmen untuk mendukung perekonomian dengan kebijakan yang akomodatif, diantaranya dengan mempertahankan tingkat suku bunga dasar pinjaman atau loan prime rate yang rendah di bulan Agustus ini, baik untuk tenor satu maupun lima tahun di level 3.35% dan 3.85%.
Beralih ke domestik, neraca perdagangan Indonesia untuk bulan Juli kembali dirilis surplus sebesar US$ 470 juta dengan ekspor yang meningkat di level 6.46% dan impor yang juga meningkat di level 11.07%. Kenaikan neraca perdagangan ini menjadikan kenaikan untuk 51 bulan secara berturut-turut. Selain itu, tingkat inflasi domestik pada bulan Agustus berada di level 2.12% dalam setahun terakhir, lebih rendah jika dibandingkan periode sebelumnya di level 2.13%, di tengah beberapa harga pangan dan komoditas yang cukup terkendali. Dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia memutuskan kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 6.25% pada bulan Agustus lalu. Bank Indonesia menilai keputusan tersebut memadai untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan terbukti rilisan angka inflasi Indonesia untuk bulan Agustus kembali menurun ke level 2.12% y-o-y, sedangkan sebelumnya berada di level 2.13%.
Equity
Bursa saham IHSG kembali mencatatkan kenaikan sebesar 5.72% sepanjang bulan Agustus. Saham di sektor konsumsi siklikal dan sektor properti memimpin penguatan masing-masing sebesar 20.41% dan 12.62%. Penguatan pasar saham di bulan Juli didorong salah satunya dari aliran dana asing yang sepanjang bulan Agustus telah masuk lebih dari US$ 1.84 miliar. Ekspektasi pemangkasan suku bunga Fed yang lebih agresif turut mendorong ekspektasi investor bahwa Bank Indonesia dapat segera memangkas suku bunga acuan. Tingkat suku bunga yang lebih rendah akan memberikan sentimen positif untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ada beberapa indikator yang dapat dijadikan tolak ukur seperti pertumbuhan pinjaman atau loan growth untuk bulan Juli yang meningkat dari level 12.3% ke level 12.4% dan juga penjualan ritel Indonesia di bulan Juni yang semakin bertumbuh ke level 2.7%, dari sebelumnya di level 2.1%.
Bond
Pergerakan pasar obligasi di bulan Agustus cenderung menguat, terlihat dari pergerakan imbal hasil pemerintah Republik Indonesia tenor 10 tahun yang mengalami penurunan sebanyak -3.89% menjadi 6.63%, yang artinya terjadi kenaikan dari sisi harga. Penurunan imbal hasil ini mengikuti imbal hasil acuan US Treasury 10 tahun, yang turun dari 4.02% ke level 3.90% di akhir bulan Agustus. Penurunan imbal hasil ini juga didorong dari aktifitas inflow aliran dana asing ke pasar obligasi Indonesia yang tercatat mencapai US$ 1.31 miliar. Selain itu pula, kenaikan minat investor turut didukung oleh nada kebijakan bank sentral Fed yang mengindikasikan akan segera memangkas suku bunga acuan pada pertemuan bulan September ini (dovish). Ketertarikan dan keyakinan investor asing untuk terus berinvestasi Indonesia juga didukung oleh sentimen positif yang datang dari salah satu lembaga pemeringkat rating Internasional yaitu S&P yang telah mengafirmasi souverign credit rating Republik Indonesia pada peringkat BBB, satu tingkat di atas investment grade, dengan outlook stabil pada 30 Juli 2024. Hal ini juga memberikan pandangan bahwa perekonomian Indonesia masih berada pada level kondusif.
Currency
Mata uang Rupiah kembali bergerak menguat sepanjang bulan Agustus, terlihat dari pergerakannya yang menurun sebanyak 5.21% sepanjang bulan Agustus ke kisaran Rp 15,455 per Dolar AS (USD). Hal ini didukung oleh adanya signal yang semakin jelas dari ketua Federal Reserve Jerome Powell untuk segera memangkas suku bunga acuan pada pertemuan di bulan September ini. Selain itu, dalam pertemuan Jackson Hole pada akhir bulan Agustus kemarin, Jerome Powell menyatakan bahwa “cut off is on the table” yang mengisyaratkan kepastian akan pemangkasan. Selain itu, neraca perdagangan kembali mengalami surplus pada bulan Agustus 2024 sebesar USD 150.2 miliar, meningkat dari periode sebelumnya di level US$ 145.4 miliyar. Selain itu, posisi cadangan devisa ini setara dengan pembiayaan 6.7 bulan impor atau 6.5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Kenaikan cadangan devisa berasal dari penerimaan pajak dan jasa, penerimaan devisa migas, dan kenaikan penarikan pinjaman luar negeri pemerintah.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC Indonesia
GLOBAL OUTLOOK
Volatilitas pasar keuangan lantaran kekhawatiran AS akan mengalami resesi. Namun, kami melihat bahwa investor tidak perlu khawatir dengan kondisi perlambatan ekonomi AS karena sebagian besar data masih konsisten dengan skenario soft landing. – Eli Lee
Pasar keuangan saat ini menunjukkan volatilitas yang didorong oleh kekhawatiran resesi di AS, stagnasi ekonomi Eropa, dan perlambatan pertumbuhan di China. Namun, kami melihat bahwa investor tidak perlu terlalu khawatir dengan hal ini.
Pertama, rilisan data ketenagakerjaan dan inflasi terakhir menunjukkan adanya perlambatan ekonomi AS. Namun, sebagian besar data masih konsisten dengan skenario soft landing, bukan kontraksi ekonomi yang signifikan.
Selain itu, dengan tingkat inflasi yang mendekati target 2%, The Fed telah memberikan sinyal kuat bahwa mereka akan mulai memangkas suku bunga. Kami memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) sebanyak dua kali pada bulan September dan bulan Desember yang akan berdampak positif pada aset berisiko.
Kedua, data PMI menunjukkan bahwa sentimen bisnis di Eropa masih menunjukkan kegiatan yang ekspansif dibantu oleh kebijakan pemerintah, yaitu penurunan suku bunga oleh European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE).
Kami juga memperkirakan ECB yang telah menurunkan suku bunga deposito dari 4.00% menjadi 3.75% pada bulan Juni, akan kembali menurunkan suku bunga sebesar 25 bps masing-masing pada bulan September dan Desember, seiring dengan turunnya inflasi zona Eropa menuju target 2%. BoE juga diperkirakan akan melanjutkan pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps pada bulan November, setelah sebelumnya menurunkan suku bunga dari 5.25% menjadi 5.00% pada bulan Agustus dengan inflasi Inggris yang mendekati target 2%.
Ketiga, terdapat keraguan bahwa China dapat mencapai target pertumbuhan PDB sebesar 5% karena masyarakat masih berhati-hati dalam melakukan konsumsi, dan masih lemahnya pasar properti. Namun, pelonggaran kebijakan fiskal dan moneter lebih lanjut bisa mendukung aktivitas ekonomi China tahun ini.
Terakhir, penguatan pada ekonomi Jepang selama Q2-2024, didorong oleh kenaikan upah yang melampaui inflasi dengan harapan dapat meningkatkan daya beli konsumen.
Dengan demikian, kami menyarankan investor agar tetap mempertahankan posisi Overweight pada kelas aset saham. Sebaliknya, kami tetap Neutral pada aset pendapatan tetap melihat pemilu AS yang berpeluang membuat inflasi kembali naik di tahun 2025.
AS – Soft landing berpotensi terjadi dibandingkan resesi
Kekhawatiran investor terhadap resesi AS muncul setelah laporan ketenagakerjaan bulan Juli memperlihatkan lonjakan pekerja hanya sebesar 114,000, sementara tingkat pengangguran naik dari 4.1% menjadi 4.3%. Level ini meningkat dari level terendah dalam lima dekade di 3.4% pada tahun 2023. Namun, kami melihat rilisan data tersebut dipengaruhi oleh Badai Beryl, yang menyebabkan 436,000 pekerja tidak dapat bekerja karena cuaca buruk.
Meningkatnya pengangguran kembali menimbulkan kepanikan investor, sejalan dengan peringatan dari indikator ‘Sahm Rule’. Indikator ini memprediksi resesi akan terjadi jika rata-rata pengangguran dalam tiga bulan meningkat 0.5% dari titik terendah dalam 12 bulan terakhir. Namun, kami juga melihat bahwa peningkatan pengangguran tersebut bukan terjadi karena adanya lonjakan pekerja baru, namun lebih disebabkan adanya kenaikan pekerja imigran.
Kami berpendapat bahwa di tahun ini, perekonomian AS lebih berpotensi terjadi soft landing daripada resesi, dimana akan lebih mendukung kinerja aset berisiko. Pemantau PDB dari bank sentral regional menunjukkan bahwa ekonomi masih tumbuh pada laju 2% dari tahun ke tahun.
Kami telah memperbarui proyeksi imbal hasil US Treasury untuk memperhitungkan pemangkasan suku bunga The Fed. Kami memperkirakan imbal US Treasury akan bergerak menuju bentuk kurva normal, dengan pergerakan imbal hasil obligasi jangka pendek (2 tahun) menuju level rendah, dan bergerak di bawah imbal hasil jangka panjang (10 tahun dan 30 tahun) seiring pelonggaran kebijakan The Fed. Oleh karena itu, preferensi kami berada pada obligasi dengan jatuh tempo yang lebih pendek. Sebaliknya, kami khawatir bila tingkat inflasi akan meningkat jika mantan Presiden Donald Trump kembali memimpin. Dengan demikian, kami tetap mempertahankan proyeksi imbal hasil obligasi 10 tahun di level 4.25% dalam 12 bulan ke depan dan mempertahankan posisi neutral terhadap pasar obligasi.
China – Sulit mencapai target pertumbuhan sebesar 5% di tahun ini
Pertumbuhan awal tahun yang baik, dengan PDB bertumbuh 1.5% secara kuartalan (QoQ) dan 5.3% secara tahunan (YoY) pada Q1-2024, ekonomi China kemudian mengalami perlambatan dengan bertumbuh 0.7% secara kuartalan dan 4.7% secara tahunan selama Q2-2024, sehingga meningkatkan risiko bahwa pemerintah gagal mencapai target pertumbuhan PDB setahun penuh “sekitar 5%” di tahun 2024.
Data bulan Juli mengawali lemahnya pertumbuhan Q3-2024. Supply China masih solid dengan kenaikan produksi industrial 5.1% YoY. Demikian pula, investasi manufaktur menguat, naik 9.3% YoY ditahun ini dan ekspor naik 7.0% YoY. Namun, permintaan secara keseluruhan masih tertekan oleh konsumen yang tetap berhati-hati setelah pandemi. Oleh karena itu, meskipun penjualan ritel di bulan Juli meningkat dari 2.0% YoY menjadi 2.7% YoY namun masih lemah.Kurangnya kepercayaan konsumen masih terlihat pada lemahnya permintaan kredit baru oleh rumah tangga dan perusahaan. Pada bulan Juli, pertumbuhan kredit hanya tercatat 8.2% YoY, jauh dibawah level sebelum pandemi. Kehati-hatian konsumen juga didorong oleh lemahnya sektor properti. Investasi properti di bulan Juli pada tahun ini kembali turun lebih dari 10% YoY.
Mengawali Q3-2024 dengan lemah membuat target PDB China terancam. Diperlukan stimulus yang lebih lanjut agar target pertumbuhan masih dapat tercapai. Oleh karena itu, sampai dengan penghujung tahun, kami memperkirakan People's Bank of China (PBOC) akan menurunkan suku bunga lagi sebesar 10-20 bps setelah sebelumnya sudah dilakukan pada bulan Juli, penerbitan obligasi pemerintah untuk mendanai investasi akan meningkat, dan juga stimulus fiskal baru pada sektor konsumsi dan properti, untuk mendukung pasar saham domestik China.
Eropa – Sentimen bisnis yang tangguh dapat meredam kekhawatiran terhadap pertumbuhanPertumbuhan PDB sebesar 0.3% QoQ pada Q1-2024, merupakan awal yang baik bagi perekonomian Eropa, namun setelahnya kekhawatiran resesi kembali meningkat. Rilisan data selama Q2-2024 menunjukkan bahwa zona Eropa berekspansi sebesar 0.3% QoQ. Sehingga, kami berpendapat PDB zona Eropa masih berada di jalur yang tepat untuk bertumbuh sebesar 0.7% pada keseluruhan tahun 2024 dan 1.5% pada tahun 2025. Sangat kontras dengan pertumbuhan pada 2023 yang hanya sebesar 0.5% saja.
Penguatan dan ketangguhan aktivitas bisnis mendukung pasar keuangan lokal. PMI bulan Agustus menunjukkan kepercayaan perusahaan naik untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir. Selain itu, penurunan inflasi akan membuat ECB kembali menurunkan suku bunga. Kami memperkirakan ECB – setelah dua kali pemangkasan di bulan Juli dan September sebesar 50 bps suku bunga deposito dari 4.00% menjadi 3.5% – akan kembali melakukan pemangkasan suku bunga lebih lanjut sebesar 25 bps bulan Desember. Demikian pula, BoE diperkirakan akan menindaklanjuti penurunan suku bunga sebesar 25 bps dari 5.25% menjadi 5.00% di bulan Agustus dengan 25 bps lagi di bulan November seiring dengan meredanya inflasi di Inggris.
Jepang – Pertumbuhan lebih kuat namun kondisi keuangan lebih ketatData PDB Q2-2024 Jepang, serupa dengan zona Eropa, sehingga meredakan kekhawatiran terkait resesi yang akan melanda negara dengan perekonomian terbesar kedua di Asia. Jepang bertumbuh 0.8% QoQ setelah mengalami kontraksi 0.6% pada Q1-2024. Dalam setahun terakhir, PDB Jepang stagnan karena kenaikan inflasi berdampak penurunan pada pertumbuhan upah riil dan konsumsi selama empat kuartal berturut-turut. Namun, di musim semi tahun ini, kenaikan gaji melebihi inflasi, sehingga konsumsi melonjak sebesar 1.0% QoQ selama Q2-2024.
Kami memperkirakan bahwa pertumbuhan akan terus meningkat di tahun ini juga tahun 2025 mendatang. Namun, kami berpandangan Neutral pada ekuitas Jepang saat ini karena Bank of Japan (BOJ) telah menaikkan suku bunga di bulan Maret dan Juli menjadi 0.25% untuk menekan inflasi dan diperkirakan kembali menaikkan suku bunga menjadi 0.50% dalam sisa tahun ini. Kenaikan suku bunga mendorong penguatan Yen dari posisi terendah selama empat dekade di 161 terhadap Dolar AS. Namun, pengetatan moneter dan penguatan mata uang menjadi hambatan bagi saham domestik.
EQUITIES
Masih dengan skenario soft-landing
Kami masih merekomendasikan skenario soft-landing untuk perekonomian AS. Pemangkasan suku bunga oleh The Fed akan mendorong kinerja aset risiko seperti saham. – Eli Lee
Kehawatiran atas resesi masih menjadi pemicu volatilitas pasar saham. Walaupun probabilitas terjadinya resesi belum sepenuhnya bisa dihilangkan, ekspektasi kami adalah skenario soft-landing di AS dan penurunan suku bunga dapat mendorong kinerja aset risiko.
Di sisi lain, fokus para pelaku pasar juga tertuju pada perkembangan politik AS seiring dengan semakin mendekatnya pemilu di bulan November. Hasil dari pemilu tentu berpengaruh besar terhadap hubungan geopolitik dan juga prospek sektoral dunia usaha.
Kami masih mempertahankan posisi Overweight terhadap kelas aset saham, terutama pada ekuitas Asia ex-Jepang seperti India, Hong Kong, China, Indonesia, Korea Selatan, dan Singapura.
Kami cenderung menyukai strategi barbel dari segi pemilihan sektor. Sektor teknologi masih ditopang oleh pertumbuhan yang kuat, dimana terdapat peluang dari beberapa nama besar seperti Amazon, Microsoft, dan Alphabet. Selain itu, sektor kesehatan dan bahan pokok konsumen juga akan diuntungkan seiring dengan reli penguatan aset risiko secara menyeluruh di berbagai sektor.
AS – Mempersiapkan pemulihan
Pasar saham AS mengalami volatilitas yang cukup tinggi selama bulan Agustus. Sejumlah investor yang keluar dari transaksi “Yen Carry Trade” dan juga kekhawatiran atas potensi terjadinya resesi sempat memicu kenaikan yang signifikan pada indeks volatilitas VIX. Akan tetapi, seiring dengan rilisan data yang dinilai masih cukup baik, indeks S&P500 berhasil menguat kembali.
Kami tidak mempercayai bahwa pasar saham saat ini berada dalam teritori “bubble”. Valuasi beberapa perusahaan teknologi besar masih relatif normal, sementara permintaan atas produk-produk berbasis teknologi yang masih tinggi dapat mendukung sektor tersebut.
Zona Eropa – Mempertimbangkan latar belakang struktural jangka pendek
Investasi pada pasar ekuitas Eropa seringkali merupakan aksi siklikal, dapat dipertimbangkan disaat laporan Purchasing Managers Indices (PMI) – terutama sektor manufaktur mulai mencatatkan kinerja yang baik. Namun, pemulihan siklikal yang diharapkan sejauh ini belum terealisasi seiring dengan ekonomi terbesar Eropa, Jerman yang masih berada di zona kontraksi. Data PMI Zona Eropa memang mencatatkan kenaikan di bulan Agustus, terutama didukung oleh sektor jasa Prancis ditengah Olimpiade Paris, namun dikhawatirkan masih belum cukup stabil.
PMI Inggris setidaknya dapat lebih bertahan dan relatif lebih kuat. Hal ini ditambah dengan valuasi ekuitas Inggris yang rendah, sehingga meningkatkan daya tarik untuk berinvestasi di Inggris.
Latar belakang struktural Eropa, dimana populasi yang menua, masalah utang pemerintah, likuiditas yang lebih rendah di pasar sahamnya dibandingkan pasar AS, dan persaingan yang ketat untuk investasi karena Undang-Undang CHIPS (Creating Helpful Incentives to Produce Semiconductors) dan IRA (Inflation Reduction Act) – adalah beberapa faktor yang membebani investor. Meskipun demikian, perusahaan-perusahaan Eropa dengan mitra dagang global setidaknya terbantu dengan 50% pendapatan yang berasal dari penjualan luar negeri, sehingga menjadi lebih efisien dalam penggunaan modal, yang berdampak pada tendensi buyback dan pemberian dividen. Terhadap latar belakang ini, kami mempertahankan posisi Neutral pada ekuitas Eropa.
Jepang – Fokus pada sektor defensif dan sektor lainnya yang bergantung pada permintaan domestik
Indeks MSCI Jepang hampir berhasil menghapus penurunan yang terjadi di bulan Agustus seiring dengan fundamental yang membaik dan proyeksi pertumbuhan laba yang positif untuk para korporasi. Dunia usaha di Q2-2024 lalu menunjukkan pertumbuhan yang solid, dimana sekitar dua-per-tiga dari total perusahaan-perusahaan berhasil mencatatkan kinerja di atas estimasi.
Asia ex-Jepang – Meredanya kekhawatiran resesi ditengah rilisan data yang bervariatif
Indeks MSCI Asia ex-Jepang mengawali perdagangan di bulan Agustus dengan pelemahan yang dalam, sempat turun 6.2% sebelum akhirnya berhasil menguat secara signifikan, berhasil ditutup lebih tinggi. Kami percaya meredanya kekhawatiran investor atas potensi terjadinya resesi di AS berhasil menjadi katalis utama ditengah pelemahan Dolar AS. Sekitar 83% perusahaan dalam indeks MSCI Asia eks-Jepang (berdasarkan kapitalisasi pasar) telah melaporkan hasil kinerja Q2-2024. Dimana lebih banyak yang melaporkan kinerja positif dengan pertumbuhan laba bersih mencapai 29% secara tahunan (YoY).
Kami masih mempertahankan posisi Overweight pada Asia ex-Jepang, sembari terus mencermati sisa musim laporan laba Q2-2024, yang sebagian besar merupakan perusahaan-perusahaan dari China dan Malaysia yang belum menyampaikan laporan.
China/HK – Rasio “Risk-Reward” masih cenderung positif, namun harus lebih berhati-hati
Indeks Hang Seng berhasil mencatatkan kinerja yang lebih baik dibandingkan MSCI China dan CSI300 di bulan Agustus. Didalam indeks MSCI China, sektor energi dan keuangan memimpin penguatan. Komentar dovish oleh Ketua Fed Jerome Powell pada simposium Jackson Hole bulan lalu dan imbal hasil obligasi pemerintah China tenor 10 tahun yang saat ini berada di sekitar level terendahnya dalam sejarah (di kisaran 2.16%) seharusnya dapat membuat aset risiko menjadi lebih menarik.
Global Sectors – Antisipasi suku bunga yang lebih rendah
Selama bulan lalu, sektor Barang Konsumsi Pokok, Kesehatan, Properti, dan Utilitas telah mencatatkan kinerja yang lebih baik dibandingkan sektor lainnya. Merupakan hal yang wajar terjadi menjelang pemangkasan suku bunga Fed dimana investor mencari sektor yang relative defensif. Bidang bioteknologi yang termasuk didalam sektor Kesehatan, biasanya berfokus pada pengembangan konsep dan produk yang kompleks, membutuhkan arus kas yang cukup besar untuk masa waktu yang lama, bidang ini diharapkan mengalami pemulihan dalam valuasi seiring dengan penurunan suku bunga.
BONDS
Neutral terhadap asset pendapatan tetap
Secara keseluruhan kami berpandangan neutral pada instrumen pendapatan tetap. Walaupun fundamental makroekonomi saat ini masih positif, kami tetap mewaspadai potensi volatilitas dalam beberapa pekan mendatang. Seiring dengan perkiraan tingkat suku bunga yang lebih rendah menjelang akhir tahun, kami melihat tingkat imbal hasil saat ini cukup menarik. – Vasu Menon
Secara keseluruhan kami berpandangan neutral pada instrumen pendapatan tetap. Walaupun fundamental makroekonomi saat ini masih positif, kami tetap mewaspadai potensi volatilitas dalam beberapa pekan mendatang. Seiring dengan perkiraan tingkat suku bunga yang lebih rendah menjelang akhir tahun, kami melihat tingkat imbal hasil saat ini cukup menarik, dan mungkin level saat ini tidak akan bertahan terlalu lama. Pandangan kami Neutral pada obligasi Investment Grade negara maju (DM) dan DM High Yield (HY). Di kategori negara berkembang (EM), kami lebih menyukai obligasi HY dibandingkan IG. Kami tetap Neutral terhadap durasi, dengan preferensi terhadap obligasi bertenor pendek hingga menengah.
Suku bunga dan obligasi pemerintah AS
Pada saat penulisan artikel, indeks futures telah memperhitungkan penurunan suku bunga sekitar 100 bps pada tiga pertemuan mendatang di sisa tahun ini (September, November dan Desember). Antisipasi investor terhadap pemangkasan suku bunga kemungkinan besar akan berdampak lebih besar pada obligasi tenor pendek. Kami percaya ruang untuk kenaikan lebih lanjut pada imbal hasil UST 10 tahun akan terbatas, mengingat seberapa besar kinerja yang tecermin pada harga pasar saat ini. Dengan kondisi yang ada, kami tetap Neutral dalam hal durasi.
Negara maju
Setelah awal yang buruk di bulan Agustus seiring kekhawatiran terjadinya hard landing di AS, selisih imbal hasil (spread) aset pendapatan tetap pada DM IG saat ini berada pada level yang cukup tipis, karena pasar obligasi telah memperhitungkan kondisi soft-landing. Selain itu, pasar primer kembali pulih dengan cepat setelah terjadi disrupsi di awal bulan Agustus. Kesepakatan kembali terjadi dimana korporasi mengambil keuntungan dari imbal hasil yang lebih rendah untuk menarik investor kembali ke pasar primer.Mengingat kenaikan yang terjadi pada imbal hasil US Treasury (UST), kini investor pendapatan tetap menghadapi imbal hasil yang lebih rendah, dengan rata-rata imbal hasil terburuk (yields-to-worst – YTW) untuk DM IG pada titik terendah sejak awal tahun ini (YTD) sebesar 5.07%.Jika The Fed dapat melewati siklus inflasi ini dan skenario soft-landing berhasil diterapkan, maka kondisi pasar obligasi akan cenderung bullish. Jika terjadi resesi, pelebaran selisih imbal hasil akan mengimbangi penurunan suku bunga, sehingga berpotensi menghasilkan tingkat keuntungan yang tidak terlalu besar. Dengan demikian, kami menegaskan kembali preferensi yang lebih defensif dengan tetap berada pada kurva kualitas. Kami memandang obligasi jangka menengah sebagai mitigasi risiko dalam menghadapi risiko durasi akibat volatilitas suku bunga, juga memungkinkan investor untuk memperoleh keuntungan.
Negara berkembang
Kami mempertahankan pandangan Neutral secara keseluruhan terhadap obligasi EM, dengan preferensi pada kategori HY dibandingkan IG. Walaupun pergerakan selisih imbal hasil sepertinya tidak akan menipis lebih jauh dari level saat ini, prospek imbal hasil yang atraktif masih mendorong kami untuk Overweight terhadap obligasi EM HY.
Asia
Pasar obligasi Asia telah menutup pelebaran spread yang terjadi pada awal bulan Agustus. Pasar obligasi Asia membukukan kinerja total yang solid sebesar 1.7% MTD, didukung oleh imbal hasil UST yang lebih rendah. Obligasi IG sebagai penerima manfaat utama dan lebih unggul dibandingkan HY (kinerja total 1.9% vs 0.4%) dalam sebulan penuh (MTD).Obligasi Indonesia mengungguli negara-negara IG Asia lainnya pada bulan Agustus. Beberapa sentimen yang mendukung penguatan diantaranya, ekspektasi penurunan suku bunga The Fed pada bulan September, potensi pemangkasan suku bunga dalam negeri pada Q4-2024, penguatan Rupiah, serta RAPBN tahun 2025 yang menandakan batas defisit fiskal sebesar 3% masih berlaku. Kami tetap menyukai segmen IG Indonesia namun tetap memantau susunan pejabat di kabinet pemerintahan baru dan perubahan kebijakan subsidi/kompensasi energi.Di China, kami tetap memperhatikan adanya potensi sejumlah langkah pelonggaran yang lebih besar di bulan September/Oktober, terutama dengan berlanjutnya pelemahan penjualan properti. Dampak dari langkah-langkah pelonggaran yang diumumkan masih terbatas karena penerapan yang lambat dan pola konsumsi yang cenderung hati-hati serta perekonomian yang melambat. Kami menggaris-bawahi kembali bahwa langkah-langkah perubahan mungkin memerlukan intervensi langsung dari pemerintah pusat.
FX & COMMODITIES
Harga minyak diperkirakan tetap rendah
Kami memperkirakan harga minyak hanya akan turun sedikit selama setahun ke depan. Sedangkan untuk emas, diperkirakan akan menguat dan kami mempertahankan target harga emas dalam setahun ini di US$2,700 per ons. – Vasu Menon
Minyak
Secara fundamental permintaan/penawaran minyak masih melemah. Minyak mentah Brent turun hampir 14% dari titik tertingginya di bulan April. Pertumbuhan permintaan minyak melambat karena ekonomi China masih lesu, selain itu meningkatnya penetrasi kendaraan listrik di China juga turut membebani pergerakan harga minyak. Pemangkasan produksi minyak pun gagal dalam mendorong kenaikan harga. Ketegangan di Timur Tengah masih tetap tinggi. Baru-baru ini terjadi peningkatan risiko terhadap pasokan minyak produksi Libya. Pemerintah Libya bagian timur mengancam untuk menghentikan ekspor minyak di tengah pertikaiannya dengan pemerintah Tripoli yang diakui secara internasional mengenai kendali bank sentral dan pendapatan minyak.
Kami masih memperkirakan bahwa OPEC akan meningkatkan produksi pada Q4-2024 seperti yang direncanakan. Namun, kami pun tidak begitu terkejut jika OPEC masih ingin melanjutkan pemotongan produksi dengan sukarela jika mengharapkan harga minyak yang lebih tinggi. Permintaan minyak OECD dan India yang kuat, didukung oleh prospek siklus pelonggaran global, akan terus mendukung harga minyak. Perkiraan kami adalah harga minyak berpotensi mengalami sedikit pelemahan pada tahun 2025. Kami terus melihat harga minyak Brent berada di kisaran US$75/barel di tahun depan.
Logam Mulia
Kami memperhatikan bahwa emas memiliki kinerja terbaik dalam keseluruhan portfolio investasi untuk melawan inflasi. Di sisi lain, emas tidak bekerja dengan baik dalam skenario "Goldilocks". Kami mempertahankan target harga emas dalam setahun di US$2.700/ons. Dimana emas merupakan aset jangka panjang yang tidak memiliki imbal hasil, maka suku bunga riil AS yang disesuaikan dengan inflasi, dianggap sebagai biaya (peluang) untuk menyimpan emas, sehingga hal tersebut menjadi pendorong makro bagi pergerakan harga emas. Dari perspektif historis, kita mulai mendekati siklus pemotongan suku bunga Federal Reserve (Fed) di mana logam mulia cenderung berkinerja baik.
Mata Uang
USD melemah selama dua bulan berturut-turut pada bulan Agustus karena pasar semakin meyakini bahwa The Fed akan memulai siklus pemangkasan suku bunga pada bulan September. Pernyataan Powell bahwa "waktunya telah tiba" dalam pidato utamanya di Jackson Hole dengan jelas menunjukkan bahwa siklus pemangkasan suku bunga sudah di depan mata, meskipun ia tidak menyebutkan secara spesifik besaran dan kecepatan pemangkasan. Secara khusus, ia mengatakan bahwa arahnya jelas, sementara waktu dan kecepatan pemangkasan suku bunga akan bergantung pada data yang ada. Fokusnya tertuju untuk mendukung pasar tenaga kerja. Pandangan kami bahwa USD akan mengalami tren penurunan secara bertahap mulai membuahkan hasil karena narasi pengecualian AS memudar dan retorika Fed telah berubah menjadi sangat dovish.
Tingkat penurunan USD bergantung pada (i) seberapa cepat dan dalam pemangkasan suku bunga oleh The Fed; dan (ii) keberlanjutan tema goldilocks.
Meski demikian, risiko pemilu AS merupakan sesuatu yang tidak diketahui. Ada implikasi bagi pasar mata uang karena pergeseran kebijakan fiskal, luar negeri, dan perdagangan dapat terjadi, tergantung pada apakah Trump atau Kamala Harris yang terpilih sebagai presiden berikutnya. Kemenangan Trump dapat meningkatkan ketegangan perdagangan AS-China dan hal itu akan menimbulkan ketidakpastian di pasar, sehingga menyiratkan bahwa volatilitas Dolar AS cenderung meningkat, dan menguat secara bertahap jika terjadi lonjakan ketegangan perdagangan AS-China. Namun, jika Kamala Harris yang memenangkan pemilu, maka beliau akan lebih berfokus pada isu dalam negeri dan membatasi keterlibatan dengan China, seharusnya hal ini menjadi pertanda baik bagi mata uang Asia.
Pemulihan Euro (EUR) pada bulan Agustus sebagian besar dapat dikaitkan dengan pelemahan Dolar AS, sementara selisih imbal hasil obligasi pemerintah UE-AS semakin sempit. Data neraca berjalan yang solid di zona Eropa – juga merupakan salah satu katalis – surplus neraca berjalan bulanan periode Juni 2024 sebesar EUR51 miliar merupakan pencapaian tertinggi sejak Januari 2015 dengan surplus sebesar EUR42.75 miliar
Kenaikan Pound (GBP) disebabkan oleh kombinasi dari pelemahan Dolar AS, BoE yang tidak terlalu dovish, dan rilisan data Inggris yang lebih baik – PMI manufaktur, data sektor jasa, produksi industri, penjualan ritel, data PDB kuartal kedua, dan angka pasar tenaga kerja.
Penguatan Yen Jepang terhadap Dolar AS (USDJPY) berlanjut selama bulan Agustus. Komentar Gubernur Kazuo Ueda baru-baru ini di parlemen memperkuat pandangan bahwa kenaikan suku bunga BOJ tetap menjadi pertimbangan. Ia mengatakan bahwa: (i) tarif saat ini jauh di bawah tarif netral; (ii) BOJ masih berencana menaikkan suku bunga jika perekonomian memenuhi harapan pertumbuhan; (iii) BOJ meyakini penyesuaian kebijakannya sejauh ini sudah tepat.
JPY mungkin menguat dalam skenario risk-off – faktor lain yang mendukung pandangan kami mengenai penurunan lebih lanjut USDJPY. Dalam jangka menengah, kami terus memperkirakan USDJPY akan mengalami tren penurunan secara bertahap karena ekspektasi bahwa langkah selanjutnya adalah The Fed menurunkan suku bunga, sementara BOJ memiliki ruang untuk melakukan normalisasi kebijakan lebih lanjut di tengah tingginya inflasi jasa dan tekanan upah di Jepang.
Politic Returns
Wall Street sepanjang bulan Juli mengalami volatilitas tinggi, sehingga mencatatkan performa yang variatif. Indeks Dow Jones, S&P 500, masing-masing menguat +4.41%, +1.13%, sementara Nasdaq melemah -0.75%. Musim laporan keuangan korporasi Q2-2024 telah mendekati puncaknya di akhir bulan Agustus mendatang. Berdasarkan data Factset pada pekan akhir bulan Juli 2024, sebanyak 75% perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 sudah melaporkan kinerja keuangan Q2-2024, dan 78% diantaranya melaporkan laba di atas ekspektasi. Namun demikian, kinerja keuangan beberapa korporasi sektor teknologi, yang mendominasi kapitalisasi pasar di AS memberikan laporan dan outlook ke depan yang lebih lemah dari perkiraan pasar. Kondisi ini mendorong volatilitas pasar keuangan global dan membebani kinerja saham sektor teknologi.
Selain itu, berlanjutnya konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah ikut membuat investor menahan diri untuk masuk secara agresif ke dalam aset berisiko. Konflik yang berlanjut dan meluas ke wilayah Timur Tengah lainnya, dapat mendorong kenaikan harga komoditas global, sehingga dikhawatirkan akan menghambat bank sentral untuk melonggarkan kebijakan moneter.
Di satu sisi, indikator perekomian AS dari sisi ketenagakerjaan dan manufaktur dilaporkan mengalami perlambatan pada bulan Juli. Kondisi ini mendorong kekhawatiran investor akan risiko resesi yang dapat melanda ekonomi AS, sehingga rencana bank sentral Fed yang akan melakukan pemangkasan suku bunga pada bulan September mendatang dinilai terlambat untuk dilakukan.
Di Asia, perekonomian China terlihat masih belum stabil, terlihat dari indikator sektor manufaktur NBS bulan Juni yang masih berada pada zona kontraksi 49.4, sedikit lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya di level 49.5. Belum pulihnya sektor manufaktur China berkorelasi dengan rendahnya permintaan pasar. Namun demikian, pemerintah China terus berkomitmen untuk mendukung perekonomian dengan memberikan sejumlah stimulus ekonomi, diantaranya dengan kembali memangkas tingkat suku bunga dasar kredit atau Loan Prime Rate sebanyak 10 bps, baik untuk tenor satu dan lima tahun menjadi 3.35% dan 3.85%.
Beralih ke domestik, pertumbuhan ekonomi RI untuk Q2-2024 dilaporkan sebesar 5.05%, lebih tinggi dibandingkan konsensus sebesar 5%. Kontribusi pertumbuhan ekonomi datang dari tingginya konsumsi masyarakat, terutama disaat libur hari raya. Selain itu, tingkat inflasi domestik pada bulan Juli berada di 2.13% y-o-y, lebih rendah jika dibandingkan periode sebelumnya di 2.51%, di tengah tekanan harga komoditas global yang menurun. Dari kebijakan moneter, Bank Indonesia memutuskan mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 6.25%. BI menilai keputusan tersebut memadai untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, serta mengarahkan inflasi inti dan inflasi indeks harga konsumen (IHK) terkendali dalam kisaran 2.5±1% hingga akhir tahun 2024.
Equity
Bursa saham IHSG mencatatkan kenaikan sebesar 2.72% sepanjang bulan Juli. saham di sektor Industri dan Transportasi memimpin penguatan masing-masing sebesar 12.05% dan 11.40%. Penguatan pasar saham di bulan Juli didorong salah satunya dari aliran dana asing yang sepanjang bulan Juli telah masuk lebih dari Rp 2 triliun. Ekspektasi pemangkasan suku bunga Fed yang lebih agresif turut mendorong ekspektasi investor bahwa Bank Indonesia dapat segera memangkas suku bunga acuan.
Tingkat suku bunga yang lebih rendah akan mengurangi beban pinjaman korporasi dan mendorong pendapatan perusahaan. Tak hanya itu, likuiditas pun berpotensi meningkat. Beberapa sektor yang dapat diuntungkan dengan pemangkasan suku bunga, adalah sektor seperti perbankan, konsumsi, teknologi informasi, hingga ke properti.
Bond
Pergerakan pasar obligasi di bulan Juli cenderung menguat, terlihat dari pergerakan imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun yang mengalami penurunan sebanyak -2.40% menjadi 6.90%, yang artinya terjadi kenaikan dari sisi harga. Penurunan imbal hasil ini mengikuti imbal hasil acuan US Treasury 10 tahun, yang turun dari 4.46% ke level 4.02% di akhir bulan Juli. Hal ini turut mendorong pembelian obligasi oleh investor asing yang mencari imbal hasil lebih tinggi terutama di negara emerging. Investor asing tercatat melakukan pembelian bersih sekitar Rp 4.8 triliun sepanjang bulan Juli. Kenaikan minat investor turut didukung oleh nada kebijakan bank sentral Fed yang mengindikasikan akhir fase kenaikan suku bunga dengan melihat tren penurunan inflasi.
Penurunan imbal hasil yang relatif cukup cepat dalam jangka waktu singkat, berpotensi memicu aksi profit taking oleh investor. Namun, dalam jangka waktu menengah, seiring meredanya laju inflasi maka selisih antara inflasi dan imbal hasil obligasi pemerintah RI atau real yield, akan tetap berada di level yang cukup menarik dibandingkan rata-rata obligasi investment grade lainnya. Hal ini akan menjadi daya tarik bagi investor asing untuk tetap masuk ke pasar obligasi domestik.
Currency
Mata uang Rupiah bergerak menguat sepanjang bulan Juli, terlihat dari pergerakannya yang bergerak turun sebanyak -0.70% sepanjang bulan Juli ke kisaran Rp 16,260 per Dolar AS (USD). Keputusan Bank sentral Fed yang kembali menahan kebijakan suku bunga pada pertemuan awal bulan Agustus sesuai dengan ekspektasi pasar, namun pimpinan Fed, Jerome Powell memberikan pidato yang bernada dovish paska pertemuan tersebut, dengan mensinyalkan pemangkasan suku bunga pada pertemuan bulan September mendatang.
Selain itu, neraca perdagangan kembali mengalami surplus pada bulan Juni 2024 sebesar USD 2.39 miliyar, serta naiknya cadangan devisa Indonesia di level USD 145.4 miliyar pada bulan Juli, atau setara dengan pembiayaan 6.5 bulan impor atau 6.3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Kenaikan cadangan devisa berasal dari penerbitan sukuk global pemerintah dan kenaikan penerimaan pajak barang/ jasa.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC Indonesia
GLOBAL OUTLOOK
Pasar keuangan diperkirakan lebih berfluktuasi jelang pemilihan umum November mendatang. – Eli Lee
Sepanjang tahun ini, outlook ekonomi lebih berpihak ke sisi investor. Di AS, Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga mulai September sejalan dengan proyeksi ekonomi yang diperkirakan mengalami soft landing. ECB memulai pemangkasan suku bunga sejak bulan Juni seiring pemulihan Zona Eropa dari resesi tahun lalu. Di Inggris, inflasi melandai dan pertumbuhan yang lebih stabil mendorong BOE untuk memangkas suku bunga di bulan Agustus ini. PBOC menurunkan suku bunga pertama kalinya setelah hampir satu tahun terakhir untuk mendorong pertumbuhan, dan BOJ menaikkan suku bunga secara perlahan untuk menjaga inflasi di sekitar target 2%.
Hingga sisa tahun ini, sepertinya akan lebih menantang dengan adanya peningkatan risiko politik. Pemilu Prancis yang digelar secara mendadak di bulan Juli, menghasilkan parlemen yang tidak memiliki mayoritas suara untuk mereformasi dan menurunkan defisit anggaran negara yang besar. Para investor juga dikejutkan oleh para pemilih di India, Meksiko, dan Afrika Selatan. Hanya pemilu Inggris yang memberikan sentimen baik bagi pasar keuangan, dengan mayoritas suara dari kemenangan pemerintahan baru maka kestabilan politik yang sangat dibutuhkan dapat tercapai.
Fokus saat ini adalah pada pemilu AS. Volatilitas kembali meningkat, setelah Presiden Biden yang memutuskan mundur dari pencalonan kembali dan mantan Presiden Trump selamat dari upaya pembunuhan. Jika Partai Demokrat di bawah Wakil Presiden Harris memenangkan pemilu, maka penurunan inflasi saat ini memungkinkan Fed untuk kembali memangkas suku bunga pada tahun 2025. Namun, jika Partai Republik menang, maka inflasi diperkirakan kembali meningkat akibat naiknya tarif dagang, imigrasi juga lebih diperketat, dan defisit anggaran diperkirakan lebih besar.
Risiko inflasi AS tetap "tinggi untuk waktu yang lebih lama", sehingga mendorong kami untuk meningkatkan perkiraan imbal hasil US Treasury (UST) tenor 10 tahun dari 3.75% menjadi 4.25%. Dengan demikian, kami merekomendasikan investor untuk tetap Neutral pada pendapatan tetap sambil mempertahankan posisi Overweight moderat pada saham.
AS – Risiko pemilu meningkatkan volatilitas di pasar keuangan
Perlambatan pada ekonomi AS mendorong Fed untuk mulai memangkas suku bunga dari level tertingginya sejak 23 tahun di 5.25-5.50%. Meskipun pertumbuhan ekonomi Q2-2024 mencatatkan peningkatan aktivitas ekonomi AS sebesar 2.8% secara tahunan, namun data ketenagakerjaan bulan Juli memperlihatkan lonjakan pada tingkat pengangguran menjadi 4.3%, yang merupakan level tertinggi sejak akhir 2021, dan Consumer Price Index (CPI) bulan Juli menunjukkan inflasi inti turun menjadi 3.2%, yang merupakan level terendah dalam tiga tahun terakhir.
Kami memproyeksikan Fed akan mulai menurunkan suku bunga acuannya pada bulan September sebesar 25 basis poin (bps) seiring inflasi berjalan mendekati target 2% dan kembali melakukan penurunan lebih lanjut sebesar 25 bps pada bulan Desember. Dengan demikian, perlambatan ekonomi AS mengarah pada penurunan suku bunga, imbal hasil obligasi, dan Dolar AS sampai dengan penghujung tahun 2024.
Namun, saat ini investor semakin berfokus pada pemilu AS di bulan November. Volatilitas kembali meningkat setelah Presiden Biden memutuskan untuk mundur dan tidak mencalonkan diri lagi dan mantan Presiden Trump selamat dari upaya pembunuhan.
Mundurnya Biden meningkatkan persaingan yang lebih ketat sekaligus menurunkan peluang bagi Partai Republik untuk menguasai Gedung Putih dan Kongres, sehingga dapat memerintah tanpa oposisi. Apabila partai Demokrat di bawah Wakil Presiden Harris menang, maka inflasi diperkirakan akan kembali turun di tahun 2025 karena ia diperkirakan mengambil kebijakan serupa dengan kepemimpinan Biden. Namun, jika Trump kembali menang, maka inflasi diperkirakan kembali naik, yang berpeluang menahan Fed untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut tahun depan.
Oleh karena itu, pemilu AS diperkirakan dapat meningkatkan volatilitas di tahun ini, sementara outlook tahun depan menjadi lebih tidak menentu.
Menurut kami, pada masa jabatan Trump berikutnya dapat berpotensi mendorong kenaikan inflasi, imbal hasil US Treasury (UST) dan USD yang lebih kuat, disebabkan pemotongan pajak akan memperlebar defisit anggaran, kenaikan tarif akan membuat impor menjadi lebih mahal, pembatasan imigrasi dan tekanan politik terhadap Fed akan meningkatkan ekspektasi inflasi. Sebaliknya, jika Harris menang, maka defisit anggaran yang lebih rendah berdampak pada penurunan inflasi, sehingga memberikan kesempatan bagi Fed untuk kembali menurunkan suku bunga di tahun 2025.
Oleh karena itu, kami mempertahankan pandangan kami dengan dua kali pemangkasan suku bunga Fed masing-masing sebesar 25 bps tahun ini, namun hanya melihat satu kali penurunan di semester pertama tahun 2025 mengingat ketidakpastian di bulan November. Kami memperkirakan imbal hasil UST 10 tahun akan tetap tinggi di 4.25% seiring risiko kenaikan inflasi di tahun depan.
China – Secara mengejutkan PBOC memangkas suku bunga untuk mendorong pertumbuhan
Pada bulan Juli, PBOC menurunkan suku bunga 7-day reverse repo rate sebesar 10 bps menjadi 1.70%, penurunan suku bunga pertama sejak Agustus 2023 dan Medium-term Lending Facility (MLF) 1 tahun sebesar 20 bps menjadi 2.30%. Langkah mengejutkan tersebut mengakibatkan Loan Prime Rate 1 tahun dan 5 tahun turun 10 bps menjadi 3.35% dan 3.85%.
PBOC melonggarkan kebijakan yang bertujuan untuk "mendukung ekonomi riil dengan lebih baik". Beberapa langkah seperti melonggarkan kebijakan fiskal dan meringankan pembatasan properti. Sebagai contoh, pemerintah pusat mulai menerbitkan obligasi jangka panjang sebesar CNY 1 triliun untuk membantu investasi dan konsumsi. Rasio minimum untuk uang muka pembelian properti telah dikurangi dan PBOC telah membuat skema pendanaan sebesar CNY 300 miliar agar badan usaha milik negara (SOEs) membeli properti yang tidak terjual.
Kami memperkirakan, masih ada kebijakan pelonggaran mengingat data pertumbuhan ekonomi Q2-2024 China mengalami perlambatan dari 5.3% y-o-y menjadi 4.7% y-o-y. Sisi supply perlahan kembali menguat pasca pandemi, ditopang investasi manufaktur dan ekspor yang solid di tahun ini. Sementara, permintaan masih lemah disebabkan konsumen masih berhati-hati dan pasar properti yang masih rapuh. Inflasi masih bertumbuh, meskipun hanya 0.5% y-o-y di bulan Juli.
Pelonggaran kebijakan PBOC bertujuan untuk memastikan target "pertumbuhan sekitar 5%" tercapai, setelah Rapat Pleno Ketiga, China menjanjikan dukungan tambahan untuk perekonomian. Kami memperkirakan pertumbuhan akan mencapai 5.0% pada tahun 2024 karena pelonggaran lebih lanjut akan membantu aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, kami melihat outlook China akan lebih mendukung pasar domestiknya.
Eropa – Zona Eropa melemah, sedangkan Inggris menguat
Setelah mengalami pertumbuhan yang stagnan sepanjang lima kuartal berturut-turut, pada Q1-2024 Zona Eropa memulai tahun ini dengan bertumbuh 0.3% secara kuartalan. Namun, data terbaru menunjukkan aktivitas ekonomi yang diperkirakan kembali melambat. Purchasing Manager Index (PMI) bulan Juli turun ke level terendah sepanjang lima bulan pada 50.9. Survei INSEE Prancis mengenai kepercayaan bisnis turun ke level terendah tiga tahun di 96.2 setelah pemilu di bulan Juli yang menghasilkan parlemen yang tidak seimbang, dan survei IFO Jerman juga turun ke level terendah dalam lima bulan di 87.0. Kami memperkirakan ECB akan merespon dengan melanjutkan pemotongan suku bunga sebesar 25 bps pada bulan September dan Desember setelah memangkas 25 bps dari 4.00% di bulan Juni lalu. Kami memperkirakan Zona Eropa hanya akan mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih moderat sebesar 0.7% tahun ini.
Sebaliknya, kami merevisi naik perkiraan pertumbuhan ekonomi Inggris untuk tahun 2024 dan 2025 menjadi 1.2% dan 1.7% setelah rilis data pertumbuhan yang kuat di bulan Mei. Kami memperkirakan BOE akan melakukan dua kali pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps pada suku bunga acuan 5.25% tahun ini termasuk di bulan Agustus, dan mayoritas pemerintahan Partai Buruh yang baru juga akan memacu investasi dengan memberikan stabilitas politik lima tahun ke depan.
Jepang – BOJ menjadi satu-satunya bank sentral yang menaikan suku bunga secara bertahap
Setelah mencatatkan kenaikan yang luar biasa disepanjang tahun lalu, prospek pasar ekuitas Jepang berubah menjadi kurang atraktif seiring dengan penguatan Yen (JPY) di bulan Juli dari level terendahnya dalam empat dekade di angka 161 terhadap USD. Berbeda dengan bank sentral utama dunia lainnya, BOJ menaikkan suku bunga karena lonjakan inflasi setelah tiga dekade yang hilang menyusul guncangan pandemi, kemudian adanya perang di Ukraina dan Gaza.
BOJ menjadi satu-satunya bank sentral yang menaikkan suku bunga secara bertahap, setelah mengakhiri kebijakan suku bunga negatif di bulan Maret dengan menetapkan suku bunga overnight call di 0.00-0.10% dan kembali menaikkan suku bunga menjadi 0.25% pada bulan Juli. Namun, risiko suku bunga yang lebih tinggi dan JPY yang lebih kuat membuat outlook jadi lebih menantang.
EQUITIES
Outlook jangka panjang yang konstruktif
Kami memiliki pandangan Overweight yang cukup moderat pada ekuitas, cenderung Overweight pada pasar ekuitas Asia ex Jepang dan Netral pada ekuitas AS, Eropa, dan Jepang. – Eli Lee
Meskipun terjadi volatilitas dan tekanan pada pasar, kami tetap melihat prospek jangka panjang yang konstruktif untuk ekuitas. Beberapa indikator seperti momentum, positioning, dan tingkat margin, menunjukkan bahwa pasar sudah overvalued untuk jangka pendek, sementara aksi profit taking pada saham-saham Teknologi, serta meningkatnya ketidakpastian terkait pemilihan Presiden AS juga mendorong peningkatan volatilitas. Meskipun demikian, kami menegaskan, bahwa dalam jangka panjang pasar tetap bullish mengingat penurunan suku bunga Federal Reserve (Fed) akan segera terjadi, tren inflasi yang menguntungkan, dan kondisi perlambatan ekonomi (soft-landing) menjadi sinyal positif bagi pendapatan perusahaan.
AS – Rotasi di pasar ekuitas
Terjadi rotasi di pasar ekuitas AS baru-baru ini. Saham teknologi tertentu dengan kapitalisasi besar dan semikonduktor mengalami tekanan, sementara saham-saham yang memiliki valuasi murah dan berkapitalisasi rendah cenderung menguat.
Kami yakin rotasi ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (i) tren disinflasi yang sedang berlangsung dan meningkatnya ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga The Fed, (ii) data makro yang tangguh, dan (iii) meningkatnya kemungkinan kemenangan Trump dalam pemilihan Presiden November. Selain itu, laporan pendapatan beberapa emiten yang tergabung dalam Magnificent Seven juga meleset dari perkiraan dan memberikan panduan ke depan kurang yang meyakinkan.
Meskipun demikian, kami melihat hal ini sebagai koreksi sementara yang sehat dan tidak berdampak negatif untuk prospek jangka panjang Indeks S&P 500. Penguatan lebih lanjut akan didorong oleh penurunan suku bunga The Fed, tren penurunan inflasi, serta prospek pendapatan korporasi yang kuat.
Eropa – Mencermati dampak dari periode kedua kepemimpinan Trump
Meskipun kami tidak memperkirakan hasil pemilu, namun jika mempertimbangkan implikasi dari masa jabatan Trump yang kedua terhadap investor saham Eropa, kemungkinan akan menimbulkan dampak negatif disaat kebijakan “tarif dagang” yang baru diterapkan, tekanan dari kebijakan keamanan dan pertahanan, serta dampak dari kebijakan dalam negeri AS. Di sisi lain, jika kebijakan pemotongan pajak baru dan deregulasi diterapkan, dapat memberikan efek positif ke Eropa melalui permintaan dari AS yang lebih kuat. Dalam jangka pendek, investor cenderung mencari petunjuk selama musim laporan keuangan kuartal kedua ini. Dengan data kawasan Eropa yang melambat serta pertumbuhan konsumsi China yang relatif lemah, kami mempertahankan pandangan Neutral terhadap ekuitas Eropa.
Jepang – Penguatan tajam Yen Jepang merupakan risiko yang harus di monitor
Indeks MSCI Jepang dalam mata uang Yen Jepang (JPY) mengalami pelemahan di bulan Juli, namun kinerjanya jauh lebih baik dalam mata uang Dolar AS, mengingat apresiasi tajam JPY terhadap USD. Hal ini menjadi risiko utama yang harus dipantau karena penguatan tajam JPY secara historis memiliki korelasi negatif terhadap imbal hasil pasar ekuitas Jepang.
Asia ex-Jepang – Fokus pada kebijakan, reformasi dan risiko geopolitik
Serangkaian kebijakan, reformasi, dan geopolitik menjadi fokus utama di Asia pada bulan Juli.
Sementara itu, kekhawatiran geopolitik meningkat paska komentar mantan Presiden AS Donald Trump mengenai kebijakan tarif. Hal ini mengakibatkan kuatnya arus keluar investor asing dari pasar ekuitas Taiwan, khususnya sektor Teknologi. Arus keluar juga terlihat pada perusahaan semikonduktor Korea Selatan. Risiko geopolitik di kawasan ini akan terus menjadi fokus menjelang pemilu AS.
China/HK – Respon cepat dalam mengumumkan langkah pelonggaran di China
Rapat Pleno Ketiga yang telah ditunggu-tunggu berakhir sesuai dengan harapan. Secara keseluruhan, kembali ditegaskan kerangka pengembangan kebijakan saat ini. Komentar yang tidak biasa terkait pertumbuhan ekonomi jangka pendek dapat menjadi kejutan positif, dan kami berharap kebijakan yang lebih ekspansif dan mendukung pada semester kedua 2024.
Kebijakan (i) penurunan suku bunga yang lebih awal dari estimasi dan (ii) penerbitan kuota obligasi khusus sebesar CNY 300 miliar yang lebih besar dari perkiraan untuk mendanai perdagangan barang konsumsi dan meningkatkan peralatan, merupakan bentuk komitmen para pembuat kebijakan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.
Mengingat pemulihan ekonomi yang tidak merata dan meningkatnya kekhawatiran akan ketegangan geopolitik, kami lebih memilih strategi barbel yang berfokus pada perusahaan yang menghasilkan dividen berkualitas dan korporasi yang menghasilkan laba, termasuk peran AI dan pemain besar.
Sektor Global – Guncangan dari sektor Teknologi
Setelah kinerja yang luar biasa pada semester awal 2024, baru-baru ini saham semikonduktor mengalami tekanan. Investor semakin khawatir atas potensi penerapan pembatasan yang lebih agresif terhadap vendor peralatan non-AS yang menjual ke China dan ketidakpastian mengenai seberapa protektif AS terhadap Taiwan di bawah pemerintahan Trump. Dalam pandangan kami, pembatasan ekspor kemungkinan dapat terjadi, namun masih ada penggerak fundamental selain produk turunan semikonduktor.
Sementara itu, kami merubah pandangan Underweight menjadi Neutral untuk sektor Keuangan Global. Sebelumnya terdapat kekhawatiran mengenai hambatan yang timbul akibat peraturan persyaratan permodalan yang lebih ketat, pertumbuhan kredit yang lemah, kekhawatiran terhadap kualitas kredit, dan prospek pemulihan aktivitas pasar modal yang tidak menentu. Meskipun beberapa kekhawatiran kami yang lain seperti lemahnya pertumbuhan pinjaman dan kualitas kredit masih ada, kami meyakini potensi penurunan suku bunga pertama oleh The Fed pada bulan September dapat memberikan ruang gerak dan mendorong pemulihan pertumbuhan kredit, meskipun secara bertahap.
BONDS
Neutral terhadap aset pendapatan tetap
Di pasar obligasi, secara keseluruhan kami masih mempertahankan pandangan Neutral, dengan lebih Overweight pada obligasi High Yield (HY) negara berkembang (EM) seiring imbal hasil yang atraktif, namun Underweight pada obligasi EM Investment Grade (IG). – Vasu Menon
Secara keseluruhan kami berpandangan Neutral terhadap aset pendapatan tetap. Walaupun fundamental makroekonomi saat ini masih positif, kami masih melihat adanya potensi gejolak pasar dan peningkatan volatilitas beberapa pekan ke depan menjelang pemilu AS. Seiring dengan potensi penurunan suku bunga, kami menilai imbal hasil (yield) aset pendapatan tetap saat ini masih menarik, dan kemungkinan tidak akan bertahan terlalu lama di level saat ini. Kami Neutral pada obligasi IG negara maju (DM) dan DM HY. Di kategori EM, kami lebih menyukai obligasi HY dibandingkan IG. Kami tetap Neutral terhadap durasi, dengan preferensi terhadap obligasi bertenor pendek hingga menengah.
Suku bunga dan US Treasury
Dengan data terbaru yang menunjukkan berlanjutnya disinflasi di AS, imbal hasil US Treasury (UST) pun terlihat mencatatkan penurunan di bulan Juli.
Kurva imbal hasil obligasi, walaupun terlihat masih inverted, namun perlahan mulai mengarah pada normalisasi. Kami percaya pergerakan imbal hasil UST beberapa pekan ke depan akan cukup terbatas. Pertumbuhan yang baik, terjaganya defisit fiskal, dan ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed akan membatasi kenaikan imbal hasil obligasi. Namun di sisi lain, apabila rilisan data inflasi berbalik arah, maka harapan atas penurunan suku bunga dapat menurun.
Negara maju (DM)
Walaupun selisih imbal hasil (spread) aset pendapatan tetap DM saat ini berada di level yang cukup tipis, kami tidak memperkirakan spread akan melebar signifikan dari level saat ini. Hal ini didukung oleh outlook perekonomian yang cenderung positif, kinerja dunia usaha yang baik secara fundamental, dan juga technical backdrop yang supportif. Imbal hasil rata-rata untuk obligasi DM IG turun sebesar 20 basis poin (bps) bulan lalu ke 5.47%, menurut kami hal tersebut masih berada di level yang cukup atraktif menjelang dimulainya siklus pemangkasan suku bunga di AS.
Negara berkembang (EM)
Kami mempertahankan pandangan Neutral terhadap obligasi EM, dengan preferensi pada kategori HY dibandingkan IG. Walaupun spread sepertinya tidak akan menipis lebih jauh dari level saat ini, prospek imbal hasil yang atraktif masih mendorong kami untuk Overweight terhadap obligasi EM HY.
Asia
Untuk obligasi Asia, kami cenderung menyukai kategori HY dibandingkan IG. Walaupun spread memang lebih tipis di kategori obligasi Asia IG, rata-rata durasi yang lebih pendek dibandingkan negara EM lainnya akan dapat memberikan dukungan.
Pada pertemuan Politburo di bulan Juli lalu, para pembuat kebijakan China mengakui tantangan perekonomian saat ini dan berkomitmen untuk mendukung kebijakan yang lebih supportif. Walaupun pengumuman atas stimulus yang besar belum dinyatakan, seiring dengan kehati-hatian pemerintah atas perkembangan seputar geopolitik dan potensi pemberlakuan tarif yang lebih tinggi oleh AS; kami memperkirakan bahwa kebijakan yang lebih akomodatif akan diumumkan pada kuartal empat mendatang.
FX & COMMODITIES
Emas menguat
Kami menaikan target harga emas dalam dua belas bulan ke depan menjadi USD 2,700/ons dari level sebelumnya USD 2,500/ons. – Vasu Menon
Minyak
Pelemahan minyak mentah Brent sejak awal bulan Juli, mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap rendahnya permintaan domestik China. Lemahnya pemulihan yang semakin meluas di China menyebabkan penundaan proyek pengolahan kilang minyak, sehingga manfaat dari pengolahan minyak belum maksimal, dan berdampak pada rendahnya harapan akan pemulihan pemintaan material di semester dua 2024. Kekhawatiran terhadap perubahan kebijakan energi AS di bawah skenario kepemimpinan Trump 2.0 juga memberatkan harga minyak. Jika Trump kembali menjadi presiden, beberapa kebijakan sepertinya akan berujung pada net bearish untuk minyak dikarenakan tarif perdagangan, kebijakan atau deregulasi yang menguntungkan minyak dan gas, dan mendorong OPEC+ untuk melepaskan minyak ke pasar. Ada kemungkinan sanksi yang lebih ketat terhadap industri minyak Iran di bawah kepresidenan Trump, namun ini akan mendukung pergerakan harga minyak. Harga minyak mentah kembali menguat baru-baru ini karena kekhawatiran pasokan, seiring meningkatnya ketegangan di Timur Tengah setelah serangan Israel di Lebanon dan Iran yang dapat menggagalkan upaya gencatan senjata dan memicu tindakan balasan. Kami masih memperkirakan harga minyak Brent bergerak turun ke kisaran level US$ 75-90/barrel dalam dua belas bulan ke depan, dengan penurunan dibatasi oleh resiko geopolitik dan kebijakan OPEC+ yang proaktif, namun kenaikan dibatasi oleh kapasitas cadangan OPEC+ yang melimpah.
Logam Mulia
Tren pelepasan ETF emas batangan mulai berbalik arah sejak akhir Q2-2024. Minat untuk “membeli emas saat harga turun” tetap kuat dikalangan investor. Hal ini mungkin menjadi alasan mengapa pasar dengan cepat menguat karena data AS yang lemah mendorong ekspektasi kebijakan dovish dari Fed, yang menekan pergerakan imbal hasil riil obligasi AS. Karena emas merupakan aset jangka panjang tanpa imbal hasil, maka suku bunga riil AS (yang disesuaikan dengan inflasi) memberikan peluang untuk mengakumulasi emas dan menjadi pendorong makro utama untuk logam kuning tersebut. The Fed kembali mempertahankan kebijakan suku bunga sesuai perkiraan di bulan Juli, namun Powell mengisyaratkan bahwa pemotongan suku bunga pada bulan September adalah skenario dasar yang wajar tanpa harus berkomitmen terlebih dahulu terhadap dampaknya. Meningkatnya ketegangan di Timur Tengah baru-baru ini telah mendorong harga emas ke titik tertinggi sepanjang masa. Kami menaikan target harga emas untuk setehun ke depan menjadi US$ 2,700/ons dari sebelumnya US$ 2,500/ons. Faktor struktural yang mendukung kenaikan harga emas sebelumnya terlepas dari latar belakang makro, menunjukan adanya peluang kenaikan harga emas lebih lanjut. Seluruh faktor ini – termasuk kekhawatiran pada defisit fiskal AS, diversifikasi cadangan bank sentral dari Dolar AS dan risiko geopolitik – kemungkinan masih akan berlanjut terlepas dari hasil pemilu AS tetapi prospek positif untuk emas dapat meningkat jika Trump kembali menjadi presiden.
Currency
Indeks Dolar AS DXY diperdagangkan lebih rendah selama bulan Juli. Hasil dari pertemuan Federal Reserve di bulan Juli bernada dovish ditengah Ketua Jerome Powell yang mengatakan bahwa penurunan kebijakan tarif dapat “terealisasikan dengan segera pada pertemuan berikutnya di bulan September”. Para pejabat Fed telah mengakui perkembangan akan disinflasi, dan mereka tampaknya semakin khawatir terhadap melemahnya pasar ketenagakerjaan. Beberapa pejabat Fed telah merujuk pada kurva Beveridge (yang menggambarkan hubungan empiris antara pengangguran dan lowongan pekerjaan). Data ketenagakerjaan terbaru menunjukkan bahwa pasar kerja berada di bagian yang lebih datar dari kurva Beveridge. Artinya, ketika ekonomi AS melemah dan kesempatan kerja berkurang, angka pengangguran cenderung meningkat lebih cepat. USD pun diperdagangkan lebih lemah dibandingkan beberapa bulan lalu. Semua ini berarti bahwa Fed dapat beralih ke pemangkasan suku bunga pada bulan September dan memperkuat pandangan kami untuk dua kali pemangkasan pada tahun 2024. Untuk tahun ini, kami masih memperkirakan USD akan mengalami tren penurunan karena Fed akan memulai siklus pemangkasan suku bunga. Penurunan USD lebih lanjut bergantung pada setidaknya dua faktor: (i) seberapa cepat dan skala The Fed dalam memangkas suku bunga (ii) sebagaimana pertumbuhan global (terkecuali AS) dapat berjalan lancar. Pemilu AS pada bulan November merupakan hal yang sulit ditebak. Munculnya Kamala Harris sebagai calon presiden dari Partai Demokrat setelah Presiden Biden mengundurkan diri dari pencalonan, menunjukkan perkembangan yang masih belum pasti dan masih terlalu dini untuk mengambil keputusan. Meski demikian, akan ada implikasi terhadap pasar mata uang seiring dengan pergeseran fiskal, kebijakan luar negeri dan perdagangan dapat terjadi, tergantung apakah Trump atau Harris yang terpilih sebagai Presiden berikutnya. Di sisi lain pada bulan Agustus, perlu dicatat bahwa indeks Dolar AS telah meningkat sebesar 0.67% secara rata-rata dalam lima belas tahun terakhir, menguat sebanyak sebelas kali dalam lima belas tahun terakhir – oleh karena itu, kenaikan secara musiman untuk USD pada bulan Agustus tidak dapat diabaikan.
Risiko Pemilu
Wall Street melanjutkan penguatannya pada bulan lalu, kembali dipimpin oleh kumpulan saham Teknologi yang berhasil mendorong kenaikan indeks Nasdaq Composite secara signifikan – hampir 6%. Indeks Dow Jones dan S&P500 juga menguat, masing-masing 1.1% dan 3.5%. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, indeks acuan S&P500 berhasil ditutup di atas level psikologis 5,500. Prospek atas pemangkasan suku bunga di bulan September mendatang masih menjadi katalis utama bagi aset risiko, dengan potensi pemangkasan kedua di akhir tahun.
Dari sisi data, inflasi secara tahunan turun dari 3.4% ke 3.3% dan tingkat pengangguran naik dari 4.0% ke 4.1% – semakin membuka ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter oleh The Fed. Pasar obligasi juga berhasil menguat sepanjang bulan lalu, terlihat dari penurunan imbal hasil (yield) 10 tahun US Treasury sebesar 2.3% ke kisaran level 4.4% pada akhir bulan ditengah penguatan Dolar AS. Dengan tingginya ketidakpastian pemilu saat ini, dimana Donald Trump saat ini memimpin jauh, kami melihat probabilitas untuk imbal hasil obligasi tetap bergerak di rentang level yang relatif tinggi.
Sebaliknya, pasar ekuitas Eropa melemah sepanjang bulan Juni – dipimpin oleh penurunan bursa Prancis CAC 40 yang turun sebesar 6.4% ditengah ketidakpastian politik yang kian meningkat. Namun demikian, pertumbuhan dan pemulihan ekonomi kawasan Eropa terlihat sudah jauh membaik jika dibandingkan masa resesi tahun lalu. Bank sentral Eropa (ECB), bank sentral Swiss, dan bank sentral Swedia (Sveriges Riksbank) sudah mulai memangkas suku bunga. Bank sentral Inggris (BOE) juga berpeluang untuk melakukan pemangkasan pertama pada paruh kedua tahun ini.
Di Asia, indeks MSCI Asia Pasifik ex-Jepang naik 3.9% di bulan Juni, walaupun aset risiko China mencatatkan pelemahan – dimana bursa Hang Seng dan CSI300 turun 2.0% dan 3.3%. Sementara pasar obligasi China yang terus mencatatkan kinerja yang cemerlang menjadi perhatian para pelaku pasar, hingga memicu PBOC untuk melakukan intervensi untuk membatasi kinerja dan menstabilkan pasar. Dari sisi data, PMI Manufaktur dan tingkat ekspor yang terus membaik akan mendukung target pertumbuhan ekonomi pemerintah di 5%. Di Jepang, bank sentral BOJ sudah mulai menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi.
Sementara di Indonesia, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan 7-day reverse repo rate di level 6.25% pada pertemuannya di bulan Juni lalu. Hal ini dilakukan sejalan dengan kebijakan pro-stability, dengan strategi pre-emptive dan forward-looking bank sentral untuk mengendalikan inflasi tetap di level 2.5%±1% untuk tahun 2024 dan 2025. Inflasi sendiri turun dari 3.00% ke 2.84% secara tahunan bulan lalu. Namun, PMI Manufaktur dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) melemah di bulan Juni – turun dari 52.9 ke 52.1 dan 127.7 ke 125.2. Data ekonomi yang cenderung bervariatif ini sempat membebani pergerakan IHSG, dimana di pertengahan bulan Juni sempat turun ke kisaran level terendahnya sejak bulan November di rentang 6,700-6,750 sebelum akhirnya berhasil memutarbalikkan arah dan akhirnya ditutup kembali di atas level psikologis 7,000 pada akhir bulan.
Equities
IHSG menguat sebesar 1.3% ditengah pergerakan sektor-sektor yang bervariatif. Sektor Kesehatan dan Infrastruktur mencatatkan penguatan terbesar dengan kenaikan 4.7% dan 3.0%, sementara pelemahan terdalam dicatatkan oleh sektor Teknologi dan Industri yang turun 6.5% dan 5.0%. Lima emiten yang memberikan kontribusi positif terbesar pada kenaikan pasar saham adalah BBCA, TLKM, BREN, BMRI, dan BBRI. Sebaliknya, lima saham yang paling membebani pergerakan bursa adalah AMMN, GOTO, BYAN, MDKA, dan ANTM. Investor asing mencatatkan jual bersih senilai US$180.4 juta di pasar saham, sehingga menandakan bahwa penguatan IHSG sendiri didominasi oleh investor lokal. Namun demikian, sejak awal tahun IHSG masih mencatatkan penurunan sebesar 2.9% per akhir bulan Juni – cukup jauh dari ekspektasi pasar yang mengharapkan tahun pemilu dapat menjadi katalis positif bagi aset risiko domestik.
Dari segi valuasi, rasio P/E IHSG sendiri saat ini berada di kisaran level 13.4 – jauh di bawah rata-rata 10 tahun yang berada di angka 17.2. Diluar dari valuasi yang atraktif, investor saat ini masih menantikan katalis positif lain yang dapat mendorong IHSG untuk menguat ke level all-time high baru seiring dengan perkembangan eksternal yang masih memiliki pengaruh besar terhadap pasar saham domestik – terutama laju kebijakan moneter The Fed.
Bond
Imbal hasil acuan 10 tahun obligasi pemerintah kembali naik di atas level 7% pada pertengahan bulan lalu, dan terlihat diperdagangkan di kisaran 7.07% di akhir bulan Juni. Investor asing juga melakukan penjualan bersih terhadap aset pendapatan tetap domestik senilai US$73.1 juta, jauh lebih rendah dibandingkan aset risiko. Berita seputar beban fiskal negara ditengah rencana-rencana kampanye dan program calon Presiden Prabowo Subianto turut membebani sentimen pasar. Walaupun Pak Prabowo berjanji untuk tidak melebihi batas hutang pemerintah melebihi 50% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) negara dan defisit fiskal di bawah 3%, investor masih cenderung pesimis seiring dengan potensi ketidakpastian dimasa mendatang.
Namun demikian, dengan imbal hasil acuan yang saat ini berada di atas level 7%, para pelaku pasar dapat menggunakan kesempatan ini untuk melakukan rebalancing terhadap portofolio pendapatan tetap mereka dengan preferensi terhadap tenor pendek hingga menengah. Seiring dengan meningkatnya probabilitas normalisasi yield curve di waktu yang akan datang, para investor dapat lebih selektif dalam pemilihan aset dengan mencari obligasi yang cenderung undervalue.
Currency
Mata uang USD/IDR kembali melaju naik, yang menandakan pelemahan bagi mata uang Rupiah – diperdagangkan di kisaran Rp 16,375 per Dolar AS pada akhir bulan lalu. Di waktu yang sama, indeks Dolar (DXY) diperdagangkan di kisaran level 106 – level tertingginya sejak bulan April 2024. Ditengah The Fed yang cenderung berhati-hati terkait laju kebijakan moneternya, Dolar AS masih terus menerima permintaan yang tinggi ditengah ketidakpastian pemangkasan suku bunga. Positifnya, mata uang USD/IDR sendiri saat ini sudah jauh lebih stabil dibandingkan bulan-bulan sebelumnya akibat operasi pasar terbuka yang terus dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menstabilkan nilai tukar. Terlebih lagi, kenaikan cadangan devisa yang cukup signifikan beberapa bulan terakhir seharusnya dapat menjadi sentiment positif tambahan bagi mata uang Rupiah.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC Indonesia
GLOBAL OUTLOOK
Risiko Pemilihan Umum
Skenario dasar kami mengenai ekonomi AS masih mengarah pada potensi soft landing, data terbaru menunjukkan pelemahan pertumbuhan AS pada semester kedua 2024. Perlambatan terhadap pertumbuhan ekonomi akan mengarahkan Fed untuk mulai menurunkan suku bunga pada September 2024. – Eli Lee
Pandangan ekonomi sejauh ini menguntungkan bagi para investor.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan inflasi di AS, dapat mengarahkan Fed untuk mulai memangkas suku bunga per September nanti. Di Eropa, pertumbuhan mulai pulih dari resesi tahun lalu. Pada saat yang sama ECB (bank sentral Eropa), SNB (bank sentral Swiss), dan Sveriges Riksbank (bank sentral Swedia) sudah mulai menurunkan suku bunga.
Di China, kuatnya manufaktur dan ekspor menjaga pertumbuhan China di jalur yang tepat untuk memenuhi target pemerintah sebesar 5% pada tahun 2024. Sementara BOJ (bank sentral Jepang), perlahan mulai menaikkan suku bunga untuk memastikan inflasi Jepang mencapai target 2%.
Namun, semester kedua tahun 2024 diperkirakan lebih berfluktuasi, seiring beberapa negara besar yang mengadakan pemilihan umum.
Terutama pemilu AS yang dilaksanakan pada bulan November mendatang. Jika Presiden Biden menang, maka inflasi diperkirakan akan menurun dan Fed dapat memangkas suku bunga. Namun, jika mantan presiden Trump kembali terpilih, dengan tarif dagang yang tinggi, imigrasi yang ketat, dan defisit anggaran yang lebih besar dapat memicu kembali inflasi.
Kami telah menaikkan proyeksi 12 bulan untuk imbal hasil US Treasury (UST) 10 tahun dari 3.75% menjadi 4.25% akibat risiko kenaikan inflasi AS tahun depan. Oleh karena itu, kami merekomendasikan investor untuk mengambil posisi yang lebih Neutral pada aset pendapatan tetap, dan mempertahankan posisi Overweight pada ekuitas.
AS – Pemilu tahun ini dapat meningkatkan inflasi tahun depan
Perekonomian Amerika Serikat saat ini sedang melambat. Penjualan ritel bulan Mei hanya naik 0.1%, tingkat pengangguran bulan Juni mencapai 4.1% dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) turun menjadi 3.4%. Maka, kami memperkirakan Fed akan memangkas suku bunga acuan dari 5.25-5.50% pada bulan September sebesar 25 bps dan sekali lagi di bulan Desember.
Namun, meskipun siklus ekonomi AS mengarah pada penurunan suku bunga, imbal hasil obligasi, dan Dolar AS, dapat berbenturan dengan siklus politik setelah pemilihan umum di bulan November. Pergantian presiden dapat memicu kenaikan inflasi di tahun mendatang. Oleh karena itu, kami menyesuaikan estimasi untuk risiko perubahan tajam kebijakan AS di tahun 2025.
Jika Presiden Biden kembali menjabat, maka kebijakan AS saat ini seperti defisit anggaran sebesar 6% dari PDB untuk infrastruktur, semikonduktor, dan energi terbarukan; tarif yang ditargetkan, dan imigrasi yang lebih longgar akan tetap berlanjut. Kami memperkirakan Fed di bawah pemerintahan Biden akan terus menurunkan suku bunga setiap kuartal pada tahun 2025 menuju 3.75-4.00% karena inflasi mendekati target di 2%.
Sebaliknya, jika mantan presiden Trump menang, maka inflasi dan ekspektasi inflasi dapat meningkat di tahun 2025 sehingga membuat Fed menahan penurunan suku bunga. Pertama, defisit fiskal AS diperkirakan meningkat terutama jika Partai Republik juga memenangkan Kongres karena Trump ingin memperpanjang pemotongan pajak yang disahkan pada tahun 2017 selama masa jabatan pertamanya yang akan berakhir pada tahun 2025.
Kedua, Trump berencana untuk memberlakukan tarif 10% untuk semua impor AS dan 60% untuk ekspor ke China. Ketiga, Trump akan melakukan pembatasan imigrasi secara tajam, yang diperkirakan akan memperketat pasar tenaga kerja AS. Terakhir, tekanan pada Fed untuk menurunkan suku bunga akan meningkatkan ekspektasi inflasi.
Kami berpendapat bahwa kebijakan Trump berpotensi menaikkan suku bunga. Imbal hasil obligasi mencerminkan pertumbuhan (real yield) dan risiko inflasi (breakeven rate). Maka, tarif dan imigrasi yang ketat dapat menekan pertumbuhan, menurunkan real yield, namun dengan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi dapat mendorong kenaikan imbal hasil obligasi secara keseluruhan.
Oleh karena itu, kami mempertahankan pandangan kami untuk dua kali pemangkasan suku bunga Fed masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) tahun ini, tetapi melihat potensi satu kali pada paruh pertama tahun 2025 mengingat hasil November yang masih belum diketahui. Kami juga menaikkan proyeksi imbal hasil UST 10 tahun dari 3.75% menjadi 4.25% yang mencerminkan risiko kenaikan inflasi tahun depan.
China – Berada di jalur yang tepat untuk mencapai target pertumbuhan 5% tahun 2024
Data bulan Mei menunjukkan pertumbuhan PDB China sedang berada di jalur yang tepat untuk mencapai target 5% pada tahun kedua, namun pemulihan ekonomi yang tidak merata akibat pandemi masih membutuhkan stimulus agar tetap sesuai target.
Sementara itu, pasokan China tetap solid. Pada bulan Mei, produksi industri meningkat 5.6% secara tahunan (YoY). Permintaan untuk ekspor dan barang manufaktur China juga kuat. Bulan lalu, ekspor naik 7.6% YoY dan investasi manufaktur meningkat 9.6% YoY.
Namun secara keseluruhan, permintaan memang masih lemah. Tingkat inflasi bulan Mei hanya 0.3% akibat sikap hati-hati konsumen dan sektor properti masih rapuh. Penjualan ritel hanya naik 3.7% YoY dan investasi properti terkontraksi 10.1% YoY.
Lemahnya pertumbuhan kredit mendasari kurangnya permintaan, hanya 8.4% YoY di bulan Mei. Meskipun pinjaman pemerintah telah melebihi CNY 1 triliun bulan lalu, saat Kementerian Keuangan mulai menerbitkan obligasi jangka panjang untuk investasi strategis, namun tidak sejalan dengan permintaan swasta terhadap pinjaman yang masih lemah.
Dengan demikian, kami mempertahankan proyeksi pertumbuhan PDB 5.0% untuk tahun 2024, tetapi masih mengharapkan kebijakan fiskal, moneter, dan properti yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan. Selain obligasi baru dari Kementerian Keuangan, para pejabat telah memangkas rasio uang muka properti minimum dan menyiapkan skema pinjaman sebesar CNY 300 miliar untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membeli rumah yang tidak terjual. Tahun ini, juga diperkirakan People's Bank of China (PBOC) akan kembali memangkas suku bunga.
Eropa – Hati-hati dengan outlook jangka pendek
Prospek ekonomi Eropa tahun ini cukup baik. Pertumbuhan berangsur pulih akibat resesi tahun lalu. Pada saat yang sama, ECB, SNB, dan Riksbank Swedia sudah mulai menurunkan suku bunga sejalan dengan inflasi yang melandai. Kami memperkirakan ECB akan menurunkan suku bunga deposito sebanyak tiga kali di tahun ini setelah pemotongan 25 bps di bulan Juni dari 4.00% menjadi 3.25% di bulan Desember. Demikian pula, kami memperkirakan dua kali pemangkasan suku bunga acuan Bank of England (BOE) dari 5.25% pada bulan Agustus dan November.
Meskipun demikian, pemilihan umum musim panas ini di Prancis dan Inggris akan meningkatkan risiko politik di Eropa. Oleh karena itu, para investor harus berhati-hati terhadap proyeksi jangka pendek untuk pasar Eropa
Jepang – Lemahnya Yen Jepang akan mendorong kenaikan suku bunga BOJ berikutnya
BOJ akan melanjutkan serial kenaikan suku bunga pada bulan Juli, dimana sebelumnya sudah dilakukan pada bulan Maret, karena inflasi inti saat ini berada di sekitar target 2% dan pelemahan Yen meningkatkan harga impor. Kami memperkirakan BOJ akan menaikkan suku bunga overnight call dari sebelumnya 0.00-0.10% menjadi 0.25% di bulan ini. Para pejabat masih akan tetap bersikap dovish dan memberi sinyal bahwa kenaikan suku bunga lebih lanjut hanya akan dilakukan secara bertahap karena BOJ ingin memastikan bahwa Jepang tidak kembali mengalami deflasi selama beberapa dekade. Namun, risiko suku bunga yang lebih tinggi dan penguatan Yen membuat proyeksi pada ekuitas Jepang menjadi lebih menantang setelah rekor kenaikannya sepanjang setahun terakhir ini.
EQUITIES
Mempertahankan Sikap Konstruktif
Setelah penguatan yang signifikan, kami menurunkan peringkat saham Jepang dari Overweight menjadi Neutral. Namun demikian, secara keseluruhan kami tetap mempertahankan pandangan Overweight pada ekuitas Asia diluar Jepang. Kami juga memandang Neutral untuk ekuitas AS dan Eropa. – Eli LeeKami tetap melihat tahun 2024 sebagai tahun yang lebih baik untuk pertumbuhan pendapatan di pasar global, namun setelah peningkatan yang signifikan di sejumlah pasar ekuitas dalam enam bulan terakhir, kami menurunkan ekspektasi terhadap prospek tersebut, terutama untuk ekuitas Jepang yang sudah kami Overweight sejak 1 Juni 2023. Kinerja luar biasa dari ekuitas Jepang – Indeks MSCI Jepang terapresiasi sekitar 31% dalam mata uang lokal sejak 1 Juni 2023 – menyebabkan valuasi kurang menarik seperti sebelumnya. Oleh karena itu, dengan profil risk-reward yang lebih seimbang, kami menurunkan prospek ekuitas Jepang menjadi Neutral.
Namun demikian, secara umum kami mempertahankan posisi kami pada kelas aset ekuitas, disebabkan pandangan Overweight pada ekuitas Asia ex Jepang. Kondisi ini juga didukung oleh meningkatnya proyeksi untuk ekuitas India menjadi Overweight. Untuk Asia ex Jepang, yang memiliki diversifikasi kelas aset, kami lebih memilih saham Hong Kong, China, Indonesia, Korea Selatan, dan Singapura, dengan pertimbangan valuasi yang menarik dan fundamental yang kuat.
Kami memandang Neutral terhadap pasar saham AS dan tetap melihat peluang menarik di berbagai sektor.
Dalam kaitannya dengan sektor global, kami menegaskan preferensi terhadap Teknologi Informasi, Layanan Komunikasi, Kebutuhan Konsumen, dan Layanan Kesehatan.
US – Pertumbuhan laba korporasi masih sehat
Fundamental sebagian besar perusahaan di AS tetap stabil, dan kami tetap konstruktif terhadap prospek pendapatan ke depan. Menurut kami, pertumbuhan laba per saham (EPS) FY24 dan FY25 kemungkinan akan mencapai kisaran 10% YoY dan 9% YoY. Hal ini dapat terjadi dengan adanya dukungan terhadap pendapatan nominal dari inflasi yang terjaga, dan perbaikan dari sisi operasional, terlepas dari hasil pemilu bulan November mendatang.
Khususnya sektor teknologi AS dapat terus menunjukkan kinerja yang lebih baik. Belanja cloud (penyimpanan data secara virtual) diperkirakan masih tetap tinggi, sementara peningkatan kebutuhan CAPEX kecerdasan buatan (AI) dapat terus menjadi pendorong bagi nama-nama perusahaan semikonduktor.
Namun, kami menyadari bahwa valuasi meningkat dibandingkan dengan tingkat historisnya, dan kami lebih nyaman menambahkan posisi saat terjadi penurunan yang lebih signifikan di pasar saham.
Dengan demikian kami mempertahankan posisi Neutral untuk pasar saham AS.
Eropa – Meningkatnya risiko yang lebih luas pada politik di dalam negeri dan geopolitik
Lanskap politik di Eropa telah bergeser ke arah kanan, dan hal ini penting bagi investor, karena risiko politik mempengaruhi kinerja ekuitas Eropa. Secara historis, valuasi dan pergerakan pasar saham Eropa menjadi lebih sensitif dan dipengaruhi oleh ketidakpastian kebijakan ekonomi dari waktu ke waktu.
Pada saat yang sama, risiko geopolitik yang lebih luas juga tetap tinggi karena Uni Eropa baru-baru ini mengumumkan tarif tambahan pada kendaraan listrik asal China yang dapat memicu perang tarif dari Beijing. Pemilu AS, dan prospek kepresidenan Trump (yang mendukung lebih banyak tarif), juga berpotensi terjadi.
Kami mempertahankan pandangan Neutral terhadap ekuitas Eropa.
Jepang – Menurunkan bobot pada ekuitas Jepang menjadi Neutral
Kami menurunkan peringkat Overweight untuk ekuitas Jepang menjadi Neutral, karena kami yakin profil risk-reward pasar saat ini sudah seimbang.
Selain itu, pertumbuhan pendapatan pada FY25 (tahun fiskal Jepang yang berakhir pada bulan Maret 2025) diperkirakan lebih moderat setelah menunjukkan kinerja yang solid pada FY24.
Dari sisi makro ekonomi, terdapat juga ketidakpastian mengenai kebijakan moneter Bank of Japan (BOJ) dan pelemahan Yen saat ini dapat menekan daya beli konsumen.
Di sisi lain, reformasi tata kelola perusahaan yang sedang berlangsung diharapkan menjadi sentimen positif untuk pasar saham.
Asia ex-Jepang – Meningkatkan pandangan Overweight pada ekuitas Asia ex-Jepang
Kami mempertahankan posisi Overweight kami untuk ekuitas Asia ex Jepang. Dengan meningkatkan posisi untuk ekuitas India dari Neutral dari menjadi Overweight.China/HK – Mencermati efektivitas kebijakan China
Indeks Hang Seng (HSI) dan Indeks MSCI China telah mengungguli Indeks CSI 300 pada paruh pertama 2024. Memasuki kuartal ketiga 2024, semua perhatian akan tertuju pada pertemuan kebijakan tingkat tinggi, seperti Sidang Pleno Ketiga dan pertemuan Politburo pada bulan Juli. Dari sisi makro, kami melihat potensi kebangkitan sentimen konsumen dan perbaikan dalam transaksi real estate. Kami memandang pertumbuhan laba dan fokus pada keuntungan pemegang saham dapat memberikan dukungan terhadap kinerja pasar. Momentum pendapatan MSCI China telah berubah menjadi positif sejak akhir Mei.Sektor Global – Kinerja Sektor Teknologi memimpin pada paruh pertama tahun 2024
Berdasarkan pemberitaan terkait saham-saham sektor teknologi, mungkin tidak mengherankan jika sektor Teknologi Informasi dan Layanan Komunikasi menjadi sektor dengan kinerja terbaik pada paruh pertama 2024. Namun yang perlu diperhatikan adalah kedua sektor tersebut memimpin pasar dengan selisih yang besar, kenaikannya masing-masing sebesar 25% dan 22% YTD; sedangkan sektor dengan kinerja terbaik ketiga – sektor Keuangan – hanya menghasilkan sekitar 9%.Optimisme pada sektor Teknologi
Meskipun telah menguat secara signifikan pada enam bulan pertama di tahun ini, kami tetap bersikap konstruktif pada sektor Teknologi di semester kedua 2024. Permintaan terhadap layanan penyimpanan data secara virtual (cloud) akan tetap tinggi, karena perusahaan terus melakukan migrasi beban kerja dari on-prem ke cloud, sementara monetisasi AI generatif (GenAI) secara bertahap juga meningkat. Peningkatan belanja modal berskala besar, akan berdampak positif bagi perusahaan semikonduktor yang lebih luas. Mendukung Kebutuhan Konsumen dan Layanan Kesehatan Memasuki semester kedua 2024, kami juga memilih sektor konsumsi dan kesehatan yang memberikan pertahanan pada keseluruhan portofolio. Kenaikan suku bunga mengakibatkan melemahnya perdagangan, namun kebutuhan pokok tetap dibutuhkan dalam situasi seperti ini. Seiring dengan valuasi yang menarik, kami melihat peluang di sektor Konsumsi. Di bidang Layanan Kesehatan, kami lebih memilih segmen peralatan dan layanan kesehatan, dan lebih berhati-hati terhadap produsen obat besar yang kehilangan perlindungan paten pada sebagian besar penjualan mereka di tahun 2030.BONDS
Kami masih melihat potensi pemangkasan terjadi dua kali 25 basis poin (bps) tahun ini pada bulan September dan Desember mendatang. Namun, dengan tingginya ketidakpastian politik di AS, kami melihat probabilitas pemangkasan di semester pertama tahun depan hanya satu kali 25bps dan menaikkan proyeksi imbal hasil acuan US Treasury ke rentang 3.75% hingga 4.25% untuk satu tahun ke depan seiring dengan keyakinan terhadap risiko kenaikan inflasi. – Vasu Menon
Seiring dengan pandangan kami bahwa suku bunga masih akan tetap tinggi di tahun depan sejalan dengan potensi naiknya inflasi, maka kami memilih posisi Neutral terhadap durasi aset pendapatan tetap. Kami mengurangi dan melakukan downgrade terhadap obligasi Investment Grade (IG) Negara Maju (DM) akibat durasi yang kami nilai terlalu panjang. Kami masih Neutral terhadap obligasi Negara Berkembang (EM) - Overweight terhadap EM High Yield (HY) dan Underweight EM IG. Maka secara keseluruhan, posisi kami Neutral terhadap aset pendapatan, sebagai antisipasi terhadap peningkatan volatilitas pasar jelang pemilu di AS.
Suku Bunga dan US Treasury
Rilisan terbaru data makro dan inflasi terlihat sejalan dengan pandangan soft landing kami terhadap ekonomi AS. Maka dari itu, kami mempertahankan ekspektasi pemangkasan suku bunga sebanyak dua kali tahun ini (di bulan September dan Desember) dan hanya satu kali di semester pertama 2025.
Selain itu, kami juga menaikkan proyeksi imbal hasil (yield) acuan 10-tahun US Treasury ke rentang 3.75% hingga 4.25%. Pemangkasan suku bunga kami rasa akan lebih berdampak terhadap tenor pendek, dengan yield obligasi 2-tahun diperkirakan turun ke kisaran 4% dalam 12 bulan ke depan (saat ini di kisaran 4.75%).
Negara Maju
Dalam rangka mengantisipasi suku bunga AS untuk bertahan di level yang tetap tinggi, kami melakukan downgrade terhadap obligasi DM IG dari Overweight menjadi Neutral. Sekitar 80% dari total kinerja obligasi IG akan dipengaruhi oleh suku bunga. Dengan spread yang sangat rendah saat ini, kami melihat potensi penurunan spread akan lebih terbatas.
Negara Berkembang
Kami tetap Neutral terhadap obligasi EM, terlihat dari pandangan Overweight kami terhadap obligasi EM HY namun Underweight EM IG. Spread sudah turun signifikan di kategori EM HY, dan kami juga melihat probabilitas penurunan lanjutan akan lebih terbatas. Namun, dengan prospek tersebut, mendukung kami untuk tetap Overweight.
Asia
Di Asia, kami masih cenderung menyukai obligasi HY dibandingkan IG. Namun, keunggulan obligasi HY baru akan dirasakan dalam jangka waktu yang lebih panjang, walaupun penurunan spread sudah cukup besar sejak awal tahun. Sementara untuk obligasi IG, durasi yang lebih pendek dan volatilitas yang lebih rendah akan memberikan perlindungan terhadap risiko makro dan politik.
Di China, fokus investor akan tertuju pada dua acara politik yang besar di bulan Juli ini. Sidang Pleno Ketiga di tanggal 15-18 Juli, pembahasan tidak terbatas pada reformasi ekonomi dan kebijakan fiskal/moneter. Untuk pertemuan Politburo di akhir bulan, investor menantikan perkembangan seputar kebijakan sektor properti.
Sementara untuk Indonesia, walaupun komitmen 3% untuk defisit fiskal sudah berulang kali disampaikan, kekhawatiran investor masih cukup tinggi saat ini. Ketidakpastian masih membayangi pergerakan pasar seiring dengan investor yang masih tidak yakin atas kondisi kebijakan fiskal di masa yang akan datang – setidaknya hingga pelantikan di bulan Oktober dan penunjukkan Menteri Keuangan baru setelahnya.
FX & COMMODITIES
Emas Masih Memiliki Daya Tarik
Emas masih tetap menarik sebagai aset lindung nilai saat pemilihan umum AS, terutama jika hasil pemilihan dapat menyebabkan kekhawatiran akan utang yang lebih besar dan kenaikan inflasi, dipicu oleh risiko kenaikan tarif atau ancaman terhadap independensi Fed. – Vasu Menon
Minyak
Harga minyak telah kembali meningkat sebagai reaksi yang berlebihan terhadap keputusan OPEC yang mulai menghapus pemangkasan produksi sukarela secara bertahap. Positifnya, kebijakan pasokan OPEC akan terus menjaga harga minyak tetap stabil. OPEC menegaskan bahwa peningkatan produksi dapat dihentikan sementara atau dibatalkan tergantung pada kondisi pasar.
Harga minyak mentah Brent dapat bertahan di kisaran atas US$80/barrel pada kuartal ketiga tahun 2024, didukung oleh meningkatnya permintaan berkendara di AS saat musim panas. Pasar energi bergantung pada AS untuk seperempat konsumsi minyak dan gas dunia, dimana pengemudi AS sendiri menyumbang sepertiga dari permintaan bensin global.
Harga minyak dapat menurun pada kuartal keempat tahun ini ditengah OPEC+ yang mulai meningkatkan pasokan pada bulan Oktober. Pelonggaran pemangkasan produksi minyak secara bertahap merupakan strategi yang berpotensi menghambat pasokan produksi dari kumpulan negara non-OPEC, agar pangsa pasar OPEC+ tidak beralih ke non-OPEC. Kami masih memperkirakan harga minyak Brent bergerak turun pada rentang harga US$ 75-90/barrel dalam waktu 12 bulan, dengan penurunan harga dibatasi oleh risiko geopolitik, sedangkan kenaikan harga dibatasi oleh kapasitas cadangan OPEC+ yang melimpah.
Logam Mulia
Harga emas mengalami pelemahan namun tetap stabil di atas level US$ 2,300/oz setelah rekor pembelian oleh bank sentral yang mendorong harga emas mencapai harga tertinggi baru US$ 2,450/oz di bulan Mei. Pemberitaan utama bahwa cadangan emas China tidak berubah di bulan Mei, membebani pergerakan harga emas. Hal ini wajar bagi bank sentral untuk menahan pembelian ditengah kenaikan tajam harga emas. Kami tetap melihat prospek pembelian emas masih akan terus berlanjut, mengingat risiko geopolitik yang masih tetap ada.
Dengan berkurangnya momentum pembelian bank sentral yang sementara waktu memudar, kami berpikir katalis berikutnya yang akan mendorong harga emas naik kemungkinan besar berasal dari perubahan kebijakan Fed terkait pemangkasan suku bunga. Terlebih lagi, komentar yang bervariatif dari beberapa pejabat Fed dapat menambah volatilitas untuk jangka pendek. Perlambatan data makro ekonomi AS meningkatkan prospek The Fed untuk memulai pelonggaran kebijakan moneter di September. Kami memiliki pandangan positif untuk emas dengan target harga di US$ 2,500/oz dalam waktu satu tahun.
Emas masih tetap menarik sebagai aset lindung nilai dari pemilihan umum AS, terutama jika hasil pemilihan menyebabkan kekhawatiran terhadap utang yang lebih besar dan kenaikan inflasi, dipicu oleh risiko kenaikan tarif atau ancaman terhadap independensi Fed.
Mata uang
Indeks Dolar AS (DXY) diperdagangkan menguat selama bulan Juni. Panduan dari The Fed untuk satu kali pemangkasan di 2024 telah menjaga narasi suku bunga AS tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama. Selain itu, debat Presiden AS baru-baru ini menjadi pengingat tentang berbagai risiko dari pemilu AS, sementara Trump tampil lebih baik dibandingkan Biden sehingga menambah kenaikan premi pada pasar AS. Namun demikian, kami tetap mencatat bahwa keistimewaan AS sudah melunak, jika dibandingkan beberapa bulan terakhir ketika mayoritas data masih solid. Tekanan semakin besar terlihat pada konsumen AS, sementara pasar pasar tenaga kerja yang mulai mereda. Kami tetap berharap dua kali pemangkasan suku bunga untuk 2024, dengan pemangkasan pertama terjadi pada kuartal ketiga 2024. Untuk tahun ini, kami tidak mengharapkan penurunan signifikan pada Dolar AS tetapi masih berharap kepada tren penurunan yang terbatas ditengah The Fed yang sudah menyelesaikan pengetatan kebijakan dan seharusnya dapat memulai siklus pemangkasan suku bunga pada waktunya. Skenario meningkatnya ketegangan perdagangan AS-China telah merupakan risiko nyata dan dapat menimbulkan ketidakpastian di pasar – menyiratkan bahwa arah pergerakan Dolar AS akan sangat berfluktuatif, seiring adanya proyeksi penguatan Dolar AS jika ketegangan pada perdagangan AS-China meningkat.
Menantikan pemangkasan suku bunga
Berbeda dengan kinerja di bulan Maret, performa pasar saham global pada bulan April memperlihatkan pelemahan, dengan Indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing melemah sebesar -5.00%, -4.16%, dan -4.41%. Selain kinerja saham sektor teknologi yang kurang baik, penurunan ini juga disebabkan oleh rilisan data inflasi AS bulan Maret yang kembali meningkat dari level 3.20% ke level 3.50% dan PCE price index AS yang kembali menunjukkan kenaikan dari level 2.50% ke level 2.70%. Rilisan data tersebut, tentunya membuat ekspektasi pelaku pasar terhadap pemangkasan suku bunga acuan Federal Reserve (the Fed) akan semakin mundur. Hal ini dipertegas dari sisi kebijakan moneter AS, dimana pada pertemuan FOMC pada tanggal 1 Mei 2024 ini, Federal Reserve kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan AS di 5.25-5.50% dengan agenda menurunkan neraca keuangan pada fase yang paling lambat untuk menopang sektor keuangan.
Senada dengan pasar ekuitas AS, mayoritas indeks saham Eropa juga mengalami pelemahan. Sepanjang bulan April indeks Europe Stoxx 600 membukukan pelemahan sebesar -1.52% dan Euro Stoxx 50 juga membukukan pelemahan sebesar -3.19%. Walaupun terlihat rilisan beberapa data ekonomi zona Eropa menunjukan hasil yang cukup positif seperti inflasi yang bertahan di level 2.40% dan pertumbuhan ekonomi Q1 2024 yang meningkat ke level 0.40%.
Beralih ke kawasan Asia, mayoritas pergerakan saham melemah, terlihat dari kinerja MSCI Asia Pacific ex-Japan -1.48% sepanjang bulan April kemarin. Pelemahan pasar global juga mempengaruhi pelemahan pasar saham Asia pada umumnya. Pada bulan April, China kembali mempertahankan suku bunga pinjaman untuk tenor satu tahun di level 3.45% dan suku bunga pinjaman untuk tenor lima tahun di level 3.95%. Hal ini dilakukan oleh pemerintah China sebagai bentuk kebijakan akomodatif yang menunjang perekonomian China agar dapat mempertahankan angka pertumbuhan ekonomi di atas level 5.00%.
Selain itu, Bank of Japan (BoJ) pada bulan April memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan jangka pendek pada level positif 0-0.1%. Keputusan mempertahankan suku bunga acuan ini didasari pada rilisan data inflasi Jepang untuk bulan Maret yang terlihat sudah menunjukan penurunan dari level 2.8% ke level 2.7%. Selain itu, BoJ tetap masih akan mempertahankan kebijakan yang akomodatif untuk menopang perekonomian dalam negeri.
Dari domestik di bulan April, Bank Indonesia secara mengejutkan menaikan tingkat suku bunga acuan dari level 6.00% ke level 6.25%. Langkah Bank Indonesia dalam menaikkan suku bunga acuan ini lebih bertujuan untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah yang mengalami depresiasi terhadap Dollar AS. Namun demikian, kondisi fundamental ekonomi RI terlihat masih solid, hal ini tercermin dari rilisan angka inflasi Indonesia untuk bulan April yang masih terkendali di level 3%, sedangkan sebelumnya di level 3.05%. Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk Q1 2024 dirilis bertumbuh 5.11% dari tahun ke tahun (y-o-y). Kontribusi PDB berdasarkan lapangan usaha tertinggi datang dari sektor Pertambangan dan Penggalian serta Konstruksi. Sementara berdasarkan pengeluaran, kontribusi tertinggi datang dari Konsumsi LNPRT sebesar 24.29% dan Konsumsi Pemerintah sebesar 19.90%. LNPRT atau Lembaga Non-Profit yang melayani Rumah Tangga, adalah termasuk lembaga sosial, kemasyarakatan, profesi, kebudayaan olahraga rekreasi, partai politik, serta lembaga keagamaan. Hal ini sejalan dengan ekspektasi yang terjadi di tahun politik.
Ekuitas
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan pelemahan sebesar -0.75% sepanjang bulan April. Secara sektoral IHSG ditutup bervariatif dengan sektor Energi memimpin penguatan terbesar sebesar +5.01% dan pelemahan terdalam dipimpin oleh sektor Transportasi & Logistik sebesar -9.48%, lebih disebabkan oleh faktor eksternal terkait konflik geopolitik global dan ketidakpastian pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve.
Secara historis, pasar saham di bulan Mei seringkali dikaitkan dengan istilah Sell in May and Go Away. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dari periode 2014 hingga 2023, terdapat 7 kali IHSG mencatatkan kinerja negatif di bulan Mei, sehingga rata-rata kinerja bulanan berada di -0.15%. Dengan masih tingginya ketidakpastian pasar tidak menutup kemungkinan dapat mendorong tekanan pada IHSG, namun pelemahan ini sebaiknya dinilai sebagai kesempatan untuk mengakumulasi saham di level yang lebih murah, mengingat valuasi PE Ratio saat ini berada cukup menarik di 12.7 kali, jauh di bawah rata-rata valuasi 5 tahun terakhir yang berada di kisaran 15-16 kali.
Obligasi
Pergerakan pasar obligasi di bulan April kembali tertekan, terlihat dari pergerakan imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun yang mengalami kenaikan signifikan menjadi 7.27% yang mensinyalkan terjadinya penurunan harga. Kenaikan imbal hasil ini juga diakibatkan oleh pelemahan mata uang Rupiah. Tak hanya itu, kepemilikan investor asing atas surat utang pemerintah tercatat menurun sebanyak Rp 20.84 triliun selama bulan April menjadi Rp 789.87 triliun.
Hal ini membuat Bank Indonesia pada pertemuan Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada tanggal 24 April lalu menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6.25% sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan adanya perbedaan suku bunga yang lebih lebar dengan Dollar AS, untuk memperkuat nilai tukar Rupiah.
Mata Uang
Mata uang Rupiah bergerak melemah cukup signifikan sebesar -2.49% sepanjang bulan April ke level Rp 16,259 per Dollar AS. Pelemahan mata uang Rupiah disebabkan oleh penguatan Dollar AS serta meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah, terlihat dari indeks DXY yang kembali mengalami kenaikan +1.14% ke level 106.22 sepanjang bulan April. Selain itu, penguatan Dollar AS terjadi seiring dengan pandangan ketua the Fed, Jerome Powell yang belum akan melakukan pemangkasan suku bunga acuan dan terbukti pada pertemuan FOMC tanggal 1 Mei 2024 ini, suku bunga tetap berada pada kisaran level 5.25-5.50%. Dalam jangka menengah, nilai tukar Rupiah masih akan dipengaruhi oleh arah kebijakan Fed, Bank Indonesia, dan tingkat pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC Indonesia
GLOBAL OUTLOOK
Ekonomi AS yang mulai melambat, Eropa yang mulai bertumbuh, dan meningkatnya aktivitas di China dan Jepang dapat mengapresiasi pergerakan aset berisiko, namun ketidakpastian mengenai kebijakan moneter tetap menjadi risiko utama terhadap proyeksi ekonomi. – Eli Lee
Tahun ini, perekonomian global mengalami dua tema yang bertentangan.
Pertama, pertumbuhan mulai merata di seluruh negara-negara maju.
Perekonomian AS mulai melambat setelah kenaikan suku bunga the Fed pada tahun 2022 dan 2023. Namun, aktivitas ekonomi tetap solid, sehingga kami tidak lagi memperkirakan potensi resesi ringan pada tahun 2024. Pada saat yang sama, pertumbuhan di Eropa juga mulai meningkat, setelah tahun lalu Inggris dan Jerman mengalami resesi. Indeks manajer pembelian (Purchasing Manager Index - PMI), merupakan survei terkait keyakinan, mencapai level terkuatnya dalam satu tahun terakhir seiring dengan penurunan inflasi yang mendukung terjadinya konsumsi. Oleh karena itu, kami melihat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Eropa mulai membaik setelah ekspansi yang rendah di tahun lalu.
Demikian pula, aktivitas di China dan Jepang terbukti lebih meningkat dibandingkan awal tahun. Pemerintah China berada di jalur yang tepat untuk mencapai target tahunan “pertumbuhan sekitar 5%”, setelah data Q1 2024 menunjukkan PDB berekspansi 5.2% dibandingkan dengan tahun lalu, sementara survei PMI periode April di Jepang mencapai level tertinggi selama satu tahun.
Kedua, penguatan inflasi menyebabkan investor mengurangi ekspektasi mereka terhadap pemangkasan suku bunga. Sebagai contoh, saat ini kami memperkirakan Fed hanya akan menurunkan suku bunga dua kali tahun ini, dimulai pada Q3 2024, karena pertumbuhan AS yang kuat berdampak pada laju inflasi tetap di atas target 2%. Sedangkan di awal 2024, kami pernah memperkirakan tiga kali penurunan suku bunga acuan sebesar 5.25-5.50%.
Oleh karena itu, meskipun ekonomi AS melambat, namun Eropa mulai bertumbuh, dan aktivitas yang solid di Asia akan mendukung pergerakan aset berisiko secara global, ketidakpastian tentang kebijakan moneter merupakan risiko utama terhadap proyeksi ekonomi. Pemangkasan suku bunga yang semakin mundur, akan menjadi sentimen buruk bagi pasar keuangan. Terpenting, kami tidak memperkirakan adanya potensi bank sentral untuk kembali menaikkan suku bunga, dimana wacana tersebut dapat melemahkan pasar ekuitas dan obligasi di seluruh dunia.
AS – Tiga perubahan penting pada proyeksi ekonomi
Perekonomian AS mulai melambat setelah kenaikan suku bunga the Fed, namun pertumbuhannya masih tetap solid. Oleh karena itu, kami membuat tiga perubahan pada proyeksi ekonomi.
Pertama, kami tidak lagi memperkirakan adanya resesi ringan di tahun ini. Pada Q1 2024, PDB meningkat 1.6% secara tahunan, jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan terbesarnya pada Q3 dan Q4 2023 karena persediaan yang cukup, impor, dan rendahnya dampak dari defisit anggaran Amerika yang besar memperlambat aktivitas. Namun, konsumsi dan investasi masih solid, mencerminkan permintaan yang masih terjaga. Kami memproyeksikan pertumbuhan PDB tahun ke tahun akan melambat dari 2.5% (2023) menjadi 2.1% (2024-F) seiring dengan berkurangnya stimulus fiskal dan penghematan akibat pandemi. Namun, alih-alih resesi, AS tampaknya akan mengalami soft landing berupa pelonggaran pertumbuhan, inflasi yang lebih rendah, dan pemangkasan suku bunga the Fed.
Mengingat prospek ekonomi yang tidak menentu setelah pandemi, kami memperkirakan probabilitas berikut terjadi di AS;
No Landing (20%) – pertumbuhan tetap kuat, inflasi inti tetap mendekati 3%, the Fed mempertahankan suku bunga tinggi, dan ekonomi terhindar dari resesi.
Soft Landing (50%) – pertumbuhan melambat, inflasi inti turun di bawah 3%, the Fed menurunkan suku bunga dan ekonomi terhindar dari resesi.
Mild Recession (20%) – pertumbuhan melambat, inflasi inti turun di bawah 3%, the Fed menurunkan suku bunga namun ekonomi menyusut selama dua kuartal.
Hard Landing (10%) – pertumbuhan melambat, inflasi inti tetap mendekati 3%, the Fed mempertahankan suku bunga tinggi, ekonomi mengalami penurunan yang lebih dalam.
Kedua, kami pikir the Fed hanya memangkas suku bunga dua kali di tahun ini, dimulai pada Q3 2024, karena pertumbuhan yang solid, sehingga menjaga inflasi inti tetap di atas target 2%. Ketiga, kami memperkirakan penurunan suku bunga the Fed yang lebih sedikit dan soft landing daripada resesi, namun imbal hasil US Treasury (UST) 10 tahun sepertinya tidak menuju ke level terendah tahun lalu di 3.25%. Maka, kami menaikkan proyeksi 12 bulan menjadi 3.75%.
Skenario soft landing akan mendukung aset berisiko. Namun, investor tetap harus memiliki porsi investasi pada US Treasury sebagai lindung nilai terhadap prospek ekonomi yang tidak menentu di tahun ini. Risiko utama saat ini terhadap obligasi adalah potensi the Fed kembali menaikkan suku bunga demi menekan inflasi atau volatilitas pergerakan harga minyak akibat tensi Timur Tengah. Namun, tampaknya the Fed akan bersabar melihat pergerakan inflasi, dengan tidak menaikkan suku bunga lagi di tahun ini, sehingga mempengaruhi pergerakan imbal hasil US Treasury 10 tahun untuk bergerak lebih tinggi dari level saat ini.
China – Pertumbuhan mulai meningkat, meskipun fundamental kurang mendukung
Selama dua kuartal beruntun, PDB China berekspansi sejalan dengan target tahunan pemerintah “berkisar 5%”. Pada Q1 2024, ekonomi tumbuh 5.3% lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, sedikit naik dari tingkat pertumbuhan 5.2% secara tahunan di Q4 2023.
Data terbaru yang mendukung pandangan kami bahwa lemahnya pembukaan kembali ekonomi China akibat pandemi tahun lalu, bukanlah awal dari periode stagnasi yang berkepanjangan. Sebaliknya, kami memperkirakan pertumbuhan PDB untuk tahun 2024 secara keseluruhan akan solid di 5.0% setelah ekonomi berekspansi sebesar 5.2% pada tahun 2023.
Laporan PDB Q1 2024 dan rilisan data bulan Maret memperlihatkan ekonomi China yang masih lemah. Meskipun konsumsi belum bangkit setelah tiga tahun pasca lockdown dengan penjualan ritel hanya naik 3.1% dari tahun ke tahun (y-o-y). Pertumbuhan kredit juga lemah, hanya naik 8.7% y-o-y, seiring rendahnya permintaan untuk pinjaman baru dan kepercayaan terhadap sektor properti. Investasi di sektor ini mengalami kontraksi tajam sebesar 9.5% setahun di bulan Maret.
Namun, sentimen bisnis mulai meningkat kembali. Aktivitas produksi dan infrastruktur melonjak 9.9% dan 6.5% dari tahun ke tahun untuk periode Maret, didukung oleh pinjaman pemerintah yang lebih kuat pada industri strategis. PMI periode April menunjukkan kepercayaan manufaktur di area ekspansif dalam dua bulan berturut-turut, setelah setahun penuh mengalami kontraksi. Oleh karena itu, kami melihat pertumbuhan yang stabil dapat memberikan harapan bagi aset berisiko tahun ini setelah pasar keuangan China terpuruk dari tahun 2021 hingga 2023.
Eropa – Menunggu pemangkasan suku bunga
Tahun ini, Eropa mulai mengalami pertumbuhan ekonomi, rilisan PMI berada pada level tertinggi dalam setahun, akibat penurunan inflasi yang mendorong konsumsi. Dengan demikian, kami melihat pertumbuhan PDB mulai membaik di Eropa setelah lemahnya ekspansi dan resesi di tahun lalu.
Pertumbuhan yang lebih kuat dapat mendukung pasar keuangan di kawasan ini. Selain itu, dua bank sentral terbesar – European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) – tetap berada di jalur yang tepat untuk mulai memangkas suku bunga pada musim panas ini sejalan dengan penurunan inflasi. Kami memperkirakan ECB dapat melakukan tiga kali pemangkasan mulai bulan Juni, masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4.00% untuk suku bunga deposito, sementara BoE diproyeksikan memulai pemangkasan suku bunga acuan dari 5.25% di bulan Agustus. Pertumbuhan yang lebih kuat dan suku bunga yang lebih rendah dapat mengapresiasi aset berisiko Eropa tahun ini.
Jepang – BoJ melunak di bulan April setelah kenaikan suku bunga di bulan Maret
Bulan lalu, Bank of Japan (BoJ) sesuai perkiraan mempertahankan suku bunga overnight call pada 0.00-0.10% – setelah kenaikan suku bunga pada pertemuan sebelumnya di bulan Maret untuk pertama kalinya sejak 2007. Namun, BoJ secara mengejutkan tetap mempertahankan sikap dovish yang menguntungkan ekuitas Jepang.
Pertama, BoJ mengeluarkan proyeksi terbaru yang memperkirakan inflasi inti pada kisaran target 2%, namun tetap melanjutkan pelonggaran kuantitatif seperti yang disepakati pada pertemuan di bulan Maret.
Kedua, bank sentral mengatakan bahwa kondisi moneter harus tetap longgar untuk mendukung perekonomian dan ketiga, Gubernur BoJ, Ueda, mengurangi pelemahan Yen terhadap inflasi.
Menurut kami, para pejabat yang dovish mungkin mempertimbangkan hanya satu kali kenaikan suku bunga lebih lanjut sebesar 15-25bps di tahun ini, menaikkan suku bunga overnight call BoJ dari 0.00 - 0.10% menjadi 0.15-0.25% atau 0.25-0.35% untuk tetap menjaga inflasi. Oleh karena itu, kebijakan BoJ dapat menguntungkan ekuitas Jepang di tahun ini.
EKUITAS
Keseluruhan fundamental masih kuat
Kami tidak terkejut saat melihat volatilitas jangka pendek terjadi, terutama disaat imbal hasil UST jangka panjang mengalami kenaikan, namun pasar ekuitas masih memungkinkan untuk terapresiasi secara menyeluruh. Oleh karena itu, kami memandang setiap terjadi pelemahan di pasar ekuitas merupakan kesempatan untuk menambah posisi pada portofolio saham. – Eli Lee
Setelah mengalami penguatan di awal tahun, pasar saham global mengalami pelemahan tajam selama bulan April. Risiko geopolitik dan pandangan “higher for longer” terkait kebijakan suku bunga Fed, membuat investor merealisasikan keuntungan. Sebaliknya, kinerja pasar saham China cukup baik di bulan April, terutama pada saham “H-Shares” yang menguat didorong dari sektor Internet, Real Estate, dan Consumer Discretionary. Kami tetap memandang positif terhadap ekuitas China dan Hong Kong, seiring mencermati tanda-tanda pemulihan yang berkelanjutan ditengah peningkatan langkah-langkah kebijakan oleh regulator.
AS – Waspada terhadap volatilitas pasar
Pasar saham AS mengalami volatilitas sepanjang bulan April, terutama disebabkan oleh inflasi yang lebih tinggi dari ekspektasi, lonjakan imbal hasil UST, serta rilis laporan pendapatan yang mengecewakan dari sejumlah perusahaan teknologi terkemuka. Meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah baru-baru ini juga menambah kegelisahan investor.
Walaupun potensi pelemahan jangka pendek tetap ada, kami juga melihat adanya faktor positif yang menjadi penyeimbang pada pergerakan pasar.
Dari sisi makro, kami memperkirakan ekonomi AS dapat menghindari resesi, cenderung ke arah “soft landing”. Oleh karena itu, tim makro kami telah meningkatkan proyeksi PDB AS tahun ini dari 1.5% menjadi 2.1%. Data historis menunjukkan bahwa kenaikan pasar saham dapat terjadi bersamaan dengan penurunan suku bunga yang disebabkan oleh disinflasi, bukan pertumbuhan yang lemah.
Kami mempertahankan posisi Netral terhadap pasar ekuitas AS, dan menyarankan investor untuk mencari peluang di luar kumpulan saham Magnificent Seven ke sektor Teknologi lainnya disaat kenaikan pasar semakin meluas, juga pada sektor lain seperti Material, Layanan Kesehatan, dan konsumsi.
Eropa – Prospek yang lebih beragam
Setelah kenaikan yang terjadi sejak awal tahun, pasar ekuitas Eropa melemah di bulan April, dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti konflik geopolitik dan tingkat suku bunga global yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama.
Jika kinerja perusahaan melampaui ekspektasi pasar selama musim pelaporan Q1 2024, maka hal ini menjadi sentimen positif bagi pelaku pasar, namun pelemahan secara fundamental dapat membebani pemulihan ekonomi dan pendapatan korporasi.
Jepang – Laporan keuangan 2024 menjadi panduan bagi arah kebijakan ekonomi
Bulan April merupakan bulan yang sangat fluktuatif bagi pasar ekuitas global termasuk Jepang. Depresiasi mata uang Yen terhadap Dollar AS terjadi diluar perkiraan, meskipun baru-baru ini Bank of Japan (BoJ) menaikkan suku bunga acuan untuk pertama kali dalam hampir dua dekade. Oleh karena itu, preferensi kami terhadap perusahaan-perusahaan Jepang yang berorientasi domestik perlu memakan waktu lebih lama mengingat dampak negatif terhadap pendapatan dari lemahnya Yen.
Kami menantikan musim laporan keuangan mendatang, untuk melihat adanya peningkatan dalam laporan tata kelola perusahaan dan komunikasi mengenai kebijakan dividen dan buyback saham di masa depan. Selain itu, terdapat data positif dari Japan Securities Dealers Association (JSDA), yang menunjukkan peningkatan signifikan dalam pembukaan rekening dan nilai perdagangan dari Nippon Individual Savings Account (NISA) baru di Q1 2024.
Asia ex. Japan – Fokus utama pada gambaran besar makroekonomi
Latar belakang makroekonomi menjadi fokus utama investor yang membentuk kinerja pasar saham dalam waktu dekat, mengingat pergerakan imbal hasil US Treasury 10 tahun dan mata uang USD yang fluktuatif. Bank Indonesia diluar dugaan menaikan suku bunga sebesar 25bps menjadi 6.25% pada 24 April dalam upaya mendukung pergerakan nilai tukar Rupiah. Kami percaya pasar saham Taiwan, Hong Kong dan Korea Selatan memiliki sensitivitas negatif yang lebih tinggi terhadap suku bunga riil AS, sementara India memiliki sensitivitas yang lebih rendah.
Untuk keseluruhan Indeks MSCI Asia di luar Jepang, konsensus memperkirakan pertumbuhan sebesar 21% pada tahun 2024 dan 16% pada tahun 2025.
China/HK – Kebijakan yang menghidupkan kembali pasar modal
Regulator China mengumumkan beberapa langkah untuk pengembangan pasar modal jangka panjang. Pedoman “9 poin” berfokus pada “pengawasan dan kualitas”, yang bertujuan untuk menghidupkan kembali pasar modal China. Selain itu, CSRC mengumumkan “5 langkah”, termasuk memperluas skema “Connect” untuk mendukung pasar modal Hong Kong. Indeks Hang Seng dan Indeks MSCI China telah mengungguli pasar Asia kecuali Jepang pada bulan April.
Ke depan, kami percaya laporan keuangan Q1 2024 dapat memberikan lebih banyak kejelasan terkait apakah penurunan pendapatan sudah mencapai titik terendahnya. Estimasi pendapatan untuk MSCI China telah direvisi turun dari bulan Januari dan semakin mendekati ekspektasi kami.
Sektor Global – Rotasi reflasi seiring meningkatnya sentimen risk-off di beberapa sektor
Reflasi menjadi populer karena kondisi keuangan yang lebih longgar, seperti terlihat dari kinerja sektor Energi dan Material yang lebih baik sejak bulan Maret. Namun, meskipun sektor Energi masih memimpin di bulan April, terdapat peningkatan sentimen risk-off yang menyebabkan kinerja yang lebih baik dari sektor-sektor defensif, seperti Utilitas dan konsumsi.
Saat ini kami memperkirakan the Fed akan mulai menurunkan suku bunga pada Q3 2024, sebanyak dua kali pemotongan pada tahun ini, kami menurunkan posisi di sektor Utilitas (sebagai proksi dari obligasi) dari Overweight menjadi Netral, dan mempertahankan posisi Overweight di sektor yang cenderung defensif seperti sektor Kesehatan dan konsumsi.
Sedangkan untuk sektor Teknologi, terdapat volatilitas yang tinggi selama sebulan terakhir. Terlepas dari kekhawatiran makro dan geopolitik, hasil yang mengecewakan dari sejumlah perusahaan terkemuka seperti ASML, TSMC, dan Meta Platforms, menyebabkan investor mengevaluasi kembali posisi yang relatif besar pada beberapa emiten tersebut. Namun demikian, menurut kami penting untuk mencermati dalam konteks yang berbeda. Contohnya, pendapatan TSMC dan komentar manajemen yang terus menunjukkan tingginya permintaan akan produk terkait AI, merupakan informasi penting bagi banyak nama semikonduktor yang menerima manfaat dari tema tersebut.
Banyak perusahaan semikonduktor utama di Eropa dan AS juga menunjukkan bahwa konsumen utama seperti otomotif dan produk elektronik berada dibawah tekanan dalam beberapa waktu terakhir, kemungkinan besar sedang mendekati titik terendah. Kami terus bersikap konstruktif dalam sektor Teknologi dan mempertahankan preferensi kami terhadap sejumlah emiten yang tetap mengusung tema sekuler dan menunjukkan kecenderungan pertumbuhan pada harga wajar.
OBLIGASI
Suku bunga tinggi untuk jangka waktu lebih lama
Walaupun kami masih lebih menyukai obligasi dengan durasi yang lebih panjang seiring dengan potensi pemangkasan suku bunga, namun kami juga menambahkan rekomendasi pada obligasi berdurasi rendah sebagai mitigasi jika suku bunga tetap bertahan di level tinggi untuk waktu yang lebih lama. Maka dari itu, penerapan strategi barbel lebih dianjurkan ditengah ketidakpastian pasar saat ini. – Vasu Menon
Untuk pasar obligasi, kami Overweight terhadap obligasi High Yield (HY) negara berkembang (EM), Investment Grade (IG) negara maju (DM), dan pemerintah AS. Di sisi lain, Underweight terhadap obligasi EM IG dan Netral terhadap DM HY.
Menurut kami, investor harus mempertimbangkan alokasi aset pendapatan tetap ke dalam portfolio investasi, dengan kondisi inflasi yang tinggi dan kemungkinan skenario soft-landing pada ekonomi AS. Maka dari itu, kami merekomendasikan investor untuk diversifikasi strategi durasi obligasi dengan menambakan porsi pada durasi pendek agar lebih dapat bertahan jika suku bunga tetap berada di level tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama.
Walaupun kami mempertahankan preferensi pada obligasi berdurasi panjang seiring dengan potensi pemangkasan suku bunga, namun penerapan strategi barbel lebih dianjurkan sebagai mitigasi risiko terhadap ketidakpastian pasar, sekaligus memanfaatkan kurva imbal hasil yang datar.
Obligasi durasi pendek cenderung lebih aman dan rendah sensitivitas terhadap volatilitas imbal hasil, juga lebih bertahan apabila terjadinya pergerakan imbal hasil.
Negara maju
Spread obligasi terlihat cukup stabil di bulan April, volatilitas imbal hasil cenderung rendah menanggapi perkembangan tensi geopolitik. Seiring dengan kenaikan imbal hasil US Treasury, imbal hasil obligasi DM IG naik 38bps ke angka 5.77%. Tingkat imbal hasil yang menarik dapat menopang permintaan sehingga membatasi pelebaran spread.
Negara berkembang
Spread obligasi negara berkembang sudah semakin rendah ditengah membaiknya fundamental, optimisme skenario soft-landing, dan kebijakan kredit yang lebih longgar. Kami mempertahankan preferensi Overweight terhadap obligasi EM HY seiring dengan valuasi yang atraktif, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata obligasi DM HY dalam 10 tahun terakhir. Kami Netral terhadap obligasi EM IG dengan perkiraan kinerja yang akan dibebani oleh spread imbal hasil yang lebih rendah dibandingkan DM IG.
Asia
Kami mempertahankan preferensi Underweight terhadap obligasi IG di Asia, akibat terbatasnya potensi kenaikan spread dibandingkan obligasi IG di AS. Meskipun demikian, durasi rata-rata yang relatif lebih pendek pada IG Asia akan membantu kelas aset ini ditengah volatilitas pergerakan imbal hasil. Fundamental kredit untuk sebagian besar emiten tetap stabil dan kondisi pasar secara teknis juga masih mendukung.
Sebaliknya, kami mempertahankan preferensi Overweight terhadap obligasi HY di Asia dan lebih memilih beberapa nama berkualitas didalam kategori tersebut. Sejak awal tahun, obligasi HY China berhasil mencatatkan kinerja yang positif, didorong oleh sentimen yang mulai membaik dan meningkatnya optimisme seputar kebijakan pemerintah yang lebih akomodatif.
FX & COMMODITIES
Positif pada emas
Kami tetap positif pada emas, agar diversifikasi portfolio lebih efektif ditengah sentimen positif seperti pembelian oleh bank sentral, kekhawatiran akan keberlanjutan kebijakan fiskal AS, dan antisipasi pemangkasan suku bunga di tahun ini. – Vasu Menon
Minyak
Peningkatan kapasitas produksi cadangan OPEC+ akan membantu membatasi risiko kenaikan berturut-turut pada harga minyak Brent agar tidak menyentuh US$ 100/barrel. OPEC belakangan ini menegaskan kembali kebijakan pasokan, dengan pemangkasan produksi diperpanjang hingga akhir Juni. Akan tetapi, masih menyisakan kapasitas cadangan sekitar 6 juta barel per hari. OPEC+ dapat secara bertahap meningkatkan produksi pada Q3 2024 mengingat tingginya kapasitas cadangan saat ini, sehingga dapat meredakan lonjakan harga minyak. Potensi kenaikan produksi oleh OPEC+ akan kembali meningkat jika terjadinya gangguan pasokan di tempat lain.
Dasar pemikiran kami adalah ketegangan di Timur Tengah masih tetap tinggi, namun konflik tersebut tidak semakin panas. Reaksi diam Iran terhadap serangan Israel yang terukur, menunjukkan bahwa risiko eskalasi konflik masih terkendali, setidaknya untuk saat ini. Kami tetap mempertahankan perkiraan 3 bulan harga minyak Brent tidak berubah di level US$ 89/barrel. Akan tetapi, jika terjadi kenaikan risiko geopolitik, berarti harga minyak juga berpotensi naik, kenaikan mulai mereda seiring meningkatnya pasokan minyak dari negara non-OPEC. Kami telah merubah perkiraan 12 bulan harga minyak Brent menjadi US$ 80/barrel dari level US$ 75/ barrel.
Emas
Diversifikasi instrument investasi dalam sebuah portfolio, merupakan sebuah representasi pertahanan akan kekhawatiran investor terkait tensi geopolitik. Sebagai proxy keamanan, emas merupakan aset yang diunggulkan pada masa ketidakpastian geopolitik yang berkepanjangan. Pandangan kami terhadap emas masih tetap konstruktif, dan yang terpenting, emas memiliki lindung nilai terhadap risiko geopolitik.
Di samping menjadi lindung nilai terhadap guncangan geopolitik, harga emas juga diproyeksi mengalami apresiasi ketika dimulainya siklus pemangkasan suku bunga Federal Reserve. Kami telah merubah target harga emas untuk 12 bulan ke level US$ 2,500/ounce. Proyeksi kami, the Fed mulai memangkas tarif pada Q3 2024 dengan dua kali pemangkasan di tahun ini.
Terlepas dari latar belakang makro, ada beberapa perubahan yang mendasari kenaikan permintaan ema. Pertama, Bank Sentral negara berkembang meningkatkan laju pembelian emas setelah AS menjadikan Dollar AS sebagai senjata dalam sanksinya terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina pada tahun 2022. Kedua, pembelian ritel emas di China mengalami peningkatan akibat tingkat pengembalian dari investasi properti dan pasar saham yang mengecewakan, juga suku bunga deposito yang rendah. Ketiga, fokus terbaru investor pada defisit fiskal dan peningkatan rasio utang terhadap pertumbuhan ekonomi di AS menjelang pemilihan presiden pada bulan November, berpotensi menjadi agenda yang menimbulkan kehawatiran, namun menjadi sentimen positif bagi emas.
Mata uang
Indeks Dollar AS (DXY) ditutup 1.7% lebih tinggi untuk periode April. Laporan gaji dan inflasi AS yang lebih kuat melebihi ekpektasi mengarah intonasi yang lebih hawkish terhadap proyeksi tarif suku bunga the Fed. Sejak tanggal 30 April, investor kembali memundurkan potensi pemangkasan suku bunga Federal Reserve AS yang pertama ke bulan November 2024 (dari sebelumnya di bulan Juli), dengan skala pemangkasan kumulatif sebesar 35 basis poin (bps) dibandingkan perkiraan sebelumnya sebesar 67 bps.
Perbedaan inflasi AS dibandingkan negara-negara lain di dunia, termasuk Eropa, Swiss, Kanada, dan China berakibat pada penerapan kebijakan yang bertolak belakang antara the Fed dengan beberapa bank sentral lainnya termasuk European Central Bank (ECB), Swiss National Bank (SNB), Bank of Canada (BoC), dan People’s Bank of China (PBoC). Hal ini menyebabkan Dollar AS semakin menguat. Dengan besaran suku bunga Dollar AS dan narasi eksepsionalisme AS, Dollar AS mendapat sentimen positif hingga lebih banyak rilisan data ekonomi yang mengarah pada jalur perlambatan atau ketika nada hawkish Fed mulai memudar. Untuk tahun ini, kami masih memperkirakan Dollar AS sedikit melemah menjelang akhir tahun setelah Fed selesai melakukan pengetatan dan memulai siklus pemangkasan suku bunga.
Central Banks on Standby
Performa pasar saham global pada bulan Maret kembali melanjutkan penguatan, dengan Indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing menguat +2.08%, +3.10%, dan +1.79%. Rilisan data ekonomi AS yang kuat menunjukkan ketahanan ekonomi ekonomi ditengah tingginya suku bunga saat ini. Dari sisi kebijakan moneter AS, The Fed mempertahankan tingkat suku bunga acuan AS di 5.25 – 5.50%. Terlepas dari laju ekspansi ekonomi yang solid, dengan revisi yang sebagian besar positif terkait kondisi makroekonomi AS, The Fed tetap mempertahankan ekspektasi penurunan suku bunga sebesar 75 bps pada tahun 2024.
Namun, bank sentral telah sedikit menyesuaikan proyeksi penurunan suku bunga untuk tahun 2025, mengurangi ekspektasi dari penurunan 100 bps menjadi 75 bps, mengingat momentum ekonomi yang sedang berlangsung. Faktor utama yang mempengaruhi keputusan The Fed adalah kekhawatiran yang terus berlanjut seputar inflasi. Dalam proyeksi terbarunya, the Fed telah merevisi naik angka Core PCE (Personal Consumption Expenditure) dari 2.4% menjadi 2.6%, yang dapat mengurangi alasan untuk mengimplementasikan penurunan suku bunga.
Dampak positif dari pasar ekuitas AS juga menyebar ke zona Eropa, dimana mayoritas indeks saham Eropa mengalami penguatan. Sepanjang bulan Maret indeks Eurostoxx 600 kembali melanjutkan penguatan +3.65%, dan mencetak rekor tertinggi baru. Optimisme pelaku pasar Zona Eropa mulai menunjukkan sinyal positif, ditunjukkan pada rilisan data Consumer Confidence pada bulan Maret pada -14.9, menguat dibandingkan periode sebelumnya pada -15.5.
Beralih ke kawasan Asia, mayoritas pergerakan saham menguat, terlihat dari kinerja MSCI Asia Pacific ex-Japan +1.94% sepanjang bulan Maret. Penguatan pasar global berpengaruh positif pada bursa Asia, seiring peningkatan saham-saham teknologi. Pada bulan Maret, China menyelenggarakan National People Congress dengan kesimpulan bahwa pendekatan pemerintah China secara keseluruhan terhadap ekonomi tidak berubah, yaitu untuk menstabilkan pertumbuhan dengan target pertumbuhan PDB adalah 5% tahun ini. Dengan diselenggarakannya kongress ini diharapkan mampu memperkuat ekonomi China ke depan.
Bank of Japan (BoJ) pada bulan Maret menghentikan suku bunga negatif setelah delapan tahun dengan memutuskan kebijakan untuk menaikkan suku bunga acuan jangka pendeknya menjadi sekitar 0%-0.1% dari level sebelumnya pada -0.1%. Kenaikan suku bunga ini dilakukan seiring dengan inflasi di Jepang yang melampaui target bank sentral pada 2%. Namun demikian, BoJ menyatakan bahwa masih akan mempertahankan kebijakan yang akomodatif ditengah kenaikan suku bunga.
Dari domestik, Bank Indonesia sesuai dengan ekspektasi pada bulan Maret kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 6.00%, keputusan tersebut konsisten dengan upaya BI dalam menjaga tingkat inflasi tetap rendah dan terkendali dalam kisaran 2.5±1%. Kondisi fundamental ekonomi RI terlihat solid, tercermin dari angka surplus neraca perdagangan sebesar USD 0.87 milyar, sementara cadangan devisa bertahan di level USD 140.40 milyar, setara dengan pembiayaan impor dan pembayaran utang selama enam bulan, jauh di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan. Keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi juga mengalami peningkatan dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Hal ini tecermin dari rilisan data Indeks Keyakinan Konsumen Maret 2024 sebesar 123.8, lebih tinggi dibandingkan 123,1 pada bulan sebelumnya. Dari sisi produsen, pertumbuhan sektor manufaktur bulan Maret berada di level ekspansi pada 54.2, dari periode sebelumnya pada 52.7.
Equity
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan pelemahan sebesar -0.37% sepanjang bulan Maret. Secara sektoral IHSG ditutup bervariatif dengan sektor Material Dasar memimpin penguatan sebesar +2.80% dan pelemahan terdalam dipimpin oleh sektor Transportasi & Logistik sebesar -6.79%. Pelemahan IHSG di bulan Maret disebabkan oleh rilisan data tingkat inflasi yang pada bulan Maret yang meningkat melebihi konsensus pasar. Di mana inflasi YoY berada di level 3.05% lebih tinggi dibandingkan konsensus sebesar 2.91% dan periode sebelumnya sebesar pada level 2.75%.
Obligasi
Pergerakan pasar obligasi di bulan Maret sedikit tertekan, terlihat dari pergerakan imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun yang mengalami kenaikan 0.09% menjadi 6.60% yang mensinyalkan terjadinya penurunan harga. Kenaikan imbal hasil ini salah satunya ditekan oleh faktor global seperti pelemahan mata uang Rupiah. Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan 7-day Reverse Repo Rate bulan Maret pada level 6.00% sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan kestabilan nilai tukar Rupiah serta laju inflasi yang tetap terjaga dalam sasaran 2.5±1% pada 2024.
Mata Uang
Mata uang Rupiah bergerak melemah hampir 1% sepanjang bulan Maret ke level Rp 15,860 per Dolar AS. Pelemahan mata uang Rupiah salah satunya disebabkan oleh penguatan Dolar AS, terlihat dari index DXY yang mengalami kenaikan +0.37% ke level 104.54 sepanjang bulan Maret. Penguatan Dolar AS terjadi seiring dengan pandangan mixed para pejabat bank sentral Fed terhadap kebijakan suku bunga. Ke depannya, volatilitas mata uang Rupiah diperkirakan masih akan terjadi di tengah meningkatnya tensi geopolitik di Timur Tengah, serta arah kebijakan suku bunga AS yang lebih hawkish.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC Indonesia
GLOBAL OUTLOOK
Kami memperkirakan bahwa Federal Reserve (bank sentral AS – the Fed), European Central Bank (bank sentral Eropa – ECB), dan Bank of Canada (bank sentral Kanada – BOC) untuk mulai memangkas suku bunga di bulan Juni, sementara Bank of England (bank sentral Inggris – BOE) di bulan Agustus. – Eli Lee
Fokus investor beberapa bulan ke depan akan tertuju pada perkembangan kebijakan moneter dari the Fed dan bank sentral lainnya, apakah memungkinkan untuk mengikuti jejak Swiss National Bank (bank sentral Swiss – SNB) yang sudah mulai menurunkan suku bunga, setelah berhasil mengendalikan inflasi melalui pengetatan kebijakan yang agresif di sepanjang 2022-2023.
Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan lebih lambat, imbas dari pengetatan kebijakan moneter yang terjadi beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan yang lebih terbatas – dengan Jerman dan Inggris yang sudah mengalami resesi di akhir tahun lalu – seharusnya membantu untuk mengurangi tekanan dari sisi inflasi, sehingga memberikan potensi bagi para bank sentral mulai memangkas suku bunga di pertengahan tahun ini.
Kami mengantisipasi the Fed, ECB dan BOC untuk mulai memangkas suku bunga di bulan Juni, sementara BOE di bulan Agustus. Saat ini, suku bunga acuan AS, Eropa, Kanada, dan Inggris berada di angka 5.25%-5.50%, 4.00%, 5.00%, dan 5.25%.
Penurunan suku bunga secara bertahap tentu menguntungkan pasar keuangan, dengan mengurangi kekhawatiran bahwa perekonomian Eropa akan terus berada dalam resesi dan meningkatkan harapan bahwa AS dapat menghindari resesi pada tahun 2024. People’s Bank of China (Bank sentral China – PBOC) juga diperkirakan akan melonggarkan kebijakan dalam beberapa bulan ke depan. Bahkan Bank of Japan (Bank sentral Jepang – BOJ) yang sudah menaikkan suku bunga acuan di bulan lalu untuk yang pertama kalinya sejak 2007, dari level -0.10% menjadi 0.00%-0.10%, namun tidak mengindikasikan akan adanya kenaikan lanjutan di tahun ini.
Namun, para pejabat bank sentral masih ingin melihat lebih banyak kemajuan dalam menurunkan inflasi sebelum mengambil tindakan. Maka dari itu, data inflasi yang dirilis secara bulanan masih akan menjadi perhatian utama, untuk melihat apakah kebijakan moneter dapat dilonggarkan agar mendukung pergerakan pasar keuangan.
AS – Fed menurunkan ekspektasi pemangkasan
Pada pertemuan FOMC bulan lalu, the Fed menurunkan ekspektasi terhadap skala pemangkasan suku bunga tahun ini, selain itu bank sentral juga mengurangi potensi terjadinya resesi di AS pada tahun 2024.
Bank sentral pun merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dari sebelumnya 1.4% ke 2.1% untuk tahun ini dan inflasi inti dari 2.4% ke 2.6%. Namun demikian, mayoritas pejabat The Fed masih melihat probabilitas pemangkasan tahun ini. Jika inflasi inti berhasil diturunkan dari level 2.8% ke 2.6%, maka bank sentral sudah dapat memulai pelonggaran kebijakan.
China – Pemulihan yang masih lemah
Rilisan data terakhir memperlihatkan bahwa pemulihan ekonomi China masih dibebani oleh beberapa faktor dalam negeri. Kami merasa bahwa pelonggaran lebih lanjut akan dibutuhkan apabila pemerintah ingin mencapai target pertumbuhan 5%.
Positifnya, tingkat aktivitas dalam negeri terlihat mulai membaik. Data PMI periode Februari menunjukkan perbaikan di sektor jasa. Untuk pertama kalinya, inflasi berada di teritori positif dalam lima bulan terakhir, tercatat di angka 0.7% secara tahunan. Di bulan Februari juga, ekspor dan kinerja industri berhasil mencatatkan pertumbuhan yang melebihi ekspektasi, naik 7% secara tahunan, sementara investasi aset tetap bertumbuh 4.2% seiring dengan meningkatnya belanja pemerintah.
Eropa – Pertumbuhan yang masih terbatas
Setelah Inggris dan Jerman masuk dalam jurang resesi pada semester kedua tahun lalu – akibat dari tingginya inflasi, kenaikan suku bunga, dan krisis energi terkait perang Rusia-Ukraina, hal tersebut menahan laju pertumbuhan ekonomi – namun aktivitas ekonomi tahun ini terlihat sudah jauh membaik di berbagai wilayah Eropa sejalan dengan rilisan data PMI sejak awal tahun.
Namun para pembuat kebijakan tetap khawatir terhadap pasar tenaga kerja setelah pandemi yang masih kuat, sehingga membuat inflasi tetap bertahan pada level tinggi. Kami memperkirakan bahwa ECB dan BOE akan menunggu setidaknya hingga bulan Juni-Agustus sebelum mengambil keputusan terkait kebijakan suku bunga acuan yang saat ini berada di level 4.00% dan 5.25%. Kami melihat potensi pertumbuhan ekonomi masih akan cukup lemah pada rentang 0.4%-0.5% untuk Zona Eropa dan Inggris tahun ini.
Jepang – BOJ tetap dovish setelah kenaikan suku bunga pertama sejak 2007
Pada bulan Maret, BOJ mengakhiri upayanya selama satu dekade untuk mengalahkan deflasi setelah menilai target inflasi 2% kemungkinan dapat dicapai secara berkelanjutan menyusul guncangan pandemi dan perang di Ukraina. BOJ menaikkan suku bunga deposito dari -0,10% dan menetapkan suku bunga acuan pada 0,00-0,10%. Kenaikan suku bunga BOJ yang pertama sejak tahun 2007 terjadi lebih awal dari estimasi kami pada bulan April. Namun, yang menjadi perhatian bagi pasar ekuitas adalah BOJ mempertahankan kebijakan akomodatif dengan pandangan yang cenderung dovish.
EQUITIES
Tanda-tanda penguatan semakin terlihat
Menurut pandangan kami, gambaran yang lebih besar masih menjadi kunci utama. Dalam jangka panjang, yang menjadi sentimen positif bagi pergerakan pasar ekuitas adalah pelonggaran kebijakan moneter disertai dengan membaiknya kondisi keuangan, serta berlanjutnya trend disinflasi, dan risiko perlambatan ekonomi yang lebih terbatas. – Eli Lee
Bursa saham Jepang melanjutkan penguatan, setelah BOJ mengakhiri kebijakan moneter ultra longgar. Kami melihat ruang untuk apresiasi lebih lanjut, seiring proyeksi pendapatan yang atraktif, reformasi perusahaan yang masih berlangsung, dan perubahan positif struktural yang berdampak pada perekonomian Jepang. Oleh karena itu, kami mempertahankan posisi Overweight pada ekuitas Jepang.
Sementara bagi AS dan Eropa, kenaikan pasar saham sejak awal tahun dan satu tahun terakhir, didorong oleh berbagai ekspansi. Hal ini menunjukkan bahwa momentum aktivitas sudah semakin mendekati titik terendahnya dan diperkirakan akan membaik, didukung oleh pandangan dovish bank sentral. Pada akhirnya, valuasi saham akan merespon tren momentum pendapatan, sebab terdapat korelasi kuat antara pendapatan (P/E) dengan revisi pendapatan. Jika pertumbuhan pendapatan terus bertahan, maka pergerakan pasar ekuitas dapat melanjutkan kenaikan, sehingga kami mempertahankan posisi Netral terhadap saham AS dan Eropa.
Sementara itu, tidak ada perubahan besar dalam satu tahun terakhir pada pasar ekuitas China, dengan valuasi pada kisaran 9x forward P/E, menjadikan ekuitas China sepenuhnya berada pada titik terendah. Dalam jangka pendek, mungkin saja terjadi aksi bargain hunting oleh investor, karena valuasi yang murah, namun diperlukan lebih banyak upaya untuk pemulihan yang berkelanjutan. Tidak hanya itu, kami pun mewaspadai ketegangan AS-China, yang berpotensi meningkat terutama selama tahun pemilu AS.
AS – Perlunya kenaikan yang berkesinambungan
Indeks S&P 500 melanjutkan penguatan sepanjang bulan Maret, hingga mencapai level tertinggi baru. Kondisi ini didorong oleh sejumlah emiten yang tergabung dalam kelompok Magnificent Seven, dimana emiten tersebut menerima manfaat positif dari tingginya permintaan terhadap pelatihan kecerdasan buatan (AI) dan solusi inferensi, efek jaringan yang kuat, dan fundamental yang sangat baik.
Namun, penguatan tersebut tidak hanya terjadi pada emiten Magnificent Seven saja, tetapi meluas ke saham lain di sektor Teknologi, hingga ke sektor-sektor seperti Layanan Kesehatan, Utilitas, dan Kebutuhan Pokok Konsumen. Kami pun tidak mengesampingkan kemungkinan dari saham-saham berkapitalisasi menengah hingga kecil juga menikmati manfaat jika terjadi pelonggaran kondisi moneter.
Sejak awal, kami mencermati beberapa sinyal yang berpotensi mendorong penguatan tersebut. Dalam sebulan terakhir, sektor lain diluar Teknologi juga menunjukkan kinerja yang baik, sehingga turut serta mendorong penguatan pasar yang lebih luas.
Saat ini, konsensus memperkirakan pertumbuhan laba per saham (EPS) tahun 2024 sebesar 9.9% secara tahunan, dengan sebagian besar pertumbuhan ini terjadi pada kuartal keempat tahun ini.
Secara keseluruhan, saat ini kami masih mempertahankan posisi Netral di pasar saham AS.
Eropa – Didukung oleh sentimen positif pasar global
Kenaikan pada ekuitas global turut mendorong minat terhadap bursa saham Eropa, sebagai upaya diversifikasi investor, mengingat i) laju pergerakan saham-saham di Eropa masih tertinggal dibandingkan kenaikan ekuitas global, ii) valuasi pun relatif murah, dan iii) beberapa nama ekuitas Eropa dijadikan alternatif untuk mendapatkan potensi keuntungan saat terjadi penguatan di pasar China.
Jepang – Mengatur strategi ditengah kenaikan suku bunga BOJ
Mengingat pernyataan BOJ yang mempertahankan kebijakan akomodatif, menurut kami pandangan dovish ini diharapkan dapat memberi jaminan bagi pasar ekuitas Jepang. Yen Jepang (JPY) terdepresiasi terhadap Dollar AS (USD) setelah keputusan BOJ baru-baru ini, namun diperkirakan kembali pulih saat the Fed memangkas suku bunga.
Perbankan dan perusahaan asuransi jiwa di Jepang adalah penerima manfaat langsung dari kenaikan suku bunga, namun menurut kami, sentimen positif tersebut sudah diperhitungkan sedari awal. Perusahaan Jepang yang berorientasi domestik diproyeksi akan mendapat manfaat dari belanja konsumen yang lebih kuat dengan penurunan nilai tukar mata uang.
Asia ex-Japan – Waspada terhadap sinyal di musim pemilu dan hasilnya
Indeks MSCI Asia ex-Japan melanjutkan pemulihan selama dua bulan berturut-turut di bulan Maret. Penguatan tersebut dipimpin oleh indeks MSCI Taiwan dan MSCI Korea akibat optimisme pemulihan industri semikonduktor secara global. Sedangkan, pasar ekuitas Hong Kong, Filipina, dan India memberikan kinerja yang kurang memuaskan.
Melihat ke depan, kami percaya investor lebih mencermati beberapa hal, seperti laporan pendapatan kuartal satu tahun 2024, pemilihan umum (pemilu India diselenggarakan pada 19 April, meliputi tujuh tahapan), potensi dimulainya pemotongan suku bunga oleh beberapa bank sentral besar termasuk the Fed, dan implementasi kebijakan di China.
Dalam hal pendapatan, Indeks MSCI Asia ex-Japan diproyeksi memberikan pertumbuhan EPS sebesar 20% pada tahun 2024 (berdasarkan estimasi median konsensus bottom-up), namun menurut kami berpotensi untuk direvisi lebih rendah. Korea Selatan, Taiwan, dan India, diproyeksi mengalami pertumbuhan pendapatan yang lebih kuat, sementara pertumbuhan yang lebih lambat diperkirakan datang dari Indonesia, Hong Kong, dan Singapura.
China/HK – Sentimen positif, namun tetap waspada
Banyak upaya yang telah pemerintah China lakukan untuk mendukung perekonomian dan pasar, dari sisi ekuitas, juga mulai terlihat kecenderungan yang lebih berpihak kepada investor. Pada periode Februari-Maret 2024, konstituen Indeks MSCI China yang terdaftar pada bursa saham di mainland China (A-shares) dan Hong Kong Stock Exchange (H-shares) melaporkan pembelian kembali saham secara berulang-ulang, senilai USD 4.9 miliar dan USD 5.6 miliar atau setara dengan 3.2x dan 1.9x dari rata-rata periode yang sama, sebesar USD 1.5 miliar dan USD 2.9 miliar di sepanjang tahun 2021-2023. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi yang menuntut pembayaran lebih tinggi kepada para pemegang saham berjalan dengan baik.
Namun, dengan adanya peluncuran beberapa langkah dan kebijakan guna mendorong perekonomian dan pasar, maka diperlukan waktu untuk menerapkan dan melaksanakan hal tersebut. Kami juga mencermati potensi meningkatnya ketegangan antara AS-China selama tahun pemilu AS, dan hal ini sudah terlihat dalam beberapa perkembangan terbaru, seperti: i) Perjanjian Ilmu Pengetahuan & Teknologi AS-China diperpanjang untuk enam bulan ke depan, namun untuk perpanjangan berikutnya, diperlukan pengawasan Kongres yang baru, dan ii) empat RUU bipartisan diperkenalkan pada bulan Maret yang bertujuan untuk mengurangi investasi AS di China.
Global Sectors - Energi dan Material Unggul di bulan Maret
Selama bulan Maret, terlihat kenaikan secara menyeluruh di berbagai sektor, dengan penguatan terbesar terjadi pada sektor Energi dan Material. Kenaikan kinerja sektor Energi terdorong saat pergerakan harga minyak Brent melampaui batas USD85/bbl, setelah International Energy Agency (IEA) memproyeksikan adanya defisit cadangan minyak, dimana sebelumnya diperkirakan memiliki surplus yang cukup besar hingga bulan Februari. Berdasarkan kebijakan OPEC yang hingga kini masih memangkas produksi minyak, seharusnya dapat mendukung narasi kenaikan harga minyak dalam jangka pendek, akan tetapi harus disertai dengan kondisi makro yang lebih relevan.
Sektor Material juga didukung oleh lonjakan harga tembaga, yang disebabkan oleh kesepakatan antara produsen tembaga terbesar di China untuk mengurangi produksi karena terganggunya pasokan konsentrat tembaga.
Di sisi lain, sektor Properti dan Konsumen non primer mengalami kinerja yang kurang baik pada perdagangan bulan lalu. Pergerakan kinerja dari konstituen Indeks MSCI All-Country World Consumer Discretionary secara umum bergerak terbatas, khususnya pada emiten besar penopang indeks, seperti Tesla dan Nike yang dibayangi oleh sentimen dari industri pendukung. Momentum penjualan kendaraan listrik baterai (BEV) melambat secara global, tetapi penjualan kendaraan hibrida (HEV) dan hibrida plug-in (PHEV) meningkat. Sehingga menjadikan sentimen negatif bagi Tesla, yang hanya menjual BEV, dan hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat valuasi yang tinggi sebesar 56x forward P/E (per akhir Maret).
Sehubungan dengan sektor Teknologi, musim pelaporan kuartal keempat tahun 2023 lalu, menunjukkan prospek yang masih kuat. Momentum reli terhadap kecerdasan buatan (AI) tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, optimisasi cloud semakin berkurang, sementara perangkat lunak nampaknya mengalami pemulihan bertahap secara global. Kami tetap konstruktif terhadap sektor Teknologi, dengan kinerja yang sangat baik sejak Desember 2023. Namun kami memandang bahwa reli yang cepat, dapat dimanfaatkan oleh investor untuk mengurangi eksposur mereka terhadap Teknologi.
BONDS
Menantikan pemangkasan suku bunga
Obligasi Investment Grade (IG) negara maju (DM) dan US Treasury (UST) merupakan aset yang akan paling diuntungkan seiring dengan penurunan imbal hasil UST di tahun 2024 ini, dan kami pun masih mempertahankan pandangan Overweight pada dua kelas aset ini. – Vasu Menon.
Data ekonomi masih terlihat cukup bervariatif; walaupun the Fed telah mengatakan bahwa pelonggaran akan dimulai dalam waktu dekat. Pada pertemuan FOMC di bulan Maret lalu, bank sentral kembali menegaskan rencana pemangkasan sebanyak tiga kali tahun ini.
Semakin rendahnya risiko resesi, suku bunga yang lebih rendah dan pelonggaran kebijakan moneter yang akan dimulai oleh para bank sentral, akan menyokong aset pendapatan tetap negara berkembang (EM). Kami merevisi naik pandangan terhadap obligasi EM High Yield (HY) dari Netral menjadi Overweight, namun merevisi turun EM IG dari sebelumnya Netral menjadi Underweight akibat valuasi yang mulai kurang menarik.
Valuasi yang lebih murah dan juga potensi terjadinya skenario soft-landing akan dapat memberikan dukungan bagi kategori obligasi High Yield.
Seiring dengan berlanjutnya penurunan inflasi di AS dan juga prospek penurunan suku bunga oleh the Fed, kami masih tetap positif dari sisi durasi yang dipercaya akan lebih diuntungkan ditengah pelonggaran yang akan terjadi.
Negara Maju
Kondisi makro saat ini cenderung baik bagi kategori DM IG – dimana volatilitas yang rendah dan juga menurunnya probabilitas resesi terus menopang pengetatan spread sejak awal tahun. Kami masih Overweight terhadap obligasi DM IG seiring dengan tingginya imbal hasil saat ini dan juga potensi pelonggaran kebijakan moneter oleh para bank sentral. Obligasi DM IG akan sangat diuntungkan oleh penurunan imbal hasil US Treasury yang cenderung memiliki durasi lebih panjang.
Negara Berkembang
Kami juga semakin menyukai aset pendapatan tetap negara berkembang, seiring dengan turunnya risiko resesi dan inflasi, dan juga meningkatnya potensi pelonggaran kebijakan tahun ini. Walaupun obligasi EM HY berhasil mencatatkan kinerja yang sangat baik sejak awal tahun, kamis rasa tidak kalah dengan obligasi DM HY dari sisi valuasi. Maka dari itu, kami merevisi naik pandangan obligasi EM HY dari Netral menjadi Overweight. Sementara itu, kami merevisi turun obligasi EM IG dari Netral menjadi Underweight atas kepercayaan kinerja yang akan terbatas akibat spread yang tipis jika dibandingkan dengan obligasi DM IG.
Asia
Di Asia, kami menyukai Indonesia dan India. Dalam kategori obligasi HY India, kami juga masih menyukai nama-nama di sektor energi terbarukan yang masih terus mendapatkan dukungan reformasi kebijakan, juga memiliki struktur keuangan dan likuiditas yang baik. Tak hanya itu, didalam kategori IG India, beberapa perusahaan BUMN yang memiliki tingkat hutang dan neraca keuangan positif juga menjadi pilihan kami.
FX & COMMODITIES
Tetap optimis terhadap pergerakan harga Emas
Kami tetap optimis terhadap pergerakan harga emas untuk beberapa waktu ke depan. Perubahan struktural terhadap permintaan emas, menjadi faktor pendorong kenaikan harga terlepas dari latar belakang makro yang terjadi saat ini. Sehingga, kami kembali menaikkan target harga 12 bulan menjadi US$ 2,300/oz – Vasu Menon
Minyak
Harga minyak dapat bertahan lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama, sejalan dengan proyeksi kenaikan permintaan dan peningkatan risiko geopolitik di tengah pemberlakuan kebijakan OPEC+. Rendahnya indeks pembelian manufaktur (PMI) global menunjukan menguatnya aktivitas manufaktur dan berdampak pada permintaan minyak. Selain itu, serangan drone Ukrainia terhadap kilang minyak Russia kembali memunculkan kekhawatiran tentang potensi gangguan pasokan terhadap ekspor minyak Rusia.
Namun, cadangan OPEC yang berkecukupan dapat menahan kenaikan harga minyak Brent menjadi US$90/barrel. OPEC mengumumkan perpanjangan pengurangan produksi selama tiga bulan hingga kuartal kedua 2024. Dengan kondisi saat ini, perubahan kebijakan untuk mengurangi jumlah produksi yang disarankan Komite Pemantau Gabungan OPEC menjadi tidak berarti. Kelebihan produksi oleh para anggota dapat menjadi sinyal penurunan terhadap harga minyak. Terkadang dalam kondisi tertentu, berkurangnya pangsa pasar juga menyebabkan produsen utama OPEC memiliki cadangan produksi yang melebihi kuota. Pandangan dasar kami bukan berdasarkan lesunya pasar minyak saat ini, melainkan pertumbuhan pasokan dari negara-negara yang tidak tergabung dalam OPEC, sehingga berpotensi menurunkan harga minyak dalam satu tahun ke depan.
Emas
Karena emas merupakan aset jangka panjang yang tidak memberikan imbal hasil, perubahan ekspektasi suku bunga Fed – yang mempengaruhi Dollar AS (USD) dan suku bunga AS – secara historis menjadi pendorong harga logam mulia. Namun, lonjakan harga emas belakangan ini tidak sepenuhnya disebabkan oleh perubahan ekspektasi suku bunga Fed. Perdagangan emas di pasar ETF semakin berkurang, ditengah potensi pengurangan suku bunga Fed dalam tahun ini. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang makro mungkin bukan penyebab utama kenaikan harga emas.
Terdapat perubahan kondisi struktural yang mendukung kenaikan emas terlepas dari latar belakang makro. Pertama, meningkatnya pembelian emas oleh bank sentral EM, setelah AS menggunakan Dollar AS sebagai senjata dalam sanksi terhadap Rusia atas invasi ke Ukraina. Kedua, pembelian emas ritel di China mengalami peningkatan, karena tingkat pengembalian investasi di pasar properti dan saham yang mengecewakan, seiring dengan suku bunga deposit yang masih rendah.
Dukungan makro terhadap emas akan menguat jika bank sentral mulai memangkas tarif. Kami masih berpandangan optimis terhadap emas. Namun, beberapa konsolidasi akan menjadi hal yang sehat setelah kenaikan harga belakangan ini. Masih ada potensi yang mendorong kenaikan harga emas di tahun 2024. Kami pun menaikan proyeksi 12 bulan ke depan untuk emas menjadi US$ 2,300/oz.
Mata Uang
Dalam jangka pendek, Dollar AS masih menawarkan imbal hasil yang relatif lebih tinggi dibandingkan mata uang lainnya, dan the Fed telah menyampaikan untuk tidak terburu-buru dalam memangkas suku bunga. Dollar AS masih berpotensi menguat hingga data AS mulai menunjukan tanda perlambatan. Secara keseluruhan, untuk jangka menengah, kami tetap bias terhadap pelemahan moderat dari Dollar AS, seiring dengan pengetatan kebijakan yang sudah dilakukan oleh bank sentral dan harus memulai siklus pemangkasan suku bunga. Diperlukan penurunan terhadap sejumlah indikator ekonomi untuk membuat Dollar AS kembali melemah, penurunan inflasi yang lebih lanjut, pelonggaran dari ketatnya pasar tenaga kerja, dan perlambatan dari aktivitas lain di AS. Namun, hal ini membutuhkan kesabaran.
Strong start to the year
Performa pasar saham global pada bulan Februari mengalami penguatan signifikan. Indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing menguat +5.2%, +5.1%, dan +6.1%. Musim laporan keuangan korporasi untuk periode kuartal empat 2023 menunjukan mayoritas perusahaan berkinerja positif. Berdasarkan data Factset pada akhir bulan Februari, lebih dari 90% perusahaan yang sudah melaporkan kinerjanya, 73% mencatatkan hasil yang lebih baik dari perkiraan. Laporan keuangan NVIDIA menjadi sentimen utama yang diantisipasi investor, sebagai “market leader” produsen chip untuk teknologi kecerdasan buatan (AI). Nvidia melaporkan kenaikan laba tahun 2023 sebesar 126%, atau senilai US$60.9 miliyar, seiring tingginya permintaan chip AI. Dengan demikian sektor semikonduktor menjadi salah satu penopang kenaikan indeks S&P 500 sepanjang bulan Februari.
Namun demikian, berbeda halnya dengan pasar obligasi, dimana imbal hasil obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun mengalami kenaikan dari 3.91% ke 4.25% sepanjang bulan Februari, mengindikasikan terjadi penurunan harga obligasi secara signifikan. Nada hawkish dari beberapa pejabat Fed, terkait pandangan akan arah kebijakan suku bunga ke depan, membebani kinerja pasar obligasi, seiring laporan angka inflasi bulan Januari yang dirilis lebih tinggi dari konsensus pasar.
Efek positif pada pasar ekuitas AS juga menyebar ke Zona Eropa, dimana mayoritas indeks saham Eropa mengalami penguatan. Indeks Eurostoxx 600 menguat 1.84% sepanjang bulan Februari, dan melampaui rekor tertinggi baru. Sentimen positif dari sektor teknologi ikut menopang penguatan pasar saham Eropa. Selain itu, optimisme pelaku pasar sedikit membaik seiring laporan pertumbuhan sektor manufaktur yang lebih tinggi dari ekspektasi di 48.9, meningkatkan narasi akan perlambatan yang terjadi di Zona Eropa sudah mendekati puncaknya.
Beralih ke kawasan Asia, mayoritas pergerakan saham menguat, terlihat dari kinerja MSCI Asia Pacific ex-Japan +4.33% sepanjang bulan Februari. Penguatan pasar global berpengaruh positif pada bursa Asia, seiring peningkatan saham-saham teknologi. Beberapa stimulus ekonomi yang dikeluarkan pemerintah China untuk mendorong pertumbuhan, turut memberikan sentimen positif investor. The People’s Bank of China (PBoC) telah memangkas suku bunga dasar kredit tenor 5 tahun, serta memperketat aturan “short selling” saham untuk menjaga stabilitas pasar modal. Sementara perekonomian Jepang dilaporkan hampir masuk ke jurang resesi, namun tidak memadamkan kinerja pasar saham. Pelemahan mata uang JPY sepanjang Februari menjadi penopang penguatan saham.
Dari domestik, Bank Indonesia (BI) sesuai dengan ekspektasi kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 6.00%, keputusan tersebut konsisten dengan upaya BI dalam menjaga tingkat inflasi tetap rendah dan terkendali dalam kisaran 2.5 ±1%. Kondisi fundamental ekonomi RI juga terlihat solid, tercermin dari angka surplus neraca perdagangan sebesar USD 2.01 miliyar, sementara cadangan devisa bertahan di level USD 145 miliyar, setara dengan pembiayaan impor dan pembayaran utang selama enam bulan, jauh di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan. Begitu pula dengan tingkat keyakinan konsumen, dilaporkan sebesar 125.0, meningkat dari bulan sebelumnya di 123.8. Sementara pertumbuhan sektor manufaktur bertahan di level ekspansi 52.9.
Sejumlah lembaga keuangan multinasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini berada di 4.9% menurut World Bank, 5% menurut ADB dan IMF, serta 5.2% dari OECD. Sementara itu, Pemerintah Indonesia menetapkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 juga sebesar 5.2%.
Equity
Bursa saham IHSG mencatatkan penguatan sebesar +1.50% sepanjang bulan Februari. Saham di sektor infrastruktur dan konsumen non-siklikal memimpin penguatan masing-masing sebesar +5.03% dan +1.26%. Penguatan IHSG di bulan Februari didukung oleh eforia Pemilu, yang secara historis seringkali mendorong kinerja aset-aset berisiko. Memasuki bulan Maret, yang segera memasuki bulan suci dan persiapan Hari Raya, diperkirakan akan mendorong tingkat konsumsi, serta kinerja sektor riil. Sejumlah analis memperkirakan pertumbuhan laba emiten di 2024 akan berkisar antara 8-9%.
Obligasi
Pergerakan pasar obligasi di bulan Februari sedikit tertekan, terlihat dari pergerakan imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun yang mengalami kenaikan sebanyak 0.38% menjadi 6.60% yang mensinyalkan terjadinya penurunan harga. Kenaikan imbal hasil ini antara lain juga didorong oleh faktor global seperti kenaikan imbal hasil US Treasury dan pelemahan mata uang Rupiah.
Naiknya harga komoditas beras membuat tingkat inflasi Februari meningkat lebih tajam dari perkiraan, akibat efek cuaca El-Nino yang berkepanjangan, sehingga menguras cadangan beras pemerintah. Namun demikian, Pemerintah memperkirakan inflasi akan tetap stabil berada di kisaran 2.5 ± 1% di 2024. Pemerintah melalui APBN 2024 menetapkan target penerbitan SBN di 2024 akan berada di Rp 666 triliun, dengan estimasi defisit fiskal berada di 2.29%. Akan tetapi, di awal tahun ini pemerintah memperkirakan adanya potensi pelebaran jurang fiskal ini hingga 2.8% yang diakibatkan oleh penambahan anggaran BLT, subsidi pupuk untuk petani, serta subsidi BBM yang diperkirakan akan naik akibat kenaikan harga minyak dunia. Pada asumsi dasar makro APBN 2024, kisaran imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun berada di 6.7%.
Currency
Mata uang Rupiah bergerak melemah hampir 5% sepanjang bulan Februari ke kisaran Rp 15,719 per Dollar AS. Menguatnya Dolar AS terhadap sejumlah mata uang global, terlihat dari indeks DXY yang meningkat 2.02% ke level 104.15 sepanjang bulan Februari, sejalan dengan pandangan hawkish para pejabat bank sentral Fed terhadap kebijakan suku bunga.
Ke depannya, volatilitas mata uang Rupiah diperkirakan masih akan terjadi, melihat kondisi ekonomi global yang masih belum menentu, terutama diakibatkan retorika kebijakan suku bunga Fed. Namun demikian, Bank Indonesia berkomitmen untuk terus menjaga stabilitas mata uang Rupiah melalui beberapa kebijakan macro prudential dan sistem pembayaran, seperti halnya kebijakan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), kebijakan SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia) dan SVBI (Sekuritas Valas Bank Indonesia) untuk memperkuat strategi operasi moneter yang pro-market untuk efektivitas kebijakan moneter.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC Indonesia
GLOBAL OUTLOOK
Proyeksi ekonomi dan pasar keuangan di tahun ini terlihat lebih menarik dibandingkan tahun 2023. – Eli Lee
Pasar keuangan memulai tahun 2024 ini dengan tangguh. Antusiasme terhadap kecerdasan buatan (AI), potensi terhadap penurunan suku bunga AS dan Eropa, reflasi di Jepang, harapan terhadap stimulus di China dan pertumbuhan yang kuat di India telah mendorong indeks ekuitas S&P 500, Eurostoxx 600, Nikkei 225, dan SENSEX ke rekor tertinggi. Meskipun begitu, proyeksi ekonomi tetap dibayangi oleh sejumlah risiko. Inggris, Jerman, dan Jepang sedang menghadapi resesi. Inflasi membebani potensi suku bunga diturunkan lebih awal. Perang di Ukraina dan Timur Tengah berpotensi semakin lebar dan pemilihan umum di Amerika Serikat bisa saja membawa perubahan tajam di pasar keuangan.
Untuk AS, kami memperkirakan Federal Reserve (Fed) akan memangkas suku bunga mulai Juni. Sejak awal 2024, pasar telah menurunkan ekspektasi dari enam kali penurunan suku bunga the Fed di tahun ini menjadi tiga kali. Hal ini menyebabkan imbal hasil US Treasury (UST) 10 tahun terkoreksi dari 3.75% pada akhir 2023 menjadi sekitar 4.25%. Namun, dengan adanya rencana penurunan suku bunga the Fed yang dimulai pada musim panas tahun ini, kami menilai aset pendapatan tetap akan kembali menguat.
Oleh karena itu, kami masih menyarankan untuk Overweight pada aset UST dan obligasi negara maju (DM) dengan peringkat investment grade (IG). Kami memperkirakan imbal hasil UST tenor 10 tahun akan kembali turun ke posisi terendah tahun lalu di 3.25%, kami juga cenderung memilih obligasi berkualitas tinggi untuk melakukan lindung nilai terhadap risiko resesi.
Sementara untuk Zona Eropa, kami mempertahankan pandangan Netral. Pertumbuhan diperkirakan mulai pulih di tahun ini. Namun, European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) kemungkinan kecil melonggarkan kebijakan selama tingkat inflasi masih di atas target mereka di 2%.
Untuk China, kami juga mempertahankan posisi Netral. Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan masih lemah dikisaran 5% untuk tahun karena tidak adanya stimulus fiskal yang besar, stabilisasi pasar properti dan hubungan yang lebih baik dengan Amerika Serikat. Menjadikan valuasi menjadi sangat murah di pasar domestik.
Terakhir, kami merekomendasikan agar tetap Overweight pada pasar saham Jepang. Kembalinya inflasi membuat Bank of Japan (BOJ) mengakhiri suku bunga negatif.
AS – Fed dan pemilu adalah kunci
Dua tema utama makro AS tahun ini adalah keputusan suku bunga the Fed dan hasil Pemilu November mendatang.
Kami memperkirakan bank sentral akan melakukan tiga kali pemangkasan suku bunga acuan dari 5.25-5.50% ke 4.50-4.75% pada tahun ini. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) inti telah turun dari puncaknya sebesar 6.6% pada tahun 2021 saat perekonomian AS kembali dibuka pasca pandemi, menjadi 3.9% di bulan Januari imbas kenaikan suku bunga the Fed yang agresif selama tahun 2022 dan 2023. Penurunan ini membuka jalan bagi the Fed untuk beralih ke penurunan suku bunga pada tahun 2024 sebagaimana inflasi yang turun menuju target 2% dengan pergerakan 25 bps yang mungkin terjadi pada pertemuan bulan Juni, September, dan Desember.
Penurunan suku bunga the Fed akan menguntungkan pasar keuangan tahun ini. Kami melihat imbal hasil UST tenor 10 tahun berpotensi turun kembali ke 3.25%. Kami juga memperkirakan bahwa pelonggaran the Fed akan mendukung aset-aset berisiko, meskipun ekonomi AS mengalami resesi ringan, yang masih menjadi skenario dasar kami untuk tahun 2024.
Menurut kami, yang menjadi risiko utama jika inflasi inti bertahan pada kisaran level 3-4%, akan menghalangi the Fed untuk memangkas suku bunga pada tahun 2024. Sedangkan inflasi barang sudah turun karena meredanya gangguan pasokan setelah pandemi, namun inflasi jasa masih tetap tinggi. Meskipun begitu, perlambatan ekonomi berpotensi menurunkan inflasi sehingga memberikan peluang untuk the Fed mulai menurunkan suku bunga di musim panas ini.
Tema utama selanjutnya adalah pemilihan umum AS. Apabila Presiden Biden tertinggal dalam polling pada paruh kedua 2024, maka pasar keuangan dapat bereaksi tajam terkait risiko mantan presiden Trump kembali ke Gedung Putih.
Pertama, kandidat dari partai Republican ini mengusulkan tarif 10% untuk semua impor ke AS dan tarif 60% dari China. Hal ini akan memicu kenaikan inflasi, pemangkasan suku bunga the Fed berpontensi dihentikan, dan pada akhirnya akan membuat Dollar AS menguat.
Kedua, saham akan terapresiasi karena Trump berpotensi untuk kembali mengurangi pajak perusahaan. Namun, dengan posisi defisit fiskal AS saat ini sebesar 7-8% dari PDB, pemotongan pajak yang tidak didanai dapat menyebabkan kenaikan imbal hasil obligasi AS.
Ketiga, risiko terhadap independensi the Fed akan meresahkan pasar, dan terakhir, ketidakpastian mengenai supremasi hukum dan politik global di bawah pemerintahan Trump dapat menyebabkan harga emas melonjak. Dengan demikian, para investor akan terus mengamati jajak pendapat dengan cermat tahun ini.
China - Diperlukan lebih banyak stimulus
Aktivitas ekonomi China masih lesu. Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Januari hanya menunjukkan inflasi sebesar -0.8% yang merupakan level inflasi di bawah nol dalam empat bulan berturut-turut. Terakhir kali harga konsumen melemah pada tingkat yang sama adalah setelah krisis keuangan global 2008.
Pertumbuhan China terlihat lesu sepanjang dua tahun terakhir. PDB hanya bertumbuh 3.0% pada 2022 dan 5.2% pada tahun lalu, efek serangkaian kejadian pada tahun 2020-2022, seperti pembatasan sosial yang ketat, pengetatan kebijakan, kejatuhan sektor properti, resesi global, dan meningkatnya tensi geopolitik. Kini, konsumen lebih berhati-hati setelah tiga tahun karantina wilayah, meningkatnya angka pengangguran, dan jatuhnya harga properti. Investasi terhambat oleh kurangnya kepercayaan. Ekspor dibatasi oleh resesi di negara-negara maju seperti Jerman dan Jepang, sehingga para pejabat mewaspadai timbulnya lebih banyak utang untuk membiayai pengeluaran pemerintah berskala besar.
Tahun ini, kami memperkirakan pertumbuhan PDB akan tetap moderat di 5.0%, masih jauh di bawah pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 9% yang tercatat pada tahun 2000-an dan 2010-an. Para pembuat kebijakan telah meningkatkan upaya untuk membantu pertumbuhan termasuk memotong suku bunga pinjaman 5 tahun sebesar 25 bps di bulan Februari menjadi 3.95%, penurunan terbesar yang pernah tercatat, untuk mendorong sektor properti China yang lemah.
Namun, pemerintah perlu mengumumkan lebih banyak stimulus termasuk pinjaman fiskal yang lebih lanjut dan menambahkan serangkaian pelonggaran di sektor properti mengingat lemahnya tingkat kepercayaan terhadap perekonomian saat ini.
Eropa - Inflasi yang tinggi akan menunda penurunan suku bunga hingga musim panas
Data terbaru kuartal empat 2023 menunjukkan bahwa Jerman dan Inggris mengalami resesi pada paruh kedua tahun lalu. Ekonomi Jerman, yang merupakan ekonomi terbesar di Zona Eropa, mengalami kontraksi 0.3% sepanjang tahun 2023, sementara Inggris hanya bertumbuh 0.1% tahun lalu karena inflasi yang tinggi, guncangan energi imbas perang di Ukraina, dan kenaikan suku bunga yang cepat oleh ECB ke rekor tertinggi 4.00% dan BoE menjadi 5.25%.
Tahun ini, aktivitas ekonomi mulai meningkat di seluruh Eropa seiring dengan membaiknya angka Indeks Manajer Pembelian (PMI) terbaru. Namun inflasi yang tinggi di Zona Eropa dan Inggris kemungkinan akan menahan ECB dan BoE untuk memotong suku bunga hingga bulan Juni dan Agustus guna mendukung pemulihan ekonomi. Dengan demikian, kami memperkirakan pertumbuhan PDB untuk tahun 2024 akan tetap lemah di kisaran 0.4-0.5% untuk Inggris dan Zona Eropa.
Jepang – Kenaikan suku bunga pertama sejak 2007 kemungkinan terjadi di bulan April
Kembalinya inflasi setelah tiga dekade di Jepang mendorong BoJ untuk mengakhiri suku bunga negatif.
Di bulan Januari, inflasi turun dari 2.6% menjadi 2.2% namun tetap berada di atas target 2% BoJ, sementara inflasi inti (tidak termasuk makanan segar dan energi) hanya turun dari 3.7% menjadi 3.5%. Maka, inflasi inti tetap mendekati level tertinggi dalam empat dekade.
Pembicaraan upah tahunan musim semi Jepang mendatang akan menunjukkan pertumbuhan gaji yang kuat untuk dua tahun beruntun. Oleh karena itu, BoJ cenderung lebih yakin bahwa inflasi tetap berada pada kisaran target 2% dan menaikkan suku bunga.
EQUITIES
Februari yang menakjubkan
Walaupun terjadi penguatan pada bursa Jepang, namun valuasi belum terlalu tinggi, dan kami mempertahankan posisi Overweight di Jepang. – Eli Lee
Setelah kenaikan yang signifikan di awal tahun, pasar saham Jepang terlihat terus menguat. Indeks MSCI Jepang di akhir bulan Februari terapresiasi sebesar 14% sejak awal tahun, sehingga unggul secara signifikan dibandingkan bursa regional dalam mata uang lokal. Walaupun terjadi kenaikan tajam, valuasi tidak terlalu mahal akibat tingginya ekspektasi laba seiring membaiknya kondisi fundamental, reformasi korporasi, dan beberapa faktor positif lainnya. Kami mempertahankan posisi Overweight pada ekuitas Jepang, sehingga menjadikan pandangan kami secara keseluruhan pada aset ekuitas menjadi overweight dengan kecenderungan moderat.
Bulan Februari juga merupakan bulan yang baik bagi pasar saham China. Para pembuat kebijakan terus berupaya membuat langkah proaktif untuk menstabilkan pasar, seperti pemangkasan suku bunga dasar kredit lima tahun. Kami mempertahanan pandangan positif terhadap pasar saham China dan Hong Kong, sementara mencari sinyal pemulihan yang berkelanjutan.
Sementara kami mempertahankan posisi Netral untuk pasar saham AS dan Eropa.
AS – Laporan keuangan korporasi yang melebihi ekspektasi
Pada musim pelaporan pendapatan kuartal empat 2023, korporasi AS dalam indeks S&P 500 melaporkan hasil yang melebihi ekspektasi pasar. Laba per saham pada kuartal tersebut tumbuh 7% YoY, melampaui konsensus pasar di 3%. Sorotan utama adalah kinerja solid dari kumpulan saham yang tergabung dalam Magnificent Seven, dengan latar belakang prospek iklan yang membaik, daya tarik yang berkelanjutan dalam kecerdasan buatan (AI) dan tanda-tanda pemulihan terhadap permintaan untuk penyimpanan data non-fisik (cloud).
Data makro AS yang dilaporkan juga masih solid, terlihat dari pertumbuhan upah, data kepercayaan konsumen, dan angka aktivitas manufaktur (ISM). Kami menaikkan proyeksi untuk PDB AS tahun 2024 dari 0.9% menjadi 1.5%, juga merevisi perkiraan EPS 2024 naik dari 5% menjadi 7.5%.
Saat ini, pandangan kami pada ekuitas AS masih tetap netral.
Eropa – Ekspektasi pertumbuhan laba yang lebih rendah
Sejauh ini, musim pelaporan pendapatan di Eropa terbilang lemah. Hanya sekitar 50% dari perusahaan yang sudah melaporkan kinerjanya melampaui ekspektasi, walaupun pendapatan tersebut lebih rendah dari rata-rata historis sebesar 57%, sementara laba terus direvisi ke bawah. Namun, hal yang menggembirakan adalah peningkatan pada indeks komposit manajer pembelian awal (PMI) kawasan Eropa menjadi 48.9 untuk periode Februari, meskipun masih berada dalam wilayah kontraksi. Sektor jasa terlepas dari area kontraksi, sehingga menjadi penopang, akan tetapi indeks manufaktur (PMI) turun 0.5 poin menjadi 46.6 disebabkan oleh pelemahan pada kondisi manufaktur Jerman.
Menjelang pemilu, di Eropa juga terjadi sejumlah protes yang meluas oleh petani yang memiliki pandangan berbeda terkait target dekarbonisasi pemerintah. Jika ada perubahan peta politik, hal ini akan meningkatkan perbedaan pendapat yang tajam antara kelompok elit politik terhadap sebuah ideologi dengan menentang semua proyek dan kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah, sehingga mengingkatkan ketidakpastian investor.
Jepang – Terus bersinar
Pasar ekuitas Jepang terus menjadi berita utama yang positif, dengan Nikkei 225 mencatatkan level tertinggi baru sepanjang masa, dalam 34 tahun terakhir. Untuk valuasi, Indeks MSCI Jepang sekarang diperdagangkan pada P/E Forward 12 bulan sebesar 16.5x, atau 1 standar deviasi di atas rata-rata 10 tahun sebesar 14.7x. Sementara nilai buku atau price-to-book value ada di level 14.6x, atau 2.1 standar deviasi di atas rata-rata sepuluh tahun terakhir di 1.24x. Walaupun valuasi cukup tinggi, namun faktor positif masih menjadi sentimen yang mendukung pasar ekuitas, dan investor asing belum mendominasi kepemilikan di bursa saham jepang.
Asia ex-Japan – Masih ada peluang positif, namun diperlukan tambahan kebijakan dari China
Indeks MSCI Asia ex-Japan mulai pulih, dan pergerakan saat ini cenderung datar (27 Februari 2024), setelah sebelumnya sempat melemah sebesar 7.3%. Namun, musim laporan pendapatan kuartal empat 2023 sejauh ini sedikit mengecewakan, dengan lebih banyak perusahaan yang melaporkan hasil di bawah ekspektasi. Dari 57% konstituen perusahaan dalam indeks MSCI Asia ex-Japan yang telah melaporkan hasil, pertumbuhan laba bersih keseluruhan pada kuartal empat 2023 mencapai +24% YoY, tetapi -7% untuk keseluruhan tahun 2023.
Ke depannya, para pelaku pasar memproyeksikan pertumbuhan EPS sebesar 19% pada tahun 2024, yang mana menurut kami harapan tersebut terlalu jauh dengan melihat adanya risiko penurunan terhadap perkiraan pendapatan. Meskipun pemerintah China sudah memberikan banyak stimulus, seperti pemotongan suku bunga pinjaman (LPR) 5 tahun sebesar 25 basis poin oleh the People’s Bank of China (PBoC), kami yakin diperlukan lebih banyak langkah pelonggaran, dan data ekonomi menunjukkan bahwa pasar properti cenderung lemah. Kami mempertahankan pandangan Netral pada pasar ekuitas Asia ex-Japan, namun lebih positif pada ekuitas Korea Selatan dan Singapura. Saat ini, kami meningkatkan pandangan untuk ekuitas Indonesia menjadi Overweight. Hal ini didasarkan pada ekspektasi terhadap kesinambungan kebijakan pemerintah pasca pemilu, latar belakang ekonomi makro yang mendukung, pertumbuhan pendapatan yang moderat dan valuasi yang menarik.
China/HK – Diperlukan tambahan kebijakan yang mendukung ekonomi dan pasar keuangan
Pasar ekuitas China menguat setelah dimulainya Tahun Naga, dengan kinerja dari kumpulan saham-saham perusahaan dari China daratan yang tergabung dalam indeks China A-shares menutupi semua kerugian sejak awal tahun. Penguatan ini bertepatan dengan pengumuman pemotongan suku bunga dasar kredit tenor 5 tahun terbesar yang pernah dilakukan oleh PBoC. Optimisme kembali timbul setelah rangkaian seminar dan diskusi investor, dengan penunjukan Wu Qing, sebagai Ketua Komisi Pengaturan Sekuritas yang baru. Sehingga menumbuhkan harapan dari para pelaku pasar bahwa kepemimpinan baru dapat mengantarkan perubahan dan reformasi positif.
Kami tetap menganjurkan untuk fokus pada tiga tema investasi utama: i) percepatan pada variasi kecerdasan buatan (AI), ii) indentifikasi pada kualitas pertumbuhan dan pemimpin pasar di tengah gejolak pemulihan, dan iii) imbal hasil sebagai peredam volatilitas pasar. Kami menantikan lebih banyak arahan kebijakan dari Pemerintah.
Sektor Global – Penguatan sektor teknologi masih berlanjut
Musim pelaporan yang kuat menjadi faktor yang mengapresiasi sektor teknologi global di bulan lalu. Pendapatan dan komentar dari manajemen Nvidia memberikan sentiment positif yang mendorong reli lebih lanjut, disebabkan adanya indikasi dari lancarnya transisi pelatihan manual ke perangkat keras inferensi, pada penerapan aplikasi AI.
Pada pasar ekuitas China, kami lebih selektif pada sektor internet. Dalam jangka pendek, e-commerce masih menantang, dan kami lebih memilih emiten yang digunakan untuk game online dan sektor pariwisata.
Sektor konsumen di China juga menjadi sorotan karena data konsumsi selama liburan Tahun Baru Imlek tercatat lebih baik daripada yang dikhawatirkan. Secara keseluruhan, momentum perjalanan cukup baik, tetapi penurunan pada tingkat konsumsi masih tercermin dari rendahnya belanja per kapita.
Sementara itu, untuk meningkatkan investasi dan konsumsi, pada pertemuan keempat Komisi Pusat untuk Urusan Keuangan pada 23 Februari 2024, diumumkan bahwa China akan mempercepat program pembaruan peralatan skala besar dan perdagangan barang konsumsi. Kami percaya bahwa program ini dapat menstimulasi permintaan terhadap peralatan rumah tangga, maka perusahaan di segmen peralatan rumah tangga berskala besar berpotensi menerima manfaat dari kebijakan ini.
BONDS
Menantikan penurunan suku bunga
Dengan durasi yang lebih panjang, obligasi Investment Grade (IG) AS dan US Treasury seharusnya lebih diuntungkan apabila terjadi penurunan imbal hasil pada aset pendapatan tetap tahun ini. Maka dari itu, kami tetap Overweight terhadap kelas aset ini. – Vasu Menon
Arah kebijakan suku bunga the Fed masih merupakan katalis penggerak utama pasar obligasi beberapa bulan terakhir, dan kami memperkirakan tren ini masih berlanjut dalam waktu dekat ini. Obligasi IG negara maju (DM) dan US Treasury diproyeksi memiliki kinerja yang baik pada tahun ini ditengah antisipasi pasar terhadap siklus pemangkasan suku bunga oleh para bank sentral dunia.
Namun demikian, perubahan terhadap arah kebijakan the Fed sendiri akan mengapresiasi aset pendapatan tetap secara keseluruhan. Maka dari itu, kami pun Netral terhadap obligasi DM High Yield (HY), obligasi negara berkembang (EM) IG dan EM HY.
Suku Bunga
Walaupun pemangkasan suku bunga oleh the Fed sudah semakin terlihat, skala dan agresifitas penurunan masih menjadi ketidakpastian yang besar bagi investor. Ekspektasi atas pemangkasan pertama yang sebelumnya di bulan Maret, sudah sepenuhnya mundur. Namun demikian, harga aset pendapatan tetap saat ini terlihat masih relatif tinggi, mengingat probabilitas penurunan suku bunga acuan sebesar 75bps, dengan pemangkasan pertama diperkirakan akan terjadi di bulan Juni.
Negara maju
Antisipasi pelonggaran kebijakan moneter di pertengahan tahun 2024 ini menjadi alasan utama kami berpandangan Overweight terhadap obligasi DM IG. Dengan selisih (spread) aset pendapatan tetap yang saat ini mendekati level paska Krisis Finansial Global (GFC), suku bunga merupakan katalis utama bagi obligasi DM IG. Dengan proyeksi imbal hasil US Treasury akan semakin rendah di penghujung tahun ini, obligasi DM IG seharusnya akan lebih diuntungkan karena memiliki rata-rata durasi yang paling panjang dibandingkan kategori lainnya.
Negara berkembang
Kami mempertahankan pandangan Netral terhadap obligasi EM HY dan EM IG, dengan preferensi yang lebih tinggi terhadap EM HY. Faktor fundamental termasuk penurunan suku bunga dan pelemahan Dollar AS akan menopang kinerja kelas aset ini. Terlebih lagi dalam jangka panjang, setelah meningkatnya risiko gagal bayar dua tahun terakhir, kami melihat potensi performa yang lebih baik di tahun 2024 ini ke level yang lebih menarik.
Asia
Kami juga mempertahankan pandangan Netral terhadap obligasi Asia IG dan HY, sambil terus memperhatikan perkembangan seputar ekonomi China. Sektor properti telah menerima beberapa stimulus seperti pemangkasan suku bunga 5 tahun dan pelonggaran penyaluran kredit. Namun di sisi lain, permintaan masih cenderung rendah ditengah risiko wanprestasi para pengembang seperti contohnya Country Garden.
FX & COMMODITIES
Emas berpotensi menguat
Emas berpotensi lebih diuntungkan dari pelonggaran Fed, potensi ketidakpastian dari pemilihan umum AS, dan pembelian oleh beberapa bank sentral EM – Vasu Menon
Oil
Dengan adanya pengalihan kapal di Laut Merah, pasokan minyak di AS yang mengalami hambatan disebabkan oleh kondisi cuaca ekstrim, dan peningkatan aktifitas perjalanan selama libur Lunar New Year di China, serangkaian peristiwa tersebut telah mendukung pergerakan harga Brent di kisaran US$ 80-85/barrel sejak awal bulan Februari. Risiko terhadap perdagangan minyak yang diakibatkan oleh pengalihan kapal di Laut Merah membuat harga minyak saat ini lebih mahal dibandingkan harga pada pasar kontrak berjangka atau futures market.
Tetapi, pada saat yang bersamaan, volatilitas harga minyak sudah mulai turun mendekati posisi terendah sebelum pandemi Covid, sementara kebijakan OPEC yang memangkas produksi, berdampak pada kenaikan harga minyak, sehingga penurunan harga lebih terbatas. Kami tetap berharap OPEC+ akan memperpanjang pemangkasan sampai kuartal dua 2024. Kami memproyeksi harga minyak Brent akan berada pada level US$ 80/barrel, namun berpontesi melemah menuju kisaran harga US$ 75 pada akhir 2024. Berlimpahnya pasokan dari negara non-OPEC (terutama dari AS, Kanada, dan Guyana) memberikan petunjuk untuk pelonggaran pasar minyak ke depannya. Kami memperkirakan produksi minyak non-OPEC akan melambat dari produksi tahun 2023, namun secara keseluruhan produksi tetap meningkat. Produksi minyak di AS sepertinya masih menjadi sumber terbesar diluar OPEC+.
Gold
Pergerakan emas di awal tahun ini lebih tertahan. Perubahan ekspektasi terhadap penurunan suku bunga the Fed mendorong penguatan terhadap Dollar AS juga imbal hasil AS, sehingga membebani kinerja emas. Emas bergerak stagnan untuk saat ini. Namun, koreksi pada harga emas dapat berakhir seiring dengan ekspektasi terhadap pemangkasan suku bunga the Fed yang lebih realistis.
Kami melihat emas sebagai aset diversifikasi portfolio yang dapat dipercaya. Kami memperkirakan harga emas dapat menyentuh rekor tertinggi baru di kisaran US$ 2,200/oz pada akhir tahun 2024. Daya tarik emas sebagai aset yang tidak memiliki imbal hasil dan berdurasi panjang, seharusnya meningkat saat the Fed memangkas suku bunga, dengan proyeksi dimulai pada bulan Juni. Harga emas dapat lebih melemah jika terjadi perubahan narasi dari “kapan penurunan suku bunga the Fed” menjadi “apakah suku bunga akan diturunkan”. Namun untuk saat ini, kami tidak melihat adanya potensi perubahan narasi. Kedua, pemilu AS pada bulan November semakin menjadi fokus pasar seiring dengan kenaikan suara Trump dalam jajak pendapat saat ini. Akan tetapi, pelaku pasar mulai khawatir jika Trump mengambil alih Gedung Putih, potensi perubahan peta perdagangan dan kebijakan luar negeri, serta ancaman terhadap independensi Fed dari kemenangan Trump dapat menimbulkan ketidapastian yang tinggi. Maka, tidak ada salahnya jika emas menjadi aset lindung nilai terhadap ketidakpastian tersebut. Ketiga, pergerakan harga emas seharusnya juga didukung dengan aktifitas pembelian yang besar oleh beberapa bank sentral negara berkembang. Besarnya defisit fiskal AS, meningatnya tingkat utang, serta kekhawatiran akan disfungsi politik AS, telah mendorong beberapa bank sentral untuk beralih dari Dollar AS ke emas.
Currency
Retorika dari Federal Reserve AS masih berfokus pada kesabaran, dengan tidak terburu-buru untuk memangkas suku bunga mengingat risiko inflasi yang tinggi dan pasar tenaga kerja yang masih tangguh. Tren disinflasi masih terlihat (meskipun terkadang ada kenaikan) seiring dengan ketatnya pasar tenaga kerja dan aktifitas ekonomi yang sudah menunjukan tanda perlambatan. Pada kondisi disinflasi, maka tingkat suku bunga ril yang lebih tinggi dapat menghambat perekonomian dan menimbulkan resiko kegagalan ekonomi. Kami tetap memproyeksikan bahwa the Fed akan memulai siklus pemangkasan suku bunga pada pertengahan tahun. Penurunan suku bunga secara bertahap dari level tinggi tidak mengisyaratkan kebijakan moneter yang akomodatif, hanya saja kebijakan sudah mulai dilonggarkan.
Dollar AS pada akhirnya akan melemah. Namun, pergerakannya tidak satu arah. Mata uang ini merupakan safe haven dan memiliki imbal hasil yang menarik. Dengan ketidakpastian skenario pertumbuhan ekonomi global dan China, juga risk-off pada pasar keuangan, serta ketegangan geopolitik yang meningkat, semua ini dapat menahan pelemahan pada Dollar AS.
Outlook yang lebih baik di tahun 2024
Tahun 2024 diperkirakan akan lebih baik dibandingkan tahun 2023 dan telah dimulai dengan baik. Ekspektasi pemangkasan suku bunga masih menjadi pendorong utama untuk penguatan aset berisiko bulan lalu, seperti yang dapat dilihat melalui kenaikan Wall Street yang melanjutkan kenaikan setelah reli signifikan pada Desember tahun lalu. Ketiga bursa utama berhasil mencatatkan penguatan, dengan Dow Jones naik 1.22%, S&P500 yang naik sebesar 1.59%, dan tech-heavy Nasdaq Composite yang naik sebesar 1.02%. Meskipun aset berisiko mengalami apresiasi, pasar obligasi relatif lebih tenang mengingat tantangan-tantangan saat ini yang dihadapi pasar, sementara imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun stabil diperdagangkan di kisaran level 3.9% sepanjang bulan lalu. Dengan ekspektasi inflasi yang akan turun signifikan pada bulan Januari, minat risiko investor tetap tinggi meskipun pasar saham saat ini berada di kisaran level tertingginya. Namun, Ketua Fed Jerome Powell telah mengatakan bahwa pemangkasan suku bunga mungkin tidak akan datang secepat yang diharapkan oleh pasar, dan hal tersebut terdengar cukup hawkish untuk menggeser harapan pemangkasan suku bunga dari Maret menjadi Mei atau Juni. Dari sisi pertumbuhan, ekonomi negara-negara maju diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang lebih lambat di tahun ini.
Di Eropa, European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) diperkirakan akan mulai melonggarkan kebijakan moneter pada akhir kuartal kedua atau awal kuartal ketiga. Inflasi di kawasan Eropa masih lebih tinggi dari pada di AS, namun angka tersebut masih berada di jalur yang aman menurut pemerintah dan para bank sentral. Di sisi geopolitik, perang yang masih berlangsung antara Rusia – Ukraina dan Israel – Palestina masih menjadi sentimen yang menahan pasar keuangan, meskipun saat ini memiliki dampaknya jauh lebih rendah dalam pergerakan pasar. Namun, jika hal tersebut berlangsung terlalu lama, maka dapat memicu ketegangan geopolitik baru, seperti sanksi yang diusulkan oleh Uni Eropa terhadap beberapa perusahaan China akibat tuduhan membantu dan mendukung Rusia dalam upaya perangnya melawan Ukraina.
Beralih ke Timur, China mencatatkan PDB kuartal ke-4 tahun 2023 sebesar 5.2%, naik dari 4.9% tetapi masih sedikit di bawah ekspektasi pasar sebesar 5.3%. Meskipun sejalan dengan target pemerintah, pertumbuhan yang melambat tersebut dipicu oleh beberapa faktor seperti masalah deflasi negara, kepercayaan konsumen yang lemah, serta krisis sektor properti yang sedang berlangsung. Stimulus moneter dan pelonggaran fiskal lebih lanjut akan diperlukan untuk menghidupkan kembali ekonomi tahun ini. Di Jepang, indeks Nikkei 225 saat ini berada di kisaran level tertinggi sejak 1989, di atas level psikologis 35,000. Pelemahan Japanese Yen telah menopang pergerakan aset risiko Jepang, sementara Bank of Japan belum mengumumkan hal konkret sehubung dengan laju pengetatan kebijakan moneternya.
Dalam negeri, fundamental domestik dinilai tetap kuat. Angka PDB yang dirilis baru-baru ini untuk kuartal ke-4 tahun 2023 telah melampaui ekspektasi pasar, naik dari 4.94% menjadi 5.04% dari kuartal terakhir tahun lalu. Faktor utama peningkatan tersebut didorong oleh konsumsi yang kuat ditengah tingginya suku bunga acuan Bank Indonesia yang naik ke level 6.00% sejak Oktober tahun lalu hingga sekarang, yang terakhir terlihat pada pertengahan 2019. Dari segi inflasi, CPI mengalami sedikit penurunan dari 2.61% ke 2.57%, sedikit di atas perkiraan 2.53% namun masih berada dalam rentang target yang diinginkan pemerintah. PMI Manufaktur untuk bulan Januari juga meningkat dari 52.2 menjadi 52.9, mengindikasikan optimisme pada sektor bisnis menjelang pemilihan umum Presiden.
Ekuitas
IHSG sedikit mengalami penurunan pada bulan pertama tahun 2024, mencatat penurunan sebesar 0.89%. Penurunan ini terjadi setelah bursa berhasil mencatatkan rekor tertinggi baru sebesar 7,359.8 pada tanggal 4 Januari 2024. Secara sektoral, penurunan dipimpin oleh sektor Teknologi dan Kesehatan yang masing-masing turun 6.93% dan 4.33%. Sebagian besar investor domestik mengamankan posisi setelah reli signifikan yang terjadi pada bulan sebelumnya. Di samping itu, investor asing juga mencatatkan aliran masuk yang cukup signifikan sebesar USD$534.2 juta pada bulan Januari 2024. Saham domestik cukup diminati karena lebih menarik dibandingkan dengan aset risiko negara berkembang lainnya. Dari perspektif valuasi, IHSG saat ini berada pada rasio P/E sebesar 15.4x dan dianggap cukup fair value mengingat nilai indeks yang diperdagangkan saat ini.
Hasil awal pemilihan umum yang baru saja diadakan disambut baik oleh pasar karena pasangan kandidat nomor 02 yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, mendominasi suara dengan hasil quick count di mayoritas lembaga survei di kisaran 57% hingga 59%. Dengan pencapaian tersebut, pasangan ini dapat memenangkan pemilihan umum hanya dalam satu putaran. Secara historis, hasil quick count hanya memiliki sedikit deviasi dengan hasil real count, sehingga memicu pidato kemenangan dan deklarasi dari para kandidat. Bagi pasar ekuitas, hal tersebut membawa semangat optimisme baru karena ketidakpastian politik mulai memudar. Namun yang lebih penting adalah dengan kemenangan ini, maka akan adanya kelanjutan kebijakan, seperti migrasi ibu kota Jakarta ke Nusantara dan fokus pada industri hilirisasi. Investasi Langsung Asing (FDI) diperkirakan akan meningkat dalam beberapa bulan mendatang dan akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dalam tahun-tahun mendatang.
Obligasi
Demikian pula dengan aset pendapatan tetap yang juga mengalami tekanan bulan lalu. Pada awal tahun, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun dengan cepat melonjak ke sekitar 6.72% sebelum secara bertahap turun, dan akhirnya ditutup pada hari perdagangan terakhir bulan Januari naik 10bps ke level 6.58%. Namun demikian, volatilitas tetap tinggi karena bank sentral global, termasuk Bank Indonesia, diprediksi akan memulai siklus suku bunga baru kedepan nya. Namun, tampaknya tidak mungkin bagi Bank Indonesia untuk mengambil langkah pre-emptive untuk memangkas suku bunga lebih cepat dari The Fed, dengan memperhatikan tekanan yang dihadapi Rupiah dalam beberapa minggu terakhir ini akibat kecenderungan hawkish The Fed. Investor asing tidak melakukan pembelian atau penjualan obligasi domestik secara signifikan bulan lalu, tercatat aliran keluar sebesar USD$0.7 juta. Meskipun Imbal Hasil riil tetap menjadi insentif besar untuk aset pendapatan tetap, kenaikan imbal hasil secara global dan penguatan dolar AS tampaknya masih menjadi tantangan. Namun, imbal hasil obligasi masih berada dalam tren positif dan saat ini berada pada posisi yang baik untuk investor baru ataupun investor yang sudah mengakumulasi namun ingin menambah alokasi pada portofolio aset pendapatan tetap mereka seiring dengan pelonggaran kebijakan moneter yang akan dimulai dalam beberapa bulan mendatang.
Mata Uang
Mata uang Rupiah mengalami pelemahan terhadap USD bulan lalu, dengan nilai USD/IDR yang diperdagangkan pada Rp15,783 pada akhir bulan. Dollar AS menguat sebesar 2% terhadap Rupiah pada bulan Januari karena nada hawkish dari beberapa pejabat The Fed untuk menjaga ekspektasi pemotongan suku bunga investor tetap terkendali. Pasar saat ini memperhitungkan pemotongan suku bunga pertama sebesar 25 bps yang akan terjadi pada bulan Mei atau Juni. Jika The Fed melakukan hal tersebut, maka Bank Indonesia kemungkinan besar akan mengikuti jejak mereka pada kuartal ketiga tahun ini.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC Indonesia
GLOBAL OUTLOOK
Proyeksi yang lebih menguntungkan di tahun 2024
Prospek ekonomi di tahun ini berpotensi lebih menguntungkan untuk pasar keuangan dibandingkan tahun 2023. – Eli Lee
Prospek ekonomi berpotensi lebih menguntungkan untuk pasar keuangan tahun 2024 ini.
Pertama, inflasi menurun dengan cepat. Lonjakan harga barang secara global selama pandemi sudah mereda karena gangguan pasokan yang berkurang. Demikian pula, ledakan pembukaan layanan jasa juga mereda setelah bank sentral menaikkan suku bunga dengan cepat pada tahun 2022 dan 2023.
Kedua, The Fed dan bank sentral besar lain bersiap untuk menurunkan suku bunga seiring dengan turunnya inflasi ke target 2%. Kami memperkirakan The Fed mulai menurunkan suku bunga acuan dari level tertinggi sepanjang 23 tahun di 5.25-5.50% pada bulan Juni. Diikuti dengan European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) yang mulai melonggarkan kebijakan moneternya pada musim panas ini. People's Bank of China (PBoC) telah menurunkan persyaratan cadangan bank-bank di bulan Januari. Sementara Bank of Japan (BoJ) akan menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya setelah dua dekade, para pejabat yang berpandangan dovish kemungkinan besar hanya akan menaikan suku bunga deposito BoJ dari -0.10% menjadi 0% tahun ini.
Ketiga, pelonggaran inflasi dan penurunan suku bunga akan mendukung prospek obligasi. Kami memperkirakan imbal hasil (yield) US Treasury (UST) 10 tahun akan turun kembali ke level terendah tahun lalu di 3.25%. Namun, penurunan inflasi yang lebih cepat, memungkinkan aset pendapatan tetap untuk memberikan imbal hasil riil (real yield) yang positif.
Terakhir, kami memperkirakan ekspansi kecerdasan buatan (AI), dan prospek pertumbuhan produktivitas yang lebih cepat akan menopang pasar ekuitas di tahun 2024.
Namun, tetap masih ada risiko terhadap prospek tahun ini. AS, Inggris, Zona Eropa, China, dan Jepang cenderung mengalami pertumbuhan yang lebih lambat atau bahkan resesi, seperti yang terlihat dalam tabel perkiraan GDP, seiring dengan memudarnya hambatan pembukaan kembali ekonomi dan kenaikan suku bunga selama periode 2022-2023 yang menekan aktivitas. Pemilihan umum tahun 2024, terutama di AS, juga akan meningkatkan ketidakpastian. Namun, dengan turunnya inflasi, potensi penurunan suku bunga bank sentral, imbal hasil riil (real yield) yang positif untuk aset pendapatan tetap, dan antusiasme terhadap AI di pasar ekuitas, maka semua ini seharusnya akan mengalihkan kekhawatiran investor.
Oleh karena itu, investor sebaiknya memulai tahun 2024 dengan portofolio investasi yang lebih overweight terhadap aset berisiko.
AS - The Fed akan mendominasi semester-1 2024, pemilu di semester-2 2024
Keputusan suku bunga The Fed akan mendominasi pandangan pasar keuangan pada paruh pertama tahun ini sebelum perhatian beralih ke pemilu November di paruh kedua.
The Fed hampir dipastikan memulai periode penurunan suku bunga acuan dari level tertinggi sepanjang 23 tahun terakhir pada 5.25-5.50% dalam beberapa bulan mendatang karena inflasi yang mendekati target 2% dengan cepat. Ukuran target inflasi bank sentral seperti, perubahan harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE), telah menurun dari level tertinggi empat dekade di 5.6% pada tahun 2022 menjadi 2.9% setelah kenaikan suku bunga Fed yang agresif sepanjang dua tahun terakhir.
Meskipun inflasi telah melandai, kami berpikir bahwa para pejabat The Fed akan lebih berhati-hati dan menunggu bukti lebih lanjut bahwa tekanan inflasi telah sepenuhnya mereda, sebelum menurunkan suku bunga acuan secara bertahap mulai bulan Juni sebesar 25 bps dan sekali lagi pada bulan September dan Desember. Oleh karena itu, kami memperkirakan suku bunga Fed akan turun menjadi 4.50-4.75% di penghujung tahun 2024.
Penurunan suku bunga acuan The Fed berpotensi memberikan keuntungan bagi pasar keuangan tahun ini. Kami memperkirakan imbal hasil (yield) US Treasury 10 tahun akan turun ke 3.25% seperti yang ditunjukan pada tabel perkiraan. Kami juga memperkirakan pelonggaran The Fed akan mendukung aset-aset berisiko meskipun ekonomi AS mengalami resesi ringan, yang tetap menjadi dasar perkiraan kami untuk tahun 2024.
Proyeksi pada semester pertama tahun ini kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh The Fed.
Namun, pada semester kedua, pasar keuangan mungkin akan terpengaruh secara negatif jika survey memperlihatkan mantan Presiden AS, Donald Trump, unggul jauh di atas Presiden Joe Biden. Kami melihat empat risiko utama di sini.
Pertama, Trump sedang mempertimbangkan pajak 10% untuk semua impor barang. Hal ini akan memicu inflasi, menghentikan pemangkasan suku bunga The Fed, dan membuat Dollar AS melonjak. Kedua, pemangkasan pajak perusahaan pada masa jabatan pertamanya dapat meningkatkan ekuitas, namun defisit anggaran yang lebih besar dan lonjakan pada imbal hasil obligasi AS dapat menjadi risiko yang lebih buruk. Ketiga, independensi The Fed dapat terancam dan, terakhir ketidakpastian tentang aturan hukum, jika Trump menargetkan lawan-lawannya baik di dalam maupun luar negeri atau jika AS menarik diri dari NATO, juga dapat merugikan aset-aset berisiko. Oleh karena itu, investor cenderung memantau politik AS lebih berhati-hati seiring dengan semakin dekatnya pemilihan umum AS di bulan November.
China - Pertumbuhan yang lemah
Pertumbuhan China terus melemah. Data terbaru menunjukkan ekonomi berkembang sebesar 5.2% pada tahun 2023. Angka ini naik dari 3.0% di tahun 2022 ketika karantina wilayah masih diberlakukan. Meskipun adanya harapan dari pembukaan kembali tahun lalu, namun pertumbuhan GDP masih jauh di bawah angka 6.0% seperti tahun 2019 sebelum pandemi muncul pada tahun 2020.
Prospek China tetap menantang setelah guncangan tahun 2020-2022: lockdown yang ketat, tekanan regulasi, pelemahan sektor properti, resesi luar negeri, dan risiko geopolitik. Dari empat mesin pertumbuhan ekonomi, konsumen berhati-hati setelah tiga tahun karantina, pengangguran yang lebih tinggi, dan penurunan harga properti; investasi juga tertahan karena sentimen bisnis yang terus lesu; ekspor dibatasi oleh permintaan yang lemah dari luar negeri dan pemerintah yang berhati-hati untuk mengambil lebih banyak utang.
Tahun ini, kami memperkirakan pertumbuhan GDP akan tetap di 5.0%. Para pejabat telah meningkatkan berbagai upaya untuk membantu pertumbuhan dalam beberapa bulan terakhir termasuk memperbanyak pengeluaran pemerintah, kondisi likuiditas yang lebih mudah dari PBoC dan dukungan untuk pinjaman kepada para pengembang properti. Namun, mengingat lemahnya kepercayaan konsumen dan sektor properti, maka diperlukan sejumlah pelonggaran moneter dan fiskal baru untuk menghentikan pertumbuhan yang semakin melambat dan menghidupkan kembali ekonomi tahun ini.
Eropa – Perlambatan pemulihan pasca resesi
Zona Eropa dan Inggris telah mengalami pertumbuhan yang melambat sebesar 0.5% tahun kemarin. Pada tahun ini, kami memperkirakan GDP akan berkembang dengan tingkat pertumbuhan yang kurang lebih sama. Guncangan energi imbas perang Ukraina dan peningkatan suku bunga yang cepat oleh ECB ke rekor tertinggi ke 4.00% tahun lalu, dan BoE menjadi 5.25%, menyebabkan kedua ekonomi terbesar di Eropa hampir mengalami resesi pada tahun 2023. Tahun ini, kami memperkirakan ECB dan BoE akan mulai memangkas suku bunga masing-masing pada bulan Juni dan Agustus, memberikan dukungan kepada pasar keuangan. Namun, dengan tingkat pengangguran yang masih sangat rendah setelah pandemi dan pertumbuhan upah yang kuat, kami memperkirakan kedua bank sentral tersebut hanya akan menurunkan suku bunga sebesar 25 bps tahun ini.
Jepang – Sikap dovish pejabat mendukung prospek
Saham-saham Jepang menguat pada Januari 2024 setelah kembalinya inflasi dari tiga "dekade yang hilang", reformasi tata kelola perusahaan, dan pelemahan Yen mendorong indeks Nikkei 225 mendekati level tertinggi sepanjang masa sejak 1989.
Pasar keuangan kemungkinan akan tetap didukung oleh BoJ. Pada Januari, pernyataan dovish BoJ mempertahankan suku bunga deposito di -0.10% seperti yang diharapkan secara luas. Menyusul guncangan pandemi dan perang di Ukraina, inflasi telah mencapai level tertinggi dalam empat dekade terakhir dengan inflasi inti sekitar 4%. Namun, BoJ tetap mempertahankan suku bunga negatif hingga mereka merasa yakin inflasi akan mencapai target 2%.
Jika perputaran upah tahunan musim semi Jepang tetap stabil, kami memperkirakan BoJ akan meningkatkan suku bunga deposito kembali ke 0% pada bulan April. Namun, para pejabat sepertinya tidak akan melakukan kenaikan suku bunga lebih lanjut di tahun ini, mereka menunggu apakah inflasi dapat bertahan pada target 2% di masa depan. Dengan demikian, BoJ akan tetap dovish sepanjang tahun 2024 dan terus mendukung pasar keuangan Jepang meskipun merupakan satu-satunya bank sentral besar yang kemungkinan akan menaikan suku bunga tahun ini.
Source: Bank of Singapore
EQUITIES
Bulan Januari di Jepang
Valuasi pasar saham Jepang tetap murah, karena adanya ekspektasi laba korporasi yang meningkat. OCBC grup mempertahankan pandangan overweight pada ekuitas Jepang. – Eli Lee
US – Harapan terhadap pertumbuhan ekonomi, memicu sentimen positif investor
Berdasarkan konsensus analis, pertumbuhan laba per saham (earning per share – EPS) pada Indeks S&P 500 sebesar 3% YoY di kuartal 4-2023, menandai ekspektasi pertumbuhan kuartal pertama sejak kuartal 3-2022. Seperti pengamatan kami pada kuartal sebelumnya, harga saham dari perusahaan dengan kinerja EPS yang mengecewakan mengalami tekanan lebih berat dibanding perusahaan dengan kinerja EPS yang lebih baik.
Prospek perbankan AS tetap beragam karena pertumbuhan laba dapat tergerus di tahun ini, di tengah pendapatan bunga bersih (NII) yang lemah dan pertumbuhan pinjaman di semester pertama 2024, meskipun pendapatan non-bunga berpotensi untuk pulih lebih baik. Konsumsi terlihat masih relatif kuat, seiring komentar positif dari Visa dan American Express. Di bidang Teknologi, ada beberapa kekecewaan pada sektor semikonduktor, meskipun sektor ini tetap mendapatkan dukungan dari narasi teknologi kecerdasan buatan (AI).
Kami tetap berpandangan Netral pada pasar saham AS pada saat ini.
Eropa – Berharap ketegangan di laut merah mereda
Sejak invasi Rusia di Ukraina pada Februari 2022, aliran dana investor di pasar saham Eropa cenderung negatif, ditambah aksi investor domestik yang melepas saham dan mengalokasikan lebih banyak pada uang tunai dan obligasi. Namun, setiap saham yang terjual pasti ada pembelinya, lalu siapa yang membeli? Secara keseluruhan, pembeli terbesar saham-saham di Eropa adalah sektor korporasi melalui skema pembelian kembali (buyback).
Agar aliran dana investor membaik, kinerja dan ekspektasi ekonomi adalah kuncinya. Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.5% untuk Zona Eropa tahun ini, sementara ekspektasi pertumbuhan laba per saham sebesar 5.3%. Jika ketegangan Laut Merah meluas dan memburuk, maka akan membebani perkiraan yang ada. Pada catatan yang lebih positif, European Central Bank (ECB) dapat mulai memangkas suku bunga sekitar pertengahan tahun ini yang akan mendukung valuasi pasar modal. Kami mempertahankan pandangan Netral untuk pasar saham Eropa.
Japan – Ready, set, go!
Pasar saham Jepang memiliki awal yang cerah di tahun 2024, dengan Indeks MSCI Jepang +6.1% year to date (YTD) per 26 Januari 2024 dalam Yen (JPY), meskipun keuntungan dalam Dollar AS lebih rendah hanya sebesar +1,0%, akibat depresiasi JPY kembali ke sekitar level 150. Volatilitas mata uang akan berlanjut, tetapi pandangan kami tentang USD/JPY tetap di kisaran 130 dalam 12 bulan ke depan. Kinerja MSCI Japan Index yang baik kemungkinan besar didukung oleh pelemahan JPY dan potensi partisipasi ritel yang lebih tinggi di pasar saham menyusul peningkatan insentif pajak yang mulai berlaku pada 1 Januari 2024 di bawah skema Nippon Individual Savings Account (NISA). Ke depan, fokus investor pada musim pendapatan dan hasil pertemuan kebijakan moneter oleh Bank of Japan (BoJ).
Asia ex-Jepang – Menaikan proyeksi Korea Selatan menjadi Overweight
Indeks MSCI Asia ex-Japan memulai tahun 2024 dengan catatan negatif, turun sebanyak 7.3% YTD pada pertengahan Januari, sebelum akhirnya berbalik menguat karena lebih banyak langkah pelonggaran kebijakan yang diumumkan oleh pemerintah dan media China. Kami tetap berpandangan Netral pada pasar ekuitas Asia ex-Jepang, tetapi kami memantau perkembangan China dengan cermat. Dalam konstituen Indeks, kami meningkatkan proyeksi satu tingkat untuk MSCI Korea menjadi Overweight, sekaligus menurunkan MSCI Filipina menjadi Netral.
China/ HK – Menyeimbangkan antara pertumbuhan dan pengendalian risiko
The People’s Bank of China (PBoC) mengumumkan pemotongan giro wajib minimum (reserve ratio requirement) sebesar 50 basis poin (bps) dan pemotongan 25 bps untuk suku bunga pinjaman dan diskonto setelah pertemuan Dewan Negara yang belum lama ini diselenggarakan. Hal tersebut memberikan sentimen positif ke pasar keuangan China. Selain itu, dilaporkan bahwa paket stabilisasi senilai hingga CNY 2.3 triliun sedang dipertimbangkan. Jika terkonfirmasi, maka hal ini dapat membantu meningkatkan sentimen pasar dan likuiditas dalam waktu dekat. Meskipun penurunan suku bunga saja mungkin tidak cukup untuk mengatasi permasalahan mendasar (seperti penurunan sektor properti, restrukturisasi utang), namun hal ini merupakan langkah awal yang cukup baik. Langkah tindak lanjut yang melibatkan paket yang terkoordinasi dan komprehensif akan diperlukan untuk mengatasi permasalahan struktural dan mendukung pemeringkatan ulang ekuitas secara berkelanjutan.
Kami masih berpandangan bahwa estimasi pendapatan untuk MSCI China Index terlihat optimis dan cenderung rentan terhadap revisi turun, terutama memasuki musim pelaporan perusahaan pada bulan Maret 2024.
Melihat ekonomi China dalam masa transisi dan AS sedang menuju siklus penurunan suku bunga, kami menganjurkan untuk fokus pada tiga tema investasi utama: i) proliferasi AI generatif; ii) mengidentifikasi pertumbuhan berkualitas dan pemimpin pasar di tengah masa pemulihan yang sulit, dan iii) strategi barbel pada imbal hasil (yield) untuk meredam volatilitas pasar.
Global Sectors – sektor teknologi informasi dan layanan komunikasi sedang memimpin
Sektor global yang mengungguli pasar secara YTD adalah sektor Teknologi Informasi, Layanan Komunikasi, dan Layanan Kesehatan, sedangkan sektor Material, Properti, dan Utilitas tertinggal. Di bidang Material, setelah kenaikan harga saham perusahaan pertambangan pada bulan Desember, terjadi koreksi pada bulan Januari dengan penurunan harga bijih besi di tengah prospek yang lebih lemah karena permintaan China. Perusahaan-perusahaan kimia dari Eropa juga mewaspadai potensi permasalahan rantai pasokan akibat ketegangan Laut Merah. Kami yakin sejumlah faktor di atas kemungkinan akan terus membebani sektor Material secara luas untuk saat ini.
Di sisi lain, kami tetap konstruktif pada sektor Teknologi AS karena mendorong tren periklanan.
BONDS
Kebijakan The Fed akan menjadi katalis pasar obligasi
Arah dan perubahan kebijakan moneter The Fed masih akan menjadi katalis penggerak utama aset pendapatan tetap di tahun 2024. – Vasu Menon
Kami masih melihat bahwa arah dan perubahan kebijakan moneter The Fed akan menjadi katalis penggerak utama aset pendapatan tetap di tahun 2024. Rata-rata durasi obligasi Investment Grade (IG) negara maju (DM) yang relatif lebih panjang, termasuk US Treasury, saat ini akan lebih diuntungkan seiring dengan proyeksi dimulainya siklus pemangkasan suku bunga, sehingga mendukung pandangan kami untuk tetap Overweight terhadap kategori aset ini. Penurunan suku bunga oleh bank sentral AS tentu akan memberikan dampak positif terhadap pasar obligasi secara keseluruhan. Namun demikian, kami tetap netral terhadap obligasi DM high yield (HY), obligasi negara berkembang (EM) IG dan HY.
Suku bunga
Ekspektasi pemangkasan suku bunga saat ini masih tinggi, ditengah para pelaku pasar yang masih terus berupaya memprediksi kapan pemangkasan akan dimulai. Proyeksi penurunan suku bunga yang awalnya sebesar 165 bps di pertengahan bulan Januari lalu, saat ini ekspektasi terlihat sudah mulai turun. Selain itu, pelaku pasar juga mengurangi secara tajam proyeksi pemangkasan suku bunga pertama pada pertemuan bulan Maret, dimana konsensus sempat mencapai 90% pada akhir bulan Desember.
Negara maju
Suku bunga yang tetap ditahan dan antisipasi pelonggaran kebijakan The Fed pada pertengahan tahun 2024 menjadi pendukung terhadap pandangan Overweight kami untuk aset DM IG. Rendahnya selisih (spread) kredit saat ini, imbal hasil terlihat semakin menarik bagi obligasi DM IG. Mengingat proyeksi kami terhadap imbal hasil (yield) US Treasury untuk bergerak lebih rendah pada akhir tahun 2024, obligasi DM IG akan lebih diuntungkan dibandingkan kategori lainnya karena memiliki rata-rata durasi yang lebih panjang.
Negara berkembang
Kami mempertahankan pandangan Netral terhadap obligasi EM HY dan EM IG, dengan preferensi yang lebih terhadap EM HY. Penurunan suku bunga dan juga pelemahan Dollar AS seharusnya akan dapat menyokong harga obligasi di kategori tersebut. Dengan banyaknya issue gagal bayar dalam dua tahun terakhir, kami mengantisipasi tahun 2024 akan menjadi tahun yang lebih baik. Dan yang terakhir, volatilitas obligasi EM HY seharusnya akan lebih terbatas saat ini seiring dengan meningkatnya diversifikasi secara geografis beberapa tahun terakhir.
Asia
Kami juga mempertahankan rekomendasi kami terhadap obligasi IG dan HY Asia dengan pandangan Netral. Dalam kategori IG, sebagian besar penerbit utang memiliki fundamental kredit yang stabil dan akan terus diuntungkan melalui dukungan pemerintah. Di kategori HY, properti China HY berhasil mencatatkan kinerja yang baik sejak awal tahun akibat dukungan pemerintah; akan tetapi terlihat masih terbebani dari sisi sentimen dan rendahnya tingkat penjualan rumah baru. Namun secara garis besar, obligasi HY Asia diprediksi akan berkinerja lebih baik tahun ini seiring dengan turunnya kekhawatiran pasar atas potensi gagal bayar.
FX & COMMODITIES
Pasokan yang cukup
Ketegangan geopolitik yang meningkat dapat mendukung pergerakan harga saat ini, melimpahnya pasokan non-OPEC+, terutama dari AS, Kanada, Brasil, dan Guyana, menunjukkan pasar minyak yang lebih longgar di masa depan. – Vasu Menon
Gold
Harga emas sejak awal tahun 2024 telah berada di kisaran USD 2,000/oz, tertahan oleh keyakinan terhadap ekspektasi kebijakan pelonggaran Federal Reserve.
Meskipun pergerakan harga berfluktuasi sepanjang tahun ini, pelonggaran The Fed yang hampir dipastikan terjadi, dan program pembelian yang kuat oleh bank sentral seharusnya menguntungkan harga emas di 2024. Meskipun terdapat banyak ketidakpastian mengenai waktu dan tingkat besaran penurunan suku bunga The Fed, gambaran besarnya adalah bahwa The Fed mungkin akan melonggarkan kebijakan moneter dan suku bunga AS berpotensi turun pada tahun 2024. Hal ini merupakan katalis positif untuk emas. Meningkatnya risiko geopolitik juga mendukung penggunaan emas sebagai diversifikasi portofolio.
Kami berharap pembelian bank sentral kembali berlanjut, dengan pertimbangan resiko perekonomian dan prospek pelemahan Dollar AS di 2024. Status safe haven utang pemerintah AS telah dipertanyakan dengan penurunan kredit belakangan ini. Sementara ETF emas terus melikuidasi kepemilikannya sebagai logam mulia di 2023, para investor diharapkan membangun kembali alokasi kepemilikan emas mereka di tahun ini yang pada akhirnya akan terwujud pada peningkatkan kembali aliran dana ETF ke emas.
Oil
Harga minyak bergerak ke posisi semula selama sebulan kemarin karena meningkatnya ketegangan di Timur Tengah. Gangguan pada Laut Merah mengakibatkan pengalihan rute perjalanan kapal dan kapal tanker, yang mana tidak akan terlalu mempengaruhi pasokan minyak. Namun hal itu berubah setelah pasukan Houthi menyerang sebuah kapal tanker bahan bakar yang membawa produk minyak olahan Rusia. Risiko terseretnya AS ke dalam konflik juga meningkat, menyusul serangan pesawat tak berawak terhadap pasukan AS di pangkalan militer di Yordania.
Ketegangan geopolitik yang meningkat dapat mendukung pergerakan harga saat ini, melimpahnya pasokan non-OPEC+, terutama dari AS, Kanada, Brasil, dan Guyana, menunjukkan pasar minyak yang lebih longgar di masa depan. Produksi minyak AS didukung oleh peningkatan yang kuat dalam produktivitas sumur, meskipun pertumbuhan aktivitas pengeboran terbatas. Kami mengurangi perkiraan harga minyak Brent dalam 12 bulan ke depan menjadi USD 75/barrel dari sebelumnya USD 85/ barrel. Pengelolaan pasokan oleh aliansi OPEC+, strategi penyetokan ulang oleh China dan AS, dan resiko resesi yang ringan seharusnya membatasi resiko penurunan pada harga minyak. OPEC+ tampaknya bertekad untuk menopang harga minyak dengan mengurangi pasokan, dan kami memperkirakan disiplin pasokan akan tetap diterapkan sepanjang tahun 2024.
Dollar AS diperdagangkan dengan pola bertahan selama paruh kedua di bulan Januari, mengikuti kenaikan yang terlihat pada paruh pertama bulan tersebut. Pasar mulai menurunkan beberapa proyeksi agresif terhadap pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve. Pesan utama dari pertemuan FOMC pada 31 Januari adalah The Fed mendukung adanya pivot tetapi di waktu yang bersamaan juga mengisyaratkan tidak terburu-buru untuk menurunkan suku bunga. Ketergantungan terhadap rilisan data tetap menjadi faktor utama dan akan terus mendorong volatilitas Dollar AS.
Pada FOMC bulan Maret, The Fed masih mempunyai dua bacaan data inflasi (CPI) untuk dinilai apakah mereka mempunyai keyakinan yang lebih baik bahwa inflasi bergerak menuju target. Secara keseluruhan, komentar terakhir The Fed menunjukkan bahwa pemangkasan pada bulan Mei dapat menjadi hal yang mendasar, sama seperti apa yang diharapkan pasar. Pasar telah memperkirakan adanya pemangkasan sebesar 25 bps sebanyak enam kali pada setiap pertemuan kebijakan Fed, dimulai pada bulan Mei sampai dengan akhir tahun. Kami masih meyakini pelemahan Dollar AS lebih lanjut seiring dengan berakhirnya pengetatan The Fed dan potensi dimulainya siklus pemangkasan tarif segera mungkin. Data inflasi inti PCE yang lebih rendah untuk Desember 2023 (2.9% y-o-y) dan meredanya pasar ketenagakerjaan AS, semakin memperkuat tren disinflasi. Jika tren disinflasi terus berlanjut dan pengetatan pasar tenaga kerja semakin berkurang, hal ini dapat menyebabkan pelemahan terhadap Dollar AS. Meski begitu, Dollar AS tidak diperdagangan satu arah saja. Mata uang ini tetap merupakan aset safe-haven. Jika momentum pertumbuhan global/China terhenti dan ketegangan geopolitik meningkat, kita masih bisa melihat penurunan Dollar AS yang terbatas. Saran kami adalah menjual Dollar AS saat terjadi penguatan.
Better prospect in 2024
Kinerja pasar saham AS meningkat signifikan di bulan November paska keputusan Fed untuk mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 5.25 hingga 5.50%. Selain itu, Gubernur Fed, Jerome Powell menyatakan bahwa kebijakan suku bunga acuan “hampir berada di level netral”. Tak hanya pasar saham, pernyataan ini turut mendorong imbal hasil US Treasury 10 tahun (UST 10Y) ke level 4.3% di akhir bulan November. Tingkat inflasi AS pada bulan November dirilis tetap berada di 3.1% y-o-y. Nada kebijakan yang lebih dovish ini meningkatkan ekspektasi bahwa pemangkasan suku bunga AS diperkirakan akan terjadi lebih cepat di 2024. Hal ini terjadi sebagai imbas dari potensi masuknya ekonomi AS pada era soft landing. Selanjutnya, pada pertemuan FOMC di bulan Desember, para pejabat Fed mengindikasikan potensi pemangkasan suku bunga di 2024 dapat terjadi setidaknya 3 kali, hingga sebesar 1.5%.
Akan tetapi, pergerakan pasar modal AS di 2024 tidak hanya akan dipengaruhi oleh arah kebijakan suku bunga. AS pun akan melangsungkan Pemilu di bulan November 2024. Secara historis dari Pemilu AS periode sebelumnya, pasar saham memiliki performa yang cukup baik. Eforia ini umumnya akan dimulai setidaknya beberapa bulan sebelum berlangsungnya Pemilu.
Sementara itu, dari belahan dunia barat lainnya, Zona Eropa juga turut mengantisipasi puncak kenaikan suku bunga acuan. Bursa saham menguat walaupun beberapa indikator ekonomi terlihat stagnan. Angka inflasi bulan Oktober secara y-o-y dirilis tetap berada di 2.9%, demikian pula dengan angka pengangguran, berada di 6.5%. Indeks kepercayaan ekonomi 6 bulan ke depan ZEW Economic Sentiment, menunjukkan kenaikan ke 12.8, dibandingkan bulan sebelumnya di 9.8. Ekonomi Eropa diperkirakan akan bertumbuh sebesar 0.5% di 2024, sedikit meningkat dibandingkan estimasi 2023 di 0.4%.
Beralih ke timur, lembaga pemeringkat hutang, Moody’s, memangkas outlook dari surat hutang China dari Stable menjadi Negative, namun tetap mempertahankan peringkat pada level A1. Moody’s memperkirakan PDB China akan melambat ke kisaran 4% di 2024 dan 2025, dan akan berada di rata-rata 3.8% untuk periode 2026 hingga 2030. Pemerintah China sepanjang tahun ini telah merilis sejumlah stimulus dalam skala terbatas untuk membantu sektor properti dan memperkuat pasar saham. Namun hal ini belum berhasil menopang sentimen secara berkelanjutan. Dari sisi fundamental, aktivitas manufaktur mulai menunjukkan ekspansi di 50.7, diikuti oleh penjualan ritel yang mulai meningkat di 7.6%.
Sementara itu, dari dalam negeri, inflasi bulan November dirilis di 2.86% secara y-o-y. Angka inflasi yang cukup terkendali dan kebijakan Fed yang lebih dovish mendorong Bank Indonesia kembali mempertahankan suku bunga acuan 7-day reverse repo rate di 6.0%. Menurut survey analis Bloomberg, Bank Indonesia diperkirakan akan mulai memangkas suku bunga pada kuartal ketiga – 2024.
Equity
Bursa saham IHSG mencatatkan penguatan sebesar 4.87% sepanjang bulan November. Saham di sektor Teknologi dan Infrastruktur memimpin penguatan, masing-masing sebesar 20.51% dan 19.52%. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5.2% pada 2024, dan akan tetap stabil pada tahun berikutnya. Proyeksi dari peningkatan perekonomian Indonesia tahun depan merupakan buah dari kondisi yang membaik tahun ini. Tak hanya itu, di penghujung tahun ini, perhatian investor mulai tertuju pada persiapan pesta demokrasi yang akan berlangsung pada 14 Februari 2024 mendatang. Secara historis, masa persiapan Pemilu memberikan sentimen yang cukup positif pada kinerja pasar saham.
Obligasi
Seperti halnya yang terjadi di negara maju, pergerakan harga pasar obligasi domestik di bulan November mulai mengalami kenaikan sebagai imbas dari penurunan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun juga bergerak turun, dari level 7.1% ke level 6.62% pada penghujung November. Investor asing mencatat pembelian bersih pada SBN sebesar Rp 23.5 triliun di bulan November. Harga minyak global yang melandai turut mendorong penguatan pasar obligasi Indonesia.
Sementara itu, Pemerintah mentargetkan penerbitan Surat Utang Negara di 2024 akan berada di Rp 666.4 triliun. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2023 di kisaran Rp 362.93 triliun. Kebutuhan refinancing dari hutang yang jatuh tempo sedikit meningkat di 2024 di Rp 565 triliun, dari Rp 482 triliun di 2023. Secara fundamental, investasi pada obligasi domestik masih cukup menarik, didukung oleh kestabilan inflasi domestik, potensi pemangkasan suku bunga acuan di 2024, serta defisit anggaran yang bertahan rendah.
Currency
Mata uang Rupiah bergerak menguat sepanjang bulan November terhadap Dollar AS sebesar 2.36% ke kisaran 15,510. US Dollar Index (DXY) turun 2.47% ke level 103.49 pada bulan November. Memasuki 2024, nada kebijakan Fed yang lebih dovish diperkirakan akan turut mendukung pergerakan Rupiah.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC Indonesia
A pivotal year
Dalam skenario dasar kami, dampak yang tertunda akibat kenaikan suku bunga agresif dan kebijakan fiskal ketat akhirnya membawa pelemahan pada ekonomi AS, sektor tenaga kerja AS dan berkurangnya kepercayaan konsumen. Dalam skenario ini, ekonomi AS diperkirakan akan mengalami resesi ringan dalam dua kuartal pada pertengahan tahun 2024 sementara kenaikan inflasi inti diperkirakan di bawah 3%. - Eli Lee
Setelah tahun 2023 yang penuh tantangan, prospek ekonomi tahun depan seharusnya akan lebih cerah bagi pasar keuangan. Penurunan tingkat inflasi dan kekhawatiran resesi berpotensi membuat bank sentral beralih dari kenaikan suku bunga yang cepat menjadi penurunan suku bunga yang terukur pada tahun 2024. Aset berisiko dengan demikian berpeluang mendapatkan keuntungan dari para pembuat kebijakan yang lebih ingin meningkatkan ekonomi mereka daripada menargetkan penurunan inflasi lebih lanjut.
Menurut kami dengan perubahan kebijakan bank sentral dari pengetatan ke pelonggaran di tahun depan nanti, akan menjadi pendorong utama bagi pasar keuangan, untuk mengatasi kekhawatiran resesi dan perlambatan ekonomi dunia.
United States
Untuk tahun 2024, kami memperkirakan perlambatan aktivitas ekonomi AS dan inflasi inti akan turun di bawah 3% paska kenaikan suku bunga The Fed yang agresif di tahun 2022 dan 2023. Dengan demikian, bank sentral akan dapat mulai memangkas suku bunga acuannya mulai bulan Juni. Perekonomian AS kemungkinan akan mengalami resesi ringan, terkontraksi selama dua kuartal di tahun 2024.
Yang menjadi acuan kami untuk peralihan pelongaran kebijakan suku bunga Fed tahun depan didukung oleh faktor-faktor berikut:
Inflasi inti yang diukur dengan indikator harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) telah turun dari 5.5% pada tahun 2022 menjadi 3.5% saat ini. Setelah inflasi PCE inti turun di bawah 3% pada tahun 2024, kami memperkirakan The Fed akan beralih kebijakan dari kenaikan ke penurunan suku bunga, dengan memangkas suku bunga The Fed sebesar 25 bps pada bulan Juni, September, dan Desember.
Kami memperkirakan bahwa ekonomi AS akan mengalami resesi ringan, meskipun telah dilakukan penurunan suku bunga The Fed, sehingga kombinasi dari pertumbuhan yang lebih melambat dan kebijakan moneter yang lebih longgar akan menyebabkan imbal hasil US Treasury (UST) turun dalam 12 bulan ke depan seperti yang ditunjukan pada tabel di bawah ini. Estimasi kami bahwa Fed akan mulai memangkas suku bunga setiap kuartal mulai bulan Juni dan terjadinya resesi ringan, memiliki probabilitas 50% untuk terjadi.
Kami juga berpikir adanya kemungkinan sebesar 30% terjadi soft landing di mana AS menghindari resesi dan inflasi inti turun di bawah 3%, serta probabilitas 20% terjadi hard landing di mana inflasi inti tetap di atas 3%, yang akan mencegah The Fed untuk melakukan pelonggaran dan menyebabkan penurunan yang lebih dalam pada tahun 2024.
Dengan demikian, kami memperkirakan negara-negara besar lainnya juga akan mengalami perlambatan pertumbuhan di tahun depan.
Eurozone / UK
Keduanya berisiko mengalami kontraksi pada semester kedua tahun 2023 – sebagai dampak kenaikan suku bunga dan harga energi akibat perang di Ukraina – dan kemungkinan besar secara perlahan keluar dari resesi di tahun depan.
Penurunan tingkat inflasi akan memberikan ruang bagi Bank Sentral Eropa (ECB) untuk mulai memangkas suku bunga dari level tinggi saat ini sebesar 4.00% pada Juni 2024 dan Bank of England (BoE) dari 5.25% pada semester kedua tahun depan.
Namun, kami memperkirakan pertumbuhan PDB masih akan berada di kisaran 0.5% untuk tahun 2023 dan 2024 untuk kedua negara tersebut.
China
Di tahun 2023, pemulihan China mengalami tantangan, dan kami mengantisipasi pembukaan kembali China yang tidak merata akibat pandemi akan lebih melambat di tahun 2024.
Kebijakan fiskal yang lebih longgar akan lebih membantu, dan kami mempertahankan perkiraan PDB meningkat sebesar 5.4% pada tahun 2023. PDB dapat tumbuh perlahan sebesar 5.0% pada tahun 2024 dengan lebih banyak langkah pelonggaran fiskal, moneter, dan properti untuk menjaga pertumbuhan. Namun, kepercayaan investor masih rendah terutama akibat sektor properti yang lemah. Ekspor juga berpotensi akan menghadapi hambatan dari perlambatan pertumbuhan global.
Japan
Kami memperkirakan ekonomi Jepang juga akan melambat pada tahun 2024 seiring dengan pudarnya sentiment positif dari pembukaan kembali. Kami juga memperkirakan Bank of Japan (BoJ) akan keluar dari periode panjang suku bunga negatif pada tahun 2023 karena inflasi yang mulai meningkat di Jepang.
Summary
Pertumbuhan ekonomi global secara keseluruhan sudah melambat selama tiga tahun berturut-turut pada tahun 2024, namun dengan The Fed, ECB, dan Bank of England (BoE) yang beralih ke penurunan suku bunga, prospek ekonomi akan menjadi lebih baik untuk pasar keuangan tahun depan.
Kami merekomendasikan overweight yang lebih moderat terhadap aset berisiko pada awal tahun 2024, dengan preferensi pada obligasi pemerintah dan obligasi korporasi berkualitas tinggi untuk aset pendapatan tetap sebagai lindung nilai terhadap risiko resesi, juga rekomendasi overweight moderat pada ekuitas seiring dengan penurunan suku bunga yang akan datang mendukung sentimen investor.
Proyeksi yang semakin positif
Pada pasar saham kami menaikan peringkat Underweight menjadi Overweight yang lebih moderat. Kami menaikan peringkat ekuitas Eropa dari Underweight menjadi Netral, tetap Netral untuk ekuitas AS dan Asia ex -Jepang, serta Overweight untuk ekuitas Jepang. Kami tetap mendukung sektor pertumbuhan yang berkualitas, seperti Teknologi, dan sektor yang defensive seperti Kesehatan, Konsumsi Dasar, dan Utilitas. – Eli Lee
US
Kami melihat dampak dari kenaikan tingkat suku bunga mulai terasa, tercermin dari penurunan jumlah simpanan rumah tangga, dan aturan kredit perbankan yang lebih ketat. Di satu sisi, perkembangan metrik operasional yang kuat dari perusahaan teknologi besar terus berlanjut, sementara penerima manfaat dari teknologi kecerdasan buatan (AI) juga meningkat.
Pemilihan Presiden akan menjadi sentimen berikutnya, meskipun kemungkinan besar baru terjadi pada semester kedua 2024. Maka, saat ini kami tetap Netral di pasar saham AS.
Europe
Bank sentral Eropa kemungkinan akan mulai memangkas suku bunga pada kuartal kedua – 2024, yang diperkirakan akan mendukung pergerakan aset berisiko, termasuk pasar saham Eropa.
Namun demikian, pertumbuhan pendapatan diperkirakan masih terbatas, seiring dengan penurunan risiko resesi. Eropa juga berupaya untuk menyeimbangkan strategi geopolitik yang datang dari tekanan antara AS dan China.
Jepang
Kami Overweight di pasar saham Jepang dengan beberapa faktor pendorong, seperti: berlanjutnya reformasi perusahaan yang mengarah pada peningkatan dividen dan pembelian kembali saham; percepatan pelepasan kepemilikan lintas saham; partisipasi investor ritel yang meningkat seiring dengan perubahan skema program perpajakan investasi untuk individual (Nippon Individual Saving Account – NISA); serta pertumbuhan upah yang dapat mendorong kenaikan konsumsi dan harga, sehingga mengurangi potensi tekanan pada laba perusahaan.
Kami lebih memilih perusahaan dengan eksposur yang lebih tinggi terhadap konsumsi domestik dibandingkan ekspor, juga akan mengevaluasi penurunan harga saham dari perbankan besar dan perusahaan asuransi jiwa.
Asia ex-Japan
Kami mempertahankan peringkat Netral pada Indeks MSCI Asia ex-Japan. Penurunan imbal hasil UST 10 tahun dan harga minyak baru-baru ini, ditambah dengan serangkaian pelonggaran kebijakan yang lebih agresif oleh pemerintah China dapat memberikan dukungan jangka pendek terhadap harga saham. Namun, meningkatnya risiko resesi di AS, ketidakpastian yang timbul dari pemilu di kawasan ini (Taiwan, Indonesia, dan India) serta tantangan struktural di China merupakan faktor-faktor yang akan menjadi penghambat pada tahun 2024.
China/ HK
Meskipun data makro dilaporkan variatif, ekspektasi suku bunga AS yang telah mencapai puncaknya dan stabilisasi selisih imbal hasil obligasi AS-China akan membantu mengembalikan fokus investor ke fundamental perusahaan sehingga mendukung potensi kenaikan harga saham dalam waktu dekat.
Namun, konsensus estimasi pendapatan untuk saham perusahaan China di luar negeri terlihat terlalu tinggi, sehingga rentan untuk direvisi turun. Kami yakin penilaian ulang yang berkelanjutan akan bergantung pada dukungan kebijakan yang lebih terkoordinasi, pemulihan sektor properti, dan prospek pendapatan perusahaan.
Dengan valuasi murah serta posisi yang rendah, faktor risk - return menjadi lebih menarik, jika kekhawatiran ini mereda.
Sektor Global
Kami merekomendasikan perpaduan beberapa sektor berkualitas yang berpotensi mengalami pertumbuhan (seperti emiten di sektor Telekomunikasi, sektor Teknologi Informasi) dan sektor defensif (seperti Kesehatan, Utilitas, dan Konsumsi Dasar).
Kami menyukai perusahaan yang konsisten memberikan dividen dan memiliki arus kas yang sehat, untuk menghadapi ketidakpastian makroekonomi di 2024.
Dengan demikian, kami meningkatkan peringkat sektor Teknologi Informasi dan Telekomunikasi dari Netral menjadi Overweight. Dengan kecenderungan imbal hasil UST 10Y yang bergerak menuju target kami 3.25% dalam 12 bulan ke depan, tanpa disertai resesi yang mendalam, seharusnya akan lebih menguntungkan sektor Teknologi dan aset berisiko jangka panjang.
Untuk pasar negara maju (DM), kami cenderung lebih selektif mengingat valuasi yang sudah tidak murah, seiring dengan rally yang terjadi belakang ini.
Kami juga menaikkan peringkat sektor properti secara global menjadi Netral, dengan harapan siklus suku bunga AS sudah mendekati puncaknya, dan posisi yang sudah terlalu rendah.
Terakhir, kami menurunkan peringkat sektor keuangan global dari Netral menjadi Underweight. Meskipun kami mengakui valuasi (forward P/E) sektor tersebut relatif murah, namun secara siklikal kondisi resesi akan menekan pergerakan harga saham sektor ini. Persyaratan permodalan yang lebih ketat, pertumbuhan kredit yang lemah, kekhawatiran terhadap kualitas kredit, dan prospek pemulihan aktivitas pasar modal yang pada akhirnya membuat kami menghindari sektor ini.
Menunggu dimulainya pelonggaran kebijakan
Untuk pasar obligasi, kami tetap Overweight terhadap obligasi investment grade (IG) negara maju (DM) dan menaikan peringkat untuk obligasi DM high yield (HY) dari Underweight ke Netral. – Vasu Menon
Sejalan dengan ekspektasi The Fed yang akan memulai pemangkasan suku bunga acuan pada bulan Juni 2024, imbal hasil (yield) US Treasury (UST) dapat menurun signifikan dan berpotensi memberikan tingkat pengembalian hingga 12% di tahun depan. Walaupun kami melihat masih ada volatilitas jangka pendek, namun kami memproyeksikan yield 10 tahun turun ke level 3.25% dalam 12 bulan ke depan. Maka dari itu, kami merekomendasikan untuk memperpanjang durasi portofolio, dengan preferensi tetap pada rentang jatuh tempo 8 hingga 15 tahun.
Obligasi Investment Grade Negara Maju
Kami mempertahankan rekomendasi Overweight di tengah ekspektasi resesi ringan di AS dan proyeksi imbal hasil UST di level 3.25% dalam 12 bulan ke depan. Kelas aset yang memiliki durasi terpanjang, akan lebih unggul saat terjadi pelonggaran kebijakan moneter, yang berpotensi dimulai pada semester kedua 2024. Terlebih lagi, dengan imbal hasil yang menarik saat ini secara historis, maka obligasi akan mendapatkan manfaat dari beralihnya minat investor dari pasar uang ke obligasi selama siklus pelonggaran kebijakan.
Obligasi High Yield Negara Maju
Kami menaikkan rekomendasi menjadi Netral dan melihat potensi keuntungan pada rentang 8%-9% selama 12 bulan ke depan. Meskipun kami melihat probabilitas gagal bayar akan meningkat, juga selisih (spread) imbal hasil yang cukup lebar, dengan imbal hasil yang saat ini berada di atas 8% akan memberikan buffer yang cukup baik. Terakhir, rendahnya volume obligasi yang jatuh tempo di tahun 2024 menjadi sentimen positif terhadap kelas aset ini.
Negara Berkembang (EM)
Kami mempertahankan peringkat Netral untuk obligasi EM HY dan EM IG, dengan kecenderungan lebih pada EM HY. Aset pendapatan tetap yang masuk dalam kategori EM HY juga semakin terdiversifikasi secara geografis beberapa tahun terakhir, sehingga dapat meredam volatilitas.
Asia
Permintaan yang meningkat dari para pelaku pasar di China dan imbal hasil yang menarik merupakan faktor pendukung pasar obligasi Asia. Kami merevisi peringkat untuk obligasi Asia IG dan Asia HY dari Underweight ke Netral. Untuk kategori IG, mayoritas penerbit obligasi saat ini seharusnya memiliki fundamental kredit yang relatif stabil dan akan terus diuntungkan oleh kepemilikan dan dukungan pemerintah.
Summary
Pelonggaran kebijakan berpotensi dimulai pada semester kedua 2024. Maka dari itu, kami mempertahankan pandangan Overweight terhadap obligasi DM IG dan obligasi pemerintah AS, yang akan lebih diuntungkan dengan pelonggaran kebijakan. Kami menaikkan pandangan terhadap DM HY ke Netral, dan tetap Netral terhadap EM HY dan EM IG. Kami masih berhati-hati terhadap obligasi HY properti China di tengah ketidakpastian fundamental jangka panjang.
Penurunan bertahap
Tren penurunan laju inflasi yang semakin menyebar, dan pelonggaran lebih lanjut dari pasar tenaga kerja yang ketat, serta data aktivitas di AS pada tahun 2024 dapat membebani kinerja Dolar AS. – Vasu Menon
Gold
Kinerja yang baik dari emas kemungkinan akan berlanjut hingga 2024. Sebagai aset zero coupon berdurasi panjang, permintaan investasi untuk emas akan lebih diuntungkan dengan pelemahan Dolar AS dan penurunan imbal hasil US Treasury (UST) ketika Federal Reserve (Fed) memulai siklus pelonggaran kebijakan pada pertengahan 2024.
Penurunan suku bunga riil AS akan mendorong harga emas menuju level tertinggi yang baru pada US$2,200/oz di akhir 2024. Pergerakan Emas juga didukung oleh aktivitas pembelian yang kuat oleh bank sentral.
Emas juga terlihat menarik sebagai diversifikasi yang dapat diandalkan saat meningkatnya potensi risiko geopolitik dan kalender pemilihan umum global yang padat di tahun 2024. Beberapa pemilu ini merupakan kegiatan politik yang sudah rutin dilakukan, namun tidak menutup kemungkinan terjadi kejutan. Pemilihan presiden AS di bulan November, dan pemilihan umum Taiwan di bulan Januari menjadi agenda utama untuk diperhatikan.
Oil
Proyeksi kami terhadap harga minyak Brent tetap di US$85/bbl untuk akhir 2024. Penurunan harga belakangan ini didorong oleh kekhawatiran atas: (i) perlambatan pertumbuhan ekonomi global, juga permintaan kebutuhan minyak, seiring dengan kenaikan tajam suku bunga dan (ii) kenaikan produksi yang lebih tinggi daripada perkiraan oleh negara non-OPEC++.
Namun faktor geopolitik, seperti konflik Israel-Hamas dan Rusia-Ukraina, serta komitmen negara penghasil OPEC+ akan membantu membatasi penurunan harga minyak mentah.
Negara anggota OPEC+ baru saja menyetujui untuk mengurangi pasokan sebesar 2.2juta juta/hari. Kenaikan dari pengurangan produksi secara sukarela mencapai 900kb/hari, dimana 200kb/hari berasal dari penurunan ekspor minyak Rusia dan 700kb/hari dibagi di antara enam anggota OPEC+. Pemotongan ini akan dimulai pada kuartal pertama 2024, ketika permintaan minyak global berada pada titik terendah secara musiman. Ini adalah langkah OPEC+ untuk menekankan komitmen mereka dalam mempertahankan harga minyak di kisaran USD80/bbl.
Currency
Indeks Dollar AS turun sebesar 3% di bulan November. Narasi Dolar AS mulai bergeser, dipimpin oleh rilisan data AS yang mulai lemah.
Kami tetap subyektif dalam mengadopsi "sell-on-rally" pada Dolar AS. Sejauh mana Dolar AS akan melemah sangat bergantung pada: (i) seberapa besar ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga The Fed; dan (ii) kapan dilakukan pemotongan suku bunga pertama. Meskipun demikian, bahkan dengan penurunan imbal hasil US Treasury, Dolar AS tetap merupakan aset safe-haven, sehingga masih akan bertahan hingga level tertentu.
Euro (EUR) terapresiasi sebesar 3.2% (terhadap Dolar AS) pada bulan November, sejalan dengan penurunan pada Dolar AS dan retorika hawkish ECB. Untuk jangka waktu yang lebih panjang, kami melihat masih ada ruang bagi EUR untuk kembali menguat di tengah pelemahan Dolar AS akibat perubahan narasi pada Dolar AS.
Poundsterling (GBP) menguat tajam (4% terhadap Dolar AS) selama bulan November disebabkan oleh berbagai faktor pendukung, termasuk retorika BOE yang hawkish, data ekonomi, serta keuangan pemerintah Inggris yang tidak seburuk perkiraan sebelumnya. Kami sedikit konstruktif terhadap prospek GBP dengan tingkat pertumbuhan permintaan Inggris yang terbukti masih tangguh. Potensi perbedaan kebijakan dari BOE-FED, akan mendukung pergerakan GBP.
Troubling Times
Kinerja pasar saham global kembali mengalami tekanan yang cukup signifikan sepanjang bulan Oktober. Indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing membukukan pelemahan -1.36%, -2.20%, dan -2.78%. Pada pertemuan pejabat Fed di bulan September, nada kebijakan higher for longer mengakibatkan pasar obligasi melemah. Imbal hasil obligasi pemerintah US Treasury 10Y sempat menyentuh 5.018% pada perdagangan intraday di akhir bulan Oktober. Akan tetapi, pada pertemuan FOMC di awal bulan November, The Fed mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 5.25% - 5.50% sesuai estimasi pelaku pasar. Beberapa indikator perekonomian AS mulai menunjukkan perlambatan, seperti angka pengangguran Oktober yang meningkat ke level 3.9%, serta laju inflasi yang tetap bertahan relatif tinggi.
Selain itu, konflik geopolitik antara Israel dan Hamas juga turut membebani pergerakan pasar saham global khususnya AS. Serangan pertama Hamas ke Israel terjadi untuk pertama kali pada tanggal 7 Oktober 2023 dan masih berlangsung hingga saat ini dengan aksi saling membalas. Namun demikian, hal ini diperkirakan tidak akan terlalu berdampak pada kenaikan terhadap harga minyak mentah yang sampai dengan akhir Oktober 2023 masih berada di level US$ 82.11/barrel, mengingat negara tersebut bukan termasuk produsen utama.
Hal ini juga tercermin pada rilisan angka inflasi negara Zona Eropa yang masih terkendali. Inflasi Zona Eropa masih berada di level 4.3%, sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar. Maka dari itu, Bank sentral Eropa (ECB) sesuai ekspektasi menahan suku bunga acuan di level 4.5%. Bank sentral Eropa melihat belum ada urgensi untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya melihat angka inflasi yang masih cukup terkontrol. Keadaan positif ini juga mendukung pertumbuhan sektor manufaktur dan jasa yang dilaporkan mengalami perbaikan walaupun masih berada pada area kontraksi yaitu masing-masing di 43.7 dan 48.6.
Sementara itu di Asia, mayoritas pergerakan pasar saham juga mengalami penurunan, terlihat dari kinerja MSCI Asia Pacific ex-Japan -4.11% sepanjang bulan Oktober. Masih tingginya ketidakpastian ekonomi China membuat sebagian besar investor melakukan aksi jual pada aset berisiko. Perkembangan sektor properti China masih menjadi perhatian khusus investor, walaupun pemerintah China sudah melakukan berbagai macam stimulus dengan menjaga suku bunga pinjaman baik yang satu tahun maupun yang lima tahun di level rendah yaitu 3.45% dan 4.20%, namun belum mampu memberikan sentimen positif yang cukup signifikan.
Dari perekonomian domestik, Bank Indonesia secara mengejutkan menaikkan tingkat suku bunga acuan 7-day Reverse Repo Rate ke level 6.00%. Keputusan tersebut diambil oleh Bank Indonesia seiring dengan konsistensi dalam upaya bank sentral menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah yang melemah signifikan, hampir menyentuh level 16,000/US$ akibat nada kebijakan The Fed. Selain itu juga, kebijakan ini diambil untuk menjaga perbedaan suku bunga antara Dolar AS dan Rupiah.
Equity
Bursa saham IHSG mencatatkan penurunan sebesar -2.70% sepanjang bulan Oktober, mengikuti pelemahan yang terjadi pada bursa saham global lainnya. Saham di sektor teknologi dan konsumen transportasi memimpin pelemahan paling tinggi, masing-masing sebesar -11.08% dan -9.34%. Pelemahan pasar saham di bulan Oktober juga disebabkan karena keluarnya aliran dana asing di sepanjang tahun 2023 sebesar US$ 865.2 juta. Di tengah kekhawatiran terhadap pelemahan ekonomi global terutama dari AS dan Eropa, ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan bertumbuh di 2023 di kisaran 5.0% – 5.3%. Terlebih dengan adanya masa pemilihan umum pada awal 2024 yang diperkirakan akan menambah dorongan untuk kenaikan pada sektor keuangan, infrastruktur, dan industri.
Bond
Seperti halnya yang terjadi di negara maju, pasar obligasi domestik di bulan Oktober turut tertekan sebagai imbas dari kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun mengalami kenaikan, hingga menyentuh level tertinggi ke level 7.26%. Puncak kenaikan imbal hasil ini terjadi pada 24 Oktober paska pernyataan The Fed yang bernada hawkish, di ikuti tindakan pre-emptive Bank Indonesia yang secara mengejutkan menaikan suku bunga acuan ke level 6.00%. Tingginya ketidakpastian di pasar obligasi, akan menimbulkan volatilitas dalam jangka pendek.
Akan tetapi, secara fundamental, investasi pada obligasi domestik masih cukup menarik, dengan realisasi penerbitan obligasi yang masih jauh di bawah target awal pemerintah, tingkat defisit anggaran yang diperkirakan akan turun, inflasi domestik yang relatif rendah, serta kepemilikan investor asing yang cukup rendah tepatnya di kisaran 14.77%%, seharusnya volatilitas yang timbul hanya sementara. Investor dapat secara selektif melakukan akumulasi pada saat terjadi penurunan harga.
Currency
Mata uang Rupiah kembali bergerak melemah cukup signifikan sepanjang bulan Oktober terhadap Dolar AS sebesar 2.71% ke kisaran 15,885. Pelemahan mata uang Rupiah diakibatkan oleh menguatnya mata uang Dollar AS terhadap mata uang global dengan US Dollar Index (DXY) masih berada pada level 106.80 sepanjang bulan Oktober. Dalam jangka pendek, volatilitas mata uang Rupiah diperkirakan masih akan terjadi, akibat tingginya ketidakpastian akibat retorika kebijakan suku bunga Fed, higher for longer. Sementara itu, Cadangan Devisa bulan September dirilis sebesar US$ 133.1 miliyar, setara dengan pembiayaan enam bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Bank Indonesia juga berkomitmen untuk tetap menjaga stabilitas mata uang Rupiah melalui beberapa kebijakan makroprudential dan sistem pembayaran, seperti halnya kebijakan Local Currency Settlement (LCS), Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), hingga kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE).
Juky Mariska, Wealth Management Head, PT Bank OCBC NISP Tbk
Dalam 12 bulan ke depan, kami khawatir terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global akan menghadapi ketidakpastian signifikan dari pengetatan kondisi keuangan, berkurangnya tabungan masyarakat selama pandemi, dan memuncaknya pengeluaran pemerintah AS. - Eli Lee
Proyeksi ekonomi ke depan tetap menjadi tantangan bagi pasar keuangan. Pertama, imbal hasil surat utang AS (UST) tenor 10 tahun menyentuh 5.00% untuk pertama kalinya sejak tahun 2007. The Fed menahan kebijakan suku bunga sejak terakhir kali menaikan Fed Fund Rate menjadi 5.25-5.50% pada bulan Juli. Namun, The Fed tetap memperingatkan potensi kenaikan tingkat suku bunga bila diperlukan untuk menekan laju inflasi. Tingginya imbal hasil UST juga didukung oleh solidnya perekonomian AS. Pada kuartal III - 2023, PDB AS bertumbuh pada 4.9% secara tahunan ditengah kenaikan tingkat suku bunga Fed yang terjadi dalam beberapa kuartal terakhir, akibat dari konsumsi yang tetap tinggi. Selain itu, pinjaman berskala besar oleh Departemen Keuangan AS untuk mendanai defisit anggaran pemerintah sebesar 8% dari PDB juga turut mendorong kenaikan imbal hasil obligasi.
Dalam waktu dekat, imbal hasil UST diperkirakan masih akan berfluktuasi hingga akhir tahun ini sementara Fed masih mempertahankan pandangan hawkish terkait potensi kenaikan suku bunga. Kami juga memperkirakan bank sentral AS masih akan bertahan dengan suku bunga acuan di 5.25%-5.50% sampai dengan musim panas mendatang untuk mencapai target inflasi pada 2%. Namun dalam 12 bulan ke depan, kami khawatir bahwa kondisi keuangan akan semakin sulit, berkurangnya simpanan dari stimulus masa pandemi dan naiknya pengeluaran pemerintah AS, akan menyebabkan ekonomi AS jatuh ke dalam resesi dengan terkontraksi selama dua kuartal berturut-turut di tahun 2024. Maka, kami memperkirakan imbal hasil UST akan lebih rendah dalam 12 bulan mendatang seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini. Kami juga mengantisipasi bahwa The Fed akan merespon kondisi resesi melalui pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps setiap kuartal pada pertengahan tahun 2024.
Risiko kedua terhadap proyeksi pertumbuhan adalah pecahnya perang di Israel dan Gaza. Konflik ini telah membuat harga energi melaju tinggi. Namun, apabila negara lain ikut terlibat dalam konflik di Timur Tengah, maka harga minyak diperkirakan dapat melonjak hingga US$ 100/barel seperti yang terjadi pada tahun lalu ketika Rusia menginvasi Ukraina.
Ketiga, kekhawatiran resesi terus membayangi pertumbuhan Eropa. Purchasing Manager Index (PMI) periode Oktober – sebuah indikator sentimen bisnis, mengindikasikan kontraksi di Zona Eropa dan Inggris pada semester kedua tahun ini setelah European Central Bank (ECB) menaikkan suku bunga hingga 4.00% dan Bank of England hingga 5.25% untuk menekan inflasi. Kami memperkirakan Zona Eropa akan mengalami penurunan PDB untuk kuartal III – 2023 dan kuartal IV – 2023. Dengan demikian, kawasan ini akan mengalami resesi untuk pertama kalinya sejak pandemi tahun 2020.
Keempat, pembukaan kembali ekonomi China paska pandemi yang tidak merata juga membebani proyeksi ekonomi. Tahun ini, pemulihan China dihadapkan oleh kurangnya optimisme setelah serangkaian kejutan di tahun 2020-2022, mulai dari ketatnya pembatasan wilayah, pengetatan kebijakan, pelemahan di sektor properti, resesi luar negeri dan meningkatnya risiko geopolitik. Oleh karena itu, hampir seluruh sektor pertumbuhan China seperti konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah daerah, dan ekspor berada dalam tekanan, juga kekhawatiran terhadap rendahnya permintaan akan menyebabkan ekonomi jatuh ke dalam perangkap deflasi. Pada bulan September, inflasi atau Consumer Price Index (CPI) China adalah 0%.
Sebaliknya, pemerintah pusat menjadi satu-satunya penggerak dalam perekonomian dengan tingkat utang yang rendah sehingga mampu meningkatkan belanja negara secara signifikan, menaikan permintaan dan memastikan China tidak mengalami deflasi berkepanjangan seperti Jepang selama "beberapa dekade yang hilang". Dalam pemberitahuan penting bulan lalu yang disampaikan oleh komite kongres rakyat nasional China, menyetujui penerbitan obligasi pemerintah pusat sebesar CNY 1 triliun untuk mendukung investasi infrastruktur.
Dengan mengambil langkah menaikan defisit fiskal tahun ini dari 3.0% menjadi 3.8% dari PDB, pemerintah akan menjadi motor penting pengerak pertumbuhan dengan pendanaan dari penerbitan obligasi baru sejumlah CNY 500 miliar yang diharapkan akan digunakan pada kuartal IV – 2023 dan CNY 500 miliar lainnya pada tahun 2024. Maka, kami memproyeksikan target PDB China tahun 2023 "sekitar 5%" akan tercapai dan mempertahankan perkiraan kami terhadap PDB akan bertumbuh sebesar 5.4% untuk tahun ini dibandingkan pertumbuhan sebesar 3.0% pada tahun 2022.
Akan tetapi, optimisme masih rendah terutama dengan pelemahan di sektor properti China. Indikator PMI di bulan Oktober menurun. Maka dari itu, meskipun ada kenaikan signifikan dalam defisit anggaran pemerintah tahun 2023, diperlukan lebih banyak stimulus agar sentimen tidak semakin negatif. Misalnya, melonggarkan pembatasan utang pada pembelian properti atau kembali menurunkan rasio cadangan wajib (RRRs).
Risiko kelima terhadap proyeksi ekonomi datang dari Bank of Japan (BoJ) yang saat ini mempersiapkan untuk keluar dari periode suku bunga negatifnya karena inflasi yang tetap terjadi di Jepang. Kami tidak memperkirakan BoJ akan menaikan suku bunga hingga tahun depan. Tetapi, kenaikan suku bunga secara tergesa-gesa akan mengejutkan pasar keuangan global, menyebabkan imbal hasil obligasi pemerintah Jepang melonjak dan mendorong imbal hasil UST naik semakin tinggi.
Dengan demikian, investor harus tetap berhati-hati mengingat pandangan pertumbuhan ekonomi yang tidak menentu menjelang penghujung tahun.
Source: Bank of Singapore
Proyeksi ekonomi yang kurang mendukung
Pada pasar saham, terlepas dari peringkat Netral kami untuk ekuitas AS, kami tetap Netral di Asia ex-Japan, Underweight di Eropa, dan Overweight di Jepang. Dalam hal sektor saham, kami tetap mendukung sektor kesehatan, konsumsi dasar, dan utilitas. – Eli Lee
Di bulan Oktober, pelaku pasar menjadi lebih menghindari risiko dan kekhawatiran terlihat jelas selama musim laporan pendapatan kuartal III – 2023. Sejauh ini, hasil dari laporan pendapatan perusahaan cukup beragam, reaksi pasar terhadap kinerja perusahaan yang baik masih dibayangi oleh sentimen kehati-hatian terhadap kondisi suku bunga yang lebih tinggi dan ketidakpastian ekonomi. Hal serupa juga terjadi pada musim laporan pendapatan kuartal II – 2023, perusahaan yang merilis laporan keuangan lebih baik daripada estimasi mendapat kenaikan pada harga sahamnya, dibandingkan perusahaan yang melaporkan laporan keuangan yang meleset, mengalami koreksi harga saham yang cukup dalam.
Meningkatnya dampak negatif dari konflik di Timur Tengah, sejalan dengan ketidakpastian pertumbuhan ekonomi akibat tingginya suku bunga acuan, menguatkan kembali strategi Underweight kami terhadap instrumen saham, dan kami mempertahankan peringkat Underweight kami untuk Eropa, Netral untuk AS dan Asia ex-Japan, sedangkan Overweight untuk Jepang. Kami terus memantau China, dimana pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan pelonggaran untuk meningkatkan pertumbuhan.
AS – Menghadapi ketidakpastian yang besar di masa depan
Musim pendapatan AS sekarang sedang berlangsung, lebih dari 75% perusahaan yang terdaftar pada bursa S&P 500 telah mengeluarkan laporan dan mencatatkan laba per saham (EPS) yang lebih baik dari perkiraan. Namun, tidak seperti kuartal sebelumnya, hasil yang positif hanya mengalami sedikit kenaikan harga (dari perspektif harga saham) sementara yang lebih rendah dari perkiraan mengalami penurunan signifikan. Kami tetap defensif dan mempertahankan preferensi kami untuk sektor-sektor seperti konsumsi kebutuhan pokok, utilitas, dan kesehatan.
Zona Eropa – Risk versus reward yang kurang menarik
Pada 27 Oktober, sudah sepertiga perusahaan Eropa melaporkan pendapatan kuartal III – 2023 dan hanya 27% dari perusahaan tersebut melebihi ekspektasi konsensus dibandingkan dengan 40% lainnya melaporkan hasil yang lebih rendah dari perkiraan. Sementara itu, seperti biasa pada pertengahan Oktober, pemerintah Uni Eropa (EU) telah menyerahkan rancangan anggaran 2024 ke Komisi Eropa (EC). Sekitar tujuh negara berencana untuk melewati batas defisit anggaran 3% untuk tahun 2024, dan perhatian investor mungkin akan beralih pada seberapa ketat Komisi Eropa akan menerapkan aturan ini. Secara keseluruhan, konsolidasi fiskal mungkin akan membebani pertumbuhan masa mendatang.
Jepang – Investor akan berfokus pada arah kebijakan
Indeks MSCI Jepang berdenominasi USD dan JPY serentak melemah selama bulan Oktober, hal ini tidak mengejutkan dengan adanya ketegangan geopolitik yang meningkat dan tingginya suku bunga acuan, sehingga memicu imbal hasil US 10Y Treasury (UST) menembus 5%. Berita baiknya, kami melihat dorongan untuk reformasi perusahaan yang lebih positif di Jepang, seiring pengumuman dari Bursa Efek Tokyo (Tokyo Stock Exchange – TSE) terkait penerbitan daftar perusahaan yang sudah menanggapi permintaan untuk reformasi tata kelola perusahaan, yang akan dimulai pada 2024.
Asia ex-Japan – Fokus pada musim rilis laporan keuangan yang akan datang
Sentimen pasar dalam tiga bulan terakhir ini adalah terjadi revisi penurunan pada konsensus EPS 2024 untuk indeks MSCI Hong Kong, China dan Taiwan. Di sisi lain pada waktu yang sama, Indonesia, Filipina, dan Korea menerima kenaikan revisi untuk perkiraan EPS 2024.
Tidak ada kejutan besar dari bank sentral di kawasan ini, kecuali Indonesia, di mana Bank Indonesia (BI) secara tak terduga menaikan suku bunga acuan sebesar 25bps menjadi 6.0% pada bulan Oktober meskipun inflasi mencapai 2.3% year-on-year, dengan tren menurun. Ini merupakan kenaikan BI yang pertama sejak Januari 2023.
China/HK – Berfokus pada efektivitas stimulus
Index Hang Seng dan indeks MSCI China mengalami pelemahan sekitar 2-3%, sejalan dengan mayoritas pasar saham Asia ex-Japan.
Para pembuat kebijakan China memberikan sinyal tambahan yang mendukung momentum pertumbuhan dengan perluasan anggaran fiskal dalam satu tahun dan persetujuan penerbitan tambahan obligasi pemerintah (CGB) sebesar CNY 1 triliun. Hal ini sangat jarang terjadi terutama di tengah tahun fiskal berjalan dan merupakan kejutan positif. Sehingga berpotensi meningkatkan defisit fiskal menjadi 3.8% dari PDB. Ditambah dengan pembelian oleh “Tim Nasional” pada indeks A-shares (Indeks CSI 300), ini merupakan sinyal kuat bahwa pertumbuhan adalah prioritas utama dan seharusnya mendukung sentimen pasar.
Merekomendasi strategi barbel
Meskipun kami yakin bahwa imbal hasil jangka panjang akan melandai dalam 12 bulan ke depan, namun kami tetap waspada terhadap volatilitas yang masih tinggi pada obligasi berdurasi panjang, artinya obligasi Investment Grade (IG) dengan durasi panjang berpotensi memberikan apresiasi jangka panjang yang lebih besar sejalan dengan volatilitas yang lebih tinggi. – Vasu Menon
Di pasar obligasi, kami menyukai obligasi IG negara maju (DM) yang memang merupakan aset lindung nilai aset ketika terjadi resesi dan tensi geopolitik. Sementara, meskipun obligasi AS berdurasi panjang memiliki volatilitas yang lebih tinggi, namun kami percaya akan menurun dalam satu tahun ke depan. Kami merekomendasikan strategi barbel dari sisi durasi: obligasi bertenor pendek memberikan pendapatan yang menarik, sementara tenor yang lebih panjang berpotensi memberikan peluang kenaikan harga yang lebih besar seiring dengan volatilitas yang juga lebih tinggi.
Di bulan Oktober, aset pendapatan tetap kembali mengalami pelemahan akibat kenaikan suku bunga. Selisih kredit (credit spread) yang sejauh ini relatif stabil, belakangan ini sudah memperlihatkan indikasi pelemahan seiring dengan meningkatnya tensi geopolitik dan kenaikan harga energi. Imbal hasil UST tenor 10 tahun sempat naik di atas batas level psikologis 5%, dengan tenor 30 tahun naik ke kisaran 5.17%. Ketatnya likuiditas di pasar keuangan sebagai dampak kebijakan moneter bank sentral global terlihat dengan jelas. Proyeksi kami akan terjadi resesi di AS pada tahun 2024, dan potensi penurunan imbal hasil UST 10 tahun ke level 3.25% dalam 12 bulan ke depan. Kami juga menyukai durasi dibandingkan credit rating, dengan preferensi terhadap obligasi IG dibandingkan High Yield (HY).
Imbal hasil negatif
Seluruh jenis obligasi melemah, dengan pelemahan terdalam dicatatkan oleh obligasi DM HY -1.5%, dan DM IG -1.3%, lebih dalam dibandingkan obligasi negara berkembang (EM) dimana EM IG -1.1% dan EM HY -1.2%. Pergerakan spread lebih terbatas di negara maju, dengan obligasi DM IG melebar 5 bps dan DM HY 6 bps. Di negara berkembang, spread obligasi IG melebar 15 bps dan 45 bps untuk HY.
Obligasi negara maju
Kombinasi antara kenaikan imbal hasil obligasi, laporan keuangan kuartal III – 2023 yang bervariatif, proyeksi yang lebih rendah, ketidakpastian geopolitik, dan tingginya harga minyak membebani kinerja obligasi DM IG dan HY. Sejak awal tahun obligasi melemah seiring tingginya suku bunga dan spread yang lebih lebar.
Obligasi negara berkembang
Imbal hasil negara berkembang mengalami kenaikan seiring memburuknya sentimen dan likuiditas pasar. Kami mempertahankan preferensi kami terhadap obligasi IG dibandingkan HY di tengah ketidakpastian global dan banyaknya supply obligasi BUMN (sekitar 35%) di dalam pasar obligasi IG negara berkembang.
Obligasi Asia
Kami tetap underweight pada obligasi negara berkembang di Asia. Kami cenderung lebih menyukai kategori IG dibandingkan HY di Asia, dengan preferensi terhadap obligasi IG berdurasi pendek. Investor sebaiknya lebih fleksibel terhadap durasi ditengah volatilitas yang tinggi. Sementara untuk kategori HY, kami pun masih menyukai beberapa nama berkualitas dan menyukai beberapa obligasi HY non-China dengan fundamental kuat dan tingkat utang yang relatif rendah.
Gold: sebagai diversifikasi resiko
Risiko eskalasi geopolitik mendukung penguatan harga emas, tetapi pandangan positif kami untuk emas di tahun 2024 lebih bergantung pada siklus kenaikan suku bunga The Fed yang mendekati akhir. Hal ini akan berimbas pada penurunan imbal hasil US Treasury, dan mengurangi potensi kerugian (opportunity cost) dalam berinvestasi emas. – Vasu Menon
Gold
Risiko eskalasi geopolitik menyebabkan terjadinya perpindahan ke aset yang lebih aman sehingga mendorong kenaikan emas. Kekhawatiran akan konflik Israel-Hamas dapat meningkat menjadi konflik regional yang semakin meluas, dan upaya diplomatik untuk membendungnya juga meningkat.
Pengaruh geopolitik menjadi lebih jelas saat kenaikan harga emas terjadi bersamaan dengan kenaikan imbal hasil obligasi AS. Peningkatan yang lebih lanjut pada imbal hasil UST dan penguatan Dolar AS sebelumnya telah membuat harga emas bergerak ke level rendah US$ 1,820/oz di awal bulan Oktober. Akan tetapi, pelemahan ini mendadak berbalik arah seiring dengan meningkatnya ancaman konflik Timur Tengah yang lebih luas, menjadikan emas sebagai permintaan aset safe-haven yang kuat. Peran emas sebagai aset lindung nilai dari risiko geopolitik dapat menjaga pergerakan harga emas untuk saat ini. Namun, dengan volatilitas harga emas yang cukup tinggi, akan sulit untuk menjadi penopang harga dalam jangka waktu panjang.
Pandangan positif kami untuk emas di 2023 lebih bergantung pada siklus kenaikan suku bunga The Fed yang mendekati akhir. Hal ini akan mengakibatkan penurunan imbal hasil US Treasury, sehingga mengurangi potensi kerugian dalam berinvestasi emas.
Oil
Harga minyak telah berbalik menjadi lebih tinggi sejak Juni karena pasokan yang semakin terbatas. Ketatnya pasokan terlihat setelah beberapa kali pengurangan produksi OPEC dan sinyal bahwa Rusia menepati janjinya untuk membatasi ekspor. Pandangan kami adalah harga minyak mungkin akan tetap tinggi dan mencoba menguji US$100/barel pada kuartal ini sejalan dengan perkiraan kami bahwa pasar minyak mentah akan tetap mengalami defisit. Ketegangan di Timur Tengah akibat konflik Israel-Hamas menambah premi risiko perang pada harga minyak mentah mengingat adanya risiko eskalasi. Namun, harga minyak yang lebih rendah diperkirakan terjadi pada 2024, dengan harga minyak berpotensi kembali ke kisaran US$ 80/barrel dalam waktu satu tahun.
Akan tetapi, Ada dua risiko utama yang dapat mendorong harga minyak lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama. Pertama, ada beberapa kekhwatiran jika Iran terlibat ke dalam konflik, Hal ini dapat mengakibatkan penerapan sanksi AS yang lebih ketat terhadap minyak dari Iran. Kedua, serangan Hamas terhadap Israel telah meningkatkan tensi geopolitik pada wilayah penghasil minyak terbesar di dunia. Meningkatnya eskalasi permusuhan terhadap wilayah tetangga mungkin berdampak pada kesediaan Arab Saudi untuk meningkatkan produksi minyak.
Currency
Indeks Dollar AS (USD) sangat fluktuatif di bulan Oktober. Ketegangan geopolitik, perubahan imbal hasil (yield) obligasi AS, retorika The Fed yang cenderung dovish, dan beragamnya hasil laba korporasi menjadi beberapa faktor pendorong volatilitas.
Sementara itu, konflik militer Israel-Hamas yang terjadi pada tanggal 7 Oktober adalah risiko terbaru yang dihadapi pasar. Dalam waktu dekat, ketidakpastian geopolitik dapat mendorong permintaan aset safe-haven dan menguntungkan Dolar AS, Swiss Franc, dan Emas. Namun, perkembangan geopolitik selalu berubah, jika konflik lebih terisolasi dan tidak menyebar ke negara Timur Tengah lainnya, maka permintaan akan aset lindung nilai dapat berkurang.
Pertemuan FOMC terbaru pada 2 November, Bank Sentral AS mempertahankan suku bunga acuannya dalam dua pertemuan secara berturut-turut, tetapi juga tetap membuka kemungkinan untuk menambahan pengetatan di tahun ini atau tahun depan jika inflasi terbukti bertahan lebih dari yang diperkirakan. The Fed menyadari bahwa aktivitas ekonomi telah berekspansi pada fase yang kuat, jauh di atas ekspektasi, dan pasar ketenagakerjaan tetap solid, seiring dengan kondisi pasokan dan permintaan yang seimbang. Gubernur Fed, Powell juga menyatakan melalui konferensi pers bahwa perlambatan pertumbuhan memberikan gambaran yang lebih baik kepada para pejabat Fed tentang sejauh mana kebijakan perlu dilakukan. Powell juga tampaknya menurunkan ekspektasi dot plot bulan September dan kekhawatiran terhadap ekspektasi inflasi mulai berkurang. Secara keseluruhan, pesan yang disampaikan oleh The Fed mengindikasikan pertumbuhan positif dan aktivitas ekonomi, tetapi juga memberikan sinyal untuk menahan suku bunga lebih panjang, dan kenaikan mungkin sudah selesai untuk saat ini.
Kami yakin, saat ini The Fed mungkin sudah selesai melakukan pengetatan karena tekanan inflasi sudah mulai berkurang, sejalan dengan ekspektasi inflasi. Terlebih, suku bunga riil lebih dari 2.4% (yang melebihi dari level tertinggi dalam 10 tahun terakhir) juga telah dibatasi. Kami berpendapat bahwa The Fed akan lebih sulit melakukan pengetatan kembali jika rilisan data selanjutnya menunjukan perlambatan pada inflasi dan ketenagakerjaan.
Challenging yield
Performa pasar saham global mengalami tekanan signifikan sepanjang bulan September. Indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing melemah -3.5%, -4.8%, dan -5.81%. Keputusan bank sentral Fed pada pertemuan FOMC bulan September lalu dengan mempertahankan tingkat suku bunga di level 5.25% - 5.50% telah diantisipasi secara luas oleh investor. Namun, Gubernur Fed, Jerome Powell paska pertemuan tersebut menyisakan sentimen negatif yang mendalam, dengan menyatakan potensi kenaikan suku bunga satu kali lagi di tahun 2023 ini, dan menahan suku bunga higher for longer. Selain itu, kenaikan harga minyak global ke kisaran level USD 93/ barel, yang merupakan level tertinggi dalam setahun terakhir juga turut membebani pergerakan pasar akibat ancaman inflasi yang berpotensi meningkat.
Hal ini mengakibatkan imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun meningkat ke 4.6% yang merupakan level tertinggi dalam 16 tahun terakhir. Kekhawatiran investor akan kebijakan higher for longer mendorong aksi sell-off di pasar obligasi global.
Kekhawatiran akan inflasi turut dialami pasar saham Eropa. Indeks DAX Jerman melemah 3.91%, dan Eurostoxx50 melemah 3.15%. Bank sentral Eropa (ECB) di luar dugaan menaikkan suku bunga acuan ke level 4.5%. Kenaikan tingkat suku bunga dinilai akan terus membebani upaya pemulihan ekonomi yang saat ini masih tertekan. Pertumbuhan PDB Eropa kuartal II - 2023 dilaporkan bertumbuh sebesar 0.5%, lebih rendah dari periode sebelumnya di 0.6%. Sementara, pertumbuhan sektor manufaktur dan jasa dilaporkan bertahan di level kontraksi, masing-masing di level 43.5 dan 46.7.
Sementara itu di Asia, mayoritas pergerakan pasar saham juga mengalami penurunan, terlihat dari kinerja MSCI Asia Pacific ex-Japan -3.86% sepanjang bulan September. Masih tingginya ketidakpastian ekonomi China membuat sebagian besar investor mundur dari aset berisiko. Perkembangan sektor properti China masih menjadi sorotan investor, sebab perusahaan properti terbesar China, Evergrande belum dapat menyelesaikan permasalahan hutang yang akan jatuh tempo. Dari sisi fundamental, laporan data ekonomi China mulai menunjukan tanda-tanda pemulihan. Sektor manufaktur di bulan September dilaporkan berhasil naik ke level ekspansi 50.2, sementara tingkat output industri tumbuh 4.5% di bulan Agustus, dan penjualan ritel tumbuh 4.6%.
Dari perekonomian domestik, Bank Indonesia sesuai dengan ekspektasi kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 5.75%. Keputusan tersebut konsisten dengan upaya bank sentral dalam menjaga tingkat inflasi tetap rendah dan terkendali dalam kisaran 3 ±1%. Angka surplus neraca perdagangan sebesar USD 3.1 miliyar, jauh lebih tinggi dari estimasi sebesar USD 1.5 miliyar. Begitu pula dengan tingkat keyakinan konsumen, dilaporkan sebesar 125.2, meningkat dari bulan sebelumnya di 123.5. Sementara pertumbuhan sektor manufaktur bertahan di level ekspansi 53.9.
Equity
Bursa saham IHSG mencatatkan penurunan sebesar -0.19% sepanjang bulan September. Saham di sektor properti dan konsumen siklikal memimpin pelemahan, masing-masing sebesar -4.41% dan -3.98%. Pelemahan pasar saham di bulan September dibebani salah satunya dari outflow dana asing yang sepanjang 2023 telah keluar sebesar USD 308 juta.
Di tengah kekhawatiran pelemahan ekonomi global terutama dari AS dan Eropa, ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan bertumbuh di 2023 di kisaran 5.0 – 5.3%. Kinerja pasar saham di 2023 diproyeksikan akan mendapat dukungan dari sektor keuangan, infrastruktur, dan industri. Secara historis, sektor-sektor ini memiliki kinerja relatif positif saat terjadinya perhelatan politik.
Obligasi
Seperti halnya yang terjadi di negara maju, pasar obligasi domestik di bulan September turut tertekan sebagai imbas dari kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun mengalami kenaikan ke level 6.91% yang mensinyalkan terjadinya penurunan harga. Kenaikan ini berlanjut di minggu awal bulan Oktober menyentuh di atas 7%. Harga minyak global yang menanjak kembali meningkatkan kekhawatiran akan inflasi turut menekan pasar obligasi.
Dengan ketidakpastian yang meningkat di pasar obligasi, maka hal ini dapat meningkatkan volatilitas jangka pendek. Akan tetapi, secara fundamental investasi pada obligasi domestik masih cukup menarik, dengan rencana pemerintah untuk mengurangi jumlah penerbitan hutang di 2023, tingkat defisit anggaran yang diperkirakan akan turun, inflasi domestik yang relatif rendah, serta kepemilikan investor asing yang cukup rendah di kisaran 15%, dapat mengurangi volatilitas. Investor kelas aset ini dapat secara selektif melakukan averaging dengan mengakumulasi pada saat terjadi penurunan harga.
Currency
Mata uang Rupiah bergerak melemah sepanjang bulan September terhadap Dolar AS sebesar 1.39% ke kisaran 15,460. Pelemahan mata uang Rupiah diakibatkan oleh menguatnya mata uang Dolar AS terhadap mata uang global. US Dollar Index (DXY) meningkat 1.86% ke level 106.17 sepanjang bulan September.
Dalam jangka pendek, volatilitas mata uang Rupiah diperkirakan masih akan terjadi, dengan tingginya ketidakpastian akibat retorika kebijakan suku bunga Fed, higher for longer. Sementara itu, Bank Indonesia berkomitmen untuk tetap menjaga stabilitas mata uang Rupiah melalui beberapa kebijakan makroprudential dan sistem pembayaran, seperti halnya kebijakan Local Currency Settlement (LCS), Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), ataupun kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Cadangan Devisa bulan September dirilis stabil di level yang tinggi atau sebesar USD 134.9 miliyar, setara dengan pembiayaan enam bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Juky Mariska, Wealth Management Head, Bank OCBC NISP Tbk
Selama beberapa bulan ke depan, imbal hasil US Treasury diperkirakan akan tetap berfluktuasi. Oleh karena itu, investor harus tetap berhati-hati selama outlook ekonomi masih belum pasti.
- Eli Lee
Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun telah melonjak ke level tertinggi dalam 16 tahun terakhir di atas 4.50%, yang menarik perhatian pasar keuangan di seluruh dunia.
Pertama, karena The Fed masih mengambil sikap hawkish. Bulan lalu, The Fed mempertahankan suku bunga acuan, pada 5.25-5.50% sebagaimana para pejabat menunggu lebih banyak data untuk melihat apakah kenaikan suku bunga sebelumnya sudah cukup untuk menekan inflasi kembali ke target 2%. Namun, The Federal Open Market Committee (FOMC) masih mempertahankan kebijakan hawkish-nya. Pernyataan tersebut membuka potensi untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut dengan tetap mengacu pada "tambahan kebijakan tingkat pengetatan untuk mengembalikan inflasi ke 2% seiring waktu." FOMC juga memperbarui perkiraannya, saat ini masih diproyeksikan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) pada tahun ini, selanjutnya dua kali penurunan suku bunga masing-masing 25 bps di tahun depan. Dengan demikian, para pejabat memperkirakan suku bunga acuan akan tetap tinggi selama beberapa tahun ke mendatang untuk menekan inflasi, dengan tingkat suku bunga acuan berada pada level 5.00-5.25%, 3.75-4.00%, dan 2.75-3.00% pada akhir 2024, 2025, dan 2026.
Kedua, ekonomi AS secara mengejutkan tetap tangguh dengan kenaikan suku bunga The Fed yang agresif, sehingga mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun. Indikator dari New York Fed yang melacak pertumbuhan GDP AS setiap minggu, menunjukkan bahwa pertumbuhan GDP AS telah melambat pada tahun ini. Namun, ekonomi AS mungkin tidak akan terkontraksi pada tahun 2023. Sebelumnya kami memperkirakan kenaikan suku bunga The Fed akan menyebabkan resesi pada paruh kedua tahun ini. Namun, kami telah memperbarui perkiraan pertumbuhan untuk tahun 2023 menjadi sama dengan tahun 2022 sekitar 2% dari GDP - sebagaimana ditunjukkan oleh tabel outlook pertumbuhan GDP. Rakyat AS kembali membelanjakan tabungan pandemi mereka, sementara pemerintah AS saat ini mengalami defisit anggaran yang mencapai lebih dari 5% dari GDP dan sebagian besar rumah tangga serta perusahaan masih diuntungkan dengan tingkat suku bunga pinjaman yang rendah pada saat pandemi lalu.
Ketiga, kenaikan tajam pada harga minyak yang mencapai US$ 100 per barel, meningkatkan kekhawatiran pada kenaikan biaya energi yang selanjutnya mendorong inflasi dan imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun akan tetap tinggi.
Keempat, potensi government shutdown AS dan kebuntuan pagu hutang AS tahun ini telah menyebabkan lembaga pemeringkat utama menurunkan peringkat hutang AS (dalam kasus ini Fitch) atau memberi peringatan tentang outlook obligasi pemerintah AS (seperti yang dilakukan Moody's).
Terakhir, keputusan BOJ dan ECB untuk melakukan pengetatan kebijakan moneter juga turut mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah. Selama beberapa bulan ke depan, imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun akan tetap fluktuatif. Kami tidak memperkirakan bahwa The Fed akan menaikan suku bunga acuannya lebih lanjut dari 5.25-5.50% pada tahun 2023. Namun, risiko dari kenaikan suku bunga lebih lanjut akan membuat imbal hasil tetap tinggi dalam jangka pendek. Imbal hasil masih tetap tinggi hingga ekonomi AS melambat.
Kami menaikan proyeksi imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun untuk 3 dan 6 bulan ke depan, dari 3.70% ke 4.25% dan 3.50% ke 3.75%. Dengan demikian, kami melihat bahwa jatuhnya AS kedalam jurang resesi akan tetap terjadi meskipun tertunda. Pada kuartal Q4-2023, pertumbuhan GDP AS diperkirakan akan melambat dengan adanya potensi government shutdown di bulan November, aksi demonstrasi dari pekerja tiga produsen mobil utama di AS, dan berakhirnya pertangguhan pembayaran pinjaman mahasiswa.
Sepanjang H1-2024, kami memperkirakan perlambatan pertumbuhan ekonomi akan mengarah pada penurunan signifikan, seiring dengan berkurangnya jumlah tabungan masyarakat yang diterima saat pandemi, defisit anggaran pemerintah yang mulai berkurang, dan ketatnya kebijakan keuangan akibat kenaikan suku bunga acuan yang agresif untuk membatasi pinjaman. Maka, kami tetap mempertahankan perkiraan kami untuk 12 bulan ke depan bahwa imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun akan kembali mengarah ke level terendah tahun ini di 3.25%.
Yang mendasari pandangan kami adalah asumsi bahwa The Fed, sama halnya ECB dan Bank of England (BOE), telah selesai menaikan suku bunga saat ini untuk menekan inflasi. Suku bunga acuan The Fed saat ini sebesar 5.25-5.50% adalah yang tertinggi sejak tahun 2001. Kami memperkirakan saat ini bank sentral tidak perlu menaikkan suku bunga lebih lanjut, karena inflasi melandai menuju target 2%. Target The Fed yaitu penurunan inflasi PCE inti, suatu indikator inflasi yang lebih luas dibandingkan dengan inflasi CPI AS, dimana inflasi PCE inti telah mencapai puncaknya tahun lalu di 5.5% dan saat ini di bawah 4.0% yaitu pada 3.9% untuk Agustus 2023. Selama beberapa kuartal ke depan, kami memperikaran inflasi PCE inti akan terus melandai seiring dengan melambatnya ekonomi AS dan meningkatnya risiko resesi. Dengan demikian, The Fed dapat menghindari kenaikan suku bunga lebih lanjut. Dengan begitu, jika suku bunga acuan AS tetap pada level saat ini di 5.25-5.50% dan inflasi PCE inti turun di bawah 3% pada musim panas mendatang, maka kami memperkirakan bank sentral secara perlahan dapat menurunkan suku bunga mulai Juni 2024 sebesar 25 bps per kuartal, terlebih jika ekonomi AS telah jatuh ke dalam resesi saat itu.
Investor harus waspada mengingat outlook ekonomi yang masih belum pasti. Dalam waktu dekat, imbal hasil UST akan tetap fluktuatif. Namun dalam 12 bulan ke depan, risiko resesi AS dan inflasi yang lebih rendah akan memungkinkan The Fed secara perlahan mulai melonggarkan kebijakan agresifnya yang dimulai pada tahun 2022-2023 lalu, dan memungkinkan imbal hasil turun secara signifikan selama tahun 2024. Oleh karena itu, kami tetap mengunggulkan UST dan obligasi Investment Grade (IG) dari negara berkembang sebagai lindung nilai dari risiko resesi dari outlook ekonomi yang belum stabil. Sebab, perekonomian AS masih bertahan. Pada kuartal kedua 2023, GDP tumbuh pada tingkat tahunan 2.1%. Penjualan ritel yang lebih kuat di bulan Juli dan kenaikan upah di bulan Agustus menambah harapan bahwa the Fed dapat mengurangi inflasi ke target 2% tanpa menyebabkan resesi.
Source: Bank of Singapore
Dibebani oleh kenaikan imbal hasil obligasi
Melonjaknya imbal hasil obligasi dan penurunan pasar saham, menunjukan adanya konsolidasi risiko jangka pendek, sejalan dengan evaluasi pasar terhadap ketidakpastian gambaran makro – Eli Lee
AS – Menghadapi ketidakpastian yang signifikan di masa depan
Pandangan hawkish The Fed belakangan ini, dan melonjaknya imbal hasil obligasi pemerintah AS, telah membebani indeks S&P 500, karena investor mulai mengantisipasi kemungkinan suku bunga akan tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama.
Pada saat yang sama, ketidakpastian pertumbuhan semakin meningkat, dengan rilisan survey Conference Board terbaru yang memperlihatkan penurunan tingkat kepercayaan konsumen terkait perbaikan ekonomi, ditengah melonjaknya harga minyak dunia.
Eropa – Rasio imbal hasil dan risiko yang kurang menarik
Hampir disepanjang tahun ini, indeks MSCI Eropa diperdagangkan dalam rentang area yang terbatas dan saat ini berada di level perdagangan bulan Februari. Data ekonomi yang keluar dari Zona Eropa masih lemah dan terjadi peningkatan risiko stagflasi. Kekhawatiran terhadap kondisi makro China juga turut membebani kinerja Zona Eropa.
Jepang – Fokus investor tertuju pada arah kebijakan moneter
Bank of Japan (BOJ) mempertahankan kebijakan suku bunga di -0,1% pada September 2023, dan fokus dari Gubernur Ueda baru-baru ini adalah arah kebijakan moneter BOJ yang akan bergantung pada faktor pendorong inflasi karena pertumbuhan upah dan kuatnya konsumsi, bukan dari kenaikan harga akibat tingginya biaya impor.
Saat ini, BOJ masih ragu terhadap potensi kenaikan pada pertumbuhan upah, sementara masih ada kekhawatiran terkait perlambatan ekonomi China. Salah satu faktor pendorong bagi pasar saham Jepang berasal dari reformasi tata kelola perusahaan yang dipimpin oleh Bursa Efek Tokyo (Tokyo Stock Exchange – TSE).
Asia ex -Jepang – Fokus pada musim rilis laporan keuangan yang akan datang
Optimisme terhadap pelonggaran kebijakan di China tampaknya mulai pudar, karena indeks MSCI Asia ex Japan kembali membukukan penurunan pada bulan September.
Salah satu penyebab lesunya kinerja pasar adalah pertemuan The Fed yang masih bernada hawkish. Hasil pertemuan FOMC sesuai dengan ekspektasi, The Fed mempertahankan suku bunga, namun para anggota komite mengindikasikan potensi kenaikan suku bunga lanjutan pada tahun 2023. Penguatan Dollar AS dan melonjaknya harga minyak baru-baru ini dapat menekan kinerja pasar saham regional Asia.
Investor kini menantikan rilis laporan keuangan di bulan Oktober, kami mencatat survey yang dilakukan sampai dengan saat ini (YTD) bahwa Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand mengalami penurunan EPS terbesar di kawasan Asia ex Jepang. Di sisi lain, Singapura, Filipina, dan Indonesia mencatatkan revisi EPS paling positif. Kami lebih Netral di India (dari sebelumnya Overweight) dan Taiwan (dari Underweight).
China/ HK – Berfokus pada efektivitas stimulus
Indeks Hang Seng dan indeks MSCI China melemah dikisaran 5% dalam sebulan terakhir, sedangkan A-shares (Indeks CSI 300) mengalami sedikit penurunan sekitar 2%, berdasarkan harga pada 28 September 2023. Serangkaian stimulus telah diumumkan sejak akhir Agustus. Baru-baru ini, Guangzhou melonggarkan pembatasan pembelian rumah, menjadikannya kota pertama di antara kota di Tingkat 1 yang melakukan langkah tersebut.
Kami memperkirakan pergerakan pasar saham akan lebih terbatas dalam waktu dekat karena pasar lebih mencermati efektivitas dari sejumlah stimulus yang telah diumumkan sejauh ini. Ke depannya, nada kebijakan dari hasil pertemuan Politburo bulan Oktober akan menjadi fokus utama lainnya.
Sektor global
Sektor energi global mengalami kinerja terbaik di bulan September seiring dengan kenaikan harga minyak mentah. Saat ini kenaikan harga minyak mentah Brent didorong oleh faktor pasokan, maka saham-saham sektor energi pada bursa AS dan Eropa juga mendapat dukungan. Kami mempertahankan peringkat netral untuk sektor energi global seiring dengan ketidakpastian terkait resesi global dikemudian hari.
Pada sektor teknologi informasi dan layanan komunikasi global, kami juga mempertahankan peringkat netral. Imbal hasil yang lebih tinggi dan siklus hambatan yang lebih besar dapat menciptakan tantangan di sektor teknologi dalam waktu dekat. Dalam hal subsektor, kami lebih memilih internet, perangkat lunak, dan semikonduktor.
Suku bunga tinggi menarik perhatian pasar
Di pasar obligasi, kami menyukai obligasi Investment Grade (IG) negara maju (DM) yang juga merupakan aset lindung nilai jika terjadi resesi. Kami underweight obligasi DM High Yield (HY) seiring dengan rasio risk vs reward dan valuasi di level saat ini yang kurang menarik, ditengah ketidakpastian ekonomi yang masih tinggi – Vasu Menon.
Beberapa rilisan data ekonomi yang lebih tinggi dari ekspektasi di bulan September menjadi pemicu kekhawatiran pasar dan akhirnya mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Bank sentral AS menahan suku bunga acuan di level 5.25% - 5.50% pada pertemuan di bulan September namun menyatakan bahwa suku bunga akan bertahan di level yang tinggi untuk waktu yang lebih lama. Pernyataan tersebut merevisi proyeksi penurunan suku bunga acuan tahun depan, hanya sebesar 50 basis poin (bps). Proyeksi tersebut direspon negatif oleh para pelaku pasar, terlihat dari kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun di atas 4.6% sedangkan tenor 30 tahun berada di atas 4.7% - merupakan level tertinggi sejak tahun 2007 dan 2011. Kami pun masih menilai kenaikan suku bunga acuan yang agresif oleh The Fed akan memicu resesi tahun depan.
Kami merekomendasikan strategi barbel dari sisi durasi – dimana obligasi bertenor pendek memberikan pendapatan yang menarik, sementara tenor yang cenderung lebih panjang berpotensi memberikan peluang kenaikan harga yang lebih besar seiring dengan volatilitas yang juga lebih tinggi.
Selisih obligasi yang bervariatif
Selisih obligasi DM IG cukup terjaga, dengan US IG hanya mencatatkan penurunan 4-5bps dan IG Eropa hanya 2-3bps. Obligasi DM HY lebih terdampak, dengan US HY melebar 10bps dan HY Eropa 15bps. Selisih obligasi EM HY turun 9bps, sementara EM IG sebesar 5bps.
Tetap tinggi untuk jangka waktu lebih lama
Hal utama dari pertemuan FOMC di bulan September lalu adalah keputusan The Fed untuk menahan suku bunga acuan, pernyataan terkait potensi kenaikan lebih lanjut, dan juga kepercayaan bahwa suku bunga harus berada di level yang tinggi untuk waktu lebih lama agar inflasi turun ke target 2%. Sementara itu, The Fed pun masih terdengar hawkish, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini yang naik dari 1.0% ke 2.1%, tingkat pengangguran turun dari 4.1% ke 3.8%, dan suku bunga acuan untuk berada di level 5.125% di akhir 2024 (naik 50bps dari proyeksi di bulan Juni).
Underweight obligasi DM HY
Dengan sikap The Fed yang masih hawkish, pertumbuhan ekonomi cenderung terbatas dan berpotensi resesi di semester pertama 2024 sehingga menjadi katalis negatif bagi obligasi DM HY. Suku bunga acuan tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama dapat memicu potensi gagal bayar pada obligasi DM HY.
Tetap netral pada obligasi EM
Kami tetap Netral terhadap obligasi korporasi EM. Mayoritas negara-negara EM saat ini lebih unggul dari sisi siklus suku bunga acuan dibandingkan negara-negara DM, sehingga pemangkasan pun dapat dimulai dalam beberapa bulan ke depan bagi negara-negara berkembang ini.
Underweight obligasi EM Asia
Kami juga masih underweight di obligasi EM Asia seiring dengan ketidakpastian yang tinggi terhadap China, akibat hilangnya momentum pertumbuhan ekonomi dan sektor properti yang masih sangat tertekan. Dalam kategori ini, selisih obligasi IG melebar 3bps dan HY sebanyak 9bps.
Persediaan yang lebih rendah saat ini, namun berpotensi meningkat
Pasar produk penyulingan yang kuat dan ketatnya pasokan dapat mendorong kenaikan harga minyak mentah. Minyak mentah Brent berpotensi menyentuh atau bahkan melebihi US$ 100/barrel pada kuartal ini, yang mana dapat menghambat periode disinflasi. – Vasu Menon
Gold
Kenaikan imbal hasil riil pada obligasi pemerintah AS mengurangi daya tarik investasi pada aset yang tidak memberikan imbal hasil untuk jangka panjang seperti emas. Suku bunga tinggi dan kekhawatiran akan stagflasi yang disebabkan oleh melonjaknya harga minyak telah meningkatkan permintaan terhadap safe-haven Dollar AS, sehingga berkontribusi terhadap penurunan harga emas. Investor telah mengantisipasi bahwa The Fed kemungkinan tidak melakukan pelonggaran kebijakan moneter dengan cepat pada tahun depan. Kenaikan imbal hasil juga membebani aliran dana yang diperdagangkan di bursa emas (ETF).
Emas berpotensi tetap melemah untuk jangka pendek. Tetapi kami tetap positif pada harga emas dan perak dalam jangka waktu 12 bulan meskipun ekspektasi kenaikan harga diperkirakan akan terjadi pada akhir H1-2024. Kami memperkirakan tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi AS akan semakin terlihat, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran mengenai risiko pertumbuhan. Imbal hasil obligasi pemerintah AS diproyeksikan bergerak lebih rendah dari level saat ini sebagai antisipasi dari siklus penurunan suku bunga The Fed yang akan mendukung pergerakan harga emas.
Oil
Pasar produk penyulingan yang kuat dan ketatnya pasokan seharusnya dapat mendorong kenaikan harga minyak mentah. Hal ini mencerminkan adanya permintaan yang kuat untuk bahan bakar transportasi utama seperti bensin, diesel, dan bahan bakar pesawat. Ketatnya pasokan juga terlihat setelah beberapa kali pengurangan produksi OPEC+ dan tanda-tanda bahwa Russia menepati janjinya untuk membatasi ekspor. Pemotongan sukarela Arab Saudi sebesar 1 juta barel per hari mengurangi stabilitas pergerakan harga minyak di bulan Juli dan mendorong kenaikan harga lebih dari 20 persen selama dua bulan terakhir. Keputusan untuk memperpanjang pemotongan tersebut hingga akhir tahun juga diluar ekspektasi pasar.
Pergerakan harga minyak mentah Brent dapat menyentuh atau bahkan melebihi US$ 100/barrel dalam kuartal ini. Namun penurunan harga minyak diproyeksikan terjadi pada tahun 2024, dengan potensi kembali ke level USD 80an/barrel dalam waktu satu tahun ke depan, seiring dengan permintaan minyak yang melambat dan juga OPEC+ menghentikan pengurangan produksi secara bertahap. Pertumbuhan ekonomi global pun ditetapkan menjadi moderate di 2024, terutama untuk pasar negara maju, pertumbuhan permintaan minyak global diperkirakan akan moderate.
Currency
Narasi pasar terhadap suku bunga tinggi yang bertahan untuk jangka waktu yang lebih lama terus memberikan dukungan terhadap Dollar AS. Retorika The Fed belakangan ini terlihat bervariatif tetapi yang konsisten terdengar adalah “tetap tinggi untuk jangka waktu lebih lama” dan pemangkasan suku bunga tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Kami mungkin harus lebih bersabar menghadapi perubahan Dollar AS, seiring ketidakpastian puncak kenaikan suku bunga, dan pemangkasan suku bunga tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Tetapi yang perlu untuk diyakinkan bahwa Ketua Fed Jerome Powell mengakui bahwa ke depannya tarif suku bunga perlu diturunkan untuk menjaga suku bunga rill pada level yang seharusnya. Akan tetapi, “ini sama sekali bukan sesuatu yang dipikirkan oleh The Fed saat ini.” Secara teknis, mengingat kenaikan tajam USD pada bulan September, kami tidak mengesampingkan kemungkinan terjadinya retracement pada bulan Oktober, terutama jika ada kejutan pada data ekonomi AS yang mengarah ke sisi penurunan.
Sementara tetap ada potensi terhadap kenaikan suku bunga Fed, meskipun kami percaya bahwa The Fed sepertinya telah selesai dalam melakukan pengetatan pada siklus saat ini, seiring dengan tekanan inflasi sudah mulai berkurang, sementara kebijakan moneter AS sudah dibatasi. Kami berpendapat bahwa potensi The Fed untuk kembali melanjutkan pengetatan bergantung pada rilisan data ekonomi selanjutnya, jika tren disinflasi yang semakin kuat dan kenaikan angka pengangguran dapat mendorong perubahan nada kebijakan dan menyebabkan Dolar AS melemah
Pertumbuhan belum Merata
Pertumbuhan ekonomi utama global cukup bervariatif di pertengahan tahun ini. Pertumbuhan di AS dan Jepang terlihat kuat, sementara di sisi lain Eropa berpotensi jatuh kedalam jurang resesi dan pembukaan kembali ekonomi China paska-pandemi sejauh ini dibawah ekspektasi. AS sendiri berhasil mencatatkan pertumbuhan yang melebihi ekspektasi di 2.4% pada kuartal dua lalu dan diproyeksi masih akan mencatatkan pertumbuhan yang memuaskan kuartal ini ditengah suku bunga acuan yang berada di level tertingginya sejak 2001. Sentimen suku bunga acuan untuk berada di level yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama yang sebelumnya sangat membebani pasar, kini terlihat mulai memudar seiring dengan rilisan data ketenagakerjaan yang mulai melunak, seperti contohnya kenaikan tingkat pengangguran yang signifikan dari 3.5% ke 3.8%. Kini, semakin banyak investor dan analis yang percaya bahwa the Fed akan memulai pemangkasan suku bunga acuan di kuartal kedua tahun depan. Pada pertemuan Jackson Hole bulan lalu, Jerome Powell mengatakan bahwa suku bunga masih dapat bergerak naik, namun bank sentral harus lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan. Pernyataan tersebut dinilai pasar lebih dovish dibandingkan beberapa pernyataan Powell sebelumnya. Dari segi aset risiko, pasar saham global mengalami pelemahan di bulan Agustus akibat aksi profit taking investor.
Namun, situasi di Eropa terlihat cukup berbeda. Bank sentral Eropa (ECB) tidak mengadakan pertemuan bulan lalu, sementara bank sentral Inggris (BOE) melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps), setelah kenaikan 25 bps di bulan sebelumnya. Suku bunga acuan ECB dan BOE saat ini berada di level 4.25% dan 5.25%, level tertingginya sejak krisis finansial global 2008. Selain perkembangan kebijakan moneter, investor juga terus memonitor perkembangan seputar pasar komoditas, terutama kenaikan harga minyak yang signifikan pada pekan terakhir bulan lalu seiring dengan rencana pemangkasan produksi Arab Saudi dan Rusia. Harga minyak mentah WTI melonjak 6% dari level terendahnya ke kisaran level $83 - $84 di akhir bulan Agustus.
Di Asia, indeks MSCI Asia ex-Jepang mencatatkan penurunan yang signifikan sebesar 6.6%, dipimpin oleh pelemahan saham-saham A-shares dan H-shares akibat prospek pemulihan ekonomi China yang memburuk. Masalah di sektor properti dan real estate yang berkontribusi sekitar 30% dari total PDB China saat ini masih menjadi hambatan terbesar pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, pemerintah dan bank sentral China PBOC sudah berulang kali mengutarakan komitmennya untuk menopang ekonomi dan pasar modal yang terpuruk. Sejumlah upaya telah dilakukan seperti penurunan suku bunga acuan hingga pemangkasan pajak transaksi pasar saham. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Jepang berhasil mengejutkan pasar, tercatat sebesar 4.8% (annualized) setelah direvisi turun dari sebelumnya 6.0%.
Beralih ke Indonesia, data ekonomi di bulan Agustus masih terlihat kuat. PMI Manufaktur terus meningkat, saat ini di level 53.9 dan merupakan level tertingginya sejak November 2021. Dari segi inflasi, CPI YoY mencatatkan kenaikan dari 3.08% ke 3.27%; masih lebih rendah dibandingkan ekspektasi pasar. Positifnya, inflasi inti turun melebihi perkiraan, sehingga memberikan fleksibilitas bagi Bank Indonesia dari sisi kebijakan moneter kedepannya. Fokus para pelaku pasar saat ini semakin tertuju pada pemilu 2024 menjelang kuartal terakhir tahun ini, dimana ketidakpastian politik masih cukup tinggi. Namun demikian, optimisme dari sudut pandang rumah tangga dan dunia usaha sejauh ini semakin membaik, tercermin dari kenaikan indeks keyakinan konsumen dari 123.5 ke 125.2.
Equity
Di bulan Agustus, IHSG terlihat cukup resilient ditengah pelemahan mayoritas aset global, indeks berhasil naik 0.32% dan ditutup di level 6,965.25. Penguatan indeks dipimpin oleh sektor Bahan Baku dan Infrastruktur yang naik masing-masing 9.81% dan 6.24%. Namun, level psikologis 7,000 masih menjadi resistance kuat ditengah diperlukannya dukungan eksternal untuk mendorong indeks diperdagangkan di atas level tersebut dengan nyaman. Dari segi valuasi, IHSG saat ini diperdagangkan di kisaran rasio P/E 14.4x dan pertumbuhan EPS di 20% menurut Bloomberg Estimates. Investor asing mencatatkan penjualan bersih senilai $1.4 miliar di bulan Agustus, sehingga penguatan indeks sepenuhnya dikontribusi oleh investor domestik yang memang masih optimis dan mengakumulasi aset risiko.
Semakin mendekati pemilu, para pelaku pasar cenderung mengadopsi strategi yang lebih tactical dengan jangka waktu investasi yang lebih pendek. Memasuki kuartal empat ini, perkembangan seputar dunia politik dan pemilu secara keseluruhan berpotensi memiliki dampak yang lebih besar terhadap pasar modal domestik, ditengah ketidakpastian yang masih tinggi. Namun demikian, kami tetap optimis di kuartal empat mendatang dan memasuki tahun 2024 seiring dengan tingginya resiliency pasar saham domestik sejak awal tahun ini.
Bond
Berlawanan dengan aset risiko, pasar obligasi mengalami pelemahan di bulan Agustus walaupun tidak signifikan. Imbal hasil obligasi 10 tahun pemerintah naik dari 6.25% ke 6.38% pada akhir bulan lalu. Imbal hasil aset pendapatan tetap domestik bergerak sejalan dengan imbal hasil US Treasury di AS, yang dimana juga naik di atas batas level psikologis 4%. Antisipasi atas suku bunga yang akan bertahan di level tinggi untuk waktu yang lebih lama masih menjadi pendorong utama kenaikan imbal hasil. Tidak hanya itu, investor asing juga melakukan penjualan bersih di pasar obligasi, walaupun tidak sebanyak di pasar saham dengan nominal $540 juta bulan lalu. Pelemahan Rupiah terhadap dolar AS juga turut berkontribusi pada pelemahan aset pendapatan tetap. Namun dengan imbal hasil acuan yang saat ini berada di kisaran 6.6% pada pekan kedua September ini, potensi pelemahan lebih jauh seharusnya akan cukup terbatas. Dengan Real-Yield yang saat ini berada di kisaran 3.3% dan target penerbitan surat hutang yang lebih rendah oleh Kementrian Keuangan, seharusnya dapat menjadi penopang pasar obligasi kedepannya.
Currency
Rupiah melemah terhadap dolar AS di bulan Agustus, seiring dengan kenaikan indeks dollar (DXY) ke level 104, level tertingginya sejak awal Juni lalu. Mata uang USDIDR diperdagangkan di kisaran Rp 15,080 di awal bulan, namun di akhir bulan terlihat berada di kisaran Rp 15,230. Namun sama halnya dengan aset pendapatan tetap, kami pun melihat potensi pelemahan Rupiah sudah cukup terbatas. Dari sisi data, cadangan devisa dirilis stabil di $137.7 miliar. Pencapaian tersebut setidaknya sama dengan 6 bulan impor Indonesia, jauh di atas standar kecukupan internasional yang hanya 3 bulan impor.
Juky Mariska, Wealth Management Head, Bank OCBC NISP Tbk
GLOBAL OUTLOOK
Menguat, Melemah, dan Berhati-hati
Perekonomian negara maju di dunia mengalami perubahan selama musim panas ini. Pertumbuhan di AS dan Jepang secara mengejutkan mengalami penguatan. Sebaliknya, pembukaan kembali China dari pandemi kembali menunjukkan pelemahan dan Eropa kembali masuk ke dalam ancaman resesi. – Eli Lee
AS
Perekonomian AS menguat. Pada kuartal kedua 2023, PDB tahunan bertumbuh sebesar 2.1%. Meningkatnya penjualan ritel di bulan Juli dan kenaikan tingkat upah di bulan Agustus menambah harapan bahwa The Fed dapat menekan inflasi ke target 2% tanpa menyebabkan resesi.
Rilisan data ekonomi AS yang solid menyebabkan imbal hasil US Treasury 10 tahun (UST) mencapai level tertinggi dalam 17 tahun pada 4.36%. Kenaikan ini juga didorong oleh proyeksi penerbitan surat utang yang lebih besar dari Departemen Keuangan AS, penurunan peringkat utang pemerintah AS oleh lembaga pemeringkat Fitch, dan BOJ yang mengijinkan imbal hasil obligasi pemerintah Jepang 10 tahun untuk diperdagangkan dalam kisaran yang lebih tinggi.
Dalam waktu dekat, imbal hasil UST diperkirakan masih fluktuatif. Namun dalam jangka panjang, kami mengantisipasi imbal hasil UST 10 tahun akan kembali seperti bulan April sebesar 3.25% dalam 12 bulan ke depan. Perekonomian AS diperkirakan akan melambat seiring berkurangnya bantuan sosial dalam rangka pandemi.
Dampak kenaikan suku bunga Fed pada tahun 2022-2023 akan membebani pertumbuhan, bank sentral mungkin akan mempertahankan tingkat suku bunga pada 5.25-5.50% hingga akhir Juni 2024. Kami memperkirakan The Fed tidak akan menurunkan suku bunga hingga kuartal kedua 2024 - walaupun resesi terjadi sesuai dengan yang diantisipasi, karena para pejabat ingin mencapai target inflasi pada 2%.
Oleh karena itu, kami ragu jika The Fed akan menempuh kebijakan soft landing dengan menurunkan suku bunga lebih awal. Sebaliknya, kami berpendapat bahwa The Fed mendukung terjadinya resesi agar dapat menekan inflasi ke level 2% sesuai target. Tingkat pertumbuhan ekonomi saat ini terlihat mematahkan kemungkinan terjadinya resesi di tahun ini. Akan tetapi, pemotongan stimulus fiskal, suku bunga yang “lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama” dan target inflasi The Fed sebesar 2% menjadikan risiko resesi berpotensi dimulai pada awal kuartal IV – 2023 atau 2024 nanti.
Volatilitas pasar obligasi di musim panas ini berpotensi pada penurunan imbal hasil dalam 12 bulan ke depan. Dengan demikian kami tetap memilih obligasi UST dan obligasi investment grade negara maju (IG-DM) sebagai lindung nilai terhadap risiko resesi.
China
Kami berpendapat China, sebagai perekonomian terbesar kedua di dunia, saat ini berada pada situasi kritis. Pada kuartal pertama 2023, PDB melonjak sebesar 2.2% secara kuartalan, setelah negara ini dibuka kembali dari pandemi. Namun perekonomian hanya tumbuh 0.8% di kuartal II – 2023, akibat memudarnya kepercayaan terhadap pemulihan. Memasuki kuartal III - 2023, pertumbuhan masih lemah.
Meskipun pembukaan ekonomi terjadi cukup kuat di awal tahun, perekonomian China jelas tertekan karena kurangnya permintaan. Pada bulan Juli, indeks harga konsumen China masuk ke zona deflasi dengan harga 0.3% lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
Guncangan yang terjadi pada tahun 2020-2022 mulai dari karantina ketat, regulasi yang ketat, pelemahan di sektor properti, resesi di luar negeri dan risiko geopolitik – semua ini berdampak pada perlambatan pertumbuhan China tahun ini.
Sebagai contoh, sekarang ini konsumen lebih berhati-hati setelah momentum lonjakan belanja saat pembukaan ekonomi China pada akhir tahun lalu. Pada bulan Juli, penjualan ritel hanya 2.5% lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Padahal pada akhir tahun 2019, penjualan ritel meningkat sebesar 8.0% per tahun. Hal ini disebabkan adanya kekhawatiran PHK saat pandemi, bantuan sosial yang minim di tengah ketatnya lockdown, hingga jatuhnya harga properti.
Investasi juga lesu. Pada bulan Juli, pembentukan modal tetap atau fixed asset investment hanya tumbuh 3.4%, lebih rendah dibandingkan tahun lalu, laju pertumbuhan berkurang setengah dibandingkan awal pandemi pada tahun 2020 lalu.
Perubahan regulasi dan kontrol ekspor oleh AS semakin melemahkan investasi di sektor teknologi. Jatuhnya harga properti, proyek yang terbengkalai, dan gagal bayar dari developer menyebabkan banyak pembelian properti baru yang tertunda, sehingga investasi sektor properti melemah. Sejalan dengan terhentinya eforia pembukaan ekonomi kembali, lembaga pembiayaan pemerintah daerah yang lebih memilih membayar hutang daripada mengambil hutang untuk melaksanakan proyek baru.
Terakhir, sektor perdagangan sebagai salah satu komponen pertumbuhan ekonomi yang utama, juga berada dalam tekanan. Lemahnya permintaan luar negeri mengakibatkan ekspor Juli turun 14.5% jika dibandingkan dengan tahun lalu.
Menghadapi ekonomi yang melambat di luar ekspektasi, para pejabat mulai menetapkan kebijakan secara bertahap untuk menghidupkan kembali permintaan. Pada bulan Agustus, bank sentral China (PBoC) memangkas suku bunga 7 hari sebesar 10 bps menjadi 1.80%. Namun, untuk mencegah China jatuh ke deflasi yang berkepanjangan, para pejabat perlu mengambil tindakan terpadu pada tiga bidang: pelonggaran fiskal masif, upaya untuk menstabilkan sektor properti, dan penurunan suku bunga secara cepat. Saat ini, kami memperkirakan PDB China akan meningkat sebesar 5.4% pada tahun 2023, dibandingkan pertumbuhan tahun 2022 yang hanya sebesar 3.0% seiring dibukanya kembali perekonomian.
Namun, jika para pejabat tetap menahan pemberian stimulus untuk mendorong kembali permintaan, maka pertumbuhan PDB China kemungkinan akan gagal mencapai target pemerintah sebesar 5% pada tahun 2023. Dalam hal ini, risiko deflasi yang berkepanjangan akan meningkat.
Outlook China yang belum stabil membuat kami mempertahankan pandangan netral terhadap pasar saham China.
Eropa
Kami juga berhati-hati terhadap outlook Eropa. Berbeda dengan The Fed, BOJ, dan PBoC, kami memperkirakan Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of England (BoE) akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 4.00% dan 5.50% pada September mendatang dikarenakan inflasi yang masih tinggi. Namun pada saat yang sama, indikator pembelian (PMI) bulan Agustus menunjukkan pelemahan pada kuartal III - 2023 baik di Inggris maupun zona Eropa. Dengan demikian, kami mempertahankan pandangan kami bagi investor untuk tetap melakukan underweight pada pasar saham Eropa.
Jepang
Kami memperkirakan optimisme investor terhadap Jepang cukup beralasan. Data PDB Jepang pada kuartal II - 2023 menunjukkan perekonomian Jepang akhirnya mulai meninggalkan periode deflasi dalam tiga dekade sejak tahun 1990.
Pada kuartal II - 2023, PDB meningkat pesat sebesar 1.5% secara kuartalan. Angka ini tumbuh dua kali lipat dari estimasi investor. PDB kuartal I - 2023 juga direvisi naik, dengan pertumbuhan yang kuat sebesar 0.9% secara kuartalan. Kami memperkirakan pertumbuhan Jepang akan tetap kuat pada paruh kedua tahun ini dan kami merevisi perkiraan setahun penuh dari 1.4% menjadi 2.1%. Angka ini melebihi perkiraan kami untuk pertumbuhan di AS, Zona Euro, dan Inggris pada tahun 2023.
Lebih penting lagi, indikator perekonomian Jepang seperti nominal PDB, inflasi dan pertumbuhannya mencapai titik tertinggi sepanjang masa mendekati JPY 600 triliun pada kuartal II - 2023, setelah mengalami stagnasi selama tiga dekade.
Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi Jepang saat ini akan tetap meningkat. Pertama, inflasi inti telah mencapai angka tertinggi dalam empat dekade terakhir, di atas 4% akibat guncangan pandemi dan perang Ukraina. Sehingga, perekonomian akhirnya kembali tumbuh secara nominal. Kedua, pelonggaran Bank of Japan (BoJ) dengan menjaga suku bunga depositonya di bawah nol agar inflasi tetap berada di sekitar target 2%.
Dengan demikian, kami merekomendasikan investor agar tetap overweight pada ekuitas Jepang. Kenaikan inflasi dan pertumbuhan nominal PDB untuk pertama kalinya setelah lebih dari 30 tahun akan mendorong laba dan pendapatan perusahaan domestik.
Sumber: Bank of Singapore
EQUITY
Berharap lebih banyak dari China
Mengingat bahwa pegerakan pasar modal sangat dipengaruhi oleh imbal hasil Treasury AS sebagai bentuk instrumen yang risk-free, kenaikan imbal hasil yang tinggi dalam waktu dekat dapat memicu volatilitas pasar jangka pendek, terutama jika imbal hasil 10Y terus menguji level tertinggi baru.- Eli Lee
AS – Berburu peluang dengan lebih berhati-hati
Sebagai pemimpin di industry kecerdasan buatan (AI), laporan keuangan Nvidia tidak mengecewakan, namun demikian perusahaan teknologi sejenis melaporkan belanja modal yang lebih rendah, sementara tingkat persediaan semikonduktor yang tinggi mendorong kekhawatiran. Kami percaya bahwa prospek penguatan jangka pendek lebih terbatas, mengingat kondisi kredit dan likuiditas yang lebih ketat, ekspektasi yang terlalu optimis, dan dampak kenaikan suku bunga yang tertunda menjadi penghambat untuk penguatan lebih lanjut.
Untuk pasar AS, kami memilih sektor i) perbankan dengan kapitalisasi besar, dibandingkan bank regional, ii) internet, perangkat lunak, dan semikonduktor, iii) teknologi dan jasa kesehatan, iv) sektor-sektor yang diuntungkan dari perubahan tren pada industri, v) produk konsumsi primer.
Eropa – Lemahnya indikator ekonomi
Data indikator pembelian (Flash PMI) di zona Eropa masih turun 1.6 persen poin menjadi 47.0, angka tersebut di bawah ekspektasi konsensus, akibat perlambatan tajam di sektor jasa.
Kebijakan fiskal ekspansif dapat menjadi alasan utama mengapa ekonomi tetap bertahan ditengah kebijakan moneter yang lebih ketat. Namun demikian secara jangka panjang, efek positif tersebut kemungkinan akan memudar, dan dampak negatif dari kenaikan suku bunga akan mulai terlihat.
Jepang – Pertumbuhan kuat dari PDB dan pendapatan perusahaan Jepang kuartal II - 2023 semakin memperkuat pandangan optimis
Pertumbuhan PDB Jepang pada kuartal II - 2023 berada di atas ekspektasi, dengan membukukan pertumbuhan sebesar 6.0% secara kuartalan, yang disetahunkan. Pendapatan perusahaan untuk kuartal April hingga Juni 2023 juga relatif kuat, dengan penjualan tumbuh 7.1% dan laba bersih tumbuh 21.4% (YoY) untuk indeks TOPIX. Kontributor positif pertumbuhan pendapatan berasal dari sektor otomotif, perbankan, industri, makanan dan utilitas. Pasar saham Jepang juga tampaknya mencerna perubahan kontrol pada kurva imbal hasil (YCC) dengan positif, walaupun sempat terjadi penurunan di bulan Agustus, namun kembali pulih ke level yang terlihat di awal bulan. Kami tetap positif pada sektor keuangan, konsumsi, industri dan jasa kesehatan yang akan mendapat manfaat dari beberapa faktor, seperti kebijakan moneter yang longgar, pertumbuhan konsumsi dan pariwisata domestik yang kuat serta pemulihan produksi otomotif.
Asia ex-Japan – Membaiknya sentimen seiring naiknya harapan terhadap pelonggaran kebijakan
Indeks MSCI Asia ex-Japan mencatat imbal hasil negatif pada bulan Agustus, akan tetapi kinerja menjelang akhir bulan membaik karena meningkatnya harapan pelonggaran kebijakan di China yang mendukung sentimen bagi pasar saham regional.
Kami percaya salah satu alasan kinerja pasar yang lemah secara keseluruhan pada bulan Agustus adalah karena musim laporan pendapatan perusahaan kuartal II – 2023 (semester awal) yang dirilis lebih rendah. India, Indonesia dan Filipina adalah tiga pasar teratas yang berada di atas ekspektasi pasar. Di sisi lain, Malaysia, Hong Kong dan Thailand terlihat tertinggal dan berpotensi melaporkan pemangkasan konsensus yang lebih besar atas pendapatan perusahaan ke depannya.
Seiring dengan berakhirnya musim laporan pendapatan, fokus investor kemungkinan akan beralih pada kebijakan lebih lanjut dari China, terutama di pasar properti, keputusan suku bunga Federal Reserve (Fed) di bulan September dan data ekonomi lainnya.
China/ HK – Nada pro kebijakan
Pasar saham Hong Kong dan China melemah 7-8% pada bulan Agustus, seiring dengan penurunan di pasar saham regional Asia ex-Japan. Kebijakan terbaru, seperti pemotongan suku bunga dasar kredit (SBDK), relaksasi sektor properti, dan serangkaian kebijakan yang ditargetkan untuk mendukung pasar A-share, termasuk memotong bea materai transaksi pasar saham, akan mendorong kenaikan perdagangan saham dalam waktu dekat. Beberapa minggu ke depan merupakan masa penantian kebijakan. Oleh karena itu, pasar saham untuk sementara ini akan bergerak sideways, karena membutuhkan waktu untuk menerapkan kebijakan baru pada sistem.
Sektor Global
Pada akhir Agustus 2023, MSCI ACWI Financials Index telah memberikan kinerja yang stagnan sejak awal tahun, dan kami mempertahankan sikap netral untuk sektor ini. Dalam hal preferensi, kami lebih menyukai nama-nama dengan kapitalisasi besar dan berkualitas tinggi seperti Wells Fargo, Bank of America dan Citigroup daripada bank-bank regional. Pada sektor teknologi informasi dan layanan komunikasi global, kami juga mempertahankan peringkat netral. Sementara fundamental tetap kuat, kami melihat pandangan netral dalam waktu dekat karena valuasi yang relatif mahal, terutama untuk produsen semikonduktor dan perangkat lunak.
Pada sektor konsumsi, meskipun kami lebih memilih sektor konsumsi primer dibanding sekunder, akibat adanya potensi perlambatan pertumbuhan ke depan, kami melihat adanya dinamika yang berbeda pada setiap sub-sektor.
BOND
Strategi Barbel
Di pasar obligasi, kami tetap overweight terhadap obligasi investment grade (IG) negara maju (DM) yang merupakan aset lindung nilai terhadap resesi. Kami merekomendasikan strategi barbel dari sisi durasi – dimana obligasi bertenor pendek memberikan pendapatan yang menarik, sementara tenor yang cenderung lebih panjang berpotensi memberikan peluang kenaikan harga yang lebih besar seiring dengan volatilitas yang juga lebih tinggi. – Vasu Menon
Setelah mencatatkan kinerja yang cemerlang sejak awal tahun, performa dari obligasi DM IG dan high yield (HY) di bulan Agustus mencatatkan penurunan di tengah tingginya volatilitas pasar. Di bulan Agustus, obligasi DM IG & HY mencatatkan pelemahan masing-masing sebesar 0.9% dan 0.31%. Spread pada obligasi DM IG ditutup pada level 137 basis poin (bps), sementara DM HY di 382 bps.
Sehingga, kami mempertahankan pandangan overweight terhadap obligasi DM IG dan underweight terhadap DM HY.
Powell terus membuat pasar menebak
Setelah menyentuh level tertingginya dalam 17 tahun terakhir di 4.36%, imbal hasil US Treasury 10Y (UST) turun ke kisaran 4.11%. Sementara itu, imbal hasil US Treasury 2Y sempat menyentuh 5.1%, sebelum turun ke 4.89%.
Walaupun saat ini kami menilai kenaikan suku bunga The Fed telah mencapai puncaknya, perubahan kebijakan masih dapat terjadi, tergantung pada rilisan data ekonomi dalam beberapa minggu ke depan. Data yang dirilis lebih buruk dari perkiraan belakangan ini telah memicu ekspektasi pasar bahwa The Fed akan menahan suku bunga acuan. Antisipasi kami saat ini adalah ekonomi AS menuju resesi di kuartal IV - 2023 atau di tahun depan. Kami melihat durasi dari aset pendapatan tetap yang sebelumnya menjadi suatu hal yang ditakuti, dapat menjadi faktor pendorong kenaikan. Kami memperkirakan bahwa imbal hasil UST 10Y akan turun ke kisaran level 3.25% dalam satu tahun ke depan.
Maka dari itu, kami mempertahankan rekomendasi strategi barbel dari sisi durasi. Obligasi tenor pendek saat ini masih terlihat memberikan imbal hasil yang paling menarik, apalagi dengan potensi pemangkasan suku bunga acuan yang dapat dimulai dalam waktu dekat, terutama jika fokus bank sentral berubah dari pengendalian inflasi ke pertumbuhan ekonomi.
Underweight obligasi DM HY
Menahan kenaikan suku bunga acuan secara terbatas di tengah rendahnya tingkat pertumbuhan dan resesi dapat menjadi katalis negatif bagi obligasi DM HY. Level suku bunga yang berada di level yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama, dapat membuat pembiayaan korporasi melalui penerbitan obligasi semakin mahal dan dapat memicu gagal bayar.
Tetap netral terhadap obligasi korporasi negara berkembang (EM)
Kami tetap netral terhadap obligasi korporasi EM, dimana mayoritas negara-negara EM saat ini lebih unggul dari sisi siklus kenaikan suku bunga acuan dibandingkan negara-negara DM. Pemangkasan pun dapat dimulai dalam beberapa bulan ke depan bagi negara- negara berkembang ini.
Underweight Asia
Di kategori EM IG dan HY, kami berubah menjadi underweight di Asia seiring dengan meningkatnya kehati-hatian kami terhadap China yang saat ini terus menunjukkan potensi perlambatan ekonomi dan juga krisis sektor properti yang semakin mendalam. Kami khawatir atas fundamental jangka panjang sektor properti di China dan potensi dampaknya terhadap sektor keuangan; sehingga kami merekomendasikan untuk memanfaatkan momentum kenaikan pasar untuk mengurangi eksposur pada sektor properti di China.
Lebih menyukai obligasi IG Asia di dalam kategori EM IG
Kami terus lebih menyukai obligasi IG dibandingkan HY di Asia. Pada kategori IG Asia, preferensi kami tetap berada pada beberapa seri obligasi korporasi dari India dan Indonesia yang memiliki neraca keuangan yang kuat dan yang mendapatkan dukungan dari kebijakan pemerintah. Kami juga tetap selektif di kategori HY dan cenderung menyukai beberapa nama perusahaan energi terbarukan dari India, seiring dengan terus meningkatnya fokus pasar terhadap ESG dan fundamental yang bersifat sustainable.
FX & COMMODITIES
Permintaan Yang Kuat dan Pasokan Terbatas
Pasar produk penyulingan yang kuat dan ketatnya pasokan dapat mendorong harga minyak mentah menguat. Kami berekspektasi pasar minyak mentah tetap defisit di semester II - 2023. Tetapi pasar minyak dapat kembali mengalami kelebihan pasokan yang moderat pada awal 2024 seiring dengan permintaan minyak yang melambat dan juga OPEC+ menghentikan pengurangan produksi secara bertahap. – Vasu Menon
Gold
Solidnya ekonomi AS mendorong kenaikan imbal hasil UST jangka panjang, dan mengangkat nilai tukar Dolar AS. Hal ini telah mengurangi daya tarik emas dalam waktu dekat. Arus modal keluar untuk ETF emas telah stabil, dan investor pasar aset berjangka (futures) telah mengurangi risiko. Permintaan terhadap investasi menurun, seiring para investor menunggu The Fed mengakhiri siklus pengetatannya. Kami mempertahankan pandangan bahwa The Fed tidak perlu untuk menaikkan suku bunga lagi.
Tantangan dari penguatan Dolar AS dan imbal hasil riil obligasi UST yang lebih tinggi berpotensi mereda ketika data AS akhir-akhir ini menunjukkan tanda perlambatan ekonomi yang bertahap. Kami tetap positif terhadap emas untuk jangka menengah. Tidak seperti sektor komoditas lainnya yang akan mengalami kesulitan dengan skenario perlambatan pertumbuhan ekonomi AS, emas justru diuntungkan, seiring dengan perlambatan AS yang akan membawa siklus pemangkasan suku bunga The Fed. Risiko dari resesi AS belum sepenuhnya hilang, yang mana hal ini akan memberikan daya tarik aliran dana safe haven ke dalam emas pada 2024. Sementara pembelian emas oleh bank sentral pada semester I - 2023 melambat, dorongan permintaan sepertinya akan tetap positif, sehingga akan mendukung harga emas dan mengurangi volatilitas.
Oil
Pasar produk penyulingan yang kuat dan ketatnya pasokan dapat mendorong harga minyak mentah menguat. Pasar produk penyulingan yang kuat didukung oleh permintaan dari bahan bakar transportasi utama seperti bensin, diesel dan bahan bakar pesawat. Permintaan bahan bakar pesawat berkontribusi penting bagi permintaan minyak secara umum, seiring kembali meningkatnya perjalanan udara ke level tertinggi sebelum pandemi. Ketatnya pasokan juga terlihat setelah beberapa kali pemangkasan produksi oleh OPEC+ dan tanda-tanda bahwa Rusia menepati janjinya untuk membatasi ekspor. Hal ini dapat ditambah oleh kenaikan harga minyak mentah Rusia di atas batas harga yang ditetapkan oleh G7 dan mendekati harga minyak Brent. Menurunnya keuntungan yang diperoleh pembeli minyak Rusia dari Asia kemungkinan akan meningkatkan persaingan terhadap harga minyak Brent.
Penarikan persediaan baru-baru ini dilakukan dengan cara yang meyakinkan, dan kami berekspektasi bahwa pasar minyak mentah tetap defisit di semester II -2023. Tetapi pasar minyak dapat kembali pada keadaan kelebihan pasokan yang moderat pada awal 2024 seiring dengan permintaan minyak yang melambat dan juga OPEC+ menghentikan pengurangan produksi secara bertahap. Dengan persediaan yang masih rendah, kami berharap Brent tetap berada di level US$ 85/barel dalam waktu satu tahun ke depan.
Currency
Narasi pasar terhadap suku bunga tinggi yang bertahan untuk jangka waktu yang lebih lama terus memberikan dukungan terhadap Dolar AS. Retorika The Fed belakangan ini terlihat bervariatif tetapi yang konsisten terdengar adalah “tetap tinggi untuk jangka waktu lebih lama” dan pemangkasan suku bunga tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Perkataan ketua The Fed Powell di Jackson Hole pada tanggal 25 Agustus sebagian besar merupakan pengulangan narasi bahwa suku bunga “tetap tinggi untuk jangka waktu lebih lama” dengan sedikit deviasi dari komunikasi sebelumnya. Jerome Powell mengambil kesempatan tersebut untuk meyakinkan dalam penerapan strategi manajemen risiko, dilakukan secara berhati-hati seiring dengan keputusan pejabat The Fed apakah akan melakukan pengetatan lebih lanjut atau menahan suku bunga tetap dan menunggu data.
Secara keseluruhan, kami kembali mempertahankan pandangan kami terhadap USD yang moderat hingga melemah seiring dengan The Fed yang berpotensi berada di akhir siklus pengetatan ini. Akan tetapi, dengan suku bunga yang masih tetap tinggi untuk jangka waktu lama, potensi penurunan Dolar AS dalam waktu dekat menjadi terbatas, seiring the Fed yang belum segera menahan suku bunga. Titik perubahan Dolar AS akan terjadi ketika narasi pasar beralih ekspektasi untuk “pemangkasan suku bunga lebih lanjut di 2024” dan hal ini sangat bergantung pada bagaimana rilisan data ekonomi selanjutnya. Tren disinflasi yang semakin kuat dan kenaikan angka pengangguran dapat mendorong perubahan nada kebijakan dan menyebabkan Dolar AS melemah. Untuk saat ini, Dolar AS masih diuntungkan dengan tingkat imbal hasil UST yang tinggi dan masih merupakan aset safe-haven untuk batas tertentu. Dengan demikian, masih ada ruang untuk penguatan Dolar AS terutama jika momentum pertumbuhan global dan China tetap lemah.
Opportunities Amid Uncertainties
Bursa saham Amerika Serikat rata-rata ditutup menguat di bulan Juli dengan indeks saham Dow Jones, S&P 500 dan Nasdaq ditutup menguat masing-masing sebesar +3.11%, +2.99% dan +4.04%. Kenaikan ini didorong oleh rilisan data pertumbuhan ekonomi AS yang cukup mengejutkan. Perekonomian AS bertumbuh 2.4% di kuartal II – 2023 atau 2.6% y-o-y. Hal ini menghapus kekhawatiran pelaku pasar akan potensi resesi AS di tengah laju kenaikan suku bunga ke level tertinggi selama 22 tahun terakhir. Pasar ketenagakerjaan masih cukup kuat di tengah pengetatan kebijakan Fed. Angka pengangguran dirilis turun ke 3.5%, lebih rendah daripada bulan sebelumnya di 3.6%. Rilisan data yang cukup kuat dapat mempengaruhi arah kebijakan suku bunga Fed, yang diperkirakan akan segera mencapai akhir dari siklus kenaikan. Ekspektasi bahwa suku bunga akan tetap bertahan tinggi (higher for longer) mendorong volatilitas pasar serta kinerja aset berisiko.
Sementara itu, di Eropa, kenaikan suku bunga acuan masih berlanjut pada bulan Juli lalu dengan ECB menaikkan suku bunga acuan sebesar 25bps ke level 4.25% dan BOE sebesar 25bps ke level 5.50%. Kenaikan suku bunga acuan pada zona Eropa telah diantisipasi oleh pelaku pasar, mengingat rilisan data tingkat inflasi zona Eropa bulan Juli 2023 dilaporkan pada 5.3%, lebih rendah dari periode sebelumnya pada 5.5% dan tingkat inflasi Inggris dilaporkan pada 7.9%, lebih rendah dari periode sebelumnya pada 8.7%. Meskipun penurunan tingkat inflasi telah terjadi namun level tersebut masih tergolong tinggi, terutama bagi negara maju. Pelaku pasar hingga kini mengantisipasi suku bunga acuan di Inggris yang masih akan kembali mengalami kenaikan dan mencapai rentang 6.5% hingga 7.0% di akhir tahun ini.
Dari bagian timur, pasar saham Asia pada bulan Juli lalu ditutup menguat secara keseluruhan kecuali bursa Jepang pada bulan Juli mengalami pelemahan. Pada awal bulan, bursa saham Jepang mengalami penguatan, namun kemudian mengalami penurunan yang salah satunya disebabkan dari aksi profit taking yang dilakukan pelaku pasar. Penyesuaikan kebijakan Yield Curve Control atau pengaturan batas atas imbal hasil obligasi yang dilakukan oleh Bank of Japan, dari 0.5% menjadi 1% diharapkan akan mendorong inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi Jepang.
Sementara itu, dari dalam negeri, beberapa rilisan data ekonomi dinilai cukup optimis. Inflasi bulan Juli turun ke 3.08% y-o-y, semakin mendekati target inflasi pemerintah di 3 ± 1%, sehingga Bank Indonesia juga mempertahankan suku bunga 7-day Reverse Repo Rate di 5.75%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat bertumbuh kuat di 5.17% y-o-y pada kuartal II. Prestasi ini didukung oleh terus berlangsungnya pemulihan ekonomi paska pandemi, kembalinya mobilitas dan tingkat konsumsi masyarakat serta penerusan proyek pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah.
Equity
IHSG berhasil mencatatkan penguatan sebesar +4.05% di bulan Juli dengan sektor Energi dan Material Dasar memimpin penguatan masing-masing sebesar +10.71% dan +10.19%. Para pelaku pasar cenderung masih bersifat wait & see terhadap aset berisiko ditengah ketidakpastian global seperti penurunan credit rating AS hingga tensi geopolitik di Eropa dan Asia, baik investor lokal maupun asing lebih berhati – hati di pasar saham.
Masa pemilihan umum berpotensi menjadi katalis bagi bursa saham domestik dan diprediksi dapat menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi pada penghujung tahun 2023 hingga tahun depan. Secara keseluruhan, saham – saham negara berkembang termasuk Indonesia memiliki potensi penguatan yang cukup signifikan di semester kedua ini seiring dengan valuasi yang lebih atraktif dibandingkan negara maju.
Bond
Yield pasar obligasi pada bulan Juli mengalami penurunan, yang menandakan ada nya penguatan dari sisi harga. Hal ini tercermin dari penurunan imbal hasil obligasi pemerintah RI tenor 10 tahun sebesar -0.16% ke level 6.25%.
Salah satu pendukung penurunan imbal hasil adalah Rating and Investment Information, Inc (R&I) yang meningkatkan outlook Indonesia menjadi positif dari sebelumnya stabil. Lembaga pemeringkat terbesar di Jepang itu juga mempertahankan peringkat Indonesia pada BBB+, dua level di atas tingkat terendah Investment Grade.
Kemudian, rilisan angka inflasi Indonesia bulan Juli yang kembali menurun, semakin memberikan ruang pelonggaran kebijakan moneter oleh Bank Indonesia. Dari perspektif investor asing, meredanya inflasi akan membuat real yield menjadi lebih menarik dibandingkan rata-rata obligasi Investment Grade lainnya.
Currency
Dari mata uang, Rupiah pada bulan Juli cenderung stabil dan mengalami pelemahan tipis terhadap Dollar AS sebesar +0.1% dan diperdagangkan di kisaran level Rp 15,085 per dollar AS pada akhir bulan Juli. Kestabilan mata uang Rupiah sendiri didorong oleh surplus neraca dagang yang meningkat pada bulan Juni 2023 sebesar US$ 3.46 Miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya sebesar US$ 0.43 Miliar. Kemudian juga cadangan devisa Bank Indonesia tercatat US$ 137.7 miliar, setara dengan pembiayaan 6.2 bulan impor, jumlah yang jauh di atas standar kecukupan internasional yaitu 3 bulan impor. Data – data tersebut seharusnya akan dapat menopang pergerakan Rupiah kedepannya.
Juky Mariska, Wealth Management Head, Bank OCBC NISP Tbk
Pelemahan yang tertunda
Meskipun perekonomian global memiliki ketahanan lebih baik dibanding perkiraan di tahun 2023, dampak lanjutan dari pengetatan moneter masih dapat membebani pertumbuhan. Perlambatan ekonomi AS masih akan berlanjut hingga inflasi mencapai target Fed sebesar 2%. – Eli Lee
Pasar keuangan berharap untuk mencapai target inflasi 2% dengan perlambatan ekonomi atau soft landing, tanpa menyebabkan resesi. Pertumbuhan PDB AS kuartal II - 2023 yang baik dan penurunan level inflasi, mendorong keyakinan bahwa Fed dan bank sentral lainnya akan beralih dari kenaikan suku bunga menjadi penurunan suku bunga pada akhir tahun ini. Namun kami masih tetap waspada. Terdapat kemungkinan bahwa resesi masih diperlukan di AS untuk menurunkan inflasi ke level 2%. Para bank sentral di Eropa bersiap untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut meskipun pertumbuhan masih lemah dan pembukaan kembali ekonomi China yang tidak sesuai ekspektasi. Sebaliknya, hanya Jepang yang tetap memiliki outlook positif. Oleh karena itu, kami tetap waspada terhadap faktor risiko pada perekonomian negara maju.
AS
Perekonomian AS jauh lebih baik dari perkirakan kami meskipun Fed telah menaikkan suku bunga sepanjang tahun ini. Untuk terjadinya sebuah resesi, PDB perlu mengalami pertumbuhan negatif setidaknya dua kuartal berturut-turut. Namun, data pada kuartal II - 2023 menunjukkan bahwa pertumbuhan AS semakin cepat. Oleh karena itu, kami telah merevisi estimasi PDB AS untuk tahun 2023 dari pertumbuhan 1.2% menjadi 1.8%. Selain itu, data bulan Juni menunjukkan tingkat inflasi telah mencapai puncaknya, meningkatkan harapan The Fed untuk mencapai soft landing. Namun, saat ini kami lebih berhati-hati terhadap outlook ekonomi dari pada konsensus.
Awalnya, kami memperkirakan bahwa kenaikan suku bunga The Fed sebesar 25 bps menjadi 5.25% - 5.50% bulan lalu menjadi yang terakhir karena inflasi telah mereda. Namun, kami memprediksi bahwa bank sentral akan tetap mempertahankan kebijakan ketat untuk menurunkan inflasi kembali ke target 2%.
Meskipun pertumbuhan PDB kuartal II melebihi estimasi, tingkat konsumsi masih mengalami perlambatan dari sebelumnya di 4.2% secara tahunan pada kuartal I - 2023 menjadi 1.6% pada kuartal II - 2023. Kami mengantisipasi ekonomi AS akan melambat lebih lanjut karena dampak penuh dari kenaikan suku bunga yang agresif akan melemahkan aktivitas ekonomi untuk beberapa kuartal ke depan. Kami mempertahankan pandangan bahwa PDB AS akan mengalami kontraksi selama dua kuartal mulai kuartal IV – 2023.
Lebih lanjut, The Fed tetap berkomitmen untuk mengembalikan tingkat inflasi pada 2%, sehingga penurunan tingkat suku bunga sebelum kuartal II - 2024 jauh dari perkiraan kami. Sebaliknya, para pejabat The Fed kemungkinan akan menunggu inflasi PCE inti turun dari tingkat saat ini pada 4.1% pada bulan Juni lalu menjadi di bawah 3.0% sebelum mempertimbangkan untuk menurunkan suku bunga.
Seperti yang ditunjukkan pada tabel estimasi suku bunga, kami memperkirakan yield US Treasury akan turun selama 12 bulan ke depan karena pelemahan pertumbuhan dampak kenaikan suku bunga Fed sebelumnya.
Eropa
Di belahan dunia yang lain, European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BOE) berpotensi untu melanjutkan kenaikan suku bunga tahun ini untuk mengatasi inflasi meskipun pertumbuhan ekonomi di Zona Eropa dan Inggris masih lemah.
Inflasi zona Eropa bulan Juli berada pada 5.3%, jauh di atas target ECB pada 2% sementara tingkat inflasi inti dilaporkan lebih tinggi pada 5.5% meskipun bank sentral kembali menaikkan suku bunga sebesar 25bps menjadi 3.75% pada bulan lalu.
Demikian pula, inflasi di Inggris bulan Juni lalu dilaporkan pada 7.9% (6.9% apabila tidak termasuk harga makanan dan energi), masih jauh di atas target BOE pada 2%. Oleh karena itu, kami memperkirakan ECB akan menaikkan suku bunga acuan lagi sebesar 25 bps menjadi 4.00% pada bulan September dan BOE akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 bps pada bulan Agustus dan 25 bps lebih lanjut untuk mencapai puncaknya pada bulan September sebesar 5.75%.
Kedua bank sentral ini diperkirakan akan melanjutkan kebijakan pengetatan meskipun terjadi pelemahan pada pertumbuhan ekonomi di Eropa menyusul krisis energi tahun lalu akibat invasi Rusia ke Ukraina. Kami memperkirakan Zona Eropa hanya tumbuh sebesar 0.6% pada tahun 2023 setelah mengalami resesi pada pergantian tahun dan ekonomi Inggris diperkirakan tidak bertumbuh.
China
Pembukaan kembali China masih mengecewakan pelaku pasar. Pada kuartal I - 2023, aktivitas ekonomi melambung kuat karena konsumen kembali aktif. Namun pada kuartal II - 2023, pemulihan paska pandemi China melambat tajam karena konsumen kembali waspada, perusahaan kurang percaya diri, sektor properti masih lemah, dan ekspor mengalami kontraksi.
Kurangnya momentum nampaknya masih akan terbawa pada kuartal III - 2023. Purchasing Manager Indices (PMI) bulan Juli yang mana merupakan tolok ukur dari sentimen bisnis menunjukkan bahwa manufaktur terus menunjukkan sinyal kontraksi sementara keyakinan pada sektor jasa China kian meredup.
Jepang
Sebaliknya, hanya outlook ekonomi Jepang yang tetap positif, dimana Jepang sebagai perekonomian terbesar ketiga di dunia berada pada posisi yang strategis saat membuka ekonomi kembali paska pandemi, inflasi kembali setelah hilang selama tiga dekade, Yen tetap lemah dan Bank of Japan (BOJ) masih bersikap dovish.
Baru-baru ini, BOJ mengubah batas atas pada yield obligasi pemerintah Jepang 10 tahun. BOJ mengatakan masih akan menargetkan yield obligasi pemerintah Jepang 10 tahun berfluktuasi dalam kisaran ±50 bps sekitar 0.0%, tetapi sekarang target tersebut hanya merupakan acuan dan hanya akan membatasi yield obligasi pemerintah Jepang 10 tahun apabila yield berada pada 1.0%. Tetapi para pejabat diminta tetap mempertahankan suku bunga simpanan bank sentral di bawah nol pada -0.1% tahun ini untuk memastikan target inflasi bertahan pada target 2.0%.
Kebijakan dovish BOJ sangat kontras dengan The Fed, ECB, dan bank sentral lainnya, namun kebijakan ini menguntungkan pasar ekuitas Jepang.
Peluang besar di Jepang
Kami masih melihat peluang pada pasar saham Asia, didorong dari kebijakan moneter yang akomodatif, pertumbuhan yang kuat, dan valuasi yang menarik. Di antara negara maju global, Jepang memiliki outlook paling cerah dengan dukungan kebijakan longgar dan dan diperkirakan tetap memiliki ketahanan yang baik. – Eli Lee
AS – Rilis laporan keuangan Perusahaan AS yang beragam
Sejauh ini, secara umum fundamental dari perusahaan terlihat baik, namun valuasi yang tinggi, ekspektasi besar dari investor di seluruh pasar, dan mulai turunnya konsumsi kelas atas membuat kami lebih berhati-hati terhadap prospek ke depan. Kecerdasan buatan generatif (AI) terus menjadi area dengan potensi monetisasi jangka panjang, namun dalam jangka pendek tidak cukup untuk mengimbangi beberapa hambatan yang dihadapi oleh sejumlah perusahaan teknologi terpilih. Kenaikan pasar saham tak hanya terjadi pada emiten besar, namun keuntungan indeks masih didorong oleh beberapa saham tertentu saja. Kami melihat untuk saat ini lebih baik tetap defensif, dan tetap di sektor pilihan seperti utilitas, konsumsi bahan pokok, dan kesehatan.
Eropa - Waspada terhadap kinerja keuangan Perusahaan
Berdasarkan laporan keuangan kuartal II - 2023 per akhir Juli, laporan keuangan yang dilaporkan sesuai dengan ekpektasi pasar, namun yang menjadi perhatian adalah rendahnya angka kinerja keuangan yang positif; hanya 30% perusahaan mengalahkan estimasi analis lebih dari 2% - jauh dibawah rata – rata historis di 40%.
Dalam jangka panjang, ECB masih cukup hawkish di antara bank sentral negara maju lainnya, yang merupakan hambatan untuk pergerakan pasar modal, dan data ekonomi yang lebih lemah baru-baru ini di Eropa mengkonfirmasi momentum pertumbuhan yang mulai lemah di tengah siklus kredit yang melambat.
Jepang – relatif lebih baik dibandingkan negara maju lainnya
Sementara perlambatan ekonomi global mengancam lingkungan eksternal Jepang, pertumbuhan ekspor terlihat lebih baik daripada ekspektasi. Ekonomi dalam negeri terus memperlihatkan pemulihan bertahap, dengan aktivitas kredit dan pariwisata yang tumbuh kuat. Pada pertemuan terakhir, BOJ mengambil langkah yang sedikit lebih hawkish dengan mempertahanan kebijakan pembatasan kurva imbal hasil (YCC) dibatasi pada level 0.5%, dan mengungkapkan bahwa level tersebut merupakan acuan, bukan batas tetap, sehingga memberi ruang bagi BOJ untuk menaikkan batas diatas 0.5% jika diperlukan. Hal ini dapat mendorong volatilitas pasar saham dalam jangka pendek. Namun demikian kebijakan moneter Jepang masih jauh lebih longgar dibandingkan bank sentral secara global.
Asia ex-Japan – Melemah untuk mulai menghasilkan (Asia Selatan)
Indeks MSCI Asia ex-Japan unggul di bulan Juli, didukung oleh pasar China dan India. Dari sisi kebijakan, investor fokus kepada hasil dari pertemuan Politburo China dan kebijakan ekonomi yang dikeluarkan terutama bagi sektor properti.
Di awal kuartal II - 2023, laporan keuangan korporasi relatif lebih lemah. Sekitar 13% dari kapitalisasi pasar di indeks MSCI Asia ex-Japan telah merilis laporan keuangan, dimana laba tahunan dilaporkan turun sebesar -26%. Berdasarkan konsensus, laba kuartalan diperkirakan akan turun 9% YoY, pelemahan utama berasal dari Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand.
China/HK – Kebijakan yang lebih suportif
Kinerja pasar saham China dan Hongkong mengungguli pasar saham Asia ex-Japan di bulan Juli, dilatarbelakangi kebijakan yang lebih dovish dan hasil pertemuan Politburo. Para pengambil kebijakan menyadari kondisi makro yang lebih menantang, dan berkomitmen untuk menerapkan kebijakan yang lebih efektif untuk mencapai target tahun ini.
Sektor Global
Kami melihat potensi yang cukup baik pada sektor kesehatan, konsumsi bahan pokok dan utilitas, yang saat ini diperdagangkan pada valuasi yang menarik, dan berdasarkan historis relatif lebih kuat terhadap kondisi resesi, dan tidak sensitif terhadap siklus ekonomi.
Pada sektor kesehatan, kami melihat peluang pada produsen obat, penyedia jasa kesehatan, serta perusahaan riset dan diagnosa. Sebaliknya, kami melihat beberapa perusahaan distribusi alat kesehatan memiliki valuasi yang rendah.
Untuk sektor teknologi dan jasa komunikasi, kami positif pada software dan internet sebagai penerima manfaat dari permintaan yang digerakkan oleh AI dalam jangka panjang. Namun, dalam jangka pendek, kami mengkhawatirkan ekspektasi yang melambung dari dampak teknologi kecerdasan buatan (AI) pada laporan keuangan perusahaan. Meskipun pendapatan untuk kuartal II - 2023 tercapai, namun valuasi yang mahal dan aksi sell – off baru-baru ini pada penerima manfaat AI seperti Microsoft dan ServiceNow menjadi risiko jangka pendek di segmen tersebut. Kami cenderung memilih Perusahaan internet dibandingkan perusahaan penyedia software di sektor ini.
Strategi Barbel
Di pasar obligasi, kami tetap overweight terhadap obligasi Investment Grade (IG) negara maju (DM) yang merupakan aset lindung nilai terhadap resesi. Dari sisi durasi, kami merekomendasikan penerapan strategi barbel – dimana kami percaya bahwa tenor pendek saat ini memberikan imbal hasil yang lebih menarik, sementara tenor panjang berpotensi memberikan keuntungan dari kenaikan harga dalam jangka panjang seiring dengan volatilitas yang lebih tinggi. – Vasu Menon
Kami masih melihat potensi terjadinya resesi dalam satu tahun ke depan akibat tingginya suku bunga acuan. Maka dari itu, pengelolaan portofolio akan lebih besar dari sisi durasi dibandingkan kualitas kredit.
Tingginya suku bunga untuk waktu yang lebih lama
Sesuai ekspektasi, The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25bps pada pertemuan di bulan Juli lalu, membawa naik suku bunga acuan ke level 5.25% - 5.50%. Laju kenaikan suku bunga acuan the Fed sejauh ini dilakukan secara bertahap dan saat ini sudah berada di level yang cukup tinggi, namun pelonggaran dapat dilakukan apabila inflasi terus menunjukkan penurunan yang memuaskan.
Data ekonomi yang positif dari AS, baik dari sisi ketenagakerjaan, konsumsi hingga pertumbuhan ekonomi masih mendukung suku bunga acuan yang tinggi. Terlebih lagi, perkembangan kebijakan global semakin lama semakin memiliki pengaruh terhadap pergerakan pasar obligasi AS.
Tetap netral terhadap obligasi korporasi negara berkembang
Kami mempertahankan pandangan netral terhadap obligasi korporasi negara berkembang (EM). Dari sisi kebijakan suku bunga, banyak negara berkembang saat ini lebih unggul dibandingkan negara maju, sehingga memicu ekspektasi dimulainya siklus pemangkasan suku bunga oleh negara – negara berkembang tersebut dalam beberapa bulan ke depan. Terlebih lagi, beberapa faktor teknikal seperti supply & demand pun seharusnya akan mendapatkan dukungan seiring dengan rendahnya penerbitan surat hutang di musim panas. Kami juga mempertahankan preferensi kami terhadap obligasi IG dibandingkan High yield (HY) di tengah ketidakpastian global saat ini.
Tetap underweight obligasi DM HY
Menahan suku bunga secara ketat ditengah pertumbuhan ekonomi yang terbatas dapat menjadi katalis dominan terhadap obligasi HY negara maju. Suku bunga yang akan berada di level tinggi untuk waktu yang lebih lama dapat semakin membuat obligasi sebagai instrumen pembiayaan menjadi mahal dan memicu gagal bayar di dalam kategori HY. Lembaga pemeringkat AS Moody’s menyatakan bahwa mereka melihat default rate akan terus meningkat hingga 5% pada April 2024. Maka dari itu, kami masih underweight terhadap obligasi DM HY seiring dengan spread secara keseluruhan yang kami nilai masih belum memperhitungkan potensi terjadinya resesi dalam 12 bulan ke depan.
Lebih menyukai Asia IG didalam kategori EM IG
Kami juga mempertahankan preferensi kami untuk obligasi Asia IG di dalam kategori EM IG. Kami juga mempertahankan preferensi untuk obligasi IG Asia dalam kategori IG negara berkembang. Untuk obligasi IG Asia sendiri, secara valuasi ada beberapa obligasi dengan peringkat “BBB” yang menarik, terutama di Indonesia dan India, sementara beberapa kredit “AA” pun terlihat mulai menarik. Di Asia, kami juga masih terus menyukai obligasi IG dan lebih selektif terhadap obligasi HY, dengan beberapa nama di Indonesia dan India yang secara fundamental mendukung.
Tetap Positif Terhadap Emas
Kami tetap positif terhadap emas untuk jangka menengah. Tidak seperti industri komoditas lainnya (minyak atau tembaga) yang lebih berpotensi mengalami kesulitan dengan skenario perlambatan pertumbuhan ekonomi AS, yang pada akhirnya mendorong The Fed melakukan pelonggaran, emas akan lebih diuntungkan. – Vasu Menon
Emas
The Fed menyampaikan potensi berakhirnya siklus kenaikan suku bunga di bulan Juli di tengah tren disinflasi. Tetapi dengan latar belakang pertumbuhan AS yang tangguh membuat kemungkinan akan adanya tambahan kenaikan suku bunga The Fed. Untuk jangka waktu yang panjang, aset zero coupon seperti emas, biaya kepemilikan yang cukup tinggi kecuali jika The Fed melakukan pelonggaran kebijakan lebih cepat, hal ini akan menahan kenaikan emas untuk jangka pendek setelah pulih dari harga di bawah US$ 1,900/oz akhir-akhir ini.
Minyak
Minyak Brent kembali diperdagangkan di atas US$ 80/barrel, menandai perubahan pada rentan harga US$ 70 – 75/barrel beberapa bulan belakangan, ketika terjadi masalah di sektor perbankan regional AS dan ketakutan terhadap resesi yang turut menekan pergerakan harga minyak. Harga minyak akan tetap terjaga. Tetapi, kekhawatiran makro dan prospek kenaikan bertahap di persediaan akan membatasi kenaikan harga minyak.
Currency
Indeks US Dolar terlihat mengarah untuk kembali melemah pada bulan Juli. Data ketenagakerjaan AS yang lebih rendah daripada estmasi dan data inflasi AS yang mengecewakan sejauh ini merupakan pemicu utama untuk penurunan yang lebih tajam terhadap US Dolar. Perubahan narasi pasar dari “lebih tinggi untuk waktu yang lama” menjadi “segera berakhir” atau “puncak suku bunga” dan “penurunan suku bunga di 2024” sepertinya telah dimulai.
Fed Futures mulai mengantisipasi adanya empat kali pemotongan suku bunga untuk 2024, naik dari kisaran dua hingga tiga kali pemotongan yang telah diperkirakan pada awal Juli. Naiknya perubahan terhadap proyeksi pemotongan tarif, seharusnya memperlihatkan penurunan imbal hasil US Treasury. Dalam skenario tersebut, US Dolar akan memiliki potensi untuk melemah. Beberapa penerima manfaat akan menikmati penguatan yang berkelanjutan, termasuk mata uang di Asia ex-Japan, Yen (JPY) dan bahkan emas.
Musim laporan keuangan korporasi kuartal I - 2023, yang dimulai di minggu kedua bulan April, menjadi acuan kondisi ekonomi secara global, baik di negara maju maupun negara berkembang. Berdasarkan data FactSet pada akhir bulan April 2023, sebanyak 79% perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 melaporkan laba per saham yang positif, dan 74% lainnya melaporkan laba di atas ekspektasi. Rilisan laporan keuaVolatilitas pergerakan pasar saham AS cukup tinggi sepanjang bulan Mei lalu. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti konflik Rusia dan Ukraina yang belum menemukan penyelesaian sampai dengan saat ini, angka inflasi global yang relatif masih cukup tinggi, dan tarik ulur kesepakatan politik terkait “debt ceiling” AS yang pada akhirnya telah disepakati menjelang batas waktu akhir. Selain itu juga, beberapa rilisan data ekonomi AS yang penting masih belum menunjukan kepastian akan kestabilan perekonomian AS seperti angka pengangguran yang meningkat dari level 3.4% ke level 3.7% dan juga data ISM Manufacturing PMI yang kembali terkontraksi di level 46.9, tentunya akan kembali memberikan tekanan terhadap pasar modal AS. Saat ini, perhatian tertuju pada kebijakan suku bunga AS pada bulan Juni ini dengan suku bunga sepertinya sudah mencapai puncaknya dengan perkiraan bahwa The Fed akan kembali tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 5.25% dan membuka kemungkinan penurunan suku bunga di akhir tahun.
Sementara untuk Asia, perekonomian China terlihat masih belum menunjukan kestabilan, terlihat dari angka ekspor China untuk bulan Mei yang mengalami kontraksi sebesar -7.5% dibandingkan periode sebelumnya di level ekspansi 8.5%. Dengan menurunnya angka ekspor ini, tentunya mempengaruhi rilisan data neraca perdagangan China yang mengalami penurunan signifikan ke level US$ 65.81 miliyar, sedangkan untuk periode sebelumnya berada di level US$ 90.21 miliyar. Namun demikian, pemerintah China melalui PBoC kembali menerapkan kebijakan yang akomodatif untuk menunjang perekonomian China, yaitu dengan menurunkan tingkat suku bunga deposito dan giro wajib minimum.
Beralih ke domestik, pertumbuhan ekonomi RI dipercaya masih akan bertumbuh positif sesuai dengan target pemerintah awal di kisaran level 5%. Hal ini ditandai dengan rilisan tingkat keyakinan konsumen Indonesia untuk bulan Mei yang mengalami kenaikan dari sebelumnya di level 126.1 ke level 128.3. Hal ini sejalan dengan meningkatnya intensitas kegiatan politik di Indonesia yang biasanya akan meningkatkan investasi dan konsumsi. Dari kebijakan moneter, rilisan angka inflasi Indonesia untuk bulan Mei yang kembali menurun dari level 4.33% ke level 4%, akan memberikan pertimbangan bagi Bank Indonesia untuk kemungkinan membuka opsi untuk menurunkan suku bunga acuan di tahun ini, walaupun terlihat beberapa analis berspekulasi bahwa suku bunga dalam pertemuan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di bulan Juni ini berpotensi tetap.
Bursa saham IHSG mencatatkan penurunan sebesar -4.08% sepanjang bulan Mei. Sektor energi dan material dasar memimpin penurunan terbesar masing – masing sebesar -18.39% dan -16.02%. Pelemahan pasar saham di bulan Mei juga disebabkan oleh salah satunya dari keluarnya aliran dana asing atau outflow sebesar US$ 13.9 juta.
Namun demikian, pemerintah tetap yakin dan optimis terhadap perekonomian Indonesia yang diperkirakan masih akan bertumbuh di kisaran 5.0 – 5.3% pada tahun 2023 ini. Kinerja pasar saham di 2023 diproyeksikan akan mendapat dukungan dari sektor seperti konsumsi, perbankan, telekomunikasi dan kesehatan, terutama dengan meningkatnya intensitas kegiatan politik di semester kedua tahun ini menjelang pemilihan umum tahun 2024 mendatang.
Pergerakan pasar obligasi di bulan Mei kembali melanjutkan penguatan, terlihat dari pergerakan imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun yang mengalami penurunan ke 6.33%. Penurunan imbal hasil ini antara lain juga didorong oleh investor asing yang melakukan pembelian bersih sehingga membuat kepemilikan investor asing di bulan Mei meningkat menjadi 15.26% atau setara dengan Rp 829.36 triliun. Kenaikan minat investor turut didukung oleh nada kebijakan bank sentral Fed mengindikasikan akan mengakhiri fase kenaikan suku bunga melihat tren kenaikan inflasi sudah mulai melandai dan adanya ancaman resesi.
Selain itu rilisan angka inflasi Indonesia bulan Mei yang kembali menurun ke level 4%, memberikan ruang pemangkasan suku bunga 7DRRR oleh Bank Indonesia terutama di semester II, sehingga hal ini akan menguntungkan pasar obligasi Rupiah. Dari perspektif investor asing, meredanya inflasi akan membuat real yield menjadi lebih menarik dibandingkan rata-rata obligasi investment grade lainnya.
Mata uang Rupiah bergerak melemah sepanjang bulan Mei, ke kisaran Rp 14.994 per Dolar AS. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian sikap Fed terhadap arah kebijakan suku bunga acuan yang mendorong Dolar AS menguat secara luas. Namun, seiring mendekatnya Fed pada akhir siklus kenaikan suku bunga, tentunya hal ini berpotensi mendorong Dolar AS untuk melemah.
Kestabilan mata uang Rupiah ini turut didukung oleh surplus neraca perdagangan, yang terus berlanjut bahkan meningkat pada bulan Mei 2023 sebesar US$ 3.94 miliar, serta terjaganya cadangan devisa Indonesia di level US$ 139.3 miliar, walaupun terjadi sedikit penurunan dari level sebelumnya, namun demikian posisi cadangan devisa ini setara dengan pembiayaan 6.1 bulan impor atau 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
“Proyeksi pertumbuhan ekonomi saat ini tidak dapat dipastikan, dan inflasi bertahan tinggi walaupun bank sentral telah menaikkan suku bunga secara agresif selama satu setengah tahun terakhir. Sehingga, investor sebaiknya tidak mengesampingkan potensi gejolak di pasar keuangan.” - Eli Lee
Di AS, tujuan Federal Reserve (Fed) untuk menjaga inflasi tampaknya akan menyebabkan resesi. Sementara itu di Eropa, tingkat inflasi yang tinggi mendorong bank sentral Eropa (ECB) dan Inggris (BOE) untuk terus menaikkan suku bunga di tengah perlambatan ekonomi. Dari Asia, pembukaan ekonomi China berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi namun di bawah ekspektasi. Di Jepang sendiri, deflasi yang telah terjadi selama beberapa dekade sepertinya akan segera berakhir, namun BOJ perlu menghentikan kebijakan pengaturan batas atas imbal hasil obligasi tanpa membuat pasar keuangan bergejolak. Investor sebaiknya mempertahankan posisi yang lebih berhati-hati setidaknya hingga ketidakpastian mulai berkurang.
Pertumbuhan ekonomi AS melemah. Pertumbuhan ekonomi (PDB) AS turun dari 2.6% YoY di kuartal IV - 2022 ke 1.3% di kuartal I - 2023, dan kami memperkirakan terjadinya resesi pada semester II - 2023. Investor tetap perlu waspada pada arah kebijakan Fed, sebab tingkat inflasi belum turun mencapai target 2%. Hingga saat ini, Fed belum mensinyalkan untuk mulai memangkas suku bunga di akhir tahun sekalipun AS berpotensi memasuki resesi sesuai estimasi.
Di saat yang sama, Fed sedang menyusutkan neraca keuangannya - quantitative tightening. Hal ini akan mengurangi likuiditas di pasar keuangan, yang berpotensi mengancam perbankan AS yang lebih kecil, untuk mempertahankan simpanan dan mengetatkan kredit. Fed memperingatkan kondisi kredit rumah tangga dan bisnis yang lebih sulit berpotensi melemahkan ekonomi, ketenagakerjaan dan tingkat inflasi.
Inflasi yang tinggi di Eropa menandakan bahwa bank sentral di kawasan ini kemungkinan akan terus menaikkan suku bunga. Di zona Eropa, kami memperkirakan ECB akan menaikkan suku bunga setidaknya dua kali 0.25% di bulan Juni dan Juli, sehingga suku bunga simpanan akan menjadi 3.75%.
Bank of England diperkirakan akan menempuh langkah serupa, dengan menaikkan suku bunga menjadi 5% setelah angka inflasi Inggris yang terus meningkat. Harga makanan dan bahan bakar energi menurunkan inflasi dari 10.1% menjadi 8.7%, namun inflasi inti bulan April naik ke 6.8% tertinggi sejak Maret 1992.
Inflasi di China bertahan rendah di tengah pembukaan ekonomi negaranya paska pandemi. Inflasi bulan April hanya naik 0.1% y-o-y. Sehingga, PBoC tidak perlu menahan pemulihan ekonomi dengan menaikkan suku bunga untuk menahan laju inflasi.
Setelah eforia pembukaan ekonomi China di kuartal I - 2023, katalis ini mulai mereda di kuartal II. Aktivitas ekonomi, pertumbuhan kredit, penjualan ritel, penanaman modal dalam negeri dan tingkat produksi industri di bulan April dirilis di bawah ekspektasi. Kami memperkirakan pertumbuhan GDP China akan tetap hampir dua kali lipat dari 3.0% menjadi 5.9% tahun ini
Jepang sedang menjadi perhatian seiring rekor baru indeks saham Nikkei 225 yang menembus level tertinggi dalam 33 tahun terakhir. Perekonomian Jepang akhirnya lepas dari jeratan deflasi dan perlambatan ekonomi selama bertahun-tahun, setelah mengalami resesi di awal 1990an.
Pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal I - 2023 meningkat ke 1.6% y-o-y, jauh melebihi ekspektasi karena konsumsi dan belanja modal yang lebih kuat. Kemudian tingkat inflasi inti Jepang, di luar makanan dan energi, telah mencapai level tertinggi selama empat dekade di atas 4%.
Pasar Jepang juga menarik bagi investor global karena Yen Jepang (JPY) diperdagangkan pada level yang sangat lemah. Kami melihat kombinasi pertumbuhan GDP Jepang yang kuat, inflasi yang tinggi, suku bunga negatif, dan JPY yang lemah akan terus menguntungkan pasar Jepang. BoJ kemungkinan akan menghentikan pembatasan imbal hasil obligasi 10 tahun pada tahun ini seiring meningkatnya inflasi. Hal ini berpotensi mengakibatkan volatilitas jangka pendek di pasar keuangan.
BoJ diperkirakan akan mempertahankan suku bunga deposito di -0.10% pada tahun 2023 untuk memastikan inflasi dipertahankan di sekitar target 2%. Kebijakan dovish ini akan mendorong kinerja aset berisiko di Jepang pada tahun ini.
“Mengingat prospek ekonomi Jepang yang kuat, kebijakan moneter longgar, dan dampak positif dari reformasi tata kelola perusahaan, kami meningkatkan pandangan terhadap pasar saham Jepang dari Netral menjadi Overweight. Sementara itu, karena meningkatnya ketidakpastian pertumbuhan di China, kami menurunkan peringkat China/Hong Kong menjadi Netra” - Eli Lee
Kekhawatiran seputar potensi gagal bayar utang AS telah mereda karena batas utang telah ditangguhkan hingga 1 Januari 2025. Namun demikian, Departemen Keuangan AS saat ini harus segera mengisi kembali saldo kasnya dengan menerbitkan lebih dari US$ 1 triliun obligasi US Treasury hingga akhir tahun 2023.
Hal ini dapat menghambat pasar saham, karena likuiditas akan berpindah dari sistem keuangan, bersamaan dengan pengetatan kuantitatif yang sedang dilakukan oleh Fed. Kami memilih untuk mengambil sikap Netral pada saat ini, karena kondisi kredit yang lebih ketat dan pelemahan ekonomi membuat indeks S&P 500 rentan terhadap koreksi jangka pendek.
Musim laporan keuangan kuartal I - 2023 telah berakhir dengan pendapatan perusahaan tetap kuat dan mendorong revisi pendapatan yang lebih tinggi. Sementara itu, siklus kenaikan Fed mungkin akan segera berakhir, tetapi Bank Sentral Eropa (ECB) terus memperketat kebijakan. Skenario tersebut dapat mengakibatkan pasar saham Eropa berkinerja lebih buruk dibandingkan AS.
Jepang melaporkan pertumbuhan PDB Q1 2023 sebesar 1.6% secara tahunan, berada di atas ekspektasi, didorong oleh konsumsi yang lebih kuat dan belanja modal. Sementara pertumbuhan sektor manufaktur tetap lemah, dipengaruhi oleh perlambatan permintaan global terhadap ekspor teknologi dan industri, data indeks manajer pembelian (PMI) menunjukkan bahwa segmen jasa masih bertumbuh positif, didorong oleh pemulihan belanja domestik pasca-Covid, pertumbuhan upah yang kuat, dan meningkatnya jumlah wisatawan. Kami memperkirakan BoJ akan menghapus pembatasan imbal hasil obligasi pemerintah Jepang di akhir tahun, walaupun kebijakan moneter akan tetap longgar. Oleh karena itu, kami meng-upgrade Jepang dari Netral ke Overweight.
Selain menurunkan peringkat China dan Hong Kong menjadi Netral, kami juga menurunkan peringkat Taiwan dari Netral menjadi Underweight karena meningkatnya ketegangan geopolitik dan valuasi yang mahal. Di sisi lain, kami telah meningkatkan India dari Netral menjadi Overweight, karena data ekonomi yang semakin positif, seperti penurunan inflasi dan peningkatan aktivitas jasa menjadi 62, level tertinggi sejak pertengahan 2010.
Kami menyesuaikan proyeksi laba per saham menjadi lebih renda, dan saat ini melihat Indeks MSCI Asia ex-Japan mencatat pertumbuhan laba per saham sebesar 1.5 % dan 18.0 % pada tahun 2023 dan 2024. Keduanya berada di bawah perkiraan konsensus, tetapi besarnya pertumbuhan masih akan sedikit di atas kawasan utama lainnya seperti AS dan Eropa.
Pasar saham China luar negeri (indeks MSCI China) dan dalam negeri (indeks CSI 300) melemah dalam sebulan terakhir, didorong oleh data aktivitas ekonomi yang lebih lemah dibandingkan ekspektasi dan kekhawatiran atas ketegangan AS-China. Kami menurunkan ekuitas China dan Hong Kong dari Overweight menjadi Netral.
Kabar baiknya adalah bahwa revisi estimasi pendapatan MSCI China Index telah stabil di +0.1% m-o-m. Secara keseluruhan pendapatan Q1 2023 naik sekitar 7% y-o-y, dengan sektor internet memiliki kinerja laba terkuat. Meskipun data makro lemah, momentum laba akan didukung oleh harga komoditas yang lebih rendah. Dalam jangka menengah, kami fokus pada tema investasi utama yang sejalan dengan prioritas kebijakan, yaitu meningkatkan konsumsi domestik, mempercepat teknologi dan inovasi, dan “China Digital”.
Selama sebulan terakhir, sektor global yang mencatatkan kinerja terbaik adalah Teknologi Informasi dan Jasa Komunikasi, sedangkan Energi mencatatkan kinerja terburuk. Di sisi lain, saham teknologi AS telah didukung oleh stabilisasi permintaan dan tema AI. Dalam waktu dekat, kami menilai belanja konsumen dapat terus bertahan karena kekhawatiran inflasi mereda. Untuk perusahaan internet China, kami tetap optimis terhadap sektor ini seiring meningkatnya laba perusahaan dan valuasi yang menarik.
Sementara itu, volatilitas masih terjadi di sektor perbankan AS, khususnya bank regional. Kami berhati-hati terhadap respon negatif, karena aliran keluar dana simpanan pada perbankan dan ketersediaan kredit yang lebih ketat dapat mengakibatkan kondisi kredit yang lebih ketat.
Eli Lee, Head of Investment Strategy, Bank Of Singapore
“Di pasar obligasi negara maju (DM), kami masih UnderweightOverweight terhadap obligasi IG dan terhadap obligasi high yield (HY) seiring dengan kepercayaan kami bahwa obligasi HY di AS saat ini masih belum sepenuhnya mengantisipasi potensi resesi di semester II tahun ini.”- Vasu Menon
Selain obligasi imbal hasil tinggi (high yield – HY) negara berkembang, pasar obligasi bergerak stabil menguat pada bulan Mei. Aset pendapatan tetap layak investasi (investment grade – IG) negara maju tidak banyak bergerak, sementara HY negara maju turun 9bps. Di negara berkembang (EM), imbal hasil obligasi IG turun sebesar 5bps, sementara obligasi HY naik 45bps.
Di level imbal hasil US Treasury saat ini, para pelaku pasar disarankan untuk mulai memperpanjang durasi aset pendapatan tetap untuk mengunci imbal hasil yang lebih tinggi seiring dengan mendekatnya akhir dari siklus kenaikan suku bunga Fed. Pada lima siklus kenaikan suku bunga sebelumnya, obligasi dengan tenor lebih panjang (diatas 10 tahun) menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan tenor pendek (1-5 tahun) dan tenor menengah (5-10 tahun) dalam periode 3, 6, hingga 12 bulan setelah akhir dari siklus kenaikan suku bunga secara historis.
Penyaluran kredit yang kini lebih ketat, dan penurunan pertumbuhan laba korporasi dapat membebani pasar obligasi, terutama bagi obligasi HY yang sudah berhasil mencatatkan penguatan sejak awal tahun. Kedua lembaga S&P dan Moody's memperkirakan bahwa probabilitas gagal bayar obligasi HY AS dapat mencapai 4% pada akhir tahun ini. Kami masih mempertahankan rekomendasi Underweight kami terhadap obligasi HY negara maju karena kami memperkirakan pergerakan obligasi HY negara maju belum mengantisipasi adanya risiko resesi di semester kedua tahun ini.
Kami masih mempertahankan peringkat Netral kami terhadap obligasi korporasi negara berkembang dengan ketahanan sektor riil saat ini. Pergerakan obligasi ini akan cukup positif karena penerbitan obligasi korporasi yang cukup agresif di beberapa tahun terakhir, membuat perusahaan tidak memerlukan penerbitan baru di tengah ketidakpastian pasar saat ini. Kami tetap mempertahankan kategori IG dibandingkan HY di tengah ketidakpastian global saat ini. Obligasi HY negara berkembang telah mencatatkan kinerja yang mengecewakan sebulan terakhir. Namun demikian, kami menilai bahwa masa terburuk sudah berlalu.
Kami tetap mempertahankan preferensi kami terhadap obligasi IG Asia di dalam kategori IG negara berkembang. Di tengah volatilitas pasar saat ini, obligasi IG Asia terlihat bergerak cukup baik, dengan total return di kisaran 3.0% sejak awal tahun (per 24 Mei 2023), berkinerja lebih baik dibandingkan segmen - segmen lainnya. Spread obligasi HY/IG memang melebar sebanyak 781bps di awal tahun ke 830bps per 24 Mei 2023. Akan tetapi, kami masih lebih menyukai obligasi IG, dan lebih selektif di kategori HY di Asia.
“Harga minyak Brent telah melemah di kisaran US$ 70/barrel akibat sinyal yang beragam. Pemangkasan tingkat produksi oleh OPEC dan pengisian Strategic Petroleum Reserve akan membatasi risiko penurunan harga minyak.” - Vasu Menon
Resolusi plafon utang AS dapat mendorong harga emas melemah dalam waktu dekat. Terdapat juga risiko batalnya pemangkasan suku bunga di 2023, dapat berdampak pada penguatan Dolar AS, sehingga mendorong harga emas melemah dalam jangka pendek, apalagi jika data ekonomi China dan Eropa dirilis mengecewakan.
Pandangan jangka menengah untuk emas adalah positif. Daya tarik emas akan meningkat bersamaan dengan pelemahan Dolar AS pada awal 2024, seiring potensi pelonggaran kebijakan Fed di tengah ancaman resesi dan meredanya inflasi AS.
Pembelian emas oleh bank sentral negara berkembang akan terus menjadi sumber permintaan yang penting di tengah tingginya tensi geopolitik yang meningkatkan risiko sanksi. Walaupun emas bukanlah instrumen pelindung yang sempurna terhadap risiko sanksi sampai berhasil disimpan di dalam negeri, emas masih memainkan peranan penting dalam memitigasi dampak dari sanksi.
Harga minyak Brent telah melemah di kisaran US$ 70/barrel akibat sinyal yang beragam. Kami memperkirakan harga minyak Brent akan bergerak sideways di kuartal ini meskipun kami melihat kenaikan di semester II - 2023 menuju US$ 92/barrel dalam waktu setahun - di atas harga forward saat ini. Fokus saat ini tertuju pada OPEC. Pemangkasan produksi sebesar 1.6 juta barel per hari baru berjalan satu bulan, tetapi pelemahan harga minyak belakangan ini mendorong prospek OPEC untuk mengurangi produksi lebih lanjut. Pasar juga semakin frustasi dengan janji Rusia yang juga akan mengurangi pasokan. Ekspor minyak mentah Rusia sedikit menurun namun belum sejalan dengan komitmen penurunan produksi minyak Rusia sebesar 0.5 juta barel per hari.
Dolar AS menguat lebih luas terhadap sebagian besar mata uang lainnya sesuai dengan tren musiman di bulan Mei. Penggerak utama dibalik penguatan tersebut memuat (i) kembalinya kekhawatiran pertumbuhan global setelah Jerman secara teknikal memasuki resesi serta memudarnya optimisme dari pembukaan kembali China seiring dirilisnya data ekonomi yang memburuk; (ii) Inflasi AS (aktual dan ekspektasi) secara tidak terduga menunjukan pemulihan; (iii) nada Fed yang lebih agresif; (iv) berkurangnya level pesimisme terhadap pertumbuhan ekonomi AS seiring dengan revisi pertumbuhan PDB kuartal I yang lebih tinggi; (v) perubahan drastis dari ekspektasi kebijakan Fed. Akan tetapi, dengan Fed yang semakin mendekati akhir dari siklus pengetatan, akan membatasi penguatan Dolar AS lebih lanjut. Data ketenagakerjaan yang melemah dan tren disinflasi akan mencegah Dolar AS untuk menguat.
Euro diperdagangkan melemah, yang juga didorong oleh penguatan Dolar AS. Kami berpendapat bahwa Fed lebih dekat pada titik pembalikan kebijakan dibandingkan ECB dan perbedaan arah kebijakan antara ECB dan Fed ini akan mendorong EUR untuk menguat. Pelaku pasar saat ini mengantisipasi adanya 2 kali kenaikan suku bunga di 2023, sehingga hal ini akan mendorong pemulihan Euro.
CNH melemah terhadap Dolar AS. Aktivitas ekonomi China yang mengecewakan, perlambatan penyaluran kredit, angka manufaktur yang turun serta tekanan inflasi yang rendah merupakan bukti bahwa optimisme pembukaan ekonomi China mulai kehilangan arah dan pelaku pasar mulai kehilangan kesabaran. Secara keseluruhan, kami melihat CNH berpotensi melanjutkan pelemahan, dengan adanya negative carry pada RMB, penundaan momentum optimisme ekonomi China dan keluarnya dana investor asing. Pemulihan pada CNH akan membutuhkan dorongan dari faktor sebagai berikut: (i) Fed menahan atau memangkas suku bunga; (ii) perbaikan prospek ekonomi global; (iii) kembalinya optimisme pembukaan ekonomi China; (iv) kembalinya dana investor asing.
Vasu Menon, Senior Investment Strategist, OCBC Bank
Musim laporan keuangan korporasi kuartal I - 2023, yang dimulai di minggu kedua bulan April, menjadi acuan kondisi ekonomi secara global, baik di negara maju maupun negara berkembang. Berdasarkan data FactSet pada akhir bulan April 2023, sebanyak 79% perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 melaporkan laba per saham yang positif, dan 74% lainnya melaporkan laba di atas ekspektasi. Rilisan laporan keuangan positif tersebut membuat sebagian besar indeks utama negara maju bergerak positif.
Namun di sisi lain, pasar keuangan global masih memiliki beberapa tantangan. Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung, ketegangan antara AS dan China yang masih terjadi, terutama terkait issue dengan Taiwan, serta ketidakpastian akan pagu anggaran pemerintah AS atau "debt ceiling" menjadi produk politik di AS, yang dapat menimbulkan kegagalan keberlangsungan pemerintahan. Menteri Keuangan AS, Janet Yellen memperingatkan pemerintah AS akan mengalami gagal bayar atas semua kewajiban, jika sampai dengan 1 Juni 2023 belum ada kesepakatan untuk menambah batas atas anggaran yang saat ini berada di kisaran USD 31 triliun.
Di Asia, perekonomian China terlihat masih belum stabil, terlihat dari angka pertumbuhan sektor manufaktur bulan April yang masuk pada zona kontraksi 49,2 dibandingkan periode sebelumnya di level 51,4. Belum pulihnya sektor manufaktur China berkorelasi dengan rendahnya permintaan pasar. Namun demikian, IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Kawasan Asia Pasifik untuk tahun 2023 menjadi 4,6% dari sebelumnya 4,3%. IMF melihat pemulihan ekonomi China dan India akan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik secara keseluruhan.
Beralih ke domestik, pertumbuhan ekonomi RI untuk kuartal I - 2023 dilaporkan sebesar 5,03%, lebih tinggi dibandingkan konsensus sebesar 4,97%. Kontribusi pertumbuhan ekonomi datang dari tingginya konsumsi masyarakat terutama pada sektor transportasi dan pergudangan. Selain itu, tingkat inflasi domestik tetap terjaga di level 4,33%, meskipun menurun jika dibandingkan periode sebelumnya di 4,97%, di tengah tekanan harga komoditas global yang menurun. Dari kebijakan moneter, Bank Indonesia memutuskan mempertahankan tingkat suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. BI menilai keputusan tersebut memadai untuk mengarahkan inflasi inti dan inflasi indeks harga konsumen (IHK) terkendali dalam kisaran 3,0±1% hingga akhir tahun 2023.
Bursa saham IHSG mencatatkan kenaikan sebesar 1,62% sepanjang bulan April. saham di sektor Properti dan Real Estate memimpin penguatan masing - masing sebesar 1,94% dan 1,83%. Penguatan pasar saham di bulan April didorong salah satunya dari aliran dana asing yang sepanjang 2022 telah masuk sebesar Rp 13,3 Triliun.
Di tengah kekhawatiran pelemahan ekonomi global terutama dari AS dan Eropa, ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan bertumbuh di 2023 di kisaran 5,0 - 5,3%. Kinerja pasar saham di 2023 diproyeksikan akan mendapat dukungan dari sektor seperti konsumsi, perbankan, telekomunikasi dan kesehatan, terutama dengan dimulainya tahun politik di semester kedua tahun ini.
Pergerakan pasar obligasi di bulan April cenderung menguat, terlihat dari pergerakan imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun yang mengalami penurunan sebanyak 4,17% menjadi 6,48% yang mensinyalkan kenaikan harga. Penurunan imbal hasil ini antara lain juga didorong oleh investor asing yang melakukan pembelian bersih senilai Rp 3,6 triliun sepanjang bulan April. Kenaikan minat investor turut didukung oleh nada kebijakan bank sentral Fed mengindikasikan akan mengakhiri fase kenaikan suku bunga melihat tren kenaikan inflasi sudah mulai melandai dan adanya ancaman resesi.
Dengan penurunan imbal hasil yang relatif cukup cepat dalam jangka waktu singkat, hal ini berpotensi memicu aksi profit taking oleh investor. Namun, dalam jangka waktu menengah, seiring meredanya laju inflasi maka selisih antara inflasi dan imbal hasil obligasi pemerintah RI atau real yield, akan tetap berada di level yang cukup menarik dibandingkan rata-rata obligasi investment grade lainnya. Hal ini akan menjadi daya tarik bagi investor asing untuk tetap masuk ke pasar obligasi domestik.
Mata uang Rupiah bergerak menguat sepanjang bulan April, terlihat dari pergerakannya yang bergerak turun sebanyak -2,48% sepanjang bulan April ke kisaran Rp 14.600 per dollar AS. Keputusan Bank sentral Fed yang akan menahan laju kenaikan suku bunga memberikan sentimen positif terhadap penguatan mata uang rupiah.
Selain itu dukungan penguatan juga berasal dari surplus neraca perdagangan, yang terus berlanjut pada Maret 2023 sebesar USD 2,9 miliyar, serta terjaganya cadangan devisa Indonesia di level USD 144 miliyar, atau setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
“Proyeksi ekonomi masih penuh tantangan dan investor sebaiknya tetap berhati-hati. Inflasi masih berada di atas target bank sentral di 2%, dan risiko terjadinya resesi di AS semakin meningkat seiring sektor perbankan yang menarik pinjaman. ” - Eli Lee
Proyeksi ekonomi berlanjut penuh tantangan pada semester pertama tahun 2023. Investor sebaiknya tetap berhati-hati, karena:
Pertama, inflasi telah berada di puncak ekonomi namun tetap berada diatas target bank sentral yaitu 2%. Inflasi AS berada di 5%, Inggris 10.1%, dan Zona Eropa 6.9%. Di Jepang, walaupun mengalami deflasi selama tiga dekade, angka inflasi pun mengalami kenaikan lebih dari 3%. Dampak pandemi, perang Rusia-Ukraina, dan tren populisme sejak Brexit dan pemilihan Donald Trump sebagai presiden AS; telah mengakibatkan inflasi jauh diatas target 2% dari Fed, ECB, BoJ dan BOE. Hanya negara China yang memiliki tingkat inflasi cukup rendah, di bawah 1% di awal pembukaan ekonominya paska pandemi.
Kedua, risiko resesi di AS meningkat, terutama dengan upaya bank yang lebih kecil untuk mendapatkan simpanan. Pertumbuhan ekonomi tetap lemah di Eropa. Hanya China, yang diperkirakan akan mengalami akselerasi pertumbuhan seiring dengan pembukaan ekonomi kembali.
Tahun lalu, perekonomian AS bertumbuh 2.1%, mendekati tingkat pertumbuhan ekonominya secara jangka panjang. Angka pengangguran turun di bawah 4% dan inflasi inti mencapai 5.4%. Tahun ini, kami menilai kemungkinan yang lebih kecil akan memanasnya ekonomi AS karena Fed telah menaikkan suku bunga secara agresif untuk menahan laju inflasi. Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan turun di bawah 2.1% untuk tahun ini. Idealnya, kenaikan suku bunga Fed akan mengakibatkan pelemahan ekonomi yang moderat dengan menurunkan inflasi inti di bawah 3% pada akhir tahun, dan akan mencapai target Fed 2% di 2024.
Di saat yang sama, jika angka pengangguran tetap berada di bawah 4%, maka dampak kenaikan suku bunga terhadap pertumbuhan akan lebih terbatas, sehingga akan menjaga sentimen investor dan kinerja aset berisiko. Meskipun demikian, angka inflasi inti diperkirakan masih akan berada di atas 3% di akhir tahun. Hal ini akan mencegah Fed untuk memangkas suku bunga, sekalipun angka pengangguran naik ke 4% di akhir tahun 2023.
Kenaikan tingkat pengangguran berpotensi mendorong ekonomi AS masuk ke jurang resesi di semester kedua tahun ini. Secara historis, semua resesi AS di masa lalu sejak Perang Dunia II selalu didahului dengan kenaikan tingkat pengangguran 0.5% selama rata-rata 3 bulan dari tingkat terendahnya dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Ini disebut dengan teori Sahm Rule, yang berasal dari nama ekonom Fed yang meneliti hubungan antara ketenagakerjaan dan risiko resesi. Sehingga, untuk 2023, maka angka pengangguran harus naik dari 3.4% di bulan Januari ke 4% di akhir tahun untuk memberikan sinyal resesi pada ekonomi.
Bank-bank lebih kecil di AS telah menderita akibat kenaikan kenaikan suku bunga Fed yang berimbas kenaikan imbal hasil, dan berdampak pada kepemilikan obligasi perbankan. Di saat yang sama, suku bunga yang tinggi mengakibatkan bank-bank kecil di AS untuk mempertahankan simpanan nasabah akibat imbal hasil yang lebih menarik pada pasar uang (obligasi dengan jatuh tempo kurang dari 1 tahun). Sehingga, para nasabah bank-bank ini beralih ke bank yang lebih besar demi keamanan, membuat bank-bank kecil kesulitan untuk mengucurkan pinjaman. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kenaikan risiko kredit macet dan masuknya AS ke jurang resesi.
Merespon kegagalan perbankan di bulan Maret, Fed mengadakan pendanaan Bank Term Funding Programme yang mengijinkan bank dengan kesulitan likuiditas untuk meminjam dengan jaminan nilai pokok dari obligasi pemerintah yang dimiliki. Namun, bank sentral akan tetap melanjutkan untuk menyusutkan neracanya melalui quantitative tightening untuk menahan inflasi. Hal ini akan menurunkan tingkat simpanan dan likuiditas di sektor keuangan AS, yang akan merugikan bank-bank lebih kecil.
Kami memperkirakan kenaikan suku bunga Fed sebesar 25 basis poin di bulan Mei menjadi 5.00-5.25% akan menjadi akhir dari siklus pengetatannya. Demikian pula, menurut kami suku bunga acuan ECB dan BOE akan mencapai puncak antara 4.00% dan 4.50% pada kuartal ini. Namun, kami tidak melihat adanya potensi bank sentral untuk memangkas suku bunga di akhir tahun, walaupun dilanda resesi dan inflasi tetap berada di atas target 2%. Oleh karena itu, investor harus tetap berhati-hati dan tidak terlalu berharap bank sentral untuk memangkas suku bunga awal pada semester kedua tahun ini.
“Pada pasar saham, kami mempertahankan bobot alokasi regional, dengan pandangan Netral di AS dan Jepang, underweight untuk pasar saham Eropa, dan overweight di Asia ex Japan.” – Eli Lee
Menyusul volatilitas di bulan Maret yang diakibatkan kegagalan bank AS dan Eropa, pasar saham bergerak lebih tenang di bulan April. Di AS, negosiasi debt ceiling (plafon utang) dapat menimbulkan volatilitas di seluruh aset berisiko. Sementara di Eropa, data ekonomi dan angka inflasi inti yang lebih kuat dari estimasi dapat menyebabkan pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut akhir tahun ini. Di Jepang, kami memperkirakan arah kebijakan moneter yang lebih ketat hingga akhir tahun ini, karena Bank of Japan (BOJ) bersiap untuk keluar dari kebijakan yield curve control (YCC).
Laporan keuangan korporasi terbaru menunjukkan kebijakan moneter yang lebih ketat mulai berdampak pada pendapatan perusahaan, walaupun masih dalam level yang sehat. Arus keluar simpanan di perbankan AS secara umum telah lebih stabil, tetapi tekanan terhadap pendapatan bersih dari bunga (NIM) terus meningkat karena kesehatan bank regional yang tetap menjadi perhatian. Terlepas dari meningkatnya kekhawatiran resesi, kekhawatiran tentang potensi gagal bayar utang AS dapat mulai menimbulkan volatilitas di seluruh aset berisiko.
Data pertumbuhan ekonomi Eropa mulai membaik, namun di saat yang sama hal ini dapat membuat Bank Sentral Eropa (ECB) untuk lebih hawkish. Saat ini, inflasi inti di Eropa tetap tinggi dan kami memperkirakan pengetatan kebijakan moneter akan berlanjut. Hal ini akan mengakibatkan kondisi kredit yang lebih ketat dan standar pinjaman yang lebih sulit, yang akan membebani pertumbuhan ekonomi dan laba perusahaan ke depannya.
Seperti indikator ekon AS baru-baru ini, terdapat perlambatan moderat pada pertumbuhan ekonomi Jepang dan sektor manufaktur. Kami memilih pendekatan selektif dengan strategi bottom-up kepada saham yang di sektor konsumer yang lebih defensif.
Indeks MSCI Asia ex-Japan melemah di bulan April, sebagian besar karena meningkatnya ketegangan geopolitik, dimulainya musim pendapatan kuartal I - 2023 yang tidak terlalu optimis, dan menurunnya aliran masuk dana investor asing
Kami membuat beberapa perubahan peringkat. Pertama, kami menurunkan peringkat MSCI Taiwan ke Netral karena kinerja YTD yang lebih tinggi dari perkiraan, ditambah dengan meningkatnya ketegangan geopolitik, serta prospek pertumbuhan tahun 2023 yang lebih lemah di sektor semikonduktor, yang memiliki bobot signifikan dalam Indeks MSCI Taiwan.
Kedua, kami meningkatkan proyeksi MSCI India ke Netral, karena performa yang buruk sejak awal tahun, sehingga membuat valuasi menjadi lebih menarik dibandingkan dengan rata-rata historisnya terhadap indeks MSCI All Country World Index (ACWI). Selain itu, penurunan tingkat inflasi India dan jeda kenaikan suku bunga oleh Reserve Bank of India akan mendukung minat investor.
Ketiga, kami meng-upgrade MSCI Filipina menjadi overweight karena valuasinya yang murah, dengan forward P/E (laba terhadap harga saham) yang mencapai lebih dari dua standar deviasi di bawah rata-rata historis 10 tahun.
Pasar saham China dan Hong Kong mengalami penurunan di bulan April. Namun demikian, data makro yang kuat akan mendukung stabilisasi dan pemulihan laba di semester kedua 2023. Konsumsi domestik diperkirakan akan semakin pulih. Pemesanan traveling untuk liburan Hari Buruh terlihat telah melampaui level 2019.
Meskipun demikian ketegangan geopolitik China AS masih akan menjadi perhatian, setelah adanya laporan bahwa Presiden AS Joe Biden akan menandatangani Perintah Eksekutif yang akan membatasi investasi langsung AS di bidang teknologi tertentu.
Selama sebulan terakhir, sektor yang defensif lebih unggul, seperti halnya sektor konsumer dasar, layanan kesehatan dan utilitas. Ketiga sektor tersebut juga termasuk dalam sektor yang saat ini kami nilai overweight. Di sisi lain, sektor real estat tetap underweight dan permasalahan lainnya akan muncul di sektor ini.
Eli Lee, Head of Investment Strategy, Bank Of Singapore
“Kami tetap overweight terhadap obligasi IG negara maju (DM) di tengah kekhawatiran resesi dan sebagai pelindung terhadap risiko - risiko seperti plafon utang AS, tensi geopolitik dan kekhawatiran atas sektor perbankan AS.”- Vasu Menon
Pasar obligasi global terlihat lebih stabil di bulan April, setelah melewati badai di bulan Maret. Credit spread sudah mulai menurun dan volatilitas pasar global juga mereda. Akan tetapi, ketidakpastian ekonomi masih membayangi, dan investor menantikan kejelasan dari arah kebijakan moneter dari Fed dan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS. Oleh karena itu, kami mempertahankan pilihan kami untuk obligasi layak investasi (IG) yang berkualitas dan tetap defensif untuk jenis obligasi high yield (HY). Di sisi makro, di tengah pelemahan data ekonomi AS, pasar ketenagakerjaan tetap kuat, dan inflasi bertahan tinggi.
Selain obligasi HY negara berkembang (EM), spread obligasi bergerak stabil menurun di bulan April. Per 27 April 2023, spread obligasi EM IG turun 5 basis poin (bps) ke 222 bps, sementara spread obligasi US IG dan HY turun 1 bps dan 4 bps ke 144 bps dan 451 bps. Di lain sisi, spread obligasi EM HY melebar sebanyak 21 bps ke 655 bps, terutama diakibatkan oleh kinerja obligasi HY China.
Isu seputar plafon utang pemerintah AS saat ini menjadi fokus pasar, dengan Menteri Keuangan AS, Janet Yellen yang menyatakan bahwa batas tersebut akan segera tercapai pada awal bulan Juni, sehingga meningkatkan kekhawatiran pasar. Kami masih overweight terhadap US Treasury dengan adanya risiko resesi dan juga sebagai pelindung terhadap risiko plafon utang, tensi geopolitik dan juga isu sektor perbankan
Spread obligasi negara maju layak investasi (DM IG) sudah jauh membaik setelah aksi jual yang cukup masif di bulan Maret, terlihat dari indeks obligasi JP Morgan US Liquid yang dimana spread berada di kisaran 154bps di akhir April. Ke depannya, kami melihat pasar obligasi masih akan menghadapi beberapa tantangan seperti inflasi, pengetatan kebijakan moneter yang lebih lama dan juga dampaknya terhadap perekonomian yang dapat memicu terjadinya resesi.
Kondisi perbankan yang lebih ketat, turunnya tingkat konsumsi dan keuntungan perusahan yang lebih rendah dapat menurunkan kualitas hutang dan memicu gagal bayar. Lembaga pemeringkat S&P melihat pasar obligasi US HY dapat mencapai tingkat gagal bayar sebesar 4% per bulan Desember 2023. Kami masih underweight terhadap obligasi US HY seiring dengan rendahnya spread, yang tampaknya belum mengantisipasi terjadinya risiko ini.
Kami tetap overweight terhadap obligasi HY Asia, terutama di Indonesia dan India. Kami masih terus menyukai obligasi HY non-China, namun lebih berhati - hati terhadap obligasi HY China. Seperti di kategori EM HY, kami juga overweight terhadap obligasi IG Asia, dengan penerapan strategi barbel pada obligasi “AA” Korea Selatan dan obligasi “BBB” di Indonesia dan India.
“Emas dapat melemah untuk jangka pendek seiring dengan berkurangnya antisipasi Fed untuk memangkas suku bunga di semester II - 2023. Akan tetapi, kami mempertahankan perkiraan harga emas dalam 6 – 12 bulan mendatang berada di level US$ 2,050/oz. Hal ini akan didukung oleh pelemahan Dolar AS dalam jangka menengah, meningkatnta risiko resesi dan ketegangan geopolitik.” - Vasu Menon
Meredanya tekanan terhadap sektor perbankan AS membuat harga emas melemah. Harga emas berada sedikit di bawah US$ 2,000/oz, seiring dengan meningkatnya ekspektasi pasar akan kenaikan suku bunga Fed, yang membatasi keuntungan dalam jangka waktu dekat. Kami memperkirakan pemangkasan suku bunga Fed setidaknya baru akan terjadi pada kuartal I - 2024, berlawanan dengan ekspektasi pasar akan pemotongan suku bunga di semester II - 2023. Secara teknikal, emas dapat melemah untuk jangka pendek ke level US$ 1,900 oz.
Kami menekankan proyeksi harga emas dalam 6 – 12 bulan mendatang di level US$ 2,050/oz, yang didukung oleh pelemahan Dolar AS dalam jangka waktu menengah. Meningkatnya risiko resesi dan ketegangan tensi geopolitik yang perlahan meningkat dapat memicu minat pada investasi emas. Bank-bank sentral diperkirakan akan terus menambah emas untuk cadangan mereka sebagai nilai lindung terhadap geopolitik dan resiko ekonomi.
Pasar minyak telah melemah meskipun ada dorongan awal dari pemangkasan produksi OPEC+ yang mengejutkan pada bulan lalu di tengah kekhawatiran akan permintaan. Kami memperkirakan harga minyak Brent bergerak sideways pada kuartal ini, namun kami melihat potensi kenaikan harga mulai semester II - 2023 dan mencapai US$ 92/barel dalam waktu satu tahun - di atas harga forward saat ini. Pembukaan kembali ekonomi China telah membawa kami untuk merevisi naik proyeksi pertumbuhan negara ini menjadi 5.9% dari perkiraan sebelumnya di 5.2%. Mayoritas pemulihan permintaan akan terjadi pada pasar bahan bakar pesawat, meskipun China masih bertahap untuk membuka kembali perbatasannya, sehingga akan membatasi jumlah penerbangan internasional.
Perhatian pasar akan tertuju pada upaya OPEC+ untuk menjaga tingkat persediaan. Perjanjian OPEC+ untuk memotong produksi 1,1 juta barel per hari - di atas pemotongan yang telah diumumkan oleh Rusia pada musim semi ini sebesar 500,000 barel per hari - secara resmi dimulai pada bulan ini.
Kami mempertahankan pandangan kami untuk pergerakan Dolar AS yang moderat melemah. Melemahnya data ekonomi AS termasuk penurunan akan tingkat keyakinan konsumen AS, penurunan permintaan pabrik, penurunan penjualan ritel, berlanjutnya aksi jual di bank-bank regional AS, dan meningkatnya kekhawatiran terhadap sektor real estat komersial AS menambah kekhawatiran akan resesi di AS. Data inflasi menunjukan bahwa tren disinflasi di AS tetap sberlanjut. Laju inflasi menurun lebih dari estimasi menjadi 5% secara tahunan di bulan Maret sementara harga inflasi dari sisi produsen terlihat menurun tajam menjadi -0.5% secara bulanan dan harga impor/ekspor menurun lebih dari yang ekspektasi.
Ke depannya, para pejabat Fed akan tetap mempertimbangkan data ekonomi untuk menentukan arah kebijakan. Pertemuan pejabat Fed berikutnya pada 13-14 Juni mendatang akan berisi serangkaian proyeksi ekonomi yang baru dan arah suku bunga. Namun sebelumnya, pelaku pasar perlu mempertimbangkan data lapangan pekerjaan dan inflasi. Dengan demikian, berbedanya pandangan antara pelaku pasar dan Fed pada timing dan besarnya pemangkasan, perlu diperhatikan lebih lanjut. Namun kami melihat ruang untuk kenaikan suku bunga menjadi terbatas, seiring Fed berhenti menaikkan suku bunga dan meningkatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga lanjutan setelah 2023.
Vasu Menon, Senior Investment Strategist, OCBC Bank
Reli penguatan terjadi pada pasar saham AS di bulan Maret, dipimpin oleh indeks teknologi NASDAQ yang naik sebesar 6.7% dan S&P500 sebesar 3.5%. Meningkatnya ekspektasi pasar atas siklus pengetatan kebijakan moneter yang akan berakhir dalam waktu dekat memicu penguatan pasar saham global. Para pelaku pasar kini mengantisipasi bahwa Gubernur Fed, Jerome Powell akan mulai memangkas suku bunga acuan mulai semester kedua nanti di tengah meningkatnya risiko resesi.
Di Eropa, mayoritas bursa saham juga mencatatkan penguatan mengikuti Wall Street. Namun bursa Inggris FTSE100 terlihat mencatatkan pelemahan, turun 3.1% pada bulan Maret. Investor di awal bulan ini dikejutkan oleh keputusan aliansi minyak OPEC+ untuk memangkas produksi minyak sebanyak 1.1 juta barel per hari, dipimpin oleh Arab Saudi yang akan menurunkan produksi sebanyak 500 ribu per hari. Para pelaku pasar khawatir apabila pemangkasan tersebut dapat memutarbalikkan normalisasi harga energi dan komoditas yang terjadi beberapa bulan terakhir. Minyak WTI telah naik signifikan dari level terendahnya di bulan Maret US$67 per barel hingga di atas USD$80 per barel saat ini. Meningkatnya harga minyak dan komoditas lainnya dikhawatirkan dapat membebani tren penurunan inflasi yang sedang terjadi.
Beralih ke Asia, sebagian besar bursa saham kawasan ini juga berhasil menguat bulan lalu, walaupun bursa China CSI300 tidak berhasil mencatatkan kinerja yang positif. Ekspektasi atas pemulihan ekonomi China setelah kembali dibukanya perekonomian masih kurang memuaskan, dan hal ini terlihat dari rilisan data PMI terakhir yang bervariatif. Caixin PMI Manufaktur turun dari 51.6 ke 50.0, sementara untuk PMI Jasa naik dari 55.0 ke 57.8. Data tersebut pun memicu kekhawatiran investor, karena meningkatnya aktivitas jasa di tengah penurunan aktivitas manufaktur sering kali mengindikasikan potensi terjadinya resesi.
Dari sisi domestik, secara fundamental investor cukup optimis setelah rilisan data inflasi yang mencatatkan penurunan melebihi perkiraan. Inflasi secara tahunan turun dari 5.47% ke 4.97%, sementara inflasi inti juga turun dari 3.09% ke 2.94%. Memasuki bulan suci Ramadhan, konsumsi domestik diprediksi akan meningkat seiring dengan kenaikan volume belanja masyarakat. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno memproyeksi dampak hari raya Idul Fitri dapat mencapai Rp 150 triliun terhadap ekonomi. Dari sisi data lainnya, cadangan devisa meningkat dari US$140.3 miliar ke US$145.2 miliar di tengah penguatan mata uang Rupiah. Aktivitas Manufaktur untuk periode Maret juga mencatatkan kenaikan ke level tertingginya dalam enam bulan terakhir dari 51.2 ke 51.9 yang mensinyalkan fase ekspansi bisnis.
Bursa saham IHSG melemah bulan lalu, turun 0.55% untuk menutup perdagangan kuartal pertama 2023 di level 6,805.28. Selain sektor energi, seluruh sektor lainnya mencatatkan penurunan dengan yang terdalam dicatatkan oleh sektor transportasi dan teknologi yang melemah -7.58% dan -5.29%. Investor asing mencatatkan pembelian bersih senilai US$336.8 juta bulan lalu di tengah gejolak sektor perbankan di AS dan Eropa. Dengan rasio Price to Earnings (P/E) saat ini yang berada di kisaran 13.7x, level terendahnya sejak Maret 2020, aset risiko domestik terlihat relatif murah. Sebagai net eksportir komoditas, Indonesia dapat dirugikan oleh normalisasi harga energi dan komoditas. Akan tetapi, dengan adanya keputusan aliansi minyak OPEC+ untuk memangkas produksi minyak sebanyak 1.1 juta barel per hari maka IHSG berpotensi mendapatkan dukungan dari kembali naiknya harga komoditas.
Seiring dengan laju pengetatan kebijakan moneter The Fed yang lebih longgar dan turunnya kekhawatiran investor atas industri perbankan, kami melihat masih adanya potensi penguatan bagi aset risiko domestik. Namun demikian, kami masih netral saat ini terhadap pasar saham dengan proyeksi pertumbuhan EPS di rentang 4% hingga 5% untuk tahun ini.
Pasar obligasi berhasil menguat di bulan Maret lalu, terlihat dari penurunan 10 basis poin pada imbal hasil acuan 10 tahun dari 6.9% ke 6.8%. Selain di pasar saham, investor asing juga terlihat mengakumulasi obligasi pemerintah domestik senilai US$1.12 triliun bulan lalu. Ekspektasi The Fed yang diprediksi lebih dovish ke depannya di tengah penurunan inflasi merupakan katalis positif bagi pasar obligasi global. Dari dalam negeri, Bank Indonesia diperkirakan akan tetap menahan suku bunga acuan di 5.75% seiring dengan penurunan inflasi yang memuaskan sejauh ini, walaupun kenaikan harga barang dapat mengalami peningkatan sementara di bulan suci Ramadhan.
Antisipasi atas kebijakan moneter yang lebih longgar oleh The Fed sangat membebani pergerakan mata uang USD, terlihat dari indeks dolar DXY yang turun dari 105.0 ke 102.5 di bulan Maret. Di waktu yang sama, mata uang Rupiah berhasil menguat terhadap dolar AS sebesar 1.7% dan saat ini diperdagangkan di bawah level psikologis Rp 15,000/USD. Rupiah masih diproyeksikan untuk menguat terhadap Dolar AS, setidaknya dalam jangka waktu pendek ke depan seiring dengan meningkatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan AS di semester kedua tahun ini.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
“Risiko resesi meningkat sebagai dampak dari kenaikan suku bunga di tahun lalu yang berimbas pada perekonomian tahun ini. Kami memproyeksikan ekonomi AS akan mengalami resesi di semester kedua tahun 2023.” - Eli Lee
Kuartal pertama tahun ini ditutup dengan kenaikan indeks saham S&P 500, penurunan imbal hasil, dan pelemahan mata uang USD, dengan harapan FED akan segera melakukan pivot suku bunga. Para investor memproyeksikan Fed akan memulai periode pemotongan suku bunga dan pengurangan neraca keuangan dengan tiga alasan.
Pertama, meningkatnya risiko resesi sebagai dampak dari kenaikan suku bunga di tahun lalu yang berimbas pada perekonomian tahun ini. Kami memproyeksikan ekonomi AS akan mengalami resesi di semester kedua tahun 2023, namun ekonomi masih bertumbuh meskipun terjadi perlambatan seperti yang diperlihatkan pada tabel di bawah.
Tidak hanya itu, tingkat pengangguran saat ini berpotensi untuk naik seiring dengan perlambatan ekonomi AS. Tingkat pengangguran AS per akhir bulan Februari lalu mencatatkan kenaikan dari level terendah nya dalam 53 tahun terakhir, dari 3.4% ke 3.6%. Walaupun tingkat pengangguran masih berada di kisaran level terendahnya dalam sejarah, namun secara historis apabila terjadi kenaikan 0.5% pada angka pengangguran dalam periode satu tahun ke depan, dapat mendorong perekonomian AS masuk ke jurang resesi,
Di pasar obligasi pemerintah AS, US Treasury juga sudah mulai menunjukkan sinyal resesi. Kurva imbal hasil sudah berada dalam posisi inversi selama sembilan bulan terakhir. Hal tersebut terlihat dari imbal hasil tenor 2 tahun, yang sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga berada diatas imbal hasil tenor 10 tahun, mengindikasikan potensi kontraksi perekonomian.
Kedua, adalah meningkatnya ekspektasi para pelaku pasar bahwa bank sentral segera mengakhiri siklus kenaikan suku bunga seiring inflasi yang memuncak. Ketiga, kegagalan beberapa bank kecil di AS akhir-akhir ini akan mengakibatkan pengetatan kondisi keuangan perbankan, sehingga mengurangi kebutuhan Fed untuk menaikkan suku bunga secara agresif.
Meresponi isu kegagalan beberapa bank di AS, The Fed telah mempersiapkan suatu solusi baru yaitu “Bank Term Funding Programme” yang akan memberikan opsi bagi perbankan untuk meminjam dana apabila diperlukan dengan jaminan surat hutang yang dimiliki. Program tersebut secara drastis telah meningkatkan neraca keuangan sektor perbankan di AS.
Dengan Fed yang lebih berhati-hati, saat ini kami memperkirakan bahwa Fed hanya akan menaikkan suku bunga satu kali lagi di bulan Mei menjadi 5.00 - 5.25%. Namun, akan cukup sulit bagi Fed untuk memangkas suku bunga di akhir tahun ini walaupun perekonomian AS memasuki resesi, karena tingkat inflasi yang tetap bertahan tinggi.
Kami mengantisipasi bahwa Fed akan mulai memangkas suku bunga di bulan Maret 2024, karena inflasi diperkirakan akan berada di kisaran 3.5% di akhir 2023, dan 2.5% pada 2024. Dengan demikian, investor perlu berhati-hati dan tidak mengekspektasikan adanya pemangkasan suku bunga tahun ini.
“Di pasar saham, kami memiliki posisi yang netral secara keseluruhan. Kami mempertahankan alokasi regional kami dengan rating netral, underweight di Eropa, dan overweight di Asia ex-Japan.” - Eli Lee
Bulan Maret masih merupakan bulan yang penuh ketidakpastian bagi pasar saham, dengan adanya sentimen negatif dari sektor perbankan. Kami masih mempertahankan alokasi regional dengan rating netral untuk pasar saham AS, underweight untuk pasar saham Eropa, dan overweight untuk pasar saham Asia ex-Japan. Dari segi alokasi sektoral, kami menaikkan sektor konsumsi bahan dasar dan utilitas ke overweight untuk menambah ketahanan dari portofolio kami. Kami juga masih menyukai beberapa nama besar yang memiliki eksposur terhadap perkembangan struktural perekonomian saat ini seperti energi terbarukan dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk jangka panjang.
Ketidakpastian di sektor perbankan AS dan Eropa beberapa bulan terakhir telah meningkatkan probabilitas terjadinya resesi, di tengah pengetatan yang sedang terjadi di beberapa industri seperti komersil, Industrial, dan kredit. Di China, kami masih melihat adanya ketahanan, terutama pada pasar saham China mainland A-shares (onshore). Dalam beberapa tahun kedepan, tema investasi struktural utama China adalah teknologi dan inovasi, kenaikan konsumsi domestik dan pencegahan risiko keuangan.
Sentimen negatif yang membebani kinerja pasar saham Eropa mengingatkan kita akan dampak dari kenaikan suku bunga. Perkembangan akhir-akhir seperti memburuknya kondisi kredit, pengetatan penyaluran kredit perbankan, serta menurunnya peredaran uang, menyadarkan kita bahwa sinyal kritis dapat muncul secara tak terduga dalam kondisi suku bunga tinggi. Namun demikian, bank sentral Eropa menyatakan bahwa pihaknya siap untuk bertindak demi menjaga stabilitas. Untuk pasar saham Eropa, seiring dengan ekspektasi perlambatan ekonomi, kenaikan premi risiko serta memburuknya ekspektasi laba korporasi, kami memilih untuk lebih defensif untuk pemilihan saham, seperti pada sektor konsumsi bahan dasar, kesehatan dan utilitas.
April merupakan lembaran baru bagi Jepang, memasuki tahun baru fiskal dan tim BOJ baru yang akan dipimpin oleh Ueda. Kami mengantisipasi bahwa fokus pasar akan tertuju pada laporan keuangan korporasi untuk tahun fiskal 2024, yang diproyeksi akan turun moderat ke +4.1% dari sebelumnya +6.5% tahun ini. Dengan pemimpin baru bank sentral Jepang, kami tidak melihat akan adanya perubahan mendadak dari sisi suku bunga acuan yang rendah akibat kepercayaan bahwa inflasi saat ini bersifat sementara.
Per 24 Maret 2023, sekitar 80 persen perusahaan yang terdaftar pada indeks MSCI Asia ex-Japan telah merilis kinerja keuangan kuartal IV-2022 dirilis di -26% dan sepanjang 2022 di -3%, yang berada di bawah ekspektasi pasar. Kinerja yang cukup mengecewakan ini datang antara lain dari pasar Hong Kong, Thailand dan Korea Selatan. Di sisi lain, pasar Singapura, Indonesia dan China merilis kinerja di atas ekspektasi.
Pasar saham A-shares (mainland onshore) terbukti memiliki ketahanan yang lebih baik dibandingkan Hong Kong dan pasar saham luar negeri China, di tengah meningkatnya volatilitas di semua kelas aset. Untuk pasar saham A-shares, kami lebih menyukai saham pada CSI 500 Index, karena memiliki alokasi lebih rendah pada sektor keuangan, dan alokasi lebih tinggi pada sektor konsumsi non-internet, industri serta teknologi, yang akan lebih diunggulkan dari arah kebijakan. Restrukturisasi dan pendirian berbagai lembaga pemerintah, ditargetkan untuk mendukung akselerasi di sektor teknologi dan inovasi, perkembangan “Digital China” dan pencegahan risiko keuangan. Menurut kami, keseluruhan faktor ini, bersama dengan konsumsi domestik, akan menjadi tema investasi utama di China hingga beberapa tahun ke depan.
Eli Lee, Head of Investment Strategy, Bank Of Singapore
“Untuk instrumen pendapatan tetap, kami overweight pada obligasi investment grade (IG) negara maju (DM) yang akan lebih stabil di saat terjadi resesi. Dalam 12 bulan ke depan, kami melihat potensi penurunan imbal hasil.” - Vasu Menon
Maret menjadi bulan yang paling fluktuatif bagi instrumen pendapatan tetap. Kondisi ini terlihat dari kejadian gagal bayar terbesar kedua pada perbankan AS, Silicon Valley Bank, kemudian diikuti dengan runtuhnya Signature Bank. Ketika Credit Suisse mengalami masalah kurang dari dua minggu setelahnya, muncul kekhawatiran tentang krisis perbankan besar-besaran dan dampaknya terhadap pertumbuhan global. Dilema antara inflasi yang meningkat dan kesulitan menjaga stabilitas keuangan, The Fed tetap menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) tetapi mengindikasikan bahwa siklus kenaikan suku bunga hampir selesai. Selisih bunga pinjaman meningkat secara global di tengah kekhawatiran bahwa standar pinjaman yang lebih ketat dapat merugikan pertumbuhan global dan kinerja keuangan perusahaan. Kondisi keuangan yang lebih ketat yang disebabkan oleh tekanan pada sistem perbankan semakin memberikan ruang yang lebih sempit bagi bagi Fed untuk menaikkan suku bunga. Hal ini mendorong munculnya ekspektasi resesi, yang ditandai oleh penurunan tajam imbal hasil US Treasury selama beberapa minggu terakhir.
Kami merekomendasikan overweight di obligasi DM IG (developed market investment grade), karena meningkatnya risiko ekonomi AS. Pendapatan tetap dan obligasi IG khususnya menawarkan risk-reward yang lebih menarik daripada obligasi HY (high yield) berdasarkan harga pasar saat ini dan kemungkinan skenario makro. Kelas aset DM IG akan menjadi aset flight-to-quality saat terjadi resesi, dan akan diunggulkan seandainya Fed memutuskan untuk memangkas suku bunga saat terjadi resesi pada semester 2 tahun ini. Valuasi yang kurang menarik pada obligasi DM HY, menyebabkan kami mempertahankan pandangan underweight.
Insiden pada sektor perbankan AS dan Credit Suisse telah menurunkan kinerja sektor keuangan. Obligasi bank global memiliki kinerja yang lebih baik seiring dengan adanya flight-to-quality. Bank global memiliki simpanan dan likuiditas yang lebih baik dibandingkan bank daerah di AS, yang umumnya memiliki simpanan yang lebih rendah. Kami merekomendasikan bagi investor untuk lebih defensif untuk obligasi DM di sektor perbankan.
Kami memprediksi bahwa investor akan meminta premi risiko yang lebih tinggi untuk obligasi bank Eropa jenis AT1, setelah kejadian pada Credit Suisse. Selain itu, kami juga melihat meningkatnya aksi jual obligasi AT1, karena akan cukup mahal bagi bank untuk mengakhiri dan menggantikan obligasi AT1. Obligasi AT1, yang cukup populer pasca krisis keuangan global, adalah jenis obligasi yang dapat menjadi cadangan modal bank, seandainya permodalan jatuh di bawah ambang batas, sehingga dapat dikonversi menjadi saham ataupun dihapuskan nilainya. Obligasi AT1 ini memberikan tingkat imbalan yang lebih tinggi, akibat risiko yang lebih tinggi.
Kami mempertahankan pandangan overweight di Asia, terutama di Indonesia, India, dan obligasi Asia lainnya. Sebelumnya, kami menilai valuasi pasar obligasi yang lebih mahal dibandingkan fundamentalnya, dan pelemahan yang baru-baru ini terjadi mengkonfirmasi pandangan tersebut. Serupa dengan EM HY, kami juga mempertahankan overweight pada obligasi IG di Asia.
Pasar obligasi di Asia terlihat memiliki ketahanan yang baik di tengah kekhawatiran sektor keuangan AS dan Eropa, namun perlu diingat bahwa segmen ini tidak sepenuhnya kebal terhadap gejolak pasar global.
Untuk jenis obligasi Asia IG, obligasi dengan durasi panjang dan volatilitas yang lebih rendah berkinerja lebih unggul, termasuk Hong Kong, Singapura, Thailand dan Indonesia. Dalam obligasi Asia HY, kerugian pada obligasi China HY diimbangi oleh keuntungan pada obligasi Indonesia HY.
Sektor keuangan di Asia memiliki volatilitas yang lebih rendah dibandingkan negara maju, walaupun terdapat sedikit kelemahan pada obligasi AT1 di Hong Kong dan perusahaan manajemen aset. Paska Credit Suisse, kami menilai obligasi AT1 Asia memiliki keunggulan dibandingkan Eropa, mengingat adanya potensi bail out dari pemerintah baik secara langsung ataupun tidak langsung, mengingat obligasi AT1 di Asia memiliki risiko jatuh tempo lebih cepat, yang lebih rendah.
“Kami telah menaikkan target harga minyak dalam 12 bulan ke depan sebesar US$ 2 menjadi US$ 92 per barel mengingat jalur produksi OPEC yang dipangkas. Kami juga tetap optimis terhadap emas, terlebih dengan adanya potensi penurunan di kelas aset berisiko, sebagai nilai lindung mengantisipasi risiko resesi AS.” - Vasu Menon
Optimisme kami pada emas membuahkan hasil lebih cepat dibandingkan ekspektasi. Kami tetap konstruktif pada logam mulia. Ke depannya, kami menilai emas berpotensi untuk sedikit melemah di kuartal II – 2023, seiring meredanya risiko sektor perbankan. Kami memprediksi adanya pelemahan di penyaluran kredit perbankan dalam beberapa bulan ke depan, namun belum cukup untuk memicu Fed memangkas suku bunga tahun ini. Kami memperkirakan adanya kenaikan suku bunga 25 bps di bulan Mei, dan Fed akan menahan suku bunga stabil di 5.00% - 5.25% untuk sepanjang tahun. Emas akan bergerak naik di semester II seiring meningkatnya risiko resesi. Kami meningkatkan estimasi harga 6 dan 12 bulan kami untuk emas di harga US$ 2,050 per oz. Bank sentral diperkirakan akan terus menambah emas sebagai cadangan devisa untuk melindungi terhadap risiko ekonomi dan geopolitik.
Pelaku pasar mengharapkan kebijakan yang lebih luas dari pemerintah China. Harga minyak cukup bergejolak pada bulan lalu, seiring meningkatnya kekhawatiran bahwa tekanan sektor perbankan dapat memicu resesi besar-besaran. Kebijakan AS untuk menahan pengisian cadangan minyak, pada saat harga minyak berada di kisaran US$ 67 hingga 72 per barel, turut mendorong pelemahan harga.
Kami menilai harga minyak mentah akan mulai pulih dari kekhawatiran mengenai perbankan, seiring munculnya kembali risiko persediaan minyak, dan perbaikan proyeksi permintaan. Aliansi negara penghasil minyak OPEC, mengejutkan pasar dengan memangkas produksi minyak sebesar 1.1 juta barel per hari. Arab Saudi memimpin pemangkasan ini dengan penurunan 500 ribu barep per hari, Irak dengan 211 ribu barel per hari. Kami meningkatkan estimasi harga minyak Brent untuk 12 bulan ke US$ 92 dengan adanya penurunan produksi minyak OPEC ini.
Sepanjang kuartal I, US Dollar Index (DXY) melemah hampir 1 persen, sementara secara bulanan, DXY melemah 2.28 persen. Kejutan pasar di bulan Maret yang datang dari kebangkrutan mendadak dari 3 bank di AS dalam waktu satu minggu, kembali mengingatkan bahwa kebijakan moneter Fed yang lebih ketat dapat mengakibatkan kondisi keuangan bank kecil hingga menengah di AS berada dalam posisi yang cukup rentan. Secara keseluruhan, kami mempertahankan pandangan moderat hingga melemah untuk Dolar AS, seiring hampir masuknya Fed di akhir pengetatan kebijakan. Tren tingkat inflasi yang lebih rendah juga akan mendukung pandangan ini, dan mengakibatkan Dolar AS melemah.
Dengan asumsi bahwa risiko penularan di sektor perbankan adalah terbatas, maka pelemahan ekonomi global akan cukup mendorong pergerakan mata uang pro-cyclical termasuk mata uang di Asia ex-Japan dan Dolar Australia, sementara pergerakan mata uang counter-cyclical akan tetap stabil.
Mata uang Euro turut bergejolak di bulan Maret, sebelum akhirnya menguat 2.5 persen terhadap Dolar AS. Masalah di sektor perbankan AS dan Switzerland telah memicu kekhawatiran mengenai sektor perbankan Eropa. Akan tetapi, tanpa melihat adanya koreksi pasar global dan dengan asumsi bahwa perbankan Eropa masih bertahan, maka pelemahan Euro dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk membeli di level yang cukup rendah, dengan harapan bank sentral Eropa tetap agresif di tengah kenaikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang masih terjadi di kawasan Eropa.
Poundsterling (GBP) menguat 2.6% terhadap Dolar AS di bulan Maret. Gubernur BOE tetap bernada hawkish atau agresif dalam pernyataannya baru-baru ini. Secara keseluruhan, dengan pergerakan Dolar AS yang lebih moderat dan melemah, adanya perbaikan pada proyeksi pertumbuhan Inggris serta memudarnya kekhawatiran seputar Brexit, akan mendukung GBP untuk pulih, walaupun masih terdapat beberapa risiko domestik seperti stagflasi, turunnya konsumsi, serta potensi kebijakan BOE yang berubah melunak.
Dolar AS melemah 1.2% terhadap Renminbi (CNH) di bulan Maret. Angka aktivitas ekonomi PMI China di bulan Maret yang lebih kuat daripada ekspektasi mendukung momentum dan sentimen positif. Di akhir bulan Maret, terdapat beberapa perkembangan yang cukup positif dari China, seperti: 1. Pecahnya Alibaba menjadi 6 unit bisnis; 2. Kembalinya Jack Ma ke China menjadi sinyal berakhirnya campur tangan pemerintah di sektor swasta; 3. Tiga perusahaan teknologi terbesar - Baidu, Alibaba, Tencent - merilis laba korporasi yang lebih baik daripada ekspektasi. Rilisan data ekonomi yang lebih baik akan terus mendukung aliran modal kembali ke pasar modal China, dan hal ini akan menguntungkan bagi Renminbi. Salah satu risiko yang patut diperhatikan adalah ketegangan geopolitik antara AS dan China yang masih berlangsung, yang dapat berdampak buruk bagi Renminbi.
Dolar AS melemah sebesar 1.3% terhadap Dolar Singapura (SGD) di bulan Maret, saat pelaku pasar mengantisipasi kebijakan Fed yang berpotensi melunak di tengah krisis perbankan di AS. Sementara itu, pasar juga masih mengekspektasikan adanya pengetatan kebijakan dari Monetary Authority of Singapore (MAS). Akan tetapi, angka inflasi saat ini berada di 6.3%, dan masih berada dalam kisaran batas atas MAS di 5.5 hingga 6.5%. Sehingga, kami menilai akan terlalu cepat bagi MAS untuk mulai menghentikan siklus pengetatannya. Dalam jangka waktu lebih panjang, kami mempertahankan pandangan sedikit lebih optimis untuk SGD seiring ketahanan makro fundamental yang baik dan optimisme akan pembukaan ekonomi China.
Vasu Menon, Senior Investment Strategist, OCBC Bank
Pertumbuhan lapangan ketenagakerjaan AS yang tetap kuat, mensinyalkan bahwa pendapatan korporasi AS masih cukup kondusif, dan momentum pertumbuhan ekonomi masih kuat. Hal ini turut menjadi pertimbangan Presiden Biden yang mewacanakan kenaikan pajak penghasilan bagi korporasi dan individu, sehingga mendorong bursa saham AS melanjutkan pelemahan yang telah terjadi di bulan Februari akibat nada kebijakan Fed yang lebih agresif. Tak hanya itu, memasuki minggu kedua bulan Maret, para pelaku pasar dikejutkan oleh berita kebangkrutan bank terbesar ke-16 di AS, Silicon Valley Bank (SVB). Aksi penarikan dana tunai atau bank run besar-besaran terhadap SVB telah mengakibatkan bank ini kekurangan likuiditas. Bank sentral AS dengan sigap menyatakan komitmen backstop dengan menyediakan Bank Term Funding Program yang memberikan pinjaman likuiditas untuk jangka waktu satu tahun, dengan jaminan obligasi pemerintah yang dimiliki oleh SVB. Lembaga Penjamin Simpanan AS (FDIC) pun menjamin pengembalian dana nasabah baik yang terasuransikan atau tidak. Akan tetapi, risiko domino effect masih membayangi industri perbankan AS, sehingga saham sektor perbankan AS melemah dengan tajam.
Adanya potensi risiko sistemik atau kegagalan sistem keuangan akibat SVB, membuat para pelaku pasar mengantisipasi nada kebijakan Fed yang dapat berubah arah menjadi lebih longgar. Para analis Bloomberg memperkirakan puncak suku bunga tahun ini hanyalah berada di kisaran 5 persen, dibandingkan seminggu sebelumnya yang meningkat di 5.5 hingga 5.75 persen. Imbal hasil obligasi AS UST 10 tahun, sebagai safe-haven asset, turun tajam, dari 4 persen menjadi 3.6 persen.
Beralih ke kawasan Asia, pasar saham Asia terlihat membukukan pelemahan seiring dengan isu ketegangan antara China dan AS kembali muncul ke permukaan setelah insiden penembakan balon udara yang diduga merupakan alat mata-mata China.
Dari ekonomi domestik, perekonomian Indonesia terus menunjukkan pemulihan yang suportif. Inflasi bulan Februari meningkat 0.16 persen secara bulanan, atau 5.47 secara tahunan, sedikit mengalami kenaikan dibandingkan bulan Januari di 5.28 persen. Angka inflasi diperkirakan akan mengalami kenaikan secara musiman, seiring masuknya Indonesia ke bulan suci Ramadhan di bulan Maret. Namun demikian, Bank Indonesia diperkirakan tetap menahan suku bunga 7D reverse repo rate di 5.75 persen seiring dengan potensi segera terhentinya laju kenaikan suku bunga Fed, pasca Silicon Valley Bank. Bank Indonesia perlu menjaga keseimbangan antara mempertahankan nilai tukar Rupiah dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik, di tengah ancaman resesi global di tahun ini.
Di bulan Februari, IHSG mampu bertahan di tengah pelemahan bursa saham AS dan China. Indeks terlihat bergerak sideways, mencatatkan penguatan tipis sebesar 0.06 persen. Hal ini menunjukkan bahwa optimisme pelaku pasar terhadap pasar saham Indonesia masih cukup positif. Secara sektoral, sektor transportasi dan logistik memimpin penguatan bursa, dengan kenaikan 10.26 persen, disusul sektor konsumsi siklikal yang membukukan kenaikan 2.93 persen. Penguatan ini ditopang oleh investor asing yang melakukan bulan lalu pembelian bersih senilai US$ 23.40 juta sehingga sejak awal tahun investor asing sudah membukukan pembelian bersih sebesar US$ 196.6 juta. Akan tetapi, memasuki bulan Maret, sejumlah risiko pelemahan yang datang dari eksternal seperti risiko penularan dari kasus Silicon Valley Bank, dapat memberatkan pergerakan IHSG. Akan tetapi, memasuki tahun politik di semester kedua nanti, maka likuiditas dan konsumsi diperkirakan akan membaik. Pertumbuhan laba korporasi di 2023, walaupun lebih rendah dibandingkan 2022, akan bertumbuh di kisaran 4 hingga 5 persen. Sehingga, pelemahan yang terjadi saat ini dapat dimanfaatkan sebagai strategi untuk mengakumulasi aset saham dengan level yang lebih menarik.
Nada kebijakan Fed yang lebih agresif mendorong imbal hasil obligasi pemerintahIndonesia 10 tahun bergerak naik ke 7 persen di akhir Februari hingga awal bulan Maret. Sepanjang Februari, investor asing membukukan penjualan bersih senilai US$ 497.5 juta. Akan tetapi, kasus Silicon Valley Bank yang muncul di minggu kedua bulan Maret, segera mendorong imbal hasil turun ke kisaran 6.7 persen sebagai antisipasi terhadap potensi kebijakan Fed yang lebih longgar, seiring meningkatnya potensi risiko sistemik pada sistem perbankan AS. Ke depannya, kami melihat pasar obligasi Indonesia akan memiliki ketahanan yang cukup baik seiring dengan potensi melunaknya suku bunga Fed, suplai obligasi yang lebih terbatas, serta inflasi dalam negeri yang relatif cukup stabil.
Mata uang Rupiah terlihat mengalami pelemahan terhadap Dolar AS selama bulan Februari lalu, melemah dari level Rp 15,000/USD ke level Rp 15,244/USD. Ekspektasi atas perubahan sikap The Fed yang lebih hawkish mengakibatkan Dolar AS menguat terhadap mata uang lain, walaupun cukup terbatas. Akan tetapi, kejadian Silicon Valley Bank telah mendorong indeks Dolar AS (DXY) melemah, seiring dengan ekspektasi kebijakan yang lebih longgar. Dengan ketahanan perekonomian Indonesia dan kebijakan akomodatif Bank Indonesia, diharapkan pergerakan mata uang Rupiah akan lebih stabil ke depannya.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
“Harapan akan adanya pertumbuhan ekonomi moderat dan inflasi yang mulaimereda, perlu dikaji ulang. Hal ini disebabkan oleh inflasi yang masih tinggi dan fundamental ekonomi yang solid, sehingga mendorong prospek kenaikan suku bunga Fed yang lebih agresif” - Eli Lee
Pasar Kenaikan aset di pasar keuangan pada awal tahun ini, terhambat oleh rilisan inflasi yang masih cukup tinggi di sejumlah negara maju, seperti AS, Zona Eropa, Jepang, dan Australia. Indeks saham S&P 500 menjauhi level tertinggi dalam 6 bulan terakhir ke level 4,195 di akhir bulan Februari. Imbal hasil obligasi Pemerintah AS (UST) mengalami kenaikan signifikan dari level 3.3 persen di bulan Januari, bergerak hingga hampir menyentuh level 4 persen di awal bulan Maret. Dolar AS yang dipandang sebagai aset paling aman (safe-haven asset) menguat seiring dengan menurunnya minat risiko investor.
Inflasi masih bertahan tinggi, karena rata-rata perekonomian negara maju masih cukup solid, walaupun bank sentral sudah menaikkan suku bunga dengan laju tercepat sejak tahun 1980an. Sebagai contoh, semua data ekonomi AS di bulan Januari dirilis lebih kuat dibandingkan ekspektasi. Jumlah lapangan pekerjaan naik lebih dari 500 ribu pekerjaan. Angka pengangguran turun ke level terendah dalam 53 tahun terakhir di 3.4 persen. Inflasi inti hanya sedikit melemah dari 5.7 persen ke 5.6 persen. Di sisi lain, inflasi di sisi produsen bertahan di 5.4 persen. Angka penjualan ritel masih melonjak 3 persen.
Dalam jangka waktu 12 bulan ke depan, kami memperkirakan imbal hasil obligasi UST 10 tahun akan turun dari 4 ke 3.5 persen. Inflasi dan suku bunga AS yang akan bertahan tinggi berpotensi untuk mendorong ekonomi AS melemah di semester kedua tahun ini. Prioritas utama Fed untuk menahan laju inflasi dibandingkan mendorong pertumbuhan ekonomi, akan mendorong imbal hasil UST tenor panjang 10 dan 30 tahun untuk turun di 2023 karena perhatian investor akan beralih dari risiko inflasi jangka pendek ke kekhawatiran perlambatan ekonomi dalam jangka waktu lebih panjang.
Sebaliknya, akhir dari kebijakan zero-Covid telah meningkatkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China di 2023. Survei dari sentimen bisnis seperti Purchasing Manager Index (PMI) untuk sektor jasa dan manufaktur telah meningkat. Kami memperkirakan PDB China untuk bertumbuh 5.2 persen tahun ini, dibandingkan 3 persen di 2022. Hal ini sekaligus menjadikan China sebagai satu-satunya negara dengan pertumbuhan tercepat di 2023 dibandingkan 2022. Sehingga, kami mempertahankan pandangan optimis atau overweight di pasar saham China, dengan fundamental ekonomi yang membaik.
“Secara keseluruhan, kami Netral terhadap pasar saham, dengan posisi Overweight di Asia ex-Japan sementara posisi Underweight di Eropa.“– Eli Lee
Kami mempertahankan alokasi saham regional dengan rating Netral di AS, Underweight untuk Eropa, dan Overweight untuk Asia ex-Japan. Di Asia ex-Japan, kami lebih menyukai pasar saham Hong Kong/China, Singapura, dan Taiwan.
Indeks saham S&P 500 melemah akibat kekhawatiran tingkat inflasi yang tetap tinggi, pasar ketenagakerjaan yang tetap kuat, dan arah kebijakan Fed yang diperkirakan tetap agresif. Pertumbuhan laba korporasi di 2023, diperkirakan akan melambat ke 0 persen. Secara historis, indeks S&P 500 berpotensi melemah jika proyeksi laba korporasi diturunkan dari positif menjadi negatif.
Prospek saham Eropa dikaji ulang dengan membaiknya sentimen di tengah penurunan harga gas alam yang berdampak pada penurunan inflasi dan menurunkan probabilitas resesi, bersamaan dengan pembukaan kembali ekonom China.
Namun, kami melihat bahwa risiko pengetatan yang berlebihan dapat tetap terjadi, dan kuatnya pasar ketenagakerjaan bersamaan dengan aksi pemogokan dan biaya gaji yang lebih tinggi, akan menekan laba perusahaan.
Ekspektasi untuk perubahan kebijakan Bank of Japan (BOJ) telah meningkat, termasuk penghapusan batas atas pada imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun, menyusul penyesuaian kurva imbal hasil (YCC) yang mengejutkan pada 20 Desember 2022 dan pelantikan gubernur baru pada April 2023. Pemerintah Jepang telah mengusulkan Kazuo Ueda sebagai gubernur Bank of Japan (BoJ) berikutnya untuk menggantikan Haruhiko Kuroda mulai 9 April 2023. Pasar saham diperdagangkan menguat bulan lalu didukung oleh harapan kebijakan dovish di bawah kepemimpinan gubernur baru.
Indeks saham MSCI Asia ex-Japan melemah di bulan Februari awal yang solid di bulan Januari 2023. Penurunan ini diakibatkan oleh meningkatnya ketegangan geopolitik, kenaikan imbal hasil obligasi UST 10 tahun dan revisi pendapatan yang menurun. Berdasarkan konsensus Refinitiv per 21 Februari 2023, pertumbuhan laba korporasi untuk emiten di indeks MSCI Asia ex-Japan diproyeksikan meningkat sebesar 0.9 persen, dibandingkan dengan 6.3 persen pada awal tahun 2023. Namun, konsensus ini juga menunjukkan peningkatan laba korporasi di 2024 sebesar 18.5 persen.
Pasar saham Hong Kong dan China melemah pada bulan Februari, akibat ekspektasi kenaikan suku bunga Fed yang agresif, munculnya kembali ketegangan AS-China dan kekhawatiran tentang meningkatnya persaingan di sektor teknologi. Kami menilai pasar saham Hong Kong dan China berpotensi melemah di bulan Maret, mengingat adanya periode kekosongan kebijakan sebelum kongres NPC, rilisan laporan laba korporasi yang masih perlu divalidasi dengan proyeksi pertumbuhan ke depannya, serta perlunya pengkajian ulang akan ekspektasi kenaikan suku bunga Fed.
Untuk industri secara global, kami meningkatkan bobot dari Netral menjadi Overweight seiring dengan rencana belanja terkait transisi energi dan upaya kembali ke negara asal. Kami mengubah bobot untuk sektor finansial global, seiring membaiknya sektor perbankan di Eropa dan China/ Hong Kong. Untuk perbankan Singapura, pasca pengumuman anggaran nasional, kami melihat akan adanya tekanan pada pertumbuhan sektor properti dan kredit sektor perumahan di semester 1 – 2023, walaupun hal ini dapat termitigasi oleh permintaan properti yang masih cukup kuat dari segmen kelas menengah.
Di sektor teknologi, walaupun rilisan pendapatan kuartal IV - 2022 sesuai ekspektasi, kami melihat investor masih perlu berhati-hati mengingat adanya tantangan terhadap belanja konsumen dan korporasi secara fundamental. Untuk sektor ini, kami lebih menyukai negara China. Rilisan awal laba korporasi menunjukkan sentimen yang lebih optimis di 2023. Pelemahan yang terjadi akhir-akhir ini di China, justru memberikan kesempatan investasi dengan valuasi yang lebih menarik.
Eli Lee, Head of Investment Strategy, Bank Of Singapore
“Di pasar obligasi, kami masih Overweight terhadap obligasi Investment Grade (IG) Negara Maju (DM), yang seharusnya akan menjadi aset pilihan apabila terjadinya resesi.” - Vasu Menon
Volatilitas pasar obligasi tahun ini akan tetap tinggi, setidaknya dalam jangka pendek. Para pelaku pasar harus tetap disiplin dan selektif terhadap aset pilihan. Kami mempertahankan pandangan Overweight terhadap obligasi DM IG untuk mendapatkan perlindungan terhadap risiko resesi, terutama di negara maju.
Pandangan terhadap obligasi negara berkembang tahun ini jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu. Pembukaan kembali ekonomi China telah berhasil menjadi katalis positif bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Terlebih lagi, hal tersebut juga memiliki dampak positif yang besar secara global, baik dari sisi permintaan atas energi dan komoditas hingga pariwisata di Asia Tenggara. Hal - hal positif lain yang berpotensi mendukung obligasi negara berkembang adalah pelemahan Dolar AS, semakin membaiknya fundamental di tengah aliran dana asing yang masuk. Sebaliknya, setelah reli penguatan beberapa bulan terakhir, kini valuasi mulai terlihat kurang menarik.
Kami masih mempertahankan rekomendasi Overweight terhadap obligasi layak investasi negara maju (developed market investment grade- DM IG). Dengan durasi terpanjang di antara kategori - kategori aset pendapatan tetap, kelas aset ini akan menjadi yang paling diminati apabila terjadi resesi yang berpotensi terjadi di semester 2 - 2023. Kami mempertahankan pandangan Underweight terhadap obligasi korporasi negara maju (developed market high yield – DM HY). Valuasi saat ini terlihat sedikit mahal dari segi risk-reward dengan rentang kredit imbal hasil yang tipis dibandingkan saat periode krisis Eropa di 2011 dan kehancuran sektor komoditas di tahun 2015-2016.
Kami memutuskan untuk Overweight di Asia, pada obligasi korporasi negara berkembang (emerging markets high yield - EM HY) seiring dengan dibukanya perekonomian China. Akan tetapi, setelah reli beberapa bulan terakhir kami melihat valuasi saat ini kurang menarik dan mulai tidak sebanding dengan fundamental sektor properti China. Maka dari itu, kami cenderung lebih menyukai beberapa perusahaan di Indonesia dan India di wilayah Asia. Kami juga Overweight di obligasi Asia layak investasi (investment grade – IG), didorong oleh strategi barbel yang mengombinasikan obligasi Korea Selatan dengan rating “AA” dan beberapa obligasi “BBB” dari Indonesia dan India.
“Pasar minyak dunia secara perlahan mengalami kenaikan dengan latar belakang pemulihan permintaan dari China, dan kami mempertahankan harga minyak Brent yang lebih tinggi sebesar USD90 per barel untuk jangka waktu 12 bulan.” - Vasu Menon
Data ekonomi AS dirilis lebih baik dibandingkan ekspektasi selama bulan Januari - Februari, dan tetap mensinyalkan pesan yang sama seperti dengan aktivitas yang tetap kuat, inflasi yang tinggi, dan pasar ketenagakerjaan yang tetap kuat. Hal ini meningkatkan ekspektasi bahwa Fed akan meneruskan kebijakan moneter yang lebih ketat dibandingkan ekspektasi sebelumnya, sehingga mendorong Dolar AS untuk menguat dan melemahkan harga emas. Pasar fisik emas masih melemah seiring lesunya permintaan dari China dan India, akan tetapi pembelian dari bank sentral masih tetap tinggi. Kami memperkirakan harga emas untuk 6-12 bulan ke depan akan berada di harga USD 1,970/oz seiring hambatan yang berkurang dari kenaikan suku bunga yang lebih moderat dalam jangka menengah. Kami tetap mempertahankan proyeksi imbal hasil obligasi AS UST 10 tahun berada di 3.5 persen di akhir tahun, sesuai pergerakan historis saat Fed menahan suku bunga.
Harga minyak Brent bergerak stabil, seiring kenaikan ekspor yang lebih tinggi dibandingkan ekspektasi untuk minyak mentah dan produk minyak Rusia, yang mengimbangi kenaikan permintaan dari China. Minyak Rusia mendapat dukungan dari permintaan di Asia, akan tetapi masih akan menghadapi risiko pasokan, dengan adanya sanksi dari Eropa untuk ekspor minyak Rusia.
Pasar minyak dunia, secara perlahan mengalami kenaikan didukung pemulihan permintaan pasar China, dan kami terus menargetkan estimasi harga minyak Brent yang cukup tinggi di USD90 per barel dalam waktu 12 bulan ke depan. Sektor pariwisata sejauh ini tampaknya menjadi penerima manfaat utama dari pembukaan ekonomi China. Kemacetan lalu lintas meningkat di Asia, khususnya di China, sementara jadwal penerbangan yang padat telah memperkuat prospek permintaan minyak avtur. Investor mengharapkan adanya kebijakan yang lebih longgar dari pemerintah China.
Indeks Dolar AS (USD) mencatat kenaikan bulanan pertamanya di bulan Februari sejak September 2022. Nada kebijakan Fed yang lebih hawkish adalah katalis utama setelah data ekonomi AS yang lebih baik dari perkiraan, sementara ketidakpastian geopolitik juga membebani sentimen investor. Kekhawatiran akan kenaikan suku bunga Fed yang lebih agresif mendorong penguatan Dolar AS dalam jangka pendek, tetapi sebaliknya jika terjadi penundaan pada kenaikan suku bunga, maka akan mendorong Dolar AS melemah.
Mata uang Euro melemah sebesar 2.6 persen terhadap Dolar AS di bulan Februari, namun pelemahan ini relatif terbatas dibandingkan periode penurunan sebelumnya di 2022. Hal ini diakibatkan oleh nada kebijakan ECB yang hawkish, perbaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Eropa dan penurunan tajam harga gas, yang membatasi penurunan Euro lebih lanjut. Secara keseluruhan, kami tetap konstruktif netral terhadap pergerakan Euro ke depannya.
Sementara itu Pound Inggris atau GBP melemah tipis 2.4 persen terhadap Dolar AS di bulan yang sama. Ketahanan GBP kali ini dikontribusi dari memudarnya pesimisme terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris, serta merespons persetujuan antara EU dan Inggris mengenai protokol Irlandia Utara. Mayoritas bank sentral dunia termasuk Fed, ECB, RBNZ dan RBA menegaskan kembali komitmen mereka untuk melawan inflasi di negaranya. RBNZ
Di sisi lain, USDCNH menguat 2.8 persen di bulan Februari. Hal ini diakibatkan oleh pembatalan pembukaan perdagangan China, nada kebijakan Fed yang lebih agresif, dan kembalinya ketegangan geopolitik.
Dolar AS juga menguat terhadap Dolar Singapura (SGD) dalam beberapa minggu terakhir, di tengah kenaikan Dolar AS sebagai dampak nada kebijakan Fed yang agresif. Data inflasi Singapura yang lebih rendah di bulan Januari turut mendorong SGD melemah.
Vasu Menon, Senior Investment Strategist, OCBC Bank
Staying the Course
Mengawali 2023, pergerakan pasar banyak dipengaruhi oleh ekspektasi para investor dari melunaknya kebijakan Fed, sehingga mendorong kenaikan pada aset risiko global. Indeks saham AS, Dow Jones, membukukan penguatan sebesar 3 persen, indeks S&P500 sebesar 8.5 persen, dan indeks teknologi NASDAQ lebih dari 15 persen, didorong oleh penguatan saham sektor teknologi yang signifikan. Pada pertemuan di bulan Januari, Presiden The Fed, Jerome Powell, menyatakan bahwa upaya bank sentral sejauh ini dinilai sukses dalam menekan tingkat inflasi dan terbukti dari rilisan data terakhir yang menunjukkan penurunan dari 7.1 ke 6.5 persen YoY di bulan Desember 2022. Para pelaku pasar kini melihat bank sentral AS hanya akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi di bulan Maret dan Mei, masing-masing sebesar 25 bps. Selain itu, rilisan data pertumbuhan ekonomi di kuartal empat 2022 juga dirilis di atas ekspektasi di level 2.9 persen, menambah sentimen positif pasar di awal tahun 2023. Dari sisi laporan keuangan korporasi, pada minggu pertama Februari, 69 persen dari perusahaan yang terdaftar di indeks acuan S&P500 telah melaporkan laba diatas ekspektasi, namun masih berada di bawah level pencapaian rata-rata lima tahun terakhir di 77 persen. Mayoritas perusahaan yang telah melaporkan juga mengatakan bahwa tahun 2023 ini menjadi tahun yang lebih menantang bagi dunia usaha. Namun, inflasi yang mulai melandai, pembukaan kembali ekonomi China hingga menurunnya probabilitas resesi global turut mendorong penguatan pasar saham global di awal tahun ini.
Beralih ke kawasan Eropa, yang juga mencatatkan penguatan cukup signifikan di bulan Januari lalu, ditengah aksi bargain hunting investor. Sentimen di Eropa juga didukung oleh normalisasi harga energi, yang dimana sebelumnya merupakan salah satu kekhawatiran utama investor. Perang antara Rusia dan Ukraina masih berlanjut, namun dampaknya terhadap pasar keuangan terlihat semakin rendah. Dari sisi kebijakan moneter, bank sentral Eropa dan Inggris sepakat untuk kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan lalu, dimana kedua bank sentral ini kembali menyampaikan komitmen untuk meredam kenaikan inflasi.
Sementara itu, pasar saham Asia, seperti yang terlihat dari indeks MSCI Asia Pacific juga mencatatkan penguatan yang signifikan bulan lalu, tercatat kenaikan sebesar 7.8 persen. Pembukaan kembali ekonomi China menjadi penyokong utama bagi aset berisiko di kawasan Asia, sebagai ekonomi nomor dua terbesar di dunia yang mulai meninggalkan kebijakan Zero-Covid. Hong Kong, sebagai pusat keuangan terkemuka di Asia turut melonggarkan kebijakan karantina dan pembatasan perjalanan per bulan lalu, sehingga menjadikan jalur Hong Kong – China lebih mudah diakses setelah terisolasi selama tiga tahun terakhir.
Secara fundamental, Indonesia terus menunjukkan pemulihan yang baik, bahkan beberapa data mencatatkan perkembangan yang lebih baik dari ekspektasi. Data inflasi yang terakhir dirilis menunjukkan penurunan dari angka 5.51 ke 5.28 persen YoY, di bawah ekspektasi 5.40 persen. Sementara itu, inflasi inti pun juga turun dari 3.36 ke 3.27 persen. Rilisan tersebut berhasil meningkatkan optimisme pelaku pasar terhadap kondisi perekonomian Indonesia, walaupun belum tercermin pada pergerakan pasar saham. Aktivitas manufaktur yang diukur melalui PMI Manufacture mencatatkan kenaikan dari 50.9 ke 51.3. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi kuartal empat 2022 juga dirilis di atas ekspektasi di 5.01% vs 4.92%. Secara keseluruhan, ketahanan ekonomi Indonesia terlihat cukup baik di awal tahun 2023, dengan proyeksi pemerintah untuk pertumbuhan tahun 2023 berada di rentang 4.9% - 5.3% (Sumber: Bank Indonesia).
Equity
Di bulan Januari, IHSG tidak berhasil mengikuti jejak penguatan bursa saham lainnya. Indeks terlihat bergerak sideways, mencatatkan pelemahan tipis sebesar 0.16 persen di tengah penguatan aset berisiko global. Namun, hal ini tidak terlalu mengejutkan mengingat pasar saham Indonesia masih berhasil mencatatkan penguatan sepanjang tahun 2022, tidak seperti bursa saham global lainnya. Secara sektoral, sektor teknologi dan konsumsi siklikal memimpin pelemahan bursa, turun 4.75 persen dan 3.49 persen. Investor asing melanjutkan aksi jualnya bulan lalu, mencatatkan penjualan bersih senilai US$182.11 juta. Investor masih berekspektasi pasar saham domestik untuk dapat mencatatkan penguatan tahun ini, didorong oleh peningkatan konsumsi dan sentimen tahun politik yang akan dimulai di semester kedua nanti. Namun, patut diingat bahwa sektor komoditas, yang sebelumnya merupakan salah satu penopang utama pasar saham di 2022, diperkirakan akan mulai kehilangan daya tariknya di tengah normalisasi harga komoditas. Maka dari itu, kami melihat IHSG akan diperdagangkan di rentang 6,900 – 7,300 pada paruh pertama tahun ini.
Bond
Kinerja pasar saham yang kurang mendukung bulan lalu membuat pasar obligasi lebih menarik di awal tahun 2023 ini. Imbal hasil acuan 10 tahun turun ke level 6.7 persen di akhir bulan. Reli yang terjadi pada US Treasury, diakibatkan oleh proyeksi The Fed yang lebih melunak. Sehingga, hal ini menjadi katalis bagi pasar obligasi domestik. Terlebih lagi, penguatan mata uang Rupiah hingga di bawah Rp 15,000/USD juga menjadi salah satu faktor utama yang membuat aset pendapatan tetap Indonesia menjadi atraktif. Investor asing juga berkontribusi pada penguatan pasar obligasi, mencatatkan pembelian bersih senilai USD$4.125 miliar sepanjang bulan Januari. Kami melihat prospek pasar obligasi tahun ini akan lebih baik, seiring dengan berhentinya siklus kenaikan suku bunga, inflasi yang lebih rendah, stabilitas Rupiah, dan imbal hasil yang tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya.
Currency
Mata uang Rupiah berhasil menguat signifikan terhadap Dolar AS, dari Rp 15,600/USD ke Rp 15,000/USD di akhir bulan Januari. Ekspektasi atas akhir dari siklus kenaikan suku bunga The Fed tahun ini mengakibatkan Dolar AS melemah terhadap mata uang lain. Hal tersebut juga tercermin dari pergerakan indeks Dollar DXY yang mencatatkan penurunan dari level 104.5 ke 102.1. Dengan tren pelemahan USD saat ini, mata uang Rupiah kini dapat diperdagangkan di level yang lebih stabil oleh investor.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Bank Sentral tetap menjadi perhatian
Kami memperkirakan The Fed dan ECB akan mempertahankan suku bunga tinggi di beberapa wilayah tertentu untuk menahan inflasi, yang berpotensi memicu terjadinya resesi. - Eli Lee Pasar keuangan memulai tahun ini dengan cukup kuat. Tiga kunci utama perkembangan global telah meningkatkan kepercayaan investor.
Pertama, inflasi terlihat menyentuh puncak di sejumlah negara di dunia. Di akhir tahun 2022, kenaikan inflasi mulai melandai hingga ke level 6.5 persen, jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Selain itu, inflasi Zona Eropa dan Inggris tampak sudah memuncak setelah mencapai level tertinggi empat dekade tahun lalu. Maka itu, investor menjadi lebih optimis bahwa bank sentral sudah selesai menaikkan suku bunga tahun ini dan mampu menurunkan inflasi tanpa menyebabkan resesi.
Kedua, musim dingin yang lebih ringan membuat Eropa terhindar dari krisis energi yang parah di tengah perang di Ukraina. Kami masih memperkirakan AS, Zona Euro, dan Inggris akan mengalami perlambatan ekonomi pada tahun 2023, dimana kenaikan suku bunga dan inflasi yang masih cukup tinggi akan melemahkan konsumsi dan pertumbuhan tahun ini. Namun, perlambatan ekonomi Eropa kemungkinan akan jauh lebih ringan dari yang dikhawatirkan sebelumnya karena cuaca yang baik telah membantu kawasan tersebut menekan kebutuhan energi, setelah Rusia memutus ekspor gas ke Uni Eropa pada tahun 2022.
Yang terakhir, pembukaan kembali ekonomi China dari pandemi setelah tiga tahun terisolasi secara global. Kami memperkirakan dengan berakhirnya kebijakan Zero-Covid secara signifikan akan meningkatkan prospek China untuk tahun 2023.
Secara signifikan, kami memperkirakan The Fed dan ECB masih akan agresif di paruh pertama tahun 2023, dengan tujuan untuk mengembalikan inflasi ke target 2 persen mereka. Dengan demikian, kami memproyeksikan The Fed dan ECB akan terus menaikkan suku bunga hingga setidaknya musim panas ini.
Terlepas dari laju kenaikan suku bunga Fed yang lebih lambat, kami memperkirakan bank sentral akan melakukan setidaknya dua kenaikan suku bunga 25 bps lagi pada bulan Maret dan Mei, membuat suku bunga The Fed ke level 5.00-5.25 persen.
Secara singkat, kebijakan moneter The Fed akan terus menekan inflasi AS dalam beberapa kuartal ke depan dan memastikan inflasi dapat kembali ke target 2 persen pada pertengahan dekade ini. Hal tersebut kemungkinan akan menjaga imbal hasil 10Y US Treasury lebih tinggi dari tahun lalu di sekitar 3.50 persen untuk tahun 2023.
Sebaliknya, pasar keuangan mengantisipasi kedua bank sentral akan mulai memangkas suku bunga sebelum akhir 2023 karena perlambatan pertumbuhan dan risiko resesi meningkat. Bagaimana pun, kami cenderung lebih negatif pada beberapa prospek: kami memperkirakan AS dan Zona Euro akan menghadapi resesi atau pertumbuhan stagnan di tahun ini, sementara para pembuat kebijakan tidak dapat memangkas suku bunga untuk mendukung ekonomi mereka karena inflasi kemungkinan masih akan berada di atas target Fed dan ECB 2 persen pada tahun 2023.
Sedikit berhati-hati
Meskipun awal yang cerah untuk pasar global pada Januari 2023, kami menyarankan sedikit berhati-hati di pasar. – Eli Lee
Pasar berbalik menguat di bulan Januari, dengan kinerja yang lebih baik didorong oleh Asia selain Jepang, khususnya pasar China dan Hong Kong.
Karena tekanan inflasi sedikit mereda akhir-akhir ini, hal ini telah memperbaiki sentimen. Namun, kami yakin pasar tidak sepenuhnya mengantisipasi potensi pertumbuhan pendapatan negatif yang akan datang, yang akan lebih tercermin di musim laporan keuangan mendatang.
AS – Pasar terlalu optimis
Musim pelaporan keuangan AS saat ini sedang berlangsung. Secara umum, kami mengamati bahwa konsumsi secara keseluruhan masih bertahan, tetapi sinyal pelemahan mulai terlihat. Secara year-to-date, Indeks S&P 500 telah menunjukkan kinerja yang kuat. Kami pikir ini disebabkan karena meningkatnya ekspektasi bahwa ekonomi akan mengalami perlambatan yang lebih moderat, dan Federal Reserve (The Fed) akan menurunkan suku bunga pada paruh kedua tahun ini. Kami percaya ini terlalu optimis, mengingat pasar tenaga kerja yang ketat dan pertumbuhan upah yang konsisten. Kami memperkirakan akan terjadi volatilitas yang rendah di semester satu, diikuti oleh pemulihan yang lebih berkelanjutan di semester dua di 2023.
Eropa – Berita yang lebih baik untuk memulai tahun ini
Harga gas alam Eropa telah turun drastis, dibantu oleh (i) musim dingin yang lebih ringan, (ii) permintaan gas yang lebih rendah, dan (iii) meningkatnya impor gas alam cair (LNG) sehingga persediaan melimpah.
Kami telah merevisi perkiraan PDB Zona Euro 2023 dari -0.8 persen menjadi -0.1 persen, didorong oleh rilisan data ekonomi dibandingkan ekspektasi serta pembukaan kembali ekonomi China. Namun, risiko pelemahan ekonomi masih cukup tinggi ke depannya, dengan adanya potensi kebijakan yang jauh lebih ketat dari bank sentral Eropa.
Jepang – Meningkatnya harapan untuk perubahan kebijakan lebih lanjut
Sentimen investor di Jepang masih dipengaruhi oleh meningkatnya ekspektasi untuk perubahan kebijakan lebih lanjut dari Bank of Japan (BoJ), termasuk penghapusan batas atas imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun, menyusul penyesuaian kurva imbal hasil (YCC) yang mengejutkan pada 20 Desember 2022 dan pelantikan gubernur baru mulai April 2023.
Asia Ex- Jepang – Didukung oleh pembukaan kembali China yang lebih cepat dari perkiraan
Indeks MSCI Asia ex-Japan, mengawali tahun 2023 dengan kinerja yang memuaskan, mengungguli pasar utama lainnya disebabkan karena pembukaan kembali China yang lebih cepat dari perkiraan. Selain pasar China dan Hong Kong, kinerja pasar saham Korea dan Taiwan juga meriah, didukung oleh aliran masuk investor asing yang kuat.
China – Tetap konstruktif
Pada bulan Januari, Indeks Hang Seng (HSI), Indeks MSCI China dan Indeks CSI 300 menunjukkan kinerja yang kuat. Sementara penguatan tajam di pasar saham Hong Kong dan China sejak November-22 dapat mendorong aksi profit taking dan konsolidasi pasar dalam waktu dekat. Kami tetap konstruktif di pasar saham China dan memperkirakan saham A-shares untuk menyusul kenaikan.
Pandangan secara Sektoral
Tahun lalu kami mengadopsi sikap defensif dalam menghadapi volatilitas pasar, tetapi mengawali tahun 2023, kami telah memilih profil yang lebih seimbang dengan menaikkan bobot pada sektor konsumsi kebutuhan sekunder, bahan dasar (material), dan menaikan pandangan netral terhadap sektor industrial.
Kami berharap bahwa perusahaan yang terkena dampak pembukaan kembali China akan terus didukung oleh momentum positif, termasuk perusahaan yang berkaitan dengan bidang perhotelan, pariwisata, dan konsumsi.
Sementara itu, untuk sektor teknologi, kami menyukai perusahan internet China, perusahaan semikonduktor global, perangkat lunak AS, dan internet AS. Pandangan ini didasarkan pada estimasi di mana menurut kami sub-sektor tersebut berada dalam siklus pasar sekarang, dan proyeksi pertumbuhan ke depannya.
Overweight pada obligasi layak investasi negara maju
Kami mempertahankan pandangan overweight untuk obligasi layak investasi negara maju seiring dengan meningkatnya potensi terjadinya resesi, terutama di negara maju di paruh kedua tahun ini. – Vasu Menon.
Dalam tiga bulan terakhir, imbal hasil pendapatan tetap menurun cukup signifikan. Obligasi korporasi negara berkembang (emerging markets high yield) memimpin dengan penurunan imbal hasil sebanyak 300 bps, sementara obligasi layak investasi negara berkembang turun 70 bps. Di pasar obligasi negara maju, obligasi korporasi turun 44 bps dan IG sebesar 20 bps.
Netral pada obligasi korporasi negara berkembang
Pandangan dari pasar obligasi negara berkembang sudah membaik dibandingkan tahun 2022. Pembukaan kembali ekonomi China berhasil menjadi katalis positif bagi pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, dampak lanjutan terhadap ekonomi global pun akan terasa, dari kenaikan permintaan untuk energi dan komoditas di Afrika dan Amerika Latin hingga peningkatan pariwisata di Asia Tenggara.
Overweight pada obligasi layak investasi negara maju dan underweight obligasi korporasi negara maju
Kami masih mempertahankan pandangan overweight terhadap obligasi layak investasi negara maju (developed market investment grade). Dengan durasi terpanjang dalam kategori obligasi global, kelas aset ini akan menjadi tujuan utama investor saat terjadi resesi dan berpotensi menjadi yang paling diuntungkan apabila The Fed mulai memangkas suku bunga di semester kedua tahun ini. Kami mempertahankan pandangan underweight kami terhadap obligasi korporasi negara maju.
Performa Asia yang Baik
Di luar skandal Adani, pasar obligasi di Asia cukup didukung oleh pembukaan kembali ekonomi China. Kinerja yang baik berlanjut sepanjang bulan Januari 2023, didorong oleh obligasi korporasi (high yield) sektor properti China.
Melihat ke depan, proyeksi sektor properti masih belum menentu. Dari sisi yang lebih positif, beberapa perubahan kebijakan dan pelonggaran yang dilakukan telah mengurangi risiko penurunan lebih lanjut dari sektor tersebut, yang memperbaiki fundamental dan valuasi sektor.
Overweight Asia
Kami overweight obligasi korporasi di negara berkembang (Emerging Markets High Yield) Asia, terutama akibat pembukaan ekonomi China. Namun, setelah reli belakangan yang cukup ekstrim bagi obligasi sektor properti China, kami memilih overweight terhadap beberapa nama–nama besar di Indonesia dan India.
Kami juga overweight di obligasi layak investasi di negara berkembang (Emerging Markets Investment Grade) di Asia, dengan implementasi strategi barbel yang berisikan obligasi “AA” dari Korea dan beberapa “BBB” dari Indonesia dan India.
Emas Turun Sementara
Data pekerjaan AS yang kuat adalah hambatan jangka pendek untuk harga emas. Namun, kami melihat proyeksi jangka menengah emas akan cukup baik, didukung oleh penghentian siklus kenaikan suku bunga Fed di semester kedua, risiko resesi yang meningkat, pelemahan Dolar AS lebih lanjut, dan akumulasi emas oleh bank sentral dunia. – Vasu Menon
Emas
Emas menguat tajam di awal tahun, namun segera melemah bersamaan dengan pelemahan Dolar AS. Kami menilai pergerakan emas akan banyak dipengaruhi oleh rilisan data ekonomi AS. Data ketenagakerjaan dirilis menguat, di tengah kenaikan suku bunga yang agresif, mendorong Fed untuk tetap agresif dan menunda suku bunga ke depannya, setidaknya hingga inflasi mencapai kisaran target. Faktor-faktor ini menjadi penghambat untuk pergerakan emas dalam jangka pendek.
Kami mempertahankan target harga emas untuk 6-12 bulan di US$ 1,970/oz dalam jangka menengah dengan alasan berikut:
Minyak
Perlambatan signifikan dalam aktivitas manufaktur global yang didorong oleh kenaikan suku bunga bank sentral untuk melawan inflasi, mengakibatkan penurunan harga minyak di semester kedua di 2022. Namun, pasar minyak diperkirakan akan mengalami kenaikan seiring dengan adanya permintaan yang datang dari pembukaan ekonomi China. Pemulihan ekonomi China telah mendorong kenaikan harga akhir-akhir ini, dan masih berlanjut terutama dengan adanya kenaikan permintaan di sektor penerbangan sipil. Kami merevisi estimasi harga minyak Brent untuk kontrak berjangka 12 bulan ke US$ 90 per barel, dari sebelumnya di US$85 per barel, dengan potensi ekonomi global terhindar dari krisis seiring dengan pembukaan ekonomi China yang lebih cepat, serta terhindarnya Eropa dari krisis energi.
Currency
Jika indeks Dolar AS (DXY) telah melemah cukup signifikan dalam beberapa bulan terakhir, kini muncul tanda-tanda Dolar AS berbalik arah, setelah berada di posisi terendah selama hampir 10 bulan. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan ekspektasi dari bank sentral AS menjadi lebih agresif setelah laporan ketenagakerjaan AS dan aktivitas sektor jasa yang kuat pada bulan Januari. Hal ini sesuai pandangan kami bahwa penurunan Dolar AS tidak akan terjadi secara garis lurus. Akan tetap terjadi naik-turun sepanjang jalan, karena posisi Dolar AS yang masih diuntungkan dari imbal hasil dan bagaimanapun Fed masih menaikkan suku bunga (walaupun dengan laju yang lebih lambat). Pergerakan mata uang akan banyak bergantung arah rilisan data inflasi AS dalam beberapa bulan ke depan. Jika tren perlambatan laju kenaikan inflasi AS (disinflasi) mulai mereda sementara, maka akan mendorong adanya sentimen negatif di pasar dan Dolar AS berpotensi menguat. Akan tetapi, jika disinflasi ini terus berlanjut, dan rilisan data inflasi lebih rendah dibandingkan ekspektasi, maka Dolar AS dapat kembali melemah.
Selanjutnya, kami terus menekankan bahwa rilisan data ekonomi AS akan semakin menjadi penentu arah pergerakan Dolar AS, terutama saat kenaikan suku bunga mulai terbatas. Namun, di luar kenaikan Dolar AS akhir-akhir ini, kami mempertahankan pandangan bahwa kenaikan Dolar AS akan cukup terbatas seiring melambatnya laju kenaikan suku bunga Fed. Tren disinflasi dan sinyal dari aktivitas ekonomi yang melambat, mendorong Fed untuk memperlambat laju kenaikan suku bunga dengan potensi jeda di semester kedua 2023. Sehingga, kami melihat adanya pergerakan Dolar AS yang lebih moderat dengan kecenderungan melemah ke depannya.
Tahun 2022 memang merupakan tahun yang sulit bagi perekonomian global dan juga pasar modal nya. The Fed sendiri telah menaikkan suku bunga acuan secara agresif, naik dari rentang 0.00% - 0.25% ke 3.75% - 4.00% hanya dalam 9 bulan. Perang antara Rusia dan Ukraina masih terus berlanjut, memicu kenaikan inflasi yang terutama didorong oleh lonjakan harga energi. Terlebih lagi, China masih mempertahankan kebijakan Zero-Covid nya dan hanya berhasil mencatatkan pertumbuhan di kisaran 3% tahun ini, jauh dibawah target awal pemerintah 5%. Positifnya, di akhir tahun ini China dikabarkan akan memulai pelonggaran kebijakan Zero-Covid akibat banyaknya aksi unjuk rasa masyarakat.
Dari segi inflasi, penurunan terjadi pada November di AS, turun dari 8.2% ke 7.7% secara tahunan dan diperkirakan masih akan bergerak turun memasuki tahun 2023. Para ekonom dan investor global kini melihat potensi berhenti nya siklus kenaikan suku bunga oleh The Fed pada kuartal pertama 2023 apabila data ekonomi mendukung. Di Eropa, tensi geopolitik masih jauh dari titik damai dan krisis energi yang masih terjadi masih merupakan salah satu kekhawatiran investor. Inflasi sendiri bagi Zona Eropa dan Inggris masih berada diatas batas level 10%. Di sisi lain, harga minyak mentah WTI mencatatkan penurunan yang signifikan bulan lalu, dari kisaran USD$90/b ke USD$80/b, dan diawal bulan Desember ini berada di kisaran USD$70/b.
Di Indonesia, terjadi lonjakan kasus harian COVID-19 di awal bulan November akibat varian baru XBB. Namun, di awal bulan Desember terlihat sudah cukup terjaga sehingga potensi penerapan pembatasan sosial seperti PPKM pun seharusnya tidak terjadi. Secara fundamental, inflasi kembali bergerak turun bulan lalu dari 5.71% ke 5.42% seiring dengan inflasi inti. Dengan suku bunga Bank Indonesia saat ini berada di 5.25%, konsumsi pun terlihat cukup terjaga. Akan tetapi, data PMI Manufaktur yang dirilis bulan lalu mencatatkan penurunan dari 51.8 ke 50.3. Selain itu, indeks keyakinan konsumen (IKK) juga turun dari 120.3 ke 119.1
Tinggi nya harga komoditas berhasil memberikan imunitas bagi Indonesia terhadap probabilitas terjadi nya resesi tahun ini. Namun, potensi penguatan USD dan kenaikan impor seiring dengan meningkatnya permintaan domestik; kedua hal tersebut dapat membebani pertumbuhan ekonomi in kuartal pertama 2023. Di lain sisi, mengingat fokus tahun depan akan tertuju pada politik memasuki pemilu 2024, ekonomi dapat mendapatkan support dari meningkatnya konsumsi seperti yang terjadi di kesempatan – kesempatan sebelumnya.
Di bulan November, indeks IHSG cenderung bergerak kesamping, hanya mencatatkan penurunan tipis sebesar 0.23%. Pasar saham tidak berhasil bergerak menguat akibat beberapa hal, namun terutama akibat faktor - faktor eksternal seperti potensi resesi global hingga tensi geopolitik.
Di awal bulan Desember, pasar saham dibebani oleh penurunan sektor teknologi yang terutama diakibatkan oleh saham GoTo. Merger antara perusahaan Gojek dan Tokopedia merupakan salah satu aksi korporasi yang paling menarik perhatian di awal tahun ini, namun setelah berakhirnya periode lockup bagi para investor awal, terlihat aksi jual yang sangat masif terhadap saham tersebut. Ditambah lagi, hasil laporan keuangan korporasi untuk kuartal tiga lalu menunjukkan bahwa kerugian perusahaan meningkat sebesar 75.5% secara tahunan, semakin meningkatkan pesimisme investor. Walaupun volatilitas masih akan tinggi bagi pasar saham, kami melihat masih ada nya potensi Window Dressing secara terbatas di penghujung tahun 2022, dengan IHSG diperkirakan dapat menutup tahun di rentang 6,800 – 7,100.
Di pasar obligasi, imbal hasil acuan 10 - tahun mencatatkan penurunan bulanan terbesarnya di kisaran 8%, sehingga menutup bulan November di level 6.94%. Penurunan hampir 50 basis poin tersebut ditopang oleh optimisme investor, pelemahan dolar AS, dan juga kebijakan moneter Bank Indonesia yang direspon dengan baik oleh pasar. Bank Indonesia telah menyatakan bahwa siklus kenaikan suku bunga akan bersifat front-loaded, dan hal ini terbukti dari kembali naiknya suku bunga acuan 7-day reverse repo rate sebesar 50 basis poin pada pertemuan bulan lalu. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa kenaikan suku bunga acuan diawal merupakan langkah yang diharuskan untuk mengendalikan inflasi, dan secara praktek pun terlihat efektif. Kenaikan suku bunga juga telah berhasil memberikan dukungan bagi Rupiah terhadap dolar AS bulan lalu.
Kedepan, imbal hasil masih berpotensi untuk melanjutkan kenaikan. Maka dari itu, investor masih harus tetap selektif dan berhati-hati saat memilih investasi aset pendapatan tetap di akhir tahun ini.
Mata uang USDIDR bergerak cukup sideways sepanjang bulan November, mencatatkan sedikit kenaikan dari kisaran 15,600/USD ke 15,730/USD. Kenaikan suku bunga acuan sebesar 0.5% oleh Bank Indonesia tidak berhasil menjadi katalis penguat Rupiah terhadap dolar AS. Mata uang domestik masih diprediksi akan cukup tertekan memasuki tahun 2023, seiring dengan The Fed yang masih akan menaikkan suku bunga acuan di AS. Apabila The Fed dapat berubah lebih dovish di awal tahun depan, maka tekanan bagi Rupiah sendiri akan lebih berkurang.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Tantangan yang berkurang
Semester pertama di tahun 2023 kemungkinan masih menantang karena Eropa yang mengalami penurunan dan AS yang menghadapi resesi. Namun, seiring dengan berjalannya tahun 2023, bank sentral kemungkinan akan menghentikan kenaikan suku bunga dan Beijing akan memperlonggar kebijakan mengenai COVID-19. – Eli Lee
Prospek ekonomi sangat menantang di tahun 2022. Risiko penurunan yang berkepanjangan di Eropa, perang di Ukraina dan ancaman resesi ringan di AS merupakan faktor-fakor yang akan diperhatikan investor di tahun yang baru. Namun di 2023, prospek ekonomi seharusnya akan lebih menguntungkan seiring dengan 2 kunci perubahan utama.
Kami memperkirakan inflasi PCE inti akan berada di bawah 5% di akhir tahun 2022, sebelum turun lebih jauh menjadi sekitar 3.0-3.5% pada akhir tahun 2023 dan dibawah 2.5% pada akhir tahun 2024. Disinflasi yang lambat ini kemungkinan akan membuat The Fed untuk menyelesaikan kenaikan suku bunga pada awal tahun depan. Menyusul kenaikan suku bunga 75 bps pada empat pertemuan terakhirnya, kami memperkirakan The Fed akan memperlambat kenaikan suku bunga menjadi 50 bps pada bulan Desember dan Februari, sebelum mengakhiri siklus pengetatan saat ini, dengan suku bunga The Fed memuncak pada level 4.75-5.00%.
Tetapi akhir dari kenaikan suku bunga agresif The Fed akan sangat penting bagi pasar keuangan. Dalam tabel perkiraan kami, kami mengantisipasi imbal hasil 10Y US Treasury akan memuncak sekitar 4% dan turun menjadi 3.50% selama tahun 2023.
Demikian pula, kami memperkirakan Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank Sentral Inggris (BoE) juga akan menyelesaikan kenaikan suku bunga di awal tahun depan masing-masing sebesar 2.25% dan 4.00%. Meskipun inflasi jauh di atas target 2% masing-masing bank sentral, para pejabat kemungkinan akan memperkirakan tekanan inflasi akan turun karena Zona Euro dan Inggris menghadapi resesi berkepanjangan selama tahun 2023.
Dengan kondisi pelonggaran People's Bank of China (PBoC) untuk mendukung pertumbuhan di China dan Bank of Japan (BoJ) di bawah Gubernur Kuroda memperkirakan inflasi hanya bersifat sementara di Jepang, oleh karena itu bank sentral utama akan berhenti memperketat kebijakan moneter pada paruh pertama tahun 2023.
Kami memperkirakan pihak berwenang akan bergerak secara signifikan untuk melonggarkan kebijakan Zero-Covid China sejalan dengan seluruh dunia pada tahun 2023. Tetapi pada musim semi 2023, Beijing akan mulai melonggarkan penguncian ketat untuk mendukung pertumbuhan yang lebih kuat.
Dengan demikian, kami memperkirakan pertumbuhan PDB China akan tetap rendah di 3.0% pada tahun 2022 setelah rebound 8.1% yang kuat tahun lalu dari pandemi. Namun pada tahun 2023, kami memproyeksikan tingkat pertumbuhan PDB yang lebih kuat sebesar 4.5%.
Selama tahun depan, kami memperkirakan imbal hasil US Treasury yang lebih stabil karena bank sentral menyelesaikan kenaikan suku bunga dan pertumbuhan yang lebih kuat di China untuk memberikan peluang baru bagi investor.
Walaupun risiko resesi akan meningkat tahun depan, puncak imbal hasil obligasi pemerintah global akan memungkinkan US Treasury dan obligasi negara maju Investment Grade untuk bertindak sebagai safe haven hedges terhadap pertumbuhan global yang lemah.
Selain itu, kemungkinan pergeseran dari sikap Zero-Covid China yang ketat akan membantu meredam pertumbuhan di Asia termasuk Jepang dari penurunan berkepanjangan Eropa pada tahun 2023 dan kemungkinan resesi AS yang ringan - untuk keuntungan aset berisiko di kawasan tersebut.
Source: Bank of Singapore
2023: Tahun yang akan terbagi
2023 siap untuk menjadi tahun dua bagian dengan saham global yang akan mengalami proses bottoming yang fluktuatif di semester awal sebelum terjadi pemulihan di semester kedua. Kami yakin pasar saham global cenderung menunjukkan pembalikan arah yang positif secara tahunan pada akhir 2023. – Eli Lee
Menjelang tahun 2023, prospek saham global akan tetap sangat berfluktuatif dengan ketidakpastian yang tinggi, disebbabkan oleh inflasi yang tinggi, pandangan bank sentral yang hawkish, dan potensi resesi AS.
Kami melihat tahun 2023 menjadi tahun dua bagian dan memperkirakan saham global akan secara luas mengalami proses bottoming yang fluktuatif di 1H23, sebelum terjadi pemulihan di 2H23 dengan sebagian besar kenaikan positif secara tahunan.
View terhadap sektoral
Kami telah mengadopsi sikap defensif dalam menghadapi volatilitas pasar, tetapi melihat ke depan pada tahun 2023, kami mencari profil yang sedikit lebih seimbang dan meningkatkan Diskresi Konsumen, Material, dan Industri dari underweight menjadi netral.
Lembaran baru
Kami mengatisipasi ada nya potensi penguatan pasar obligasi global di tahun 2023, sehingga kami meningkatkan seluruh proyeksi pertumbuhan kredit terkecuali bagi obligasi negara maju High Yield. Obligasi negara maju Investment Grade masih menjadi pilihan utama kami dengan pandangan overweight saat ini. – Vasu Menon
Kami menganggap rilisan data inflasi AS yang terakhir dapat menjadi titik yang monumental bagi pasar obligasi. Walaupun data inflasi yang dirilis lebih rendah dari ekspektasi tidak akan mengubah sikap hawkish The Fed sepenuhnya, namun laju kenaikan suku bunga seharusnya akan lebih moderat oleh bank sentral; dari sebelumnya 75bps ke 50bps di bulan Desember. Lebih penting lagi, fokus pasar dapat berubah dari tinggi nya inflasi ke pertumbuhan ekonomi, dengan antisipasi kenaikan suku bunga terakhir oleh The Fed di bulan Februari 2023 dan reli penguatan US Treasury menjelang akhir tahun. Dalam situasi seperti ini, kami melihat potensi penguatan menyeluruh bagi pasar obligasi di tahun 2023, sehingga meningkatkan seluruh proyeksi pasar kredit terkecuali bagi obligasi negara maju (DM) High Yileld (HY). Kami menilai obligasi DM Investment Grade (IG) dengan durasi terpanjang saat ini masih berada dalam posisi yang baik, sehingga menjadi pilihan utama kami dengan peningkatan ke overweight.
Pelebaran spread yang signifikan tahun ini
Walaupun reli obligasi korporasi belakangan ini cukup tinggi, melebarnya spread di tahun 2022 yang signifikan sangat berdampak terhadap obligasi negara berkembang (EM). Obligasi EM HY melebar hampir 200bps sejak awal tahun sementara EM IG sebesar 56bps. Di sisi lain, obligasi DM HY melebar 105bps sementara IG hanya sebesar 38bps.
Naik ke netral untuk obligasi korporasi EM
Potensi performa bagi kredit EM untuk beberapa tahun kedepan terlihat cukup cerah akibat beberapa hal seperti: 1) Indikasi – indiasi pembukaan ekonomi China lewat pelonggaran kebijakan Zero-Covid dan pemulihan sektor properti China; 2) menurunnya tensi geopolitik global; 3) pelemahan mata uang USD (seiring dengan suku bunga).
Naik ke overweight untuk obligasi DM IG, namun masih underweight untuk DM HY
Kami meningkatkan rekomendasi kami untuk obligasi DM IG ke overweight. Dengan durasi terpanjang diantara kategori obligasi lainnya, kelas aset ini akan mendapatkan keuntungan paling signifikan disaat siklus pemangkasan suku bunga dimulai oleh para bank sentral.
Netral di obligasi Asia HY dan IG
Kami netral di obligasi Asia HY. Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya potensi resesi global akibat kenaikan suku bunga yang terlalu cepat, kami cenderung lebih menyukai sektor-sektor defensive di pasar seperti energi terbarukan, pangan dan agrikultur, telekomunikasi, dan utilitas yang memang akan lebih tahan dalam kondisi seperti ini akibat aliran kas perusahaan yang lebih stabil.
Emas kembali bersinar
Emas mungkin menghadapi tantangan dalam beberapa bulan ke depan karena The Fed memperketat kebijakan memasuki Q1 2023. Tetapi rebound menuju US$1.850/oz dalam 6-12 bulan berpotensi terjadi jika Fed berhenti pada pertengahan 2023 menyebabkan imbal hasil US Treasury turun lebih rendah dan mengambil penguatan Dolar AS. - Vasu Menon
Emas
Tahun 2022 merupakan tahun yang berat untuk emas seiring dengan hawkish nya The Fed yang telah mendorong kenaikan imbal hasil US Treasury dan Dolar AS (USD). Namun, potensi kenaikan emas mulai terlihat seiring dengan ekspektasi perlambatan kenaikan suku bunga The Fed di tahun 2023, bahkan Ketika Bitcoin tetap berada dibawah tekanan ditengah krisis crypto.
Kami tidak dapat mengesampingkan kenaikan untuk emas dalam beberapa bulan ke depan dengan Fed masih diperkirakan akan mengetatkan kebijakan moneter pada Q1 2023. Tetapi harga untuk emas dapat terlihat pada tahun 2023. Kami melihat harga emas akan rebound menuju USD1.850/ons dalam waktu 6-12 bulan karena Fed menahan kenaikan pada pertengahan 2023 dan imbal hasil US Treasury mulai turun lebih rendah, mengambil pelemahan dari USD. Fakta bahwa emas telah menanggapi harapan palsu kebijakan moneter akhir-akhir ini, meyakinkan kami bahwa emas akan bereaksi sebelum The Fed memberi sinyal kuat untuk mulai keluar dari arah pembatasan.
Minyak
Harga minyak turun secara bertahap setelah mencapai puncaknya di bulan Juni. Kekhawatiran atas permintaan yang lebih lemah menjadi latar belakang harga minyak yang lebih rendah. Pertama, bank sentral utama telah memperketat kebijakan moneter untuk melawan inflasi. Meningkatnya risiko resesi membebani harga minyak. Kedua, kebangkitan COVID-19 di China telah mengganggu mobilitas.
Banyak kota kembali memperketat kebijakan COVID-19. Perkiraan kami adalah penurunan harga minyak selama satu hingga dua kuartal berikutnya. Namun kami mempertahankan perkiraan minyak Brent 12 bulan stabil di US$ 85/barel. Harga minyak dapat menguat kembali pada paruh kedua tahun 2023 karena China membuka kembali atau jika krisis energi Eropa semakin meningkat dengan latar belakang musim dingin yang lebih dingin. Kondisi pasokan yang ketat juga akan membatasi risiko penurunan harga minyak. Kami melihat kebijakan bias OPEC sangat dipengaruhi pada disiplin produksi.
Currency
Pada satu titik di bulan September tahun ini, Indeks Dolar AS (USD) naik sebanyak 20%. Daya pikat suku bunga dan imbal hasil US Treasury yang lebih tinggi, serta permintaan safe-haven, merupakan faktor utama yang menopang kekuatan USD.
Namun, kenaikan tampaknya telah berbalik. Perdagangan USD yang telah menjadi perdagangan konsensus pada tahun 2022 terlihat tidak semudah dengan pembelian USD yang terburu-buru untuk keluar. Kami mengaitkan perubahan signifikan yang lebih rendah (sekitar 6% dari puncaknya di bulan November) terhadap dua pendorong utama: (1) laporan Inflasi Harga Konsumen (CPI) AS Oktober yang lebih lemah dari yang diharapkan dirilis pada awal November dan (2) risalah dovish dari Pertemuan kebijakan Fed (FOMC) pada bulan November.
Data ekonomi yang lebih lemah dari perkiraan juga telah menyebabkan ekspektasi untuk langkah penurunan laju kenaikan suku bunga Fed pada Desember 2022 atau bahkan Februari 2023 dan ini memberikan ruang bagi USD untuk bergerak lebih rendah. Meskipun demikian, kami tetap berhati-hati karena kalibrasi kebijakan tidak berarti bahwa Fed selesai dengan pengetatan. Tarif masih dinaikkan dan semakin tinggi, meskipun pada kecepatan yang berpotensi lebih lambat. Oleh karena itu, profil USD sedang hingga lebih lemah dari pada kemungkinan penurunan besar-besaran dalam USD.
Testing Time
Menjelang akhir tahun sejumlah kekhawatiran masih membayangi pergerakan pasar modal, seperti sentimen negatif yang datang dari potensi resesi serta siklus kenaikan suku bunga yang lebih agresif akibat dari inflasi yang bertahan tinggi. Sebagai akibatnya, Dolar AS terus menguat sehingga mengakibatkan kinerja beberapa kelas aset melemah di bulan Oktober. Akan tetapi, berita yang cukup melegakan datang dari AS di minggu kedua bulan November. Inflasi AS bulan Oktober mencatatkan penurunan ke 7.7% y-o-y, dibandingkan bulan sebelumnya di 8.2% y-o-y. Tak hanya itu, data PDB AS kuartal III juga dirilis cukup menggembirakan dengan kenaikan 2.6%, setelah mengalami kontraksi negatif di dua kuartal sebelumnya. Kenaikan suku bunga Fed yang cukup agresif mulai terlihat efektif untuk mengontrol laju inflasi tanpa mendorong ekonomi AS masuk ke jurang resesi lebih dalam.
Sementara itu, era kenaikan suku bunga masih berlanjut pada negara-negara maju lainnya, seperti Eropa dan Inggris. Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank Sentral Inggris (BoE) telah mengetatkan kebijakan moneternya sebesar 75 basis poin pada pertemuan kebijakan moneter terakhir, sejalan dengan The Fed. Inflasi pada kedua negara tersebut masih tinggi seiring dengan tagihan energi dan harga pangan yang melonjak. Risiko stagflasi hingga resesi masih mengancam Eropa dan Inggris, ditambah lagi dengan beberapa indikator yang menunjukkan bahwa perekonomian akan mengalami kontraksi hingga 2024 mendatang.
Memasuki kawasan Asia, tantangan ekonomi akibat Zero Covid Policy masih terjadi di China seiring dengan kenaikan jumlah kasus harian Covid-19. Sektor perdagangan China pun masih lemah, terlihat dari turunnya nilai ekspor, perlambatan dari sisi domestik, serta ancaman resesi global yang menghantam perdagangan internasional. Akan tetapi menjelang akhir tahun, pemerintah China terlihat mulai menunjukkan sinyal yang melunak terkait aturan karantina dan larangan penerbangan.
Beralih ke dalam negeri, berita baik datang dari ekonomi nasional, yang berhasil tumbuh pada kuartal III – 2022 sebesar 5.72% YoY, lebih tinggi jika dibandingkan dengan level sebelum pandemi COVID-19 di 2020. Di saat negara-negara jatuh masuk ke dalam resesi, pemulihan ekonomi yang berlanjut di Indonesia menjadi hal yang positif. Data ekonomi lain juga menunjukkan bahwa fundamental Indonesia masih solid.
Manufaktur Indonesia masih berada di zona ekspansi, walapun lebih rendah dari bulan September lalu. Level ini masih sangat baik ditengah menurunnya permintaan karena adanya pelemahan pada negara-negara maju. Secara tahunan (YoY), inflasi melandai ke 5.71% untuk periode Oktober 2022. Inflasi Indonesia cukup stabil dan sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia dan Pemerintah. Sementara cadangan devisa periode Oktober masih tetap tinggi sebesar USD 130.20 Miliar, dan masih tetap memadai seiring dengan stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga.
Equity
Di bulan Oktober, IHSG mencatatkan penguatan +0.83% ke level 7,098.89. Fundamental Indonesia yang masih solid menjadi katalis positif ditengah berbagai sentimen negatif global. Dari sisi laporan pendapatan perusahaan, mayoritas emiten melaporkan kinerja diatas ekspektasi untuk kuartal III – 2022. Tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara konsisten diharapkan menjadi daya tarik bagi investor untuk masuk ke pasar saham Indonesia ditengah ketidakpastian yang masih berlanjut. IHSG diperkirakan berada di rentang 7,200-7,500 hingga penutupan tahun 2022.
Bond
Di pasar obligasi, imbal hasil benchmark 10 tahun naik ke kisaran 7.537% di bulan Oktober, menandakan adanya pelemahan dari sisi harga. Pelemahan terjadi ditengah agresivitas The Fed dalam menaikkan fed funds rate, dan juga Bank Indonesia (BI) yang kembali menaikkan BI 7 days Reverse Repo Rate menjadi 4.75%. Ke depannya, supply yang lebih terbatas serta adanya kebijakan operation twist dari Bank Indonesia, diharapkan dapat meredam kenaikan imbal hasil obligasi seiring dengan berlanjutnya kenaikan suku bunga.
Rupiah
Dari sisi mata uang, Rupiah masih tertekan terhadap Dolar AS sebesar 2.44% ke level 15,598 /USD di akhir bulan Oktober lalu. Tren pelemahan sudah terjadi selama 3 bulan beruntun. Agresifnya The Fed membuat Indeks Dollar (DXY) terlihat kuat di level 111.52. Ke depan, cadangan devisa yang masih memadai serta naiknya suku bunga Bank Indonesia diharapkan dapat memperkuat stabilitas nilai tukar agar sejalan dengan nilai fundamental ditengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
GLOBAL OUTLOOK
Testing times
Menjelang akhir tahun 2022, prospek ekonomi masih akan menantang seiring dengan risiko dari inflasi, resesi, pandemi, dan juga kenaikan suku bunga lanjutan, dimana semua hal tersebut memberikan ketidakpastian bagi investor. - Eli Lee
The Federal Reserve (Fed) telah menaikkan suku bunga secara agresif sebesar 75 basis poin (bps) pada setiap pertemuan untuk mengekang inflasi. Perekonomian China masih tertahan seiring dengan sikap Pemerintah yang tegas terhadap kebijakan nol Covid. Zona Eropa dan Inggris sama-sama mendekati resesi karena guncangan energi yang disebabkan oleh perang Rusia di Ukraina, dan mata uang Jepang telah jatuh ke level terlemah sejak 1990. Oleh karena itu, investor harus tetap berhati-hati dalam waktu dekat, karena prospek ekonomi masih diuji oleh inflasi, resesi, dan risiko kenaikan suku bunga bank sentral lebih lanjut.
Kami memperkirakan The Fed akan terus menaikkan suku bunga hingga fed funds rate mencapai 4.75-5.00% pada awal 2023 untuk membantu menurunkan inflasi. Kenaikan suku bunga The Fed yang cepat telah mendorong imbal hasil US Treasury ke level tertinggi sejak krisis keuangan global 2008. Dalam waktu dekat, imbal hasil acuan 10Y mungkin tetap di sekitar 4.00%.
Risiko kedua terhadap prospek berasal dari ketidakpastian akan kebijakan nol covid di China yang ketat. Tantangan utama terhadap prospek investasi adalah kurangnya sinyal bahwa pendekatan ketat pemerintah terhadap Covid akan segera dilonggarkan. Tekanan lainnya berasal dari properti. Investasi properti China tetap lemah, turun 8.0% YoY. Tahun ini kami memperkirakan pertumbuhan PDB China secara keseluruhan akan tetap rendah sebesar 3.0% pada tahun 2022 setelah rebound sebesar 8.1% tahun lalu dari pandemi.
Risiko besar ketiga adalah ekonomi Eropa berpotensi jatuh ke dalam resesi sebelum akhir 2022. Ekonomi Eropa telah secara signifikan dipengaruhi oleh guncangan harga energi yang disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Bank Sentral Eropa (ECB) yang terus memperketat kebijakan moneter mendorong perekonomian masuk ke dalam resesi. Kami memperkirakan ECB hanya akan dapat menaikkan suku bunga lebih lanjut sebesar 50 bps pada bulan Desember, dan 25 bps pada bulan Februari sebelum resesi memaksa untuk berhenti dengan suku bunga deposito hanya 2.25%.
Demikian pula, kami memperkirakan BoE hanya mungkin menaikkan suku bunga bank sebesar 50 bps pada bulan Desember dan sekali lagi pada bulan Februari sebelum resesi di Inggris juga memaksanya untuk berhenti, dengan suku bunga banknya memuncak pada 4.00%, jauh di bawah suku bunga Fed. Risiko keempat datang dari Yen Jepang yang jatuh ke level terlemah sejak 1990 di level 152 terhadap Dolar AS (USD) karena Bank of Japan (BoJ) tetap dovish pada inflasi. Dengan demikian, kami tetap berhati-hati pada JPY karena sikap yang kontras antara BoJ yang dovish dan Fed yang hawkish, yang akan membuat mata uang Jepang untuk tetap lemah.
Mengingat semua risiko terhadap prospek ekonomi, investor harus tetap berhati-hati. Kami terus merekomendasikan untuk memiliki posisi underweight terhadap asset berisiko. Kami memperkirakan bahwa Fed dan bank sentral utama lainnya akan mengakhiri kenaikan suku bunga mereka awal tahun depan untuk kepentingan pasar keuangan. Sampai saat itu, keadaan akan terus menguji investor untuk sisa tahun ini.
Source: Bank of Singapore
EQUITY
Tetap Defensif
Seiring dengan bank sentral yang tetap hawkish dan kekhawatiran pada sektor keuangan terus naik, kami tetap defensif dan mempertahankan posisi underweight kami pada instrumen saham. -Eli Lee.
Kami menurunkan peringkat Keuangan Global dari overweight menjadi netral , dengan latar belakang perkiraan kami untuk resesi AS pada tahun 2023. Dengan ini, kami memiliki peringkat underweight di sebagian besar sektor siklikal termasuk Keuangan, Konsumen diskresionari, Industri, Material, dan Real Estate. Sementara Kami tetap overweight di Healthcare.
Kami melihat kondisi makro sebagian besar tidak berubah – bank sentral tetap hawkish, inflasi tetap tinggi, dan ketidakpastian makro meliputi.
Source: Bank of Singapore; Updated on 28 October 2022; Total returns are based on index’s locl currency terms
BONDS
Mengalami tekanan
Pasar obligasi terus mengalami tekanan dari tingginya inflasi global dan potensi terjadinya resesi di tahun 2023, seiring dengan aksi pengetatan kebijakan moneter oleh The Fed untuk menstabilisasikan harga. – Vasu Menon
Pasar obligasi global masih menghadapi dua katalis negatif yaitu:
Pasar masih melihat potensi kenaikan suku bunga acuan The Fed ke level yang lebih tinggi, dengan proyeksi di kisaran 5.0% saat ini untuk tahun 2023. Imbal hasil US Treasury juga terus bergerak naik, dengan yield 10 tahun kini mencatatkan kenaikan untuk minggu ke-13 berturut- turut: reli kenaikan terlama dalam empat puluh tahun. Volatilitas pasar obligasi pemerintah saat ini berada di level tertinggi nya dalam 15 tahun terakhir, walaupun likuiditas masih terbatas.
Kami mempertahankan pandangan netral kami terhadap obligasi negara maju (DM) Investment Grade (IG) ditengah potensi terjadinya resesi tahun depan. Selain itu, disaat pasar percaya siklus kenaikan suku bunga The Fed sudah memuncak, fokus akan tertuju pada perubahan nada dovish bank sentral yang akan mendukung.
Kami masih mempertahankan pandangan underweight kami terhadap obligasi DM High Yield (HY) ditengah spread saat ini yang kurang mendukung dan masih berada dalam fase buruk seperti di tahun 2011-2012 dan 2015-2016.
Underweight EM
Kami juga masih underweight terhadap obligasi negara berkembang (EM) HY dan EM IG, namun masih lebih menyukai yang kedua dibandingkan yang pertama. Dengan China saat ini terlihat masih terus menerapkan kebijakan Zero Covid Policy, kembali terpilih nya Presiden Xi untuk yang ketiga kalinya akan memicu volatilitas dan ketidakpastian jangka pendek.
Netral pada EM HY dan IG di Asia
Selain itu, kami juga mempertahankan pandangan netral terhadap obligasi EM HY di Asia. Akan tetapi, dengan tingginya potensi resesi saat ini, kami lebih menyukai sektor-sektor defensif seperti energi terbarukan, pangan dan agrikultur, telekomunikasi, dan utilitas yang memiliki likuiditas lebih tinggi dan kebal disaat-saat seperti ini.
Tetap defensif dan selektif di Asia
Kami lebih menyukai obligasi IG dibandingkan HY, dengan preferensi untuk tenor-tenor panjang. Untuk obligasi IG China, kami cenderung menyukai perusahaan-perusahaan BUMN yang secara sistemik penting untuk perekonomian.
FX & COMMODITIES
Perjalanan Yang Sulit
Perjalanan kemungkinan akan tetap sulit untuk aset dengan imbal hasil nol seperti emas untuk saat ini karena Federal Reserve yang hawkish meningkatkan imbal hasil AS dan Dolar AS. – Vasu Menon
Gold
Latar belakang untuk emas kemungkinan akan tetap sulit untuk sisa tahun ini karena inflasi inti AS yang sangat tinggi membuat Fed tetap hawkish. Pergantian positif untuk emas bisa terjadi pada pertengahan 2023 setelah kita melewati puncak inflasi dan resesi AS menjadi kenyataan.
Harga logam kuning bisa mencapai titik terendah pada awal 2023 dan melihat beberapa kenaikan dengan latar belakang meningkatnya risiko resesi dan prospek penundaan kenaikan suku bunga The Fed pada 2023. Secara keseluruhan, kami masih melihat harga emas di USD 1,700/oz dalam waktu tiga bulan sebelum rebound menuju USD 1,850/oz dalam 6 hingga 12 bulan karena The Fed menahan dan imbal hasil AS mulai turun lebih rendah, yang juga akan melemahkan USD.
Oil
OPEC+ setuju untuk memangkas kuota pasokan sebesar 2 juta barel per hari mulai November, pengurangan terbesar sejak respon terhadap COVID-19. Namun, OPEC+ akan menggunakan dasar produksi yang sudah ketinggalan untuk mengukur pembatasan. Hal itu bisa melihat penurunan produksi yang sebenarnya terbatas hanya setengah dari jumlah itu. Ada juga ketidakpastian yang signifikan mengenai jalur pasokan Rusia dengan penerapan sanksi UE, terutama mengingat keributan di sekitar potensi batas harga.
Tetapi dengan kekhawatiran permintaan, pengurangan pasokan OPEC+ mungkin hanya memberikan dukungan sementara untuk harga. Harga minyak mentah bisa turun lebih jauh karena memburuknya pertumbuhan ekonomi global meningkatkan kekhawatiran permintaan. Pengetatan moneter yang agresif untuk mengekang inflasi yang melonjak telah muncul di seluruh pasar mulai dari manufaktur hingga perlambatan properti. Permintaan minyak China tetap lemah karena penguncian intermiten dalam menanggapi wabah COVID-19. Kami terus menargetkan minyak Brent pada USD 85 per barel dalam waktu 12 bulan.
Currency
Indeks Dolar AS naik signifikan di bulan Oktober karena pertentangan antara harapan bahwa Federal Reserve AS (Fed) akan memperlambat laju kenaikan suku bunga atau kekhawatiran pengetatan lebih lanjut.
Meskipun mungkin terlalu dini pada titik ini untuk mengharapkan sikap dovish karena tekanan inflasi tetap tinggi, kami yakin kalibrasi potensial dalam laju pengetatan tidak boleh dikesampingkan dalam beberapa bulan mendatang, terutama jika tekanan inflasi memang menunjukkan tanda-tanda yang lebih meyakinkan akan perlambatan.
Beberapa pejabat Fed dan risalah kebijakan Fed baru-baru ini juga mulai mengisyaratkan bahwa Fed berpotensi mengkalibrasi laju pengetatannya di beberapa titik karena menilai kembali efek penyesuaian kebijakan kumulatif. Misalnya, Mary Daly, Presiden Fed San Francisco, adalah yang terbaru untuk mempertimbangkan, mengatakan sudah waktunya untuk mulai berbicara tentang memperlambat kenaikan suku bunga. Kalibrasi kebijakan menyiratkan bahwa laju penguatan Dolar AS (USD) harus moderat. Karena itu, kami tetap berhati-hati karena kalibrasi kebijakan tidak berarti Fed selesai dengan pengetatan. Tarif masih meningkat dan akan lebih tinggi, meskipun berpotensi pada kecepatan yang lebih lambat. Kami mencari moderasi dalam kekuatan USD ke depan.
Tide of volatility
Memasuki kuartal terakhir di 2022, kekhawatiran mengenai resesi global dan laju kenaikan suku bunga Fed, masih menjadi perhatian utama para pelaku pasar. Konflik Rusia – Ukraina yang sudah berlangsung sejak awal tahun, yang telah mendorong kenaikan sejumlah komoditas energi dan pangan, turut menambah kekhawatiran terhadap perkembangan perekonomian dunia. Kebijakan suku bunga yang agresif untuk menahan laju inflasi, tidak hanya datang dari bank sentral AS, namun juga Bank of England (BOE) yang menaikkan suku bunga menjadi 2.25 persen di bulan September. Inflasi yang tinggi juga terjadi di kawasan Eropa di 10% y-o-y pada bulan September. Survei dari analis Bloomberg, memprediksi bahwa kawasan Eropa memiliki probabilitas sebesar 75 persen untuk memasuki resesi.
Sementara itu di Asia, perhatian para pelaku pasar tertuju pada kongres nasional Partai Komunis China ke-20 yang akan dilangsungkan di bulan Oktober. Pertumbuhan ekonomi China dikhawatirkan akan sulit mencapai 5 persen di 2022. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan Zero Covid Policy yang menyebabkan terhambatnya aktivitas ekonomi. Kongres nasional China diperkirakan akan fokus pada exit strategy dari Zero Covid Policy serta kebijakan ekonomi yang lebih suportif untuk pertumbuhan ekonomi.
Dari dalam negeri, sejumlah indikator ekonomi Indonesia menunjukan hasil yang positif, dimana hal ini merujuk pada ketahanan ekonomi Indonesia yang baik. Aktivitas manufaktur Indonesia di bulan September masih bertahan di level ekspansi pada level 53.7. Kenaikan konsumsi domestik di tengah pemulihan ekonomi, serta kenaikan harga BBM subsidi di bulan September, mendorong inflasi naik ke 5.95% secara tahunan. Bank Indonesia pun menaikkan suku bunga acuan 7-day Reverse Repo Rate menjadi 4.25%. Di saat yang sama, untuk mengantisipasi potensi penurunan daya beli akibat kenaikan harga BBM tersebut, pemerintah juga memberikan santunan dalam bentuk bantuan langsung tunai kepada 20.65 juta masyarakat Indonesia dengan total besaran sebesar Rp 12.4 triliun. Kebijakan ini disambut positif oleh para pelaku pasar, mengingat program bantuan pemerintah ini dirasakan lebih tepat sasaran kepada masyarakat Indonesia yang terimbas dari kenaikan harga BBM. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2022 akan bertumbuh di kisaran 4.5 hingga 5.3 persen.
Equity
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan -1.92% sepanjang bulan September. Pelemahan terbesar dialami oleh sektor teknologi -10.9% dan sektor transportasi -10.76%. Konsolidasi saham sektor teknologi terjadi seiring dengan turunnya kinerja dan proyeksi pertumbuhan perusahaaan e-commerce akibat kenaikan laju inflasi. Inflasi yang tinggi berpotensi menurunkan daya beli serta meningkatkan biaya operasional perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang teknologi tersebut. Namun demikian, aliran dana investor asing pun masih masuk sebesar Rp32 Triliun selama bulan September, atau Rp69.47 Triliun sejak awal tahun. Negara penghasil komoditas seperti Indonesia cukup diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas yang cukup tajam di tahun ini, sehingga Indonesia masih mencatatkan surplus dari neraca perdagangan. Tak hanya itu, konsumsi domestik yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia diharapkan akan mengurangi potensi efek domino seandainya terjadi resesi global.
Obligasi
Imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia 10 tahun mengalami kenaikan di bulan September menjadi 7.37%. Hal ini disebabkan oleh kebijakan Fed yang kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps di bulan September. Langkah untuk menaikkan suku bunga juga diikuti oleh Bank Indonesia, yang juga kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps, lebih tinggi dari konsensus para analis, menjadi 4.25%. Pemerintah menargetkan sisa penerbitan SBN melalui lelang mingguan sebesar Rp75 Triliun di kuartal IV, turun dari jumlah lelang di kuartal III yang mencapai Rp166 Triliun. Dengan supply yang lebih terbatas serta adanya kebijakan operation twist dari Bank Indonesia, diharapkan akan meredam kenaikan imbal hasil obligasi yang diakibatkan dari potensi kenaikan suku bunga lanjutan.
Currency
Mata uang Rupiah bergerak melemah namun relatif stabil sepanjang bulan September, yang berada di kisaran Rp14,850 – 15,200 per Dolar AS. Keputusan Bank Indonesia yang kembali menaikan tingkat suku bunga 7DRRR juga memberikan dukungan atas stabilitas nilai tukar. Selain itu, surplus neraca perdagangan yang berlanjut lebih dari 20 bulan terakhir, bahkan posisi terakhir meningkat dibandingkan sebelumnya di level US$ 5.76 Miliar turut membuat posisi Rupiah relatif aman. Hal ini juga diperkuat oleh posisi cadangan devisa Indonesia yang berada di level US$ 130.8 Miliar, dimana angka tersebut setara dengan pembiayaan 5.9 bulan impor atau 5.7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Juky Mariska, Wealth Management Head, Bank OCBC NISP
Volatilitas Berlanjut
Volatilitas pada prospek ekonomi masih akan berlanjut ditengah beberapa sentimen negatif di tahun ini – Eli Lee
The Federal Reserve (Fed) memproyeksikan kenaikan suku bunga lebih lanjut untuk mengekang inflasi di AS
Proyeksi median atau rata-rata FOMC untuk puncak siklus pengetatan suku bunga Fed naik menjadi 4.50%-4.75% pada awal 2023. Kami memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga lagi sebesar 75 bps pada bulan November, 50 bps pada bulan Desember dan 25 bps pada bulan Februari untuk membawa suku bunga naik menjadi 4.50- 4.75%.
Dengan demikian, sikap hawkish The Fed berpotensi terus menekan aset berisiko tahun ini sampai siklus pengetatan Fed mendekati akhir di awal 2023. Tetapi kenaikan suku bunga akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menjadi fondasi dari pergerakan imbal hasil US Treasury kedepannya (kami melihat pertumbuhan PDB AS turun dari 1.6% tahun ini menjadi hanya 0.8% pada tahun 2023 dengan risiko resesi tahun depan sebesar 50%). Oleh karena itu, kami terus memperkirakan 10Y US treasury tahun AS menetap di sekitar 3.50% selama 12 bulan ke depan.
Pemotongan pajak pemerintah Inggris yang baru telah memicu krisis kepercayaan investor
Krisis Inggris akan terus berlanjut. Pemerintah saat ini telah membatalkan proposal yang paling kontroversial untuk menghapuskan tarif pajak penghasilan tertinggi (45%). Tetapi ini hanya akan menutup sekitar GBP 2-3 Miliar dari pendapatan yang hilang. Dengan demikian, pemerintah perlu mengurangi pemotongan pajak lebih lanjut dan mendanainya melalui pengurangan pengeluaran yang akan memperdalam kemungkinan resesi Inggris. Atau BoE harus menaikkan suku bunga, saat ini di 2.25%, dengan perkiraan kami ke level 4.00% pada awal 2023 untuk mengekang inflasi yang lebih tinggi yang disebabkan oleh penurunan GBP dan peningkatan pinjaman pemerintah. Oleh karena itu, kami sangat mewaspadai prospek Inggris selama beberapa bulan ke depan dengan ekonomi akan berkontraksi sebesar 0.8% pada tahun 2023.
Blokade penuh Rusia terhadap pasokan gas ke Eropa telah meningkatkan inflasi hingga 10.0% di Zona Euro, dan mendorong terjadinya resesi
Kami memperkirakan PDB zona euro akan terkontraksi sebesar 0.8% pada tahun 2023. Pada saat yang sama, Bank Sentral Eropa (ECB) kemungkinan akan menaikkan suku bunga sebesar 75 bps lagi pada bulan Oktober dan sebesar 50 bps lebih lanjut pada bulan Desember untuk menaikkan suku bunga deposito dari 0.75% saat ini menjadi 2.00% pada akhir 2022 untuk mengekang inflasi, meskipun Zona Euro kemungkinan memasuki resesi. Dengan demikian, prospek jangka pendek untuk aset berisiko Eropa tetap sangat menantang.
Kebijakan Zero Covid di China membuat pertumbuhan lemah
Kami memperkirakan PDB China hanya akan berkembang sebesar 3.0% tahun ini setelah pertumbuhan yang kuat sebesar 8.1% tahun lalu karena lockdown yang kembali diberlakukan menahan konsumsi.
Ketahanan ekonomi Jepang tidak mencegah Yen mencapai posisi terendah 24 tahun terhadap Dolar AS
Tahun ini, ekonomi Jepang terbukti lebih tangguh dibandingkan dengan perlambatan tajam di AS dan China serta meningkatnya risiko resesi di Eropa. Kami meningkatkan perkiraan PDB kami dari pertumbuhan 1.2% menjadi 1.6% pada tahun 2022, dan memproyeksikan pertumbuhan 0.9% pada tahun 2023 karena ekonomi akan menghindari resesi. Risiko BoJ yang kurang dovish dengan demikian membuat kami tetap netral pada prospek ekonomi Jepang meskipun ada ketahanan tahun ini.
Mengingat bahwa prospek global kemungkinan akan tetap bergejolak hingga akhir tahun 2022, investor harus tetap berhati-hati, tetap mempertahankan aset berisiko underweight. Hanya ketika The Fed dan bank sentral lainnya menurunkan suku bunga yang cepat, prospek ekonomi kemungkinan akan berubah menjadi menguntungkan lagi.
Source: Bank of Singapore
EQUITIES
Berhati-hati pada pasar ekuitas
Kami masih menyarankan sikap defensif secara keseluruhan, terlihat dari posisi underweight kami pada ekuitas. – Eli Lee.
Kami overweight pada sektor kesehatan, dan underweight pada sektor consumer discretionary, industrial, real estate dan material.
Dengan latar belakang kenaikan biaya modal, likuiditas yang lebih rendah dari neraca The Fed, dan potensi revisi pendapatan negatif selama beberapa bulan ke depan, secara teknis kami melihat risiko penurunan untuk Indeks S&P 500 kedepan.
Inggris telah menarik banyak perhatian setelah rencana fiskal pemerintah baru-baru ini. Keadaan di Inggris masih menjadi kekhawatiran, dan kami memperkirakan volatilitas pasar yang berkelanjutan seiring dengan meningkatnya risiko.
Di China, semua mata tertuju pada Kongres Partai ke-20, di mana implementasi kebijakan yang lebih baik dan kejelasan arah diantisipasi.
AS – Perkiraan EPS konsensus 2023 masih terlalu tinggi
Kami memperkirakan bahwa indeks S&P 500 menghadapi risiko jangka pendek. Dalam pandangan kami, perkiraan konsensus untuk FY2023 masih terlalu tinggi, dan dapat menurun menuju musim pendapatan Q3. Pada saat yang sama, premi risiko ekuitas (selisih antara imbal hasil forward earnings S&P 500 dan imbal hasil US Treasury 10-tahun) tetap berada dibawah rata-rata pasca krisis keuangan global, sehingga mengurangi daya tarik relatif ekuitas AS. Dengan latar belakang kenaikan biaya modal, likuiditas yang lebih rendah dari neraca Fed, dan potensi revisi pendapatan negatif selama beberapa bulan ke depan, secara teknis kami melihat risiko penurunan untuk indeks S&P 500.
Eropa – Tetap underweight
Euro dan Pound yang lemah dapat memiliki beberapa manfaat, terutama bagi perusahaan internasional yang lebih besar yang memiliki operasi bisnis luar negeri yang substansial. Pertama, pendapatan dan keuntungan yang dihasilkan dari segmen luar negeri, ketika dikonversi kembali ke mata uang negaranya. Kedua, daya saing biaya meningkat ketika perusahaan memproduksi di Eropa dan mengekspor ke AS dan pasar Dolar AS lainnya. Akibatnya, kami memperkirakan kinerja yang lebih baik dari FTSE 100 vs FTSE 250.
Jepang – Membuka kembali perbatasan
Perdana Menteri Kishida telah mengumumkan bahwa perbatasan akan terbuka untuk turis masuk mulai 11 Oktober 2022, menggarisbawahi perkiraan kami sebelumnya untuk pembukaan kembali dan penerima manfaat Yen yang lemah. Dengan Yen mendekati level terendah 24 tahun yang mendukung pariwisata masuk, prospek pertumbuhan untuk perjalanan (maskapai penerbangan, kereta api), perhotelan, dan penerima manfaat konsumsi terpilih (departmental store, makanan dan minuman) akan mendorong secara bertahap walaupun merupakan segmen utama wisatawan Mainland China.
Asia ex- Japan – Headwinds
Menurut pandangan kami, perkembangan terbaru dalam lingkungan ekonomi makro, seperti suku bunga yang lebih tinggi, prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, dan Dolar AS yang kuat menjamin ekspektasi yang lebih rendah untuk Indeks MSCI Asia ex-Japan. Kami memperhitungkan basis pendapatan yang lebih rendah karena Dolar AS yang kuat, yang biasanya berdampak negatif pada kinerja pasar Asia ex-Japan. Kongres Partai ke-20 China akan menjadi acara penting lainnya yang akan menjadi perhatian pasar.
Source: Bank of Singapore; Updated on 30 August 2022; Total returns are based on index’s locl currency terms
BONDS
Masih netral terhadap obligasi DM IG
Di negara maju, kami masih netral terhadap obligasi layak investasi (IG) akibat beberapa hal. – Vasu Menon
Pasar obligasi masih tertekan akibat sikap hawkish bank sentral AS The Fed yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin untuk yang ketiga kali nya tahun ini, membawa kenaikan suku bunga acuan sejak awal tahun sebesar 300bps.
The Fed menaikkan proyeksi suku bunga acuan nya ke level 4.6% untuk kuartal satu 2023 ditengah pernyataan Ketua Fed Jerome Powell bahwa pihaknya rela mengorbankan pertumbuhan ekonomi demi mengendalikan inflasi. Imbal hasil antara obligasi 2 tahun dan 10 tahun mencapai level inversi tertinggi nya dalam 15 tahun terakhir. Hal tersebut memicu premi risiko untuk pasar kredit global naik signifikan, mencerminkan potensi tekanan apabila terjadi nya resesi dengan obligasi High Yield (HY) yang akan lebih terdampak.
Underweight negara berkembang (EM)
Kami mempertahankan pandangan underweight terhadap obligasi IG dan HY negara berkembang, dengan preferensi yang lebih besar terhadap kategori IG. Pengetatan kebijakan moneter secara global, penguatan mata uang USD, dan juga beberapa tensi geopolitik yang kian meningkat masih menjadi beberapa risiko utama.
Masih netral terhadap IG dan underweight terhadap HY negara maju
Kami juga masih mempertahankan pandangan netral terhadap obligasi IG negara maju karena beberapa faktor seperti: 1) Seiring dengan perkiraan kami atas tinggi nya potensi untuk perlambatan ekonomi global atau bahkan resesi global di tahun 2023, kami masih netral terhadap obligasi-obligasi dengan volatilitas terendah, rating tertinggi dan yang memiliki durasi terpanjang. Kemudian juga 2) disaat pasar sudah melihat siklus kenaikan suku bunga acuan telah memuncak, fokus akan tertuju pada kapan perubahan sikap dovish oleh The Fed
Netral terhadap obligasi HY Asia
Kami masih mempertahankan pandangan netral terhadap obligasi HY Asia. Namun, seiring dengan meningkatnya potensi resesi akibat pengetatan kebijakan moneter yang terlalu agresif, maka kami cenderung lebih menyukai sektor-sektor industrial seperti energi terbarukan, pangan dan agrikultur, telekomunikasi, dan utilitas.
Di Asia, kami overweight terhadap obligasi IG China dan India, dan obligasi HY Indonesia
Di kategori IG, kami masih overweight terhadap China yang dimana pasar kredit didominasi oleh perusahaan-perusahaan BUMN dan yang penting secara sistemik terhadap perekonomian. Di India, kami menyukai obligasi dengan durasi panjang yang diterbitkan oleh sektor industrial yang lebih aman dari segi hutang dan tahan terhadap tekanan siklikal.
FX & COMMODITIES
Kenaikan suku bunga adalah tantangan untuk emas
Federal Reserve yang lebih hawkish di tengah inflasi inti AS yang sangat tinggi adalah tantangan untuk emas dalam jangka pendek – Vasu Menon
Emas
Fed yang lebih hawkish di tengah inflasi inti AS yang sangat tinggi dapat membuat harga emas menjadi lebih rendah dalam jangka pendek, namun harga emas dapat menjadi lebih tinggi nanti jika resesi menjadi kenyataan. Menyusul kenaikan tajam dalam imbal hasil 10Y US Treasury bergerak mendekati target 3 bulan kami sebesar 4%, kami yakin risiko penurunan emas dari imbal hasil AS yang lebih tinggi akan lebih terbatas. Namun kenaikan imbal hasil negara lainnya, terutama imbal hasil negara kawasan Eropa dan kekhawatiran atas intervensi mata uang lebih lanjut yang perlu diatur oleh beberapa penjualan aset USD, dapat terus menambah tekanan pada imbal hasil US Treasury – yang merugikan emas dalam waktu dekat.
Harga untuk emas dapat turun pada awal 2023 dan melihat beberapa kenaikan dengan latar belakang meningkatnya risiko resesi dan prospek The Fed mulai memperlambat laju pengetatan di akhir tahun. Perkembangan terakhir antara Rusia dan Ukraina, termasuk ancaman nuklir dari Putin, memperkuat emas sebagai lindung nilai risiko.
Minyak
Harga minyak terus menurun di tengah kekhawatiran permintaan yang lebih lemah dan penguatan dolar AS. Permintaan minyak global terganggu oleh lockdown China, sementara prospek ekonomi makro memburuk lebih cepat dari yang diharapkan di Eropa dan harga yang tinggi mengurangi permintaan AS. Tetapi permintaan bisa meningkat, karena harga gas Eropa yang tinggi mempercepat peralihan ke minyak.
Kami menargetkan minyak Brent pada USD 85/barel dalam waktu 12 bulan. Perkiraan dasar kami terus melihat perekonomian global yang menghindari “garden variety recession” - yaitu, skenario resesi dengan pengangguran yang meningkat pesat, dan kebangkrutan rumah tangga dan perusahaan. Namun jika terjadi penurunan global yang lebih dalam, harga minyak bisa dengan cepat jatuh ke USD 55-70/barel.
Currency
Dolar AS (USD) terus diuntungkan dari permintaan safe haven dan daya tarik suku bunga AS yang lebih tinggi dan imbal hasil obligasi. Dalam beberapa minggu terakhir kami telah melihat revisi substansial dalam ekspektasi Fed mengenai suku bunga acuan. Ditambah dengan pernyataan hawkish dari berbagai pejabat Fed menggarisbawahi tekad bank sentral AS untuk memperketat kebijakan dalam menghadapi inflasi, bahkan dengan mengorbankan pertumbuhan.
Sentimen risiko yang lemah karena kekhawatiran perlambatan pertumbuhan global yang tajam dan serangan ketegangan geopolitik, terus menopang permintaan USD. Meskipun demikian, kami masih mengharapkan perubahan dalam USD pada tahap tertentu, terutama ketika tekanan inflasi menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang lebih meyakinkan, yang dapat membuat Fed memberi sinyal perlambatan laju pengetatan.
Dalam waktu dekat, kami percaya otoritas regional terus mencermati pasar dan dengan demikian, dapat terus menerapkan langkah-langkah stabilisasi lebih lanjut jika volatilitas pasar meningkat. Dengan demikian, langkah-langkah stabilisasi ini dapat membantu memulihkan kepercayaan pasar dan bertindak sebagai penahan untuk memperlambat laju depresiasi mata uang lokal yang bergerak cepat. Namun, upaya ini mungkin hanya memberikan kestabilan sementara bagi pasar. Pada akhirnya, tren USD yang lebih kuat perlu mereda untuk pasar mata uang termasuk di Asia ex-Japan untuk menjaga kestabilan yang lebih berarti.
Kekhawatiran mengenai laju kenaikan suku bunga Fed untuk menahan inflasi, serta perlambatan perekonomian global masih menjadi perhatian utama dari para pelaku pasar. Sejumlah indikator aktivitas ekonomi AS selama bulan Agustus masih bersifat mixed, dengan kontraksi pada indeks survei S&P Global US Composite PMI ke 44.6. Namun, di saat yang sama angka Citi Economic Surprise Index, yang mengukur ekspektasi akan perbaikan ekonomi, di bulan Agustus menunjukkan adanya kenaikan dibandingkan bulan Juli lalu.
Kebijakan suku bunga yang lebih agresif juga terjadi di kawasan Eropa dengan bank sentral Eropa (ECB) yang memutuskan menaikkan suku bunga sebanyak 75 bps menjadi 1.25% pada pertemuan bulan September. Laju inflasi di kawasan ini juga masih meningkat dari 8.9% menjadi 9.1% yoy di bulan Agustus. Konflik Rusia – Ukraina yang masih berlanjut menjadi salah satu faktor utama kenaikan laju inflasi yang dikontribusi dari sektor energi.
Sementara itu, ekonomi terbesar di Asia, China, juga sedang berjuang mengatasi perlambatan ekonomi. Sejumlah stimulus dirilis oleh pemerintah China, mulai dari menurunkan suku bunga jangka pinjaman jangka pendek, merilis proyek mega infrastruktur senilai 1 triliun Yuan, hingga memberikan jaminan pemerintah atas obligasi korporasi yang diterbitkan oleh beberapa pengembang properti yang telah mengalami kesulitan pendanaan selama lebih dari setahun terakhir.
Dari dalam negeri, jika pertumbuhan ekonomi negara maju dan sejumlah negara di Asia mengindikasikan perlambatan, sebaliknya di Indonesia pemulihan ekonomi masih berlanjut. Pertumbuhan ekonomi RI untuk kuartal dua 2022 dirilis meningkat 5.44% yoy, lebih tinggi dibandingkan ekspektasi di 5.17%. Pulihnya konsumsi domestik akibat pelonggaran PPKM serta meningkatnya penerimaan negara dari kenaikan harga komoditas global mendorong perekonomian melanjutkan ekspansinya. Pulihnya perekonomian ini yang diimbangi dengan kenaikan laju inflasi, mendorong Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan 7-day Reverse Repo Rate menjadi 3.75% setelah mengetatkan likuiditas perbankan melalui kenaikan GWM bertahap, yang mencapai 9 persen di bulan September.
Adanya perbedaan kondisi ekonomi domestik dan global tentunya membuat pelaku pasar perlu lebih berhati-hati, mengingat inflasi yang mulai menanjak dari dalam negeri serta kekhawatiran akan terjadinya resesi global, dapat memicu keluarnya dana investor asing dari pasar modal untuk berbalik ke safe-haven assets.
EquityIndeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami kenaikan 3.27% sepanjang bulan Agustus, yang didorong oleh kenaikan di sektor infrastruktur dan teknologi. Sepanjang tahun 2022, IHSG tercatat menguat 9.07 persen hingga akhir Agustus 2022. Aliran dana investor asing pun telah masuk sebesar Rp 71 triliun. Di saat yang sama, kenaikan harga BBM diperkirakan akan mendorong kenaikan inflasi lebih cepat. Kenaikan BBM ini tidak terelakkan mengingat kenaikan harga minyak dunia yang cukup tinggi, mengakibatkan beban APBN senilai Rp 500 triliun. Untuk mengatasi penurunan daya beli masyarakat kecil akibat kebijakan ini, pemerintah merilis bantuan langsung tunai untuk mengkompensasi kenaikan BBM ini. Ke depannya, walaupun volatilitas pasar saham masih akan terjadi, namun IHSG masih berpeluang untuk menguji ke kisaran 7,500 hingga akhir tahun didukung oleh pemulihan ekonomi, serta kenaikan harga sektor komoditas telah mendorong adanya peningkatan laba emiten di tahun 2022.
ObligasiPergerakan pasar obligasi di bulan Agustus relatif stabil. Hal ini terlihat dari pergerakan imbal hasil acuan tenor 10 tahun yang tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan posisi awal bulan di level 7.128 %. Kenaikan suku bunga acuan di bulan Agustus sebesar 25 bps tidak mengakibatkan volatilitas harga yang signifikan. Investor asing yang mencatatkan pembelian bersih senilai Rp 5 triliun juga turut memberikan dukungan pada pasar obligasi. Selisih antara inflasi dan imbal hasil obligasi riil atau real yield sebesar 2.47, merupakan rentang yang lebih lebar jika dibandingkan dengan rata – rata negara berkembang lainnya, sehingga akan memberikan daya tarik bagi investor asing untuk masuk ke pasar obligasi domestik.
CurrencyMata uang Rupiah bergerak relatif stabil sepanjang bulan Agustus, terlihat dari pergerakannya yang tidak banyak berubah di kisaran Rp 14,800 – 14,900 per Dolar AS. Keputusan Bank Indonesia dengan menaikan tingkat suku bunga 7D RRR memberikan dukungan atas stabilitas nilai tukar.
Selain itu, surplus neraca perdagangan yang berlanjut lebih dari 20 bulan terakhir, serta terjaganya cadangan devisa Indonesia di level USD 132.20 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6.1 bulan impor atau 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Juky Mariska, Wealth Management Head, Bank OCBC NISPInvestor masih menghadapi tantangan di seluruh dunia karena tingkat inflasi mendekati 10%, yang memaksa bank sentral, terutama The Fed, untuk menaikkan suku bunga secara agresif. - Eli Lee
Ancaman gas Rusia yang sepenuhnya terputus sebelum musim dingin, sebagai pembalasan atas sanksi yang dijatuhkan setelah invasi Ukraina, menyebabkan harga energi melonjak di Eropa. Di China, penguncian baru untuk mencapai nol kasus Covid telah menghambat pembukaan kembali ekonomi. Investor dengan demikian harus tetap berhati-hati dalam waktu dekat dan tetap underweight pada ekuitas dan obligasi. Seperti pepatah "don’t fight The Fed", investor tetap harus berhati-hati karena bank sentral akan tetap hawkish sampai inflasi di AS menunjukkan tanda-tanda yang jelas untuk mereda.
Pada akhir Agustus, Ketua The Fed Powell memberikan pidatonya yang hawkish di simposium tahunan Jackson Hole, menunjukkan bahwa bank sentral tetap memiliki komitmen yang kuat untuk mengembalikan inflasi ke target 2%.
Setelah pidato Powell, kami memperkirakan peluang kenaikan suku bunga sebesar 75 bps di bulan ini dan kami akan memantau laporan inflasi indeks harga konsumen (IHK) Agustus sebelum The Fed bertemu pada 20-21 September. Kami juga memperkirakan suku bunga Fed akan mencapai 4.00% pada awal 2023 dan tetap berada di level tersebut sepanjang tahun depan.
Imbal hasil US Treasury juga kemungkinan akan meningkat lebih jauh lagi karena The Fed terus menaikkan suku bunga hingga 4.00%, seperti yang ditunjukkan oleh tabel perkiraan suku bunga kami.
Di Eropa, outlook juga terlihat sangat menantang. Kami memperkirakan Zona Euro dan Inggris akan memasuki resesi sebelum akhir tahun. Lonjakan harga gas - karena Rusia memangkas pasokan sebagai pembalasan atas sanksi perang Uni Eropa - akan mendorong inflasi menjadi dua digit di seluruh Eropa, yang secara tajam akan melukai konsumsi dan membuat Euro dan Pound terus melemah lemah terhadap Dolar AS.
Prospek yang menantang selanjutnya adalah China. Ekonomi yang melemah selama musim panas mendorong People's Bank of China (PBoC) untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 10 bps pada Agustus, sama dengan penurunan suku bunga pada Januari. Suku bunga reverse repo tujuh hari PBoC saati ini berada di 2.00%, dan suku bunga fasilitas pinjaman jangka menengah (MLF) 1Y-nya berada di 2.75%.
The Fed yang hawkish, meningkatnya risiko resesi di Eropa dan penguncian baru di China membuat kami tetap berhati-hati pada prospek jangka pendek untuk aset berisiko. Tetapi potensi jangka panjang tetap ada bagi investor tahun ini.
Secara keseluruhan, kami memperkirakan rebound jangka panjang dalam aset berisiko akan terjadi jika didorong oleh inflasi yang mulai mereda dan The Fed yang kurang hawkish. Secara historis di tahun 1994 - terakhir kali Fed menaikkan suku bunga dengan cepat dalam pergerakan 50 bps dan 75 bps - menunjukkan bahwa ketika bank sentral mendekati akhir siklus pengetatannya, pasar keuangan mulai rally kuat dari tahun 1995. Kami terus mencari perubahan jangka panjang yang serupa dan pemulihan aset berisiko, bahkan jika sekarang bukan waktunya untuk melawan Fed yang hawkish.
Source: Bank of Singapore
Secara umum kami tetap underweight instrumen saham, melihat pandangan hawkish bank sentral dan meningkatnya resiko resesi. Namun demikian beberapa peluang telah muncul, dan kami tetap konstruktif terhadap China. – Eli Lee
Mempertahankan posisi netral terhadap obligasi Investment Grade (IG) negara maju saat ini lebih disarankan seiring dengan rendahnya volatilitas, credit rating yang lebih baik dengan durasi yang lebih panjang. Kami masih underweight terhadap obligasi High Yield (HY) karena menurut kami harga pasar saat ini belum sepenuhnya memperhitungkan potensi terjadinya resesi – Vasu Menon.
Di pasar negara maju, kami mempertahankan pandangan netral terhadap obligasi IG seiring dengan masih banyaknya ketidakpastian pasar yang dapat memicu resesi di tahun 2023 mendatang. Dari segi portofolio, mempertahankan posisi netral terhadap obligasi dengan volatilitas terendah, rating dan durasi tertinggi lebih direkomendasikan. Sedangkan kami underweight terhadap obligasi HY karena harga pasar yang menurut kami belum mencerminkan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi atau bahkan resesi. Di pasar negara berkembang, kami underweight terhadap kedua kategori obligasi HY dan IG.
Dari sisi durasi, kami percaya bahwa komitmen The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan kearah 4.0% dan juga kebijakan pengetatan kuantitatif lainnya akan menopang kenaikan imbal hasil bagi obligasi bertenor pendek, semakin mendorong terjadinya inversi terhadap kurva imbal hasil US Treasury. Maka dari itu, strategi barbel yang sebelumnya menjadi preferensi kami akan lebih fokus terhadap obligasi dengan tenor-tenor diatas 10 tahun yang akan diuntungkan apabila terjadi kontraksi ekonomi.
Underweight negara berkembangKami mempertahankan pandangan underweight kami terhadap obligasi HY dan IG negara berkembang, dengan preferensi kategori IG apabila keduanya dibandingkan. Testimoni hawkish Ketua Fed Jerome Powell pada simposium Jackson Hole mengindikasikan bahwa The Fed akan mentoleransi perlambatan ekonomi untuk mengendalikan inflasi.
Masih Netral terhadap obligasi HY AsiaKami masih netral terhadap obligasi HY Asia. Akan tetapi, dengan potensi penguatan Dolar AS, siklus kenaikan suku bunga dan pertumbuhan ekonomi yang melambat, kami cenderung menyukai sektor-sektor defensive di pasar seperti minyak dan gas (migas), energi terbarukan, pangan dan agrikultur, telekomunikasi, dan utilitas.
Netral terhadap obligasi IG AsiaKami saat ini netral terhadap obligasi IG Asia. Sementara obligasi IG China didominasi oleh perusahaan-perusahaan BUMN yang secara sistemik penting bagi perekonomian.
Sektor properti China – Sentimen membaik, namun dibutuhkan waktu yang lebih untuk mengembalikan kepercayaan pasarObligasi sektor properti China terlihat mulai bangkit dari kisaran level terendahnya di bulan Agustus akibat beberapa kebijakan akomodatif yang berhasil diterapkan. Beberapa upaya seperti pemangkasan suku bunga loan prime rate untuk yang 5 tahun sebesar 15 basis poin untuk mendongkrak penyaluran kredit, program CNY200 miliar oleh pemerintah yang akan digunakan untuk mendanai proyek-proyek bermasalah, hingga dukungan likuiditas ke beberapa developer properti telah direspon positif oleh pasar.
FX & COMMODITIESKami telah menurunkan perkiraan minyak Brent 12 bulan dengan kumulatif USD 15/barel sampai USD 85/barel sejak awal Juli. Risiko kekurangan pasokan tetap tinggi dan dapat membatasi penurunan harga minyak. Tapi harga minyak dapat dengan cepat jatuh ke USD 55-70/barel jika resesi terhindarkan. – Vasu Menon
EmasSetelah naik hingga USD 1.800/oz selama dua minggu pertama bulan Agustus, kenaikan emas terhenti di tengah penguatan Dolar AS (USD), imbal hasil AS yang lebih tinggi dan pengetatan Federal Reserve yang lebih ketat. Ketua The Fed Powell menyampaikan pidato yang relatif hawkish di forum Jackson Hole, yang dapat membuat USD tetap didukung untuk saat ini – sehingga merugikan emas. Powell menekankan bahwa kebijakan akan berubah menjadi restriktif, dan kemudian tetap demikian untuk sementara waktu. Meskipun ada beberapa tanda bahwa inflasi AS mungkin telah mencapai puncaknya, dan Fed tidak dapat juga meyakinkan hal tersebut. Pengujian ulang support jangka menengah USD 1,685/oz dimungkinkan meskipun pandangan paling mendasar kami adalah emas terus bergerak dengan kisaran di atas level support.
MinyakPasar minyak telah melewati puncak harga yang tinggi karena meningkatnya risiko resesi sehingga terjadi penurunan permintaan minyak. Ada juga tanda-tanda bahwa harga yang tinggi melemahkan daya beli, mengurangi permintaan bensin. Musim mengemudi bensin AS tidak terlalu signifikan musim panas ini, dan harga eceran AS telah jatuh dari puncaknya USD 5 per galon pada pertengahan Juni. Kami telah menurunkan perkiraan minyak Brent 12 bulan dengan kumulatif USD 15/barel sampai USD 85/barel sejak awal Juli.
Risiko kekurangan pasokan tetap tinggi dan berpotensi membatasi penurunan harga minyak; sebagian besar rencana Uni Eropa untuk menghapus impor minyak mentah Rusia tidak terjadi sampai Q4-22. Keputusan Rusia untuk memotong aliran gas ke UE selama bulan-bulan musim panas juga semakin memperketat pasar gas Eropa, meningkatkan prospek permintaan tambahan dari peralihan gas ke minyak.
CurrencyIndeks Dolar AS (USD) (DXY) terapresiasi 2.6% pada bulan Agustus didukung oleh data ekonomi AS yang lebih baik, Federal Reserve AS (Fed) yang hawkish dan meningkatnya kekhawatiran akan resesi global. Pada Simposium Jackson Hole Fed pada akhir Agustus, Ketua Fed Jerome Powell mengatakan bahwa bank sentral AS akan menggunakan alat kebijakannya "secara paksa" untuk melawan inflasi dan mengarahkan suku bunga menjadi lebih tinggi, untuk "beberapa waktu". Meskipun demikian, kami terus mencari tanda-tanda perlambatan kenaikan USD dalam beberapa bulan mendatang.
Kami percaya beberapa faktor perlu terjadi untuk memperlambat penguatan USD:
Selective Opportunities Emerging
Lonjakan inflasi dan kekhawatiran resesi masih menjadi sentimen utama pasar global. Negara-negara maju seperti AS, Inggris, dan kawasan Eropa yang mengalami lonjakan inflasi telah membuat bank sentral di negara tersebut melakukan pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan, dimana hal tersebut memicu kekhawatiran resesi. Tekanan inflasi global terus terjadi ditengah tingginya harga komoditas akibat gangguan rantai pasokan yang semakin terganggu akibat perang yang terjadi antara Rusia-Ukraina. Sementara Bank Dunia juga telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global terbaru untuk tahun 2022 dari 4.1% menjadi 2%. Kekhawatiran resesi masih akan terus memberikan volatilitas pada pasar.
Bagaimanapun, data ketenagakerjaan AS periode Juli 2022 yang terlihat semakin solid memberikan sinyal bahwa inflasi yang tinggi masih akan tetap menjadi tantangan. Non-farm payrolls dilaporkan sebesar 528 ribu, dan tingkat pengangguran yang turun ke 3.5%. Hal tersebut kembali meningkatkan ekspektasi bahwa The Fed akan bertindak semakin agresif dalam kebijakan moneternya. Kini investor kembali mempertimbangkan seberapa besar kenaikan suku bunga pada pertemuan FOMC selanjutnya di bulan September.
Beralih ke dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Indonesia periode Juli 2022 yang meningkat 4.94% YoY, menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2015. Akan tetapi laju inflasi inti masih berada di 2.86% YoY. Jika dibandingkan dengan negara-negara G20, inflasi Indonesia relatif rendah dan terjaga. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia Q2 22 bertumbuh sebesar 5.44% YoY melebihi perkiraan analis. Rilisan tersebut menandakan bahwa Indonesia tidak masuk ke dalam jurang resesi seperti banyak negara lainnya. Naiknya harga komoditas dan meningkatnya konsumsi masyarakat selama bulan Idul Fitri menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang impresif. Di sisi lain, sektor manufaktur Indonesia masih berekspansi ke angka 51.3 ditengah gejolak yang terjadi pada perekonomian global.
Berbeda dengan bank sentral di negara maju, Bank Indonesia (BI) belum terburu-buru untuk menaikkan suku bunga acuan dikarenakan proyeksi inflasi inti yang masih terjaga. Kenaikan suku bunga yang terlalu cepat dikhawatirkan akan menghambat proses pemulihan ekonomi yang sedang terjadi. Di sisi lain, BI telah melakukan normalisasi likuiditas dengan menggerek Giro Wajib Minimum (GWM) secara bertahap, dimana sampai pertengahan Juli sudah menyerap Rp219 triliun. GWM perbankan yang saat ini telah meningkat ke 7.5%, akan kembali mengalami kenaikan di bulan September menjadi 9%.
Equity
Di bulan Juli, IHSG mencatatkan penguatan +0.57% ke level 7,070.56. Kenaikan ini didorong oleh sektor energi, industri, bahan dasar, serta keuangan dan infrastuktur. Akan tetapi, sejumlah sentimen negatif tetap membayangi pergerakan pasar saham seperti kekhawatiran resesi, tingginya inflasi global, serta agresivitas bank sentral negara-negara maju untuk menaikkan suku bunga acuan. Investor asing masih mencatatkan penjualan bersih selama bulan Juli sebesar USD 200 juta. Di bulan Agustus, sejumlah emiten akan merilis kinerja keuangan pada kuartal II – 2022. Kenaikan laba terlihat cukup dramatis pada sektor batubara dan pertambangan, otomotif serta perbankan. Proyeksi perbaikan laba emiten diperkirakan masih akan mendukung kinerja IHSG ke depannya, sehingga IHSG diperkirakan masih akan bergerak di kisaran 7,200 - 7,500 hingga akhir tahun.
Bond
Di pasar obligasi, imbal hasil acuan tenor 10 tahun turun ke kisaran 7.164% di bulan Juli, menandakan adanya penguatan dari sisi harga. Penguatan pasar obligasi ini didukung oleh akumulasi dari pelaku pasar dalam negeri seperti perbankan serta institusi. Akan tetapi, dengan adanya tren kenaikan imbal hasil obligasi US Treasury, yang akan berakibat pada berkurangnya selisih imbal hasil antara obligasi US Treasury dan obligasi negara berkembang, seperti Indonesia, hal ini dapat mendorong investor asing untuk melakukan penjualan terhadap obligasi pemerintah RI. Selama year-to-date bulan Juli 2022, investor asing telah melakukan penjualan bersih senilai Rp140 triliun terhadap obligasi pemerintah RI. Namun, kami tidak melihat pasar obligasi akan melemah secara signifikan, seiring dengan masih adanya dukungan burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia, serta peningkatan penerimaan negara dari sektor komoditas juga akan membantu membiayai APBN ke depan, sehingga jumlah penerbitan hutang akan lebih terbatas.
Rupiah
Dari sisi mata uang, Rupiah menguat tipis terhadap Dolar AS sebesar 0.13% ke level 14,834/USD di akhir bulan Juli lalu. Indeks Dollar (DXY) tercatat naik +0.76% ke level 106.56. Hawkish-nya The Fed telah menjadi katalis pergerakan mata uang USD dalam beberapa bulan terakhir. Bank Indonesia juga berupaya menjaga likuiditas Rupiah dengan melakukan penjualan obligasi melalui operasi pasar moneter terbuka, di tengah kenaikan harga obligasi. Tak hanya itu, posisi cadangan devisa yang memadai juga turut mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Dua tantangan utama bagi prospek ekonomi
Prospek ekonomi yang menantang terus mengancam pasar keuangan, dengan inflasi tetap menjadi masalah utama, sementara risiko resesi meningkat – Eli Lee Pertama, inflasi masih melonjak. Di AS, Inggris, dan Zona Euro, harga konsumen masing-masing meningkat sebesar 9.1%, 9.4% dan 8.9%. Gangguan rantai pasokan karena ekonomi dibuka kembali dari pandemi, pasar tenaga kerja yang ketat karena perusahaan mencari karyawan untuk meningkatkan output dan memenuhi permintaan yang kuat, energi yang meningkat dan harga yang baik yang disebabkan oleh perang di Ukraina, dan pelonggaran kuantitatif besar-besaran yang diterapkan selama penguncian beberapa tahun terakhir, semuanya telah mendorong inflasi ke tingkat yang terakhir terlihat pada 1980-an di AS dan Eropa.
Kedua, risiko resesi meningkat tajam. Inflasi yang lebih tinggi merugikan pendapatan dan konsumsi. Kenaikan suku bunga bank sentral memperketat kondisi keuangan. Dalam perkiraan pertumbuhan PDB terbaru kami, kami melihat pertumbuhan ekonomi dunia melambat tajam dari 6.2% tahun lalu menjadi 3.0% tahun ini dan hanya 2.4% tahun depan. Dalam beberapa perhitungan, AS sudah berada dalam resesi. Pada Q2-22, ekonomi Amerika secara tak terduga berkontraksi untuk kuartal kedua berturut-turut, memenuhi kriteria resesi "teknis". PDB turun 0.2% kuartal-ke-kuartal (QoQ) setelah turun 0.4% QoQ pada Q1-22, didorong oleh akumulasi persediaan yang lemah.
Kami memperkirakan pertumbuhan AS akan meningkat lagi pada paruh kedua tahun 2022 karena perusahaan membangun kembali persediaan. Tetapi data PDB Q2-22 menunjukkan tren yang mendasari ekonomi AS jelas melambat karena harga makanan dan energi yang lebih tinggi yang memukul konsumsi, dan kenaikan suku bunga yang mempengaruhi perumahan dan investasi.
Dengan demikian, kami memperkirakan probabilitas risiko AS mengalami resesi resmi yang nyata sebelum akhir tahun 2023 sebesar 50%, terutama jika pengangguran mulai meningkat dengan cepat.
Bank sentral masih akan menaikkan suku bunga secara agresif
Namun, di tengah meningkatnya risiko resesi, bank sentral akan tetap menaikkan suku bunga secara agresif mengingat inflasi berjalan jauh di atas target 2% mereka.
Keputusan The Fed diharapkan dan mengembalikan suku bunga Fed ke tingkat "netral" yang diyakini para pejabat tidak mengganggu atau membatasi ekonomi.
Dengan demikian kami memperkirakan Fed masih akan naik masing-masing sebesar 50 bps pada bulan September dan November sebelum beralih ke kenaikan 25 bps pada bulan Desember dan Januari. Oleh karena itu, kami melihat dana Fed mencapai 3.75-4.00% awal tahun depan, tingkat yang seharusnya "membatasi" aktivitas dan memperlambat inflasi.
Demikian pula, kami memperkirakan Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of England (BoE), akan meningkatkan suku bunga secara signifikan selama beberapa bulan ke depan. Dengan demikian, dalam beberapa bulan ke depan, pasar keuangan dan imbal hasil obligasi global akan tetap bergejolak sampai inflasi mereda. Oleh karena itu, kami berpikir investor harus tetap berhati-hati mengingat prospek ekonomi yang menantang. Namun demikian, begitu The Fed dapat beralih ke kenaikan suku bunga moderat menjelang akhir 2022, maka aset berisiko harus mencapai titik terendah dan mulai reli. Hal ini terjadi pada akhir tahun 1994 ketika siklus kenaikan suku bunga yang cepat tahun itu mendekati akhir, yang mengarah ke kenaikan besar dalam ekuitas dari tahun 1995 hingga 2000.
Tetap waspada
Sementara kami tetap underweight di instrumen saham, kami percaya pasar saham China saat ini telah memberikan imbalan risiko jangka panjang yang menarik. Secara global, kami tetap overweight di sektor kesehatan dan utilitas - Eli Lee
AS – Resesi teknis telah tiba
Musim laporan keuangan AS saat ini berjalan dengan baik, kinerja korporasi bervariatif namun rata – rata mencatatkan laba per saham diatas perkiraan. Perusahaan dipastikan akan menghadapi tantangan dari sisi makro, yang menggambarkan potensi pemangkasan belanja modal serta siklus penjualan yang lebih panjang. Perusahaan di berbagai sektor juga merasakan dampak dari penguatan mata uang USD.
Perekonomian AS juga telah memasuki fase resesi teknis di semester awal tahun 2022, walaupun ekonomi belum mengalami kontraksi aktivitas yang lebih luas dan berkelanjutan.
Eropa – Saatnya bertahan
Ancaman terhadap gangguan pasokan gas juga tetap signifikan, menguji Eropa untuk bertahan dan mendorong harga gas Eropa lebih jauh. Bersamaan dengan pengetatan kondisi keuangan, prospek Eropa tetap penuh dengan ketidakpastian.
Jepang – Fokus beralih ke musim pendapatan
Perhatian pasar beralih ke musim pendapatan yang sedang berlangsung, laju pemulihan ekonomi dan potensi perubahan pada kebijakan keamanan nasional. Pemerintah telah meningkatkan prospek ekonominya karena kegiatan normalisasi terus mendukung pemulihan bertahap, dengan perbaikan baru-baru ini dalam konsumsi swasta, lapangan kerja dan impor.
Asia ex-Japan – Pendapatan dan lintasan ekonomi menjadi fokus.
Indeks MSCI Asia ex-Jepang berkinerja buruk dibandingkan pasar utama lainnya di bulan Juli 2022, sebagian besar karena penurunan dari pasar saham China dan Hong Kong.
Berdasarkan laporan World Economic Outlook terbaru dari IMF yang diterbitkan akhir Juli 2022, memangkas proyeksi pertumbuhan PDB 2022 dan 2023 untuk ekonomi utama Asia, seperti China, India, dan Korea Selatan. Terlepas dari kekhawatiran atas pertumbuhan ekonomi, bank sentral di kawasan Asia eks-Jepang harus mempertahankan sikap kebijakan yang relatif hawkish untuk memerangi inflasi.
China.HK – Konstruktif pada prospek paruh kedua
Memasuki H2-22, kami mempertahankan sikap konstruktif kami pada pasar saham Tiongkok – bias kebijakan pelonggaran, surplus transaksi berjalan, pemulihan bertahap dan pembukaan kembali, dan valuasi yang murah akan mendukung kinerja pasar saham Tiongkok yang lebih baik.
Pandangan terhadap sektoral
Pada awal Juli, kami menurunkan energy dari overweight menjadi netral, dan meningkatkan kesehatan dan utilitas dari netral menjadi overweight.
Sektor kesehatan menyediakan perlindungan selama masa ketidakpastian karena pendapatan relatif lebih tangguh dengan kekuatan harga yang lebih kuat. Untuk utilitas, investor juga akan beralih ke sektor yang relatif defensif ini selama masa volatilitas.
Source: Bank of Singapore; Updated on 1 August 2022; Total returns are based on index’s locl currency terms
Naiknya peringkat obligasi IG negara maju
Kami baru saja menaikkan peringkat obligasi Investment Grade (IG) negara maju ke netral dari sebelumnya underweight seiring dengan meningkatnya potensi terjadi nya resesi akibat the Fed yang bersifat hawkish. – Vasu Menon
Inflasi masih terus menghantui aset pendapatan tetap. Sepanjang semester pertama, pasar obligasi terus menantikan solusi untuk tinggi nya inflasi seperti kenaikan suku bunga ditengah kinerja terburuk nya dalam satu abad terakhir. Akan tetapi, beberapa pekan terakhir pasar semakin mendalami kepecercayaan bahwa potensi terjadi nya resesi (dan bukan kenaikan suku bunga) adalah katalis utama yang menggerakan pasar. Indikator-indikator utama ekonomi seperti harga minyak dan tembaga yang telah turun banyak dari level tertingginya sementara USD yang merupakan mata uang safe-haven masih terus menguat. Di pasar keuangan, suku bunga telah meningkat signifikan, sementara spread antara obligasi 2-10 tahun yang biasa dijadikan acuan potensi terjadinya resesi berada di level paling negatif sejak tahun 2000. Pada pertemuan nya di bulan Juli, The Fed memutuskan untuk kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin ditengah komentar Ketua Fed Jerome Powell yang dinilai cenderung dovish.
Underweight negara berkembang
Kami mempertahankan pandangan underweight terhadap obligasi HY dan IG negara berkembang. Dalam beberapa pekan terakhir, seiring dengan meningkatnya probabilitas terjadi nya resesi akibat The Fed yang masih hawkish, kredit negara berkembang masih mengalami tekanan yang signifikan.
Upgrade obligasi IG negara maju ke netral
Kami baru saja meng-upgrade pandangan kami terhadap obligasi negara maju ke netral. Ada beberapa hal yang masuk dalam pertimbangan kami, namun yang paling utama adalah:
Masih netral terhadap obligasi HY Asia
Kami mempertahankan pandangan netral kami terhadap obligasi HY Asia. Namun, seiring dengan kuat nya USD, tren kenaikan suku bunga dan pertumbuhan ekonomi yang melambat, kami cenderung lebih menyukai sektor defensive seperti migas, energi terbarukan, pangan dan agrikultur, telekomunikasi, dan utilitas yang akan lebih kebal dalam situasi seperti ini.
Overweight terhadap obligasi IG Asia
Kami juga masih mempertahankan pandangan overweight kami terhadap obligasi IG Asia. Tidak seperti di kategori HY, obligasi IG China didominasi oleh perusahaan-perusahaan BUMN yang penting secara sistemik bagi perekonomian.
Pandangan Emas Meningkat
Harga emas dapat turun sebelum akhir tahun dan melihat beberapa kenaikan dengan latar belakang pertumbuhan yang melambat, meningkatnya risiko resesi, dan risiko The Fed mulai memperlambat laju pengetatan di akhir tahun. – Vasu Menon
Gold
Harga emas telah terbebani oleh Fed yang hawkish, imbal hasil riil yang lebih tinggi, Dolar AS (USD) yang kuat, dan risiko geopolitik Rusia-Ukraina. Tetapi, meningkatnya kekhawatiran resesi AS telah mulai menguntungkan emas sejak pertengahan Juli. Risiko The Fed memperlambat siklus kenaikan menjadi 50 bps pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) September mendatang telah meningkat, karena ekonomi AS masuk ke dalam resesi teknis di H1-22. Namun, kenaikan suku bunga 75 bps lagi tidak dapat dihindari, terutama jika rilisan inflasi menjelang rapat tetap tinggi. Meski demikian, harga emas dapat turun sebelum akhir tahun dan melihat beberapa kenaikan dengan latar belakang pertumbuhan yang melambat, meningkatnya risiko resesi, dan risiko The Fed mulai memperlambat laju pengetatan di akhir tahun. Peluang resesi AS yang meningkat akan terus membuat emas mengungguli logam dasar lainnya seperti tembaga.
Oil
Pasar minyak ketat, namun telah mereda. Harga minyak yang tinggi terus meningkatkan jumlah pengeboran di AS. Kami mengharapkan pertumbuhan produksi yang kuat kedepan. Kekhawatiran akan pertumbuhan meningkat karena bank sentral mempercepat pengetatan untuk menjinakan inflasi, dimana telah mengalihkan fokus dari masalah sisi penawaran ke sisi permintaan di pasar minyak. Kasus COVID-19 dapat terus mengganggu pemulihan aktivitas industri di China.
Tanda-tanda perlambatan pertumbuhan di AS dan Eropa dapat mendinginkan pasar minyak lebih lanjut. Kami telah menurunkan perkiraan harga minyak kami sebesar USD 5/barel karena perlambatan pertumbuhan global dapat membatasi permintaan minyak. Perkiraan harga 12 bulan kami untuk Brent berada di USD 85/barel sedangkan untuk WTI adalah USD 82/barel. Jika terjadi penurunan global yang parah, OPEC+ kemungkinan akan bertindak lagi untuk mendukung harga di sekitar level USD 60/barel.
Currency
Di bulan Juli, mata uang USD bergerak naik-turun, mencatatkan penguatan di paruh pertama sebelum akhirnya melemah di paruh kedua. Sentimen risiko yang tenang dan dinamika bank sentral – kesulitan untuk mengalahkan The Fed dalam waktu dekat memperpanjang kekuatan USD secara luas hingga awal Juli. Sejak pertengahan Juli, kekhawatiran resesi AS ditambah dengan meningkatnya sikap hawkish di BoE dan ECB telah mendorong indeks Dolar AS (DXY) lebih rendah. The Fed memang memberikan kenaikan 75 bps lagi pada bulan Juli, tetapi hasil FOMC dipandang dovish karena bank sentral AS menurunkan pandangannya ke depan, dan Powell menyebutkan laju pengetatan harus melambat di beberapa titik – meskipun ini tidak sepenuhnya tidak terduga. Kenaikan terbatas USD yang meluas datang lebih awal dari yang kami harapkan. Kami tidak melihat hasil FOMC sebagai dovish, dan kami terus memperkirakan tingkat target dana Fed akan naik menjadi 3.25-3.50% pada akhir tahun. Namun, dengan bank sentral lain yang mengejar, USD secara luas telah mulai menunjukkan beberapa tanda pelemahan karena kesenjangan kebijakan moneter mungkin tidak melebar lebih jauh.
The Fed goes back to 1994
Tahun 1994 adalah terakhir kali nya The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps), dimana pada tahun tersebut bank sentral AS menggandakan suku bunga acuan nya dari 3.0% ke 6.0% dalam upaya menahan pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat. Apa yang telah terjadi pada paruh pertama tahun ini mengingatkan para investor atas apa yang terjadi pada tahun 1994. Kedepannya, The Fed masih diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan ke rentang 3.25% hingga 3.75% tahun ini. Dengan inflasi yang telah terbukti akan berada di level yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama, probabilitas terjadinya resesi masih menjadi ketidakpastian utama. Pertumbuhan ekonomi global kini diprediksi berada dibawah level 3.0% tahun ini dan tahun depan. Tidak hanya di AS, Inggris dan Zona Eropa juga memiliki probabilitas yang tinggi untuk masuk ke jurang resesi di tahun ini ataupun tahun depan, seiring dengan terus berlanjutnya perang antara Rusia dan Ukraina.
Di Asia, China yang masih mempertahankan kebijakan “Zero-Covid” masih menjadi kekhawatiran utama investor. Walaupun pemerintah telah berulang kali menyampaikan komitmen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5.0% di tahun 2022 ini, di awal semester dua ini hal tersebut semakin terlihat tidak dapat tercapai. Di lain sisi, bank sentral lainnya seperti di Taiwan, Macau, Hong Kong, India, Korea Selatan, dan Singapore telah mulai menaikkan suku bunga acuan; dengan potensi Filipina dan Thailand untuk juga mulai mengikuti menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
Melihat Indonesia, kinerja manufaktur mencatatkan sedikit penurunan dari 50.8 ke 50.2 di bulan Juni, masih berhasil mencatatkan ekspansi tipis. Inflasi di bulan Juni naik signifikan ke level 4.35% YoY, diatas ekspektasi dan pencapaian sebelumnya di 3.55% YoY. Pada RDG BI bulan Juni, Bank Indonesia memutuskan untuk menahan suku bunga acuan 3.50%, masih mempertahankan kebijakan akomodatif nya guna menopang pemulihan ekonomi. Namun, hal ini dapat berubah pada pertemuan bulan Juli seiring dengan tinggi nya inflasi. Kekhawatiran atas tinggi nya inflasi dan juga potensi terjadi nya resesi global telah mendorong nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS menembus batas level 15,000 per USD di awal bulan Juli ini. Walaupun pemerintah dan bank sentral cenderung menyukai mata uang yang lebih lemah, demi menopang ekspor dan dagang, namun pelemahan terlalu dalam dapat berdampak negatif terhadap pasar modal secara keseluruhan.
Equity
Di bulan Juni, IHSG mencatatkan pelemahan sebesar 3.3% ke level 6,911.58; merupakan penurunan bulanan terbesar sepanjang tahun 2022. Faktor-faktor eksternal seperti tensi geopolitik di Eropa Barat dan siklus kenaikan suku bunga acuan oleh para bank sentral global untuk menahan kenaikan inflasi masih mendominasi pergerakan aset risiko. Investor asing mencatatkan jual bersih senilai USD 220.4 juta dari pasar saham domestik, seiring dengan aksi diversifikasi pelaku pasar terhadap aset risiko negara berkembang. Walaupun data-data ekonomi masih menunjukkan pemulihan yang stabil, kekhawatiran atas siklus kenaikan suku bunga secara global dan sikap para bank sentral yang semakin hawkish, masih akan menjadi sentimen negatif utama bagi aset risiko dalam jangka pendek kedepan.
Bond
Di pasar obligasi, imbal hasil benchmark 10 tahun naik 7.22% di bulan Juni, menandakan ada nya pelemahan dari segi harga. Investor asing mencatatkan jual bersih senilai USD 737.3 juta di bulan Juni. Di satu titik, imbal hasil sempat naik ke kisaran 7.5%, level tertingginya sejak Juni 2020. Namun, skema burden sharing antara Bank Indonesia dan pemerintah masih memberikan dukungan dari segi permintaan. Terlebih lagi, Kementrian Keuangan juga berkomitmen untuk menurunkan volume lelang yang diadakan setiap dua minggu sekali. Stabilitas harga aset pendapatan tetap yang didorong oleh pengaturan dari sisi supply dan demand seharusnya masih akan dapat menahan kenaikan imbal hasil yang diakibatkan oleh kenaikan suku bunga dan tinggi nya inflasi global.
Rupiah
Dari sisi mata uang, Rupiah melemah terhadap Dolar AS sebesar 2.23% ke level 14,903/USD di akhir bulan Juni lalu. Indeks Dollar (DXY) tercatat naik dari 101.7 menjadi 104.7 di waktu yang sama. Hawkish-nya The Fed telah menjadi katalis pendorong mata uang USD sejak bulan Maret lalu dan masih diprediksi akan terus menaikkan suku bunga acuan di semester dua ini. Batas nilai tukar 15,000/USD merupakan batas yang cukup diperhatikan para pelaku pasar karena merupakan level psikologis. Saat ini, investor mulai mengantisipasi ada nya kenaikan suku bunga acuan sebesar 25-bps oleh Bank Indonesia pada pertemuan RDG BI bulan ini seiring dengan lonjakan inflasi di bulan Juni dan untuk menopang mata uang Rupiah.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
The Fed kembali ke 1994
Kami mengekspektasi PDB AS akan mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut-turut – yang secara teknis merupakan definisi dari resesi – saat ini potensi mendekati 50% dalam 18 bulan kedepan. – Eli Lee
The Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps) untuk pertama kalinya sejak 1994, tahun yang menurut kami memberikan beberapa pandangan di 2022.
Di 1994, The Fed menggandakan Fed Funds Rate dari 3.00% menjadi 6.00% pada awal 1995, naik 50 bps pada setiap pertemuan, termasuk satu peningkatan 75 bps. Tahun ini, pengetatan Fed kemungkinan akan sama cepatnya, mengangkat Fed Funds Rate dari hampir 0.00% menjadi 4.00% pada awal 2023.
Pengetatan agresif The Fed untuk mengembalikan inflasi kembali ke target 2% selama beberapa tahun kedepan akan memperlambat ekonomi AS dengan tajam. Kami sekarang memperkirakan PDB AS akan berekspansi sebesar 1.8% pada tahun 2022 dan 1.4% pada tahun 2023, dibandingkan dengan 5.7% pada tahun 2021. Pertumbuhan global dengan demikian kemungkinan akan berada di bawah 3.0% tahun ini dan berikutnya sekarang.
Pertumbuhan yang lebih lemah meningkatkan risiko resesi. Kami berekspektasi peluang PDB AS mengalami dua kuartal kontraksi langsung berturut-turut - definisi teknis resesi - mendekati 50% dalam 18 bulan kedepan.
Namun, itu semua bukan berarti hal yang sangat mengkhawatirkan. 1994 memberi investor silver lining. Seperti pada tahun 1994, aset berisiko dapat rebound pada tahun 2022 ketika siklus kenaikan Fed memuncak. Pada tahun 1994 setelah menjadi jelas bahwa siklus kenaikan Fed berakhir pada akhir tahun 1994, imbal hasil 10Y US Treasury memuncak di atas 8% dan mulai turun. Selanjutnya, ekuitas AS mengalami kenaikan besar dari tahun 1995 hingga bubble pada saham internet meledak pada tahun 2000.
Oleh karena itu, pada tahun 2022, investor tidak seharusnya "menjual segalanya" karena aset berisiko dapat pulih setelah siklus pengetatan Fed memuncak. Tahun ini, puncak sikap hawkish The Fed saat ini dapat berlangsung hingga Q4 22. Hanya ketika bank sentral melihat bukti yang jelas inflasi AS mulai jatuh kembali ke target 2%, kemungkinan besar menjelang akhir tahun, maka pejabat Fed dapat memperlambat laju kenaikan suku bunga dari 50-75 bps selama musim panas dan musim gugur menjadi 25 bps bergerak selama musim dingin. Dengan demikian, kami berekspektasi masih terlalu dini untuk mulai memilih posisi terendah dalam ekuitas, treasuries, kredit, dan pasar negara berkembang.
Pada tahun 1994, siklus pengetatan Fed keras, tetapi itu berakhir dalam waktu satu tahun. Demikian pula, pada tahun 2022, siklus pengetatan Fed mungkin juga hanya berlangsung setahun, dimulai dari kenaikan pertama Fed pada Maret 2022. Kami memperkirakan suku bunga dana Fed akan mencapai puncaknya sekitar 4.00% pada awal 2023 dan untuk imbal hasil 10Y US Treasury mencapai 4.00% juga seperti yang ditunjukkan tabel.
Tetap waspada
Walaupun belum mencapai posisi terendahnya, namun, ada kemungkinan posisi saat ini sedang melewati kondisi kritis menuju penurunan signifikan. Kami mempertahankan posisi underweight kami di saham global. – Eli Lee
Dalam ekuitas, kami tetap underweight secara keseluruhan melalui posisi underweight kami di Eropa, yang sangat rentan terhadap dampak jangka pendek dan jangka panjang dari perang Rusia-Ukraina. Kami terus menyarankan agar tidak terlalu agresif mengingat berbagai potensi hasil perang, tanggapan kebijakan dari sekutu Ukraina, tindakan pembalasan dari Rusia, serta tekanan inflasi yang berkelanjutan di banyak ekonomi utama dan Fed yang hawkish.
Pada pasar saham negara maju, kami terus memilih value dibanding growth, kapitalisasi besar daripada kapitalisasi kecil, dan perusahaan dengan margin tangguh dan kekuatan harga dalam lingkungan inflasi.
Dalam ekuitas Asia ex-Japan, kami mempertahankan posisi overweight di China, Hong Kong, dan Singapura.
Bagaimana jika terjadi resesi?
Jika terjadi resesi, kami waspada bahwa penurunan pendapatan perusahaan dapat menyebabkan penurunan valuasi lebih lanjut untuk pasar saham global. Selain itu, secara historis pada tren penurunan, menunjukkan bahwa rata-rata penurunan pasar terjadi sekitar enam hingga sembilan bulan sebelum pendapatan perusahaan mulai naik lagi. Analisa ini menunjukan, bahwa kondisi sekarang belum berada di posisi terendah pada ekuitas jika resesi terjadi. Sehingga, pada level saat ini kami kemungkinan telah bekerja melalui bagian signifikan dari penurunan puncak ke dasar. Selain itu, dalam skenario resesi 2023, mengingat resesi tipikal berlangsung selama tiga hingga empat kuartal, kita dapat melihat ekuitas berada di posisi terbawah di H2 22 atau H1 23.
Amerika Serikat
Memasuki H2 22, kami percaya pasar semakin menimbang kemungkinan resesi mengingat suku bunga yang lebih tinggi dan kondisi keuangan yang lebih ketat. Tim ekonomi makro kami telah mengurangi perkiraan PDB AS kami dan sekarang melihat peluang 50-50 dari resesi pada tahun 2023. Meskipun demikian, terlepas dari berbagai kekhawatiran, kami mencatat bahwa AS tetap menjadi net eksporter energi dengan persediaan perumahan yang ada saat ini rendah dan bank-bank yang secara umum sehat. Kami mempertahankan posisi netral pada pasar ekuitas AS.
Eropa
Valuasi untuk MSCI Europe Index telah turun jauh, meskipun kami mencatat bahwa valuasi bahkan lebih rendah selama pandemi COVID-19 pada tahun 2020, krisis kawasan Eropa pada tahun 2011, dan Krisis Keuangan Global pada tahun 2008. Memang, Eropa masih terkena dampak guncangan.
Perang di Ukraina telah mendorong lonjakan inflasi yang sudah lebih besar dari yang diantisipasi, ancaman gangguan pasokan gas juga tetap signifikan. Terakhir, ada risiko bahwa lonjakan inflasi mengarah pada efek putaran kedua melalui ekspektasi upah dan inflasi, yang akan membutuhkan respons Bank Sentral Eropa (ECB) yang lebih agresif.
Jepang
Sementara tingkat pengembalian Indeks MSCI Jepang sedikit negatif tahun ini dalam hal JPY, yang menggarisbawahi sikap netral kami, pasar saham telah jatuh sejalan dengan MSCI All Country World Index dalam USD karena depresiasi JPY dipercepat menuju level terendah 24 tahun bulan lalu.
Asia ex-Japan
Secara keseluruhan, kami mempertahankan pandangan netral kami di Asia ex-Japan dan berhati-hati terhadap meningkatnya risiko resesi AS, suku bunga yang lebih tinggi, dan penguatan USD, tetapi mempertahankan posisi overweight di China, Hong Kong, dan Singapura di kawasan ini.
China
Kami mempertahankan preferensi kami untuk ekuitas A-share dan fokus pada industri yang kemungkinan akan menjadi penerima manfaat kebijakan seperti konstruksi dan yang terkait infrastruktur termasuk energi terbarukan.
Obligasi High Yield (HY) di downgrade
Kami telah menurunkan rating untuk obligasi HY negara berkembang dan maju menjadi underweight. Apabila pasar semakin meyakini prospek terjadinya resesi, maka spread kredit untuk obligasi HY dapat menjadi semakin lebar. – Vasu Menon
Inflasi menjadi tema yang mendominasi pasar aset pendapatan tetap di bulan Juni. Rilisan data inflasi yang meningkat telah menghapus harapan sebelumnya bahwa The Fed dapat menahan kenaikan harga barang, yang akhirnya mendorong kenaikan imbal hasil US Treasury. Di waktu yang sama, fokus pasar semakin tertuju pada pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif oleh The Fed dan potensi terjadinya resesi. Pandangan ini semakin terealisasi mendekati akhir bulan Juni dimana Ketua Fed Jerome Powell yang kembali menekankan komitmen bank sentral untuk menarik turun inflasi ke kisaran target 2%, walaupun adanya potensi resesi terjadi.
Spread semakin melebar seiring dengan meningkatnya kekhawatiran resesi
Spread obligasi HY dan Investment Grade (IG) negara berkembang melebar 104 dan 19 basis poin (bps) di bulan Juni. Obligasi HY negara maju melebar 143 bps sementara obligasi IG AS melebar 23 bps.
Underweight terhadap seluruh kelas aset pendapatan tetap global
Di pertengahan bulan Juni kami menurunkan peringkat obligasi HY negara berkembang dan maju ke underweight, mengikuti jejak obligasi IG. Inflasi yang telah terbukti lebih tetap dan gigih seharusnya akan mendorong The Fed untuk lebih hawkish kedepannya, yang akan menopang kenaikan imbal hasil US Treasury. Terlebih lagi, apabila pasar semakin yakin bahwa resesi akan terjadi, spread kredit HY berpotensi untuk semakin lebar. Untuk beberapa bulan kedepan, kami percaya risiko inflasi dan resesi masih akan menjadi faktor yang mendominasi pergerakan pasar obligasi secara keseluruhan.
Fokus terhadap sektor defensive di obligasi HY negara berkembang
Seiring dengan menguatnya dolar AS, siklus kenaikan suku bunga dan perlambatan pertubuhan ekonomi, kami cenderung lebih menyukai sektor – sektor defensive negara berkembang seperti contohnya minyak & gas, energi terbarukan, pangan & agrikultur, telekomunikasi, dan utilitas.
Overweight terhadap obligasi IG Asia
Kami masih mempertahankan pandangan overweight kami terhadap obligasi IG Asia. Tidak seperti di pasar HY, pasar obligasi IG China didominasi oleh kredit perusahaan – perusahaan BUMN yang penting secara sistemik bagi perekonomian. Namun secara keseluruhan, beberapa sektor lainnya di pasar IG Asia yang juga cukup baik akan sama dengan di pasar HY.
Kekhawatiran resesi mendukung harga emas
Kami mengubah perkiraan harga emas kami untuk mencerminkan pandangan yang lebih terbatas. Kenaikan awal suku bunga oleh beberapa bank sentral utama, terutama The Fed, dapat membatasi potensi emas untuk reli dalam jangka waktu 3 bulan sementara meningkatnya risiko resesi dan tidak berakhirnya perang Rusia-Ukraina dengan cepat dapat membatasi penurunan emas pada 6 hingga jangka waktu 12 bulan – Vasu Menon
Emas
Pengetatan moneter di awal, kenaikan imbal hasil riil, dan Dolar AS yang lebih kuat telah mengambil alih risiko geopolitik untuk menuntun harga emas lebih rendah. Dikatakan juga, emas terus menjalankan perannya sebagai diversifikasi portofolio, mengungguli saham dan obligasi tahun ini.
Kami mengubah perkiraan harga emas kami untuk mencerminkan pandangan yang lebih terbatas. Kenaikan awal suku bunga oleh beberapa bank sentral utama, terutama The Fed, dapat membatasi potensi emas untuk menguat dalam jangka waktu 3 bulan sementara meningkatnya risiko resesi dan tidak berakhirnya perang Rusia-Ukraina dengan cepat dapat membatasi penurunan emas pada 6- hingga jangka waktu 12 bulan
Minyak
Sementara perjuangan bank sentral melawan inflasi telah mendorong kerugian dalam ekuitas dan kredit, harga minyak tetap tinggi sampai saat ini karena pasokan yang terbatas.
Harga minyak telah naik lebih awal karena sanksi Eropa terhadap minyak Rusia akan memperketat pasar selama beberapa bulan mendatang. Sementara OPEC+ setuju untuk meningkatkan produksi pada tingkat yang lebih cepat, namun akan gagal menutup celah yang ditinggalkan oleh larangan Eropa terhadap minyak Rusia. Produsen minyak AS kemungkinan akan melanjutkan peningkatan produksi bertahap mereka.
Namun, meningkatnya kekhawatiran pertumbuhan karena bank sentral mempercepat pengetatan untuk meredam inflasi telah mengalihkan fokus dari masalah sisi penawaran ke permintaan di pasar minyak. Sementara permintaan dari China dapat pulih karena lockdown dilonggarkan, tanda-tanda perlambatan pertumbuhan di AS dan Eropa, dapat membuat pasar minyak semakin panas. Kami telah menurunkan perkiraan harga minyak karena perlambatan pertumbuhan global dapat membatasi permintaan minyak.
Currency
Indeks Dolar AS (DXY) rebound pada paruh pertama Juni sebelum berkonsolidasi setelahnya, karena The Fed berubah lebih hawkish sementara kekhawatiran pertumbuhan global meningkat. Tampaknya sulit bagi Bank Sentral Eropa (ECB) atau Bank of England (BoE) untuk mengungguli Federal Reserve (Fed) AS dalam hal kenaikan suku bunga jangka pendek, sementara Indeks Sentimen Risiko kami tetap sama yaitu keluar dari Zona Eropa. Latar belakang ini seharusnya mendukung perpanjangan kekuatan Dolar secara luas ke bagian awal Q3.
Pound (GBP) berada di bawah tekanan dan GBP/USD menyentuh level terendah baru-baru ini di 1.1934 pada bulan Juni, di tengah berita utama negatif Brexit dan kekhawatiran akan pertumbuhan ekonomi. EUR telah terbebani oleh risiko fragmentasi yang dirasakan, tetapi pasar telah mengantisipasi terhadap kenaikan suku bunga ECB yang telah berubah lebih hawkish seperti yang kami harapkan, memberikan beberapa dukungan untuk EUR. Sementara Presiden ECB Christine Lagarde telah mengisyaratkan dengan kuat pada kenaikan suku bunga 25 bps pada pertemuan kebijakan bulan Juli, keputusan itu bergantung pada data.
Akhir-akhir ini, CNH tampaknya telah stabil di sekitar 6,7000 terhadap USD, karena data terbaru mendukung gagasan bahwa pasar kemungkinan telah melewati puncak pesimisme untuk pertumbuhan China. Namun, China bertahan dengan kebijakan zero COVID yang dinamis yang berarti risiko penguncian skala kecil tetap ada. Secara seimbang, kami memperkirakan USD/CNH diperdagangkan di kisaran 6.6500-6.7500.
From inflation fears to recessions risks
Pada bulan Mei, perhatian dan fokus pelaku pasar masih tertuju terhadap beberapa kejadian yang memberikan sentimen negatif terhadap perekonomian global seperti konflik geopolitik Rusia – Ukraina yang masih berlangsung, kenaikan laju inflasi yang signifikan akibat kenaikan harga minyak dan sejumlah komoditas pangan, serta kebijakan zero covid policy di China yang mengakibatkan melambatnya aktivitas ekonomi China. Hal ini mendorong pelemahan sejumlah aset seperti obligasi dan pasar saham global. Tingginya angka inflasi global terutama di sejumlah negara maju, membuat kebijakan suku bunga bank sentral dunia, seperti Fed diperkirakan tetap hawkish dengan potensi kenaikan suku bunga sebanyak 5 kali hingga penghujung tahun ini. Kekhawatiran ini memberikan dampak kenaikan terhadap imbal hasil US Treasury yang berada di kisaran 2.9% - 3.1% saat ini. Tingginya angka inflasi, di tengah ekonomi yang mulai melambat, memicu adanya kekhawatiran stagflasi yang berkepanjangan, yang berpotensi mendorong perekonomian negara maju memasuki jurang resesi. Beralih ke dalam negeri, berbeda dengan negara maju yang sedang menghadapi risiko stagflasi dan resesi, perekonomian Indonesia justru tetap menunjukkan pemulihan yang optimis di tengah berbagai sentimen negatif global. Aktivitas manufaktur masih berekspansi pada bulan Mei ke level 50.8. Selain itu, neraca perdagangan Indonesia di bulan Mei menunjukan kenaikan surpluss ke level US$ 7.56 miliar, dari sebelumnya di level US$ 4.53 miliar. Sementara pada bulan Mei, terjadi kenaikan inflasi sebesar 3.55% secara y-o-y. Aktivitas sosial dan ekonomi semakin membaik seiring dengan penanganan pandemi yang semakin terkendali dan meningkatnya mobilitas.
Equity
Sejumlah faktor risiko eksternal membayangi pergerakan bursa saham domestik di bulan Mei, sehingga mengakibatkan tingginya volatilitas pasar saham. Tingginya risiko eksternal mengakibatkan aksi jual dari investor asing serta larangan ekspor kelapa sawit yang sempat diumumkan oleh pemerintah, semakin mendorong bursa melemah. Bagaimanapun, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia. Namun, larangan ini akhirnya dicabut. Sehingga, paska melemah di kisaran 6,597 di minggu kedua bulan Mei, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya berhasil menutup bulan Mei dengan pelemahan hanya sebesar 1.11 persen di 7,148. Ke depannya, sejumlah risiko eksternal masih dapat mendorong volatilitas di pasar saham. Namun dengan pemulihan ekonomi domestik dan minat investor asing yang masih cukup tinggi, maka IHSG diperkirakan akan berada di kisaran 7,200 – 7,500 hingga akhir tahun.
Bond
Selama bulan Mei, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berfluktuasi cukup signifikan. Imbal hasil tercatat meningkat dari awal bulan di level 6.99% ke kisaran level 7.41% di pertengahan bulan Mei, namun kembali di tutup di kisaran 7.04% pada akhir bulan lalu. Pergerakan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia akan mengikuti imbal hasil US Treasury. Walaupun potensi kenaikan lanjutan dari imbal hasil berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia khususnya investor asing, namun kepemilikan asing saat ini sudah underweight di mana saat ini berada pada level rendah di level 16.5%. Dengan berkurangnya ketergantungan pasar obligasi pada investor asing, tentunya ini akan mengurangi volatilitas yang diakibatkan oleh faktor eksternal. Dengan inflasi yang relatif cukup rendah, maka imbal hasil riil atau real yield berada di kisaran 3.4%. Imbal hasil yang cukup tinggi akan menarik investor untuk kembali masuk ke pasar obligasi, dan di saat yang sama dapat menjadi buffer atau mengurangi volatilitas.
Currency
Sementara itu, mata uang Rupiah melemah 0.53% sepanjang bulan Mei lalu, ditutup pada level 14,578 di akhir bulan. Rupiah diperkirakan masih akan menghadapi tantangan dari siklus kenaikan suku bunga Fed selanjutnya. Di sisi lain, Bank Indonesia tetap menahan suku bunga acuan 7-day reverse repo rate di 3.5 persen, namun mulai menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan, sebagai salah satu upaya untuk meredam laju inflasi dan mengurangi likuiditas, serta menstabilkan nilai tukar Rupiah.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Dari kekhawatiran inflasi hingga risiko resesi
Prospek ekonomi terus menjadi sangat menantang, dan risiko resesi telah menggantikan kekhawatiran inflasi sebagai perhatian utama investor. – Eli Lee
Tidak ada resesi di 2022
Kami tidak memperkirakan salah satu ekonomi utama dunia akan mengalami resesi – secara teknis didefinisikan sebagai PDB yang terkontraksi selama dua kuartal berturut-turut – pada tahun 2022 kecuali ada guncangan lain yang akan menghantam ekonomi global.
Skenario dasar kami tetap bahwa pertumbuhan global akan melambat tajam, namun tidak menyebabkan resesi di tahun ini.
Oleh karena itu, kami memperkirakan bank sentral utama akan terus menaikkan suku bunga dengan cepat sepanjang tahun 2022 untuk mengembalikan inflasi ke target 2% mereka selama beberapa tahun ke depan.
The Fed akan terus menaikkan suku bunga hingga awal 2023
Inflasi AS berada pada level tertinggi empat decade, bahkan tidak termasuk harga makanan dan energi. The Federal Reserve (Fed) telah dikagetkan oleh seberapa cepat inflasi telah melonjak tahun ini. Ketika pandemi mereda di AS, rantai pasokan secara global tetap terganggu dan perang di Ukraina menyebabkan lonjakan harga minyak.
Kami memperkirakan The Fed akan terus meningkatkan suku bunga acuan hingga mencapai 2.75-3.00% pada awal tahun depan.
Kenaikan suku bunga dari bank sentral lainnya
Demikian pula, kami memperkirakan Bank Sentral Eropa (ECB), yang dihadapkan dengan rekor inflasi Zona Euro, akan mulai meningkatkan suku bunga depositonya pada bulan Juli. Dengan demikian, kami mengantisipasi ECB meningkatkan suku bunga depositonya sebesar 25 bps pada pertemuan Juli dan September sehingga mencapai nol pada akhir Q3 22, dan kemudian terus dinaikkan setiap kuartal hingga mencapai 1.00% pada tahun 2023.
Bank of England (BoE) juga menghadapi inflasi tinggi selama beberapa dekade di Inggris. Dengan demikian, BoE telah meningkatkan suku bunga banknya menjadi 1.00% selama tahun 2022, dan kami memperkirakan setidaknya dua kenaikan suku bunga 25 bps lagi pada pertemuan mendatang pada bulan Juni dan Agustus.
Bank of Japan dan People's Bank of China adalah dua bank sentral yang menahan diri untuk tidak menaikkan suku bunga tahun ini mengingat kelemahan inflasi inti yang berkepanjangan di Jepang dan perlambatan ekonomi China saat ini.
Imbal hasil US Treasury 10Y tetap fluktuatif
Kenaikan suku bunga dari The Fed dan rekan-rekannya kemungkinan akan menjaga imbal hasil obligasi pemerintah tetap fluktuatif sehingga merugikan aset berisiko selama beberapa bulan ke depan.
Kami memperkirakan imbal hasil 10Y US Treasury akan tetap volatile. Tetapi jika kami terbukti benar dalam pandangan kami bahwa ekonomi AS tidak akan mengalami resesi tahun ini, maka imbal hasil 10Y US Treasury kemungkinan akan diperdagangkan naik menuju 3.00% lagi, lalu jatuh kembali ke level 2.00% yang dicapai oleh obligasi pemerintah AS acuan selama pandemi pada tahun 2020 dan 2021.
Prospek ekonomi dari inflasi yang tinggi, pertumbuhan global yang melambat tajam, kenaikan suku bunga yang disinkronkan oleh bank sentral di seluruh dunia, dan imbal hasil obligasi pemerintah yang volatile kemungkinan akan membuat investor menghindari risiko selama musim panas.
Source: Bank of Singapore
Tetap underweight saham
Setelah terjadi penguatan, untuk pandangan 12 bulan kedepan, kami melihat pelemahan yang terjadi sudah menyentuh puncaknya, meskipun sebagian besar penurunan kemungkinan telah diselesaikan pada level saat ini. – Eli Lee
Pasar semakin mengantisipasi skenario resesi di belakang beberapa tantangan global, termasuk fokus Federal Reserve (Fed) untuk secara tegas membatasi inflasi dan dampaknya terhadap pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan. Kami mempertahankan posisi underweight kami dalam saham global pada saat ini. Namun, kami terus mengharapkan kinerja jangka panjang yang lebih baik dari sektor energi, perusahaan yang diuntungkan dari tren pembukaan kembali, mereka yang menikmati kekuatan harga dalam lingkungan inflasi, dan menyukai saham value dibanding saham growth.
United States
Hasil pendapatan perusahaan Q1 22 sebagian besar terlihat kuat. Namun, kekhawatiran siklikal telah meningkat di antara investor menyusul laporan pendapatan dari pengecer besar, terutama terkait tekanan margin, permintaan konsumen kelas bawah, serta peningkatan persediaan yang berlebihan. Lingkungan makro juga tampaknya semakin menantang untuk nama-nama yang dimanfaatkan untuk iklan online. Meskipun risiko penurunan pasti meningkat, rumah tangga masih memiliki rasio pembayaran utang yang rendah dan tabungan yang meningkat, sementara perusahaan juga semakin mementingkan rasionalisasi biaya. Semua dipertimbangkan, kami mempertahankan pandangan netral kami pada pasar saham AS.
Europe
Latar belakang makro tetap sulit untuk saham mengingat kekhawatiran perlambatan pertumbuhan global dan pengetatan moneter. Pada saat yang sama, risiko geopolitik di Eropa tetap tinggi. Rasio risk vs reward MSCI Eropa tidak menarik, dengan pembatasan impor gas Rusia sebagai risiko utama, meskipun Uni Eropa tampaknya telah melunakkan pendiriannya dalam kebuntuannya dengan Moskow atas pasokan energi, yang memungkinkan perusahaan untuk menjaga aliran gas Rusia. Melihat kedepan, siklus penurunan peringkat laba per saham (EPS) dapat dimulai pada 2H22 karena tekanan margin mulai membebani.
Japan
Panduan perusahaan umumnya konservatif mengingat pertumbuhan global yang berkelanjutan dan hambatan inflasi yang diperkirakan. MSCI Jepang diperdagangkan mendekati -1 standar deviasi ke P/E rata-rata historis 10 tahun, mencerminkan ekspektasi moderat meskipun investor berbasis USD masih harus melakukan lindung nilai terhadap posisi mereka dalam mata uang Yen Jepang.
Asia ex-Japan
Kami melihat risiko penurunan pada perkiraan pendapatan di bawah konsensus kami untuk Asia selain Jepang, mengingat dampak kebangkitan COVID-19 yang lebih buruk dari perkiraan di China dan meningkatnya tekanan inflasi. Dengan demikian, kami memangkas “base case” perkiraan pertumbuhan EPS FY22 “ kami dari 7% menjadi 6%.
China
Data ekonomi April yang lebih lemah dari perkiraan menyoroti dampak penguncian di China. Sementara itu, diskusi dan pengumuman kebijakan stimulus telah meningkat belakangan ini. Perkembangan utama termasuk penurunan Suku Bunga Dasar Pinjaman 5 tahun, yang merupakan tolok ukur suku bunga KPR; dan 33 langkah stimulus komprehensif yang diumumkan oleh Dewan Negara.
Selama sebulan terakhir, ekuitas A-share (Indeks CSI 300) terus lebih tangguh dan mengungguli ekuitas Asia ex-Jepang. Kami terus memilih ekuitas A-share dalam negeri dan kami memperkirakan kinerja yang relatif lebih baik akan terus berlanjut hingga H2 22 ketika langkah-langkah pelonggaran meningkat dan aktivitas menjadi normal. Kami mempertahankan pandangan kami bahwa nilai saham akan mengungguli saham pertumbuhan di Q2. Kami terus memilih perusahaan dengan dividen defensif dan/atau dukungan pembelian kembali saham, pembukaan kembali Hong Kong, dan penerima kebijakan.
Views on sectors
Secara umum, sektor yang lebih defensif seperti utilitas dan perawatan kesehatan akan berkinerja relatif lebih baik dalam periode penghindaran risiko. Namun, kami menyoroti bahwa ada faktor lain yang perlu diingat seperti cakrawala waktu dan dinamika spesifik industri.
Masih underweight terhadap obligasi
Di pasar obligasi, kami masih melihat spread kredit untuk tetap tinggi, seiring dengan pasar yang masih fluktuatif dan juga akibat tinggi nya ketidakpastian di pasar saat ini ditengah potensi terjadinya resesi ataupun soft landing bagi perekonomian global. – Vasu Menon
Tingginya inflasi, tensi geopolitik Eropa, hingga pertumbuhan ekonomi China yang diprediksi melambat masih menjadi beberapa sentimen negatif pasar modal; sehingga menjadi katalis pemberat bagi pergerakan aset pendapatan tetap. Terlebih lagi, potensi pengetatan kebijakan oleh The Fed, baik dari segi suku bunga ataupun penyusutan neraca keuangan, semakin membebani aset berisiko. Pasar obligasi AS terlihat semakin volatile akibat beberapa skenario seperti hard landing ataupun softish landing yang saat ini menjadi ketidakpastian pasar. Kami melihat pasar masih akan fluktuatif beberapa pekan kedepan seiring dengan rendah nya arahan pasti bagi pasar modal.
Secara keseluruhan, kami masih underweight di pasar obligasi, dengan posisi underweight baik di obligasi Investment Grade (IG) negara maju (DM) dan berkembang (EM); netral bagi obligasi High Yield (HY) DM dan EM. Pemilihan aset pendapatan tetap harus lebih selektif disaat – saat seperti saat ini.
Masih netral terhadap EM HY
Walaupun ketidakpastian ekonomi masih tinggi saat ini akibat potensi terjadinya resesi atau kontraksi bagi ekonomi global, kami percaya pelemahan sejak awal tahun sudah cukup dalam bagi obligasi EM HY. Obligasi Rusia sudah dikeluarkan dari index JP Morgan CEMBI dan volume obligasi HY China saat ini hanya setengah nya dari tahun lalu, kedua hal tersebut membuat kredit korporasi EM saat ini lebih terdiversifikasi. Fundamental bottom-up saat ini juga masih terlihat supportif.
Mempertahankan posisi netral terhadap ketiga wilayah EM HY, dengan fokus ke sektor defensif
Kami mempertahankan pandangan netral terhadap Asia, Amerika Latin, dan CEEMEA (Eropa dan Africa). Namun, seiring dengan penguatan USD, kenaikan suku bunga dan harga komoditas, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi, kami masih lebih menyukai industri defensif seperti migas, makanan dan perkebunan, tambang, telekomunikasi, dan kebutuhan yang akan lebih diuntungkan dengan kondisi seperti sekarang.
Overweight obligasi IG Asia
Kami mempertahankan pandangan overweight kami terhadap obligasi IG Asia. Tidak seperti di pasar obligasi HY, obligasi IG China didominasi oleh mayoritas perusahaan BUMN yang penting secara sistemik terhadap perekonomian. Akan tetapi dalam konteks yang lebih besar, kami juga menyukai industri-industri yang sama dengan seperti di EM HY sebelumnya.
Arah pergerakan emas yang tidak pasti
Perkiraan pandangan emas 3 bulan kami juga mencerminkan kehati-hatian bahwa meningkatnya risiko geopolitik dapat meningkatkan permintaan emas sebagai aset safe haven. Tapi kami percaya pelemahan harga emas sampai level terendah pada akhirnya akan terjadi, karena The Fed berhasil meredam inflasi dan karena kekhawatiran seputar potensi resesi AS mereda. – Vasu Menon
Gold
Arah pergerakan emas terperangkap antara kekuatan bullish dan bearish. Aksi jual aset berisiko gagal menarik arus safe haven kepada emas. Pengetatan Fed dan tekadnya untuk menurunkan inflasi telah menciptakan hambatan, karena peluang keuntungan memegang emas meningkat di tengah imbal hasil riil yang lebih tinggi dan Dolar AS yang lebih kuat.
Prospek emas jangka pendek kemungkinan akan tetap volatile karena meningkatnya kekhawatiran atas pertumbuhan AS untuk sementara dapat membuat emas lebih didukung. Perkiraan emas 3 bulan kami juga mencerminkan kehati-hatian bahwa meningkatnya risiko geopolitik dapat meningkatkan permintaan emas sebagai aset safe haven. Kami percaya posisi harga terendah baru untuk harga emas pada akhirnya akan terjadi karena The Fed berhasil meredam inflasi dan karena kekhawatiran seputar potensi resesi AS mereda. Kami menurunkan perkiraan emas 12 bulan menjadi USD 1,750/oz (sebelumnya: USD 1,825/oz).
Oil
Prospek harga minyak yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama tetap menjadi skenario dasar kami. Pelepasan dari Cadangan Minyak Strategis (SPR) yang dikendalikan pemerintah hanya dapat memberikan banyak bantuan. Pasar minyak fisik mengalami penurunan selama April dan awal Mei, sebagian besar didorong oleh penguncian terkait COVID di China. Tetapi prospek permintaan minyak China membaik di tengah pelonggaran pembatasan perjalanan karena penguncian dicabut. Pasokan minyak Rusia dapat turun lebih jauh dan menambah pasar minyak global yang sudah ketat menyusul keputusan UE untuk melarang impor minyak Rusia melalui laut.
Currency
Dari sini, USD (DXY) secara luas kemungkinan akan menjalani periode konsolidasi selama beberapa minggu mendatang, daripada memulai tren turun yang stabil pada tahap ini. Pertama, pergeseran dinamika bank sentral terutama tercermin dalam retorika, bukan tindakan nyata selama ini. Kedua, DXY telah bergerak secara luas dengan ketidakpastian sentimen risiko secara keseluruhan.
Baik Euro (EUR) dan Pound (GBP) mengumpulkan dukungan dari prospek bank sentral yang semakin hawkish. Lagarde ECB pada dasarnya menetapkan total kenaikan suku bunga 50 bps pada pertemuan Juli dan September karena bank sentral bertujuan untuk membawa suku bunga keluar dari wilayah negatif pada akhir Q3. Harga pasar telah meningkat seperti yang kami harapkan, dengan total 115 bps dari kenaikan suku bunga pada akhir tahun.
Di antara mata uang komoditas, Dolar Kanada (CAD) bernasib lebih baik sesuai dengan ekspektasi kami, karena BoC tetap menjadi salah satu bank sentral yang paling hawkish. CAD diposisikan dengan baik untuk memanfaatkan pelemahan dan konsolidasi USD, dengan support berikutnya untuk USD/CAD di 1,2560. Di tempat lain, harga pasar dari tindakan RBA tetap terlalu hawkish. Tampaknya tidak ada dorongan untuk mendorong AUD/USD lebih tinggi dalam waktu dekat.
Trimming Exposure to Risk
Di awal Mei, bank sentral AS menaikkan suku bunga untuk kedua kalinya menjadi 1%. Kenaikan tersebut merupakan bagian dari rangkaian kenaikan Fed Funds Rate yang diperkirakan akan menyentuh 2.75-3.00% di awal tahun 2023. Tidak hanya menaikkan suku bunga acuan, The Fed juga merencanakan normalisasi neraca (balance sheet) dengan pengurangan USD 47.5 miliar per bulan mulai Juni, dan pengurangan USD 90 miliar per bulan mulai September. Langkah pengetatan kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi tingkat inflasi yang terus mengalami kenaikan. Inflasi yang terlalu tinggi dikhawatirkan akan mendorong ekonomi melambat atau justru masuk ke era stagflasi. Hal ini mendorong imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun menyentuh level tertinggi di kisaran 3.1%.
Selain kekhawatiran akan kenaikan suku bunga yang lebih agresif, pasar modal masih dibayangi oleh sejumlah risiko. Tren kenaikan suku bunga oleh beberapa negara maju untuk mengatasi tingginya inflasi, berlanjutnya ketegangan Rusia-Ukraina, sanksi kepada Rusia yang terus membuat harga minyak melonjak, serta semakin ketatnya lockdown di China masih mendominasi pergerakan pada pasar saham.
Dari dalam negeri, fundamental Indonesia semakin membaik di tengah berbagai sentimen negatif global. Aktivitas manufaktur masih berekspansi pada bulan April ke level 51.9, dari sebelumnya 51.3. Pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal I 2022 juga bertumbuh 5.01%, lebih baik dari estimasi. Sementara di bulan April, terjadi inflasi sebesar 3.47% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021. Aktivitas ekonomi terlihat semakin pulih seiring dengan COVID-19 yang terkendali dan herd immunity yang meningkat.
Equity
IHSG berhasil menguat +2.22% ke level 7,728 di bulan April. Penguatan tidak lepas dari derasnya aliran dana investor asing yang mencapai sekitar USD 2.783 miliar. Investor terlihat optimis akan prospek perekonomian Indonesia. Ke depan, sejumlah risiko masih membayangi pergerakan pasar saham seperti kenaikan inflasi yang terlalu cepat yang mempercepat laju kenaikan suku bunga. Namun, seiring dengan pulihnya permintaan domestik dan kenaikan harga komoditas, maka IHSG diperkirakan akan berada di kisaran 7,200 – 7,500 hingga akhir tahun.
Bond
Selama bulan April, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun mengalami kenaikan, dari awal bulan di level 6.728% ke 6.986%. Kenaikan mengikuti imbal hasil US Treasury seiring dengan kenaikan suku bunga The Fed. Walaupun potensi kenaikan lanjutan dari imbal hasil berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, namun kepemilikan asing saat ini sudah underweight di bawah 20%. Sehingga, saat terjadi kenaikan imbal hasil yang cukup signifikan di atas 7 persen, investor dapat mempertimbangkan untuk mengakumulasi kelas aset obligasi di level yang cukup menarik. Imbal hasil obligasi tenor 10 tahun diperkirakan akan berada di kisaran level 7.15% hingga akhir tahun.
Currency
Sementara itu, mata uang Rupiah melemah 0.83% sepanjang bulan lalu, ditutup pada level 14,482 di akhir bulan. Pelemahan Rupiah diperkirakan akan berlanjut ditengah penguatan Dolar AS akibat kebijakan moneter The Fed. Di sisi lain, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan dan memastikan berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Rupiah diperkirakan berada di kisaran 14,408 hingga akhir tahun.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Pandangan yang lebih kelam
Prospek ekonomi masih terus menjadi sangat menantang, Eropa menghadapi perang berbulan-bulan, inflasi AS berada pada level tertinggi dalam empat dekade dan China sedang berjuang untuk menahan COVID-19. – Eli Lee
Pasar keuangan dengan demikian cenderung tetap volatile pada bulan Mei.
Kekhawatiran Resesi Meningkat
Pertumbuhan global tampaknya akan melambat tajam tahun ini, yang juga memicu kekhawatiran resesi.
Untuk ekonomi global secara keseluruhan, risiko resesi pada tahun 2022 masih tampak terbatas. Pembukaan kembali ekonomi, high savings, permintaan, dan pasar tenaga kerja yang ketat berpotensi untuk mendukung pertumbuhan global tahun ini ditengah kebijakan moneter lebih ketat dan melonjaknya harga komoditas.
Namun, untuk tahun 2023, risiko ekonomi dunia mengalami resesi meningkat. Kenaikan suku bunga tahun ini kemungkinan akan dirasakan lebih pada tahun 2023 dan efek dari pembukaan kembali juga kemungkinan akan memudar pada tahun depan.
Bank sentral mempercepat kenaikan suku bunga untuk memastikan puncak inflasi pada tahun 2022
The Fed akan menaikkan suku bunga fed fund sebesar 50 basis poin (bps) pada bulan Juni dan Juli setelah 50 bps awal pada bulan Mei menjadi 0.75-1.00%. The Fed juga kemungkinan akan terus menaikkan suku bunga sampai fed funds rate mencapai 2.75-3.00% pada awal tahun depan. Dengan demikian, kenaikan suku bunga The Fed berpotensi membatasi pertumbuhan pada tahun 2023.
Demikian pula, BOE kemungkinan akan terus menaikkan suku bunga pada bulan Mei dan lagi baik pada bulan Juni atau Agustus sebesar 25 bps sampai suku bunga bank mencapai setidaknya 1.25%.
ECB juga kemungkinan akan mengajukan kenaikan suku bunga tahun ini mengingat inflasi Zona Euro berada pada rekor tertinggi. Kami memperkirakan ECB untuk mengakhiri pelonggaran kuantitatif selama musim panas dan mulai menaikkan suku bunga deposito dari -0.50% dengan peningkatan 25 bps setiap tiga bulan dari Juli.
Sebaliknya, kami memperkirakan BOJ akan mempertahankan suku bunga depositonya tidak berubah pada -0.10% karena inflasi, tidak termasuk biaya makanan dan energi, tetap jauh di bawah target 2% di Jepang. Sementara PBOC diperkirakan akan menahan diri dari kenaikan suku bunga karena pertumbuhan China menderita akibat lockdowns yang ketat.
Imbal hasil obligasi global akan meningkat lebih lanjut
Kami memperkirakan US Treasuries akan diperdagangkan dalam kisaran 2.70-3.00%, lebih tinggi dibandingkan dengan 1.50% untuk imbal hasil Treasury 10Y pada awal 2022. Jika inflasi mulai mencapai puncaknya dalam beberapa bulan ke depan, maka imbal hasil global akan berhenti melonjak.
Terakhir, safe-haven USD diperkirakan untuk tetap diminati, dimana Euro, Yen dan Renminbi semuanya melemah tajam terhadap greenback.
Kombinasi dari inflasi yang meningkat, perlambatan yang lebih tajam, kenaikan suku bunga yang dipercepat, kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah, dan USD yang lebih kuat mencerminkan prospek ekonomi global yang sangat menantang.
Mengurangi tingkat Risiko
Kami telah menurunkan peringkat pasar saham Asia ex-Japan dari overweight menjadi netral, sehingga posisi kami secara keseluruhan dalam ekuitas global dari netral menjadi underweight. Di tingkat sektor, kami terus mendukung energi dalam jangka panjang, didukung oleh perkembangan geopolitik yang sedang berlangsung dan dorongan untuk keamanan energi di antara negara-negara. – Eli Lee
Amerika Serikat
Perusahaan-perusahaan AS berada di musim pelaporan, dan sejauh ini sebagian besar perusahaan S&P500 telah melaporkan mengalahkan perkiraan EPS. Beberapa tim manajemen telah memberikan panduan yang lebih hati-hati, dan ini dapat menyebabkan revisi penurunan EPS 2H22.
Eropa
Ekuitas Eropa telah kehilangan beberapa kekuatan baru-baru ini bersama dengan indeks utama lainnya di tengah kekhawatiran perlambatan pertumbuhan global dan pengetatan moneter. Kedepan, pertumbuhan di kawasan Eropa dapat melemah selama beberapa bulan mendatang karena kejutan harga energi dan potensi memudarnya dorongan pembukaan kembali.
Risiko lebih mengarah ke sisi negatif, Namun, kamu juga memberikan beberapa highlight pada wilayah Eropa. Ekuitas Inggris, misalnya, dengan bobot yang relatif lebih tinggi di sektor-sektor seperti Energi, Komoditas, dan Keuangan menawarkan lindung nilai yang lebih baik.
Jepang
Pasar saham Jepang telah bertahan tahun ini, jatuh pada tingkat yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan pasar saham dunia dalam mata uang lokal. Namun demikian dalam dolar AS, pasar saham telah tertinggal dari ekuitas dunia secara signifikan karena depresiasi mata uang Yen yang tajam. Pada musim laporan keuangan saat ini, kami mengharapkan perusahaan untuk memandu lebih konservatif untuk tahun fiskal baru karena ketidakpastian eksternal yang sedang berlangsung dan kekhawatiran inflasi.
Asia ex-Japan
Indeks MSCI Asia ex-Jepang menutup bulan penuh tantangan lainnya di bulan April. Salah satu tren yang umum adalah meningkatnya tekanan inflasi di kawasan dan mengakibatkan pengetatan kebijakan moneter di beberapa negara. Mengingat kinerja Indonesia yang lebih baik sejak peningkatan kami baru-baru ini ke peringkat overweight, kami mengambil kesempatan untuk mengunci beberapa keuntungan dan menurunkan peringkat kami ke netral, karena valuasi juga meningkat mengikuti kinerjanya yang lebih baik.
China
Pemotongan rasio persyaratan cadangan (RRR) sederhana baru-baru ini dan tidak ada perubahan suku bunga kebijakan, sehingga meleset dari ekspektasi pasar. Melangkah ke 2Q22, kami mengharapkan peningkatan respons kebijakan. Untuk menstabilkan pertumbuhan, pembuat kebijakan dapat memprioritaskan kredit daripada penurunan suku bunga dan fokus pada langkah-langkah fiskal.
Kami tetap konstruktif pada ekuitas China dan melihat nilai investasi jangka panjang. Sementara kami terus memilih saham-A dalam negeri dalam ekuitas Tiongkok, kami memperkirakan kinerja yang relatif lebih baik akan berlanjut di 2H22 ketika langkah-langkah pelonggaran meningkat.
Pandangan terkait sektor
Kami menurunkan peringkat sektor Keuangan dan Industri kami dari overweight menjadi netral setelah di upgrade lebih dari setahun yang lalu. Sektor keuangan akan terpengaruh oleh meningkatnya kekhawatiran pertumbuhan global, dan sementara bank akan mendapat manfaat dari siklus kenaikan suku bunga baru. Untuk sektor Industri, masalah rantai pasokan dan logistik kemungkinan akan tetap ada untuk saat ini, terutama dengan situasi COVID-19 di China.
Sektor Energi tetap menjadi sektor dengan kinerja terbaik dari tahun ke tahun setelah berada di puncaknya tahun lalu juga. Kecuali perkembangan yang tidak terduga dalam perang Rusia-Ukraina, ada potensi perlambatan pertumbuhan permintaan dalam waktu dekat karena penguncian terkait COVID di Cina.
Namun, dalam jangka panjang, permintaan energi akan tetap kuat karena ekonomi pulih dari kedalaman pandemi. Studi JP Morgan baru-baru menyatakan bahwa pada tahun 2030, pertumbuhan permintaan energi akan melebihi pertumbuhan pasokan sekitar 20% berdasarkan tren saat ini, terutama didorong oleh negara berkembang dan upaya mereka untuk mengembangkan dan mengangkat warga keluar dari kemiskinan.
Underweight Obligasi
Di pasar obligasi, ekspektasi kami adalah untuk spread kredit masih akan tetap tinggi, sehingga kami masih underweight terhadap aset pendapatan tetap secara keseluruhan, dengan posisi underweight terhadap obligasi Investment Grade (IG) di negara maju (DM) dan negara berkembang (EM), dan netral terhadap obligasi High Yield (HY). Pemilihan obligasi harus lebih selektif dengan kondisi saat ini. – Vasu Menon
Pelaku pasar yang berharap kuartal dua ini akan memberikan angin segar bagi pasar obligasi akan sangat kecewa dengan kinerja yang semakin memburuk. Di kuartal pertama 2022, pergerakan pasar didominasi oleh perang Rusia-Ukraina dan kekhawatiran atas The Fed dan bank sentral lainnya yang berubah hawkish seiring dengan kenaikan inflasi global. Data inflasi AS yang dirilis bulan lalu terlihat naik signifikan ke level 8.5% ditengah lockdown China yang semakin membebani pertumbuhan ekonomi. Selain itu, The Fed yang semakin hawkish mendorong ekspektasi pasar untuk kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin.
Masih netral terhadap obligasi EM HY
Kredit negara berkembang sejauh ini masih sangat dibebani oleh beberapa hal seperti perang Rusia-Ukraina yang masih berlanjut hingga kenaikan inflasi yang signifikan akibat disrupsi rantai pasokan yang juga disebabkan oleh tensi geopolitik Eropa.
Sementara itu, China melihat ketidakpastian dari segi domestik maupun global. Sektor properti masih tertekan akibat rendah nya konsumsi, yang didorong oleh lockdown yang masih berlanjut. Hal tersebut memicu kekhawatiran potensi terjadinya hard landing bagi China.
Dan dibalik semua itu, masih adanya kekhawatiran atas The Fed yang semakin hawkish, dengan potensi kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif dan juga pemangkasan pembelian obligasi dalam waktu dekat. Namun, kami percaya bahwa dengan penurunan harga yang tajam sejak awal tahun, pasar sudah melakukan price in sebagian dari risiko yang ada di level saat ini.
Maka dari itu, kami mempertahankan pandangan netral kami terhadap obligasi EM HY. Terlebih lagi, dari segi valuasi, aset pendapatan tetap saat in terlihat paling atraktif. Spread kredit yang lebar saat ini seharusnya dapat memberikan sebagian perlindungan terhadap kenaikan suku bunga.
Untuk obligasi HY, kami mempertahankan preferensi terhadap kredit sektor defensive dan fokus terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki neraca keuangan yang sehat.
Masih overweight terhadap Asia IG
Kami mempertahankan pandangan overweight kami terhadap obligasi IG Asia. Tidak seperti pasar obligasi HY, obligasi IG China saat ini didominasi oleh perusahaan BUMN yang memiliki peran penting terhadap ekonomi. Akan tetapi, dalam konteks yang lebih besar kami juga masih lebih menyukai kredit sektor defensive dibandingkan EM HY.
Prospek volatilitas emas untuk jangka pendek
Risiko geopolitik belum hilang sementara inflasi tetap tinggi secara global. Tetapi emas berada di bawah tekanan karena antisipasi pasar dari peningkatan pengetatan Fed yang memberikan penguatan Dolar AS dan mendorong suku bunga riil AS 10-tahun ke wilayah positif. – Vasu Menon
Minyak
Melihat latar belakang yang terjadi menunjukkan gejolak pasar minyak untuk sementara mereda, dimoderasi oleh pelepasan 180 juta barel minyak dari cadangan strategis AS selama enam bulan ke depan dan pertumbuhan permintaan yang lebih lemah karena lockdown di China. Tarif kilang di China turun karena harga yang lebih tinggi membebani margin penyulingan dan pembatasan mobilitas yang memberikan pelemahan terhadap permintaan bensin.
Dengan Eropa yang akan menghentikan impor minyak Rusia pada akhir tahun, AS semakin bertindak sebagai pilihan terakhir untuk wilayah Atlantik yang berlomba untuk menemukan alternatif pengganti minyak mentah dan produk minyak Rusia. Latar belakang pasokan minyak yang ketat kemungkinan akan membuat harga minyak bergejolak dan lebih tinggi lebih lama. Dengan lingkungan harga saat ini yang cukup tinggi untuk menambah keuntungan produsen secara signifikan, produksi minyak AS akan meningkat secara bertahap.
Emas
Dalam jangka pendek, prospek emas kemungkinan akan tetap volatile. Lebih banyak sanksi oleh Uni Eropa terhadap energi Rusia atau ancaman Rusia yang memblokir pasokan energi ke lebih banyak negara Uni Eropa dapat memperburuk risiko stagflasi dan mendorong emas kembali naik dalam waktu dekat. Namun krisis geopolitik tidak berlangsung selamanya. Jika konflik Rusia-Ukraina mereda dan inflasi moderat secara global pada akhir tahun, safe-haven emas dan daya tarik lindung nilai inflasi kemungkinan akan berkurang dalam jangka menengah. Kecuali hard landing yang memaksa The Fed untuk membalikkan kenaikan suku bunganya, soft landing ekonomi AS, seperti yang kami harapkan, kemungkinan tidak memberikan banyak bantuan untuk emas.
Currency
Tema dinamika bank sentral tetap menjadi fokus, tetapi investor tampaknya lebih menekankan pada ketidakpastian mengenai prospek pertumbuhan. Dolar AS telah diuntungkan dan dapat terus melakukannya dari kombinasi akan pandangan kebijakan moneter hawkish dan kekhawatiran pertumbuhan.
Retorika ECB menjadi lebih hawkish selama beberapa minggu terakhir, sementara harga pasar dari kenaikan suku bunga juga meningkat. Ruang bagi ECB untuk lebih meningkatkan normalisasi kebijakannya akan memberikan beberapa dukungan kepada Euro. Namun, dukungan semacam itu atau bahkan peningkatan sedikit terhadap imbal hasil yang mendukung Euro kemungkinan akan berlangsung untuk sementara karena Fed lebih hawkish dari pada ECB.
Bank of England adalah salah satu bank sentral yang pertama bertindak tetapi mungkin juga yang pertama sadar mengingat data ekonomi yang tidak terlalu baik baru-baru ini. Untuk keseimbangan, kami mempertahankan pandangan Dolar AS yang kuat terhadap Yen, Euro, dan Pound. Mata uang komoditas belum mampu mempertahankan kenaikannya, karena beberapa harga komoditas telah melemah kembali karena kekhawatiran pertumbuhan, termasuk di China. Sementara lockdown di China dapat memperpanjang gangguan terhadap rantai pasokan, inflasi harga energi kemungkinan akan memberi jalan bagi kekhawatiran pertumbuhan ekonomi di kalangan investor dalam waktu dekat.
Inflation but no stagflation
Konflik geopolitik Rusia dan Ukraina terus mendorong kenaikan harga komoditas, terutama harga energi, yang sempat menyentuh kisaran USD 120 per barel. Sanksi embargo atau larangan impor minyak dari Rusia membuat berkurangnya persediaan minyak global, di tengah kenaikan permintaan seiring pembukaan kembali perekonomian. Risiko inflasi menjadi salah satu hal yang dicermati oleh para pelaku pasar. Inflasi tinggi yang berkepanjangan dikhawatirkan dapat mendorong ekonomi ke jurang stagflasi, yakni kondisi ekonomi dimana inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi rendah dan angka pengangguran tinggi.
Kenaikan inflasi ini meningkatkan kekhawatiran terjadinya resesi di masa depan. Kurva imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun, US Treasury mengalami inversi di awal April 2022, dimana imbal hasil obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang, yang mensinyalkan potensi perlambatan ekonomi di masa depan. Akan tetapi, adanya reopening economy diperkirakan akan menjaga tingkat permintaan tetap tinggi, sehingga dapat menghindarkan ekonomi dari potensi stagflasi ataupun resesi.
Dari dalam negeri, pemerintah menilai pemulihan ekonomi domestik mulai berjalan, walaupun pandemi COVID-19 belum selesai. Hal ini terlihat dari inflasi bulan Maret yang tercatat meningkat 2.64% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Indikator makro lainnya pun mencatatkan kinerja yang positif. Seperti halnya di sektor manufaktur yang hingga saat ini masih berada pada level 51.3, mencerminkan sektor manufaktur berjalan di level ekspansif. Demikian pula dengan neraca perdagangan internasional di bulan Maret mengalami surplus USD 3.8 miliar meningkat dibandingkan periode sebelumnya yang mengalami surplus USD 1.7 miliar.
Saham
Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mencatatkan kinerja positif sepanjang bulan Maret, atau menguat 2.66%, serta berhasil tembus level psikologis 7,000 di akhir bulan Maret 2022. Penguatan pasar saham sepanjang bulan Maret didorong aksi beli investor asing lebih dari Rp 10 triliun, seiring optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan kasus COVID-19 di tanah air juga diapresiasi oleh investor, setelah berhasil menekan hingga 90%, dari jumlah kasus harian tertinggi di pertengahan Februari lalu. Ke depannya potensi penguatan pasar saham masih sangat terbuka, dengan perkiraan pertumbuhan laba perusahaan dikisaran 15-20%, sehingga IHSG diperkirakan akan berada dikisaran 7,200 – 7,500 hingga akhir tahun 2022.
Obligasi
Pergerakan pasar obligasi melanjutkan fase pelemahannya di bulan Maret, tercermin dari kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun ke level 6.73% di akhir bulan Maret, dari sebelumnya di kisaran 6.51% di awal bulan. Adanya kenaikan imbal hasil ini berarti terjadi penurunan pada harga obligasi. Investor asing tercatat melakukan jual bersih sebanyak Rp 43 triliun sehingga kepemilikan asing turun menjadi 17.5% di akhir bulan Maret. Tekanan pada pasar obligasi domestik dipengaruhi dari kenaikan imbal hasil US Treasury, seiring rencana kenaikan suku bunga bank sentral Fed yang lebih agresif dalam rangka mengimbangi kenaikan inflasi ke level tertinggi dalam empat puluh tahun terakhir. Namun demikian, pasar obligasi domestik masih tetap menarik dengan rencana penerbitan obligasi yang lebih rendah, serta skema burden sharing dengan Bank Indonesia yang masih berlanjut hingga tahun 2022, sehingga akan menstabilkan supply obligasi di pasaran.
Mata Uang
Mata uang Rupiah relatif stabil diperdagangkan di kisaran Rp 14,300 sepanjang bulan Maret. Investor terlihat telah mengantisipasi rencana kenaikan tingkat suku bunga acuan Fed sebanyak 25 bps, sehingga tidak memberikan tekanan berarti terhadap pergerakan mata uang Rupiah. Bank Indonesia juga terus menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dengan menerapkan beberapa kebijakan, diantaranya kebijakan B20 untuk mengurangi ketergantungan impor minyak, menaikan tarif PPh Impor, sampai dengan mendorong jumlah wisatawan asing sehingga dapat menambah cadangan devisa. Nilai tukar Rupiah diperkirakan akan bergerak di kisaran 14,300 hingga 14,450 dalam jangka pendek.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Inflasi, namun bukan stagflasi
Prospek ekonomi masih menghadapi tantangan, tetapi kami memperkirakan tidak terjadi stagflasi tahun ini. Kelanjutan dari pembukaan kembali, permintaan dan pasar tenaga kerja yang kuat akan mendukung pertumbuhan meskipun ada risiko dari melonjaknya harga minyak, kenaikan Fed yang berpotensi lebih besar dan kurva imbal hasil AS yang mengarah inversi. – Eli Lee
Hambatan terbesar dari lonjakan harga minyak
Konflik antara Rusia dan Ukraina terus berlanjut. Negara-negara Barat akan menanggapi konflik tersebut dengan sanksi yang lebih besar, dan membuat harga energi tetap tinggi. Dampak yang dapat terjadi terhadap prospek ekonomi tahun ini:
Dengan demikian, prospek ekonomi tetap menghadapi tantangan. Terlebih lagi, kurva imbal hasil AS cenderung flat, bahkan beberapa terbalik. Hal tersebut terjadi seiring dengan investor yang khawatir bahwa The Fed dapat menaikkan suku bunga sebesar 50 bps pada pertemuan mendatang di bulan Mei dan Juni untuk melawan inflasi.
Secara historis, inversi yang terjadi pada kurva treasury 2Y-10Y telah memberi sinyal bahwa resesi AS akan datang. Kenaikan suku bunga The Fed mendorong imbal hasil 2Y jangka pendek. Sementara imbal hasil 10Y tertinggal karena pasar obligasi menandai prospek pertumbuhan di masa depan. Ketika imbal hasil 2Y melebihi imbal hasil 10Y dan kurva terbalik, investor khawatir The Fed telah menaikkan suku bunga ke titik di mana ekonomi akan berkontraksi.
Namun, bahkan jika The Fed mulai menaikkan suku bunga 50 bps tahun ini - dibandingkan dengan skenario dasar kami dari tujuh pergerakan 25 bps - kami memperkirakan ekonomi AS tidak akan mengalami resesi pada tahun 2022, kami juga tidak mengantisipasi ekonomi global akan menyerah pada stagflasi tahun ini.
Kami memperkirakan The Fed akan mulai mengurangi neraca dari Mei untuk melawan inflasi, disamping kenaikan suku bunga. Pengetatan kuantitatif semacam itu kemungkinan akan memberi tekanan pada imbal hasil yang lebih lama dan dengan demikian akan melawan kurva Treasury yang flat dan terbalik baru-baru ini.
Fundamental ekonomi terus mendukung pertumbuhan dengan kuat. Suku bunga riil negatif di beberapa major ekonomi, pasar tenaga kerja telah pulih dari pandemi, pembukaan kembali, permintaan dan savings yang tinggi adalah beberapa dorongan kuat lainnya untuk pertumbuhan global. Dengan demikian, kami melihat risiko stagflasi masih rendah tahun ini meskipun harga minyak melonjak, adanya potensi kenaikan suku bunga Fed sebesar 50bps dan terjadinya inversi pada kurva imbal hasil.
Kami mempertahankan posisi netral pada ekuitas dan memilih saham defensive dengan nilai kapitalisasi besar, terutama yang memiliki profit margin dan kekuatan harga yang solid. Kami menjaga posisi overweight di Asia ex – Japan, dan terus mendukung sektor energi, keuangan, dan industrial – Eli Lee.
Amerika Serikat
Efek positif dan potensi revisi pendapatan per saham untuk sektor energi kemungkinan akan diimbangi oleh tantangan yang dihadapi oleh sektor-sektor lain yang timbul dari perlambatan pengeluaran konsumsi dan tekanan margin dari biaya yang lebih tinggi untuk bahan baku, barang setengah jadi, tenaga kerja dan pembiayaan.
Eropa
Pasar saham Eropa berfluktuasi seiring dengan berita utama yang berkaitan dengan perang Rusia-Ukraina, telah mencapai titik terendah pada 8 Maret, namun berbalik menguat setelahnya. Meskipun semua wilayah akan terpengaruh oleh harga energi yang lebih tinggi, Eropa berada di depan kondisi bahaya bukan hanya karena perang yang terjadi di wilayah Eropa, tetapi juga karena ketergantungan Eropa yang besar pada energi Rusia untuk kebutuhan sehari-hari.
Japan
Ekuitas Jepang mengalami penguatan yang baik, dibandingkan dengan mata uang JPY di bulan Maret. Rotasi sektor bergejolak dengan kenaikan yang dipimpin oleh sektor siklis/nilai, sementara sektor bahan pokok konsumen dan diskresi tertinggal dengan meningkatnya kekhawatiran inflasi.
Asia ex-Japan
Indeks MSCI Asia ex-Jepang mengalami periode yang sangat berfluktuasi pada pergerakan harga saham, terutama untuk pasar China. Di tengah ketidakpastian makroekonomi, kami memperkirakan ASEAN akan tetap relatif tangguh, dan meningkatkan peringkat kami untuk Indonesia dari netral menjadi overweight.
China
Pasar saham Hong Kong dan China mengalami perjalanan roller coaster pada bulan Maret seiring dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan potensi dampak limpahan di China.
Komentar Wakil Perdana Menteri Liu, yang secara langsung menangani kekhawatiran pasar, mendorong rebound pada pasar saham. Indeks Hang Seng adalah pasar dengan kinerja terbaik berkat eksposurnya yang relatif tinggi terhadap sektor keuangan.
Sementara wabah Omicron terbaru di China dan lockdown di Shanghai telah membebani sentimen pasar, kami percaya lockdown yang singkat dan sporadis, akan memiliki dampak yang terbatas pada kegiatan manufaktur. Konon, ritel dan layanan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih. Kami mempertahankan pandangan kami bahwa pemulihan konsumsi akan mendapatkan lebih banyak daya tarik di 2H22.
Pandangan untuk sektor
Sektor global dengan posisi overweight kami adalah energi, industri, dan keuangan.
Meskipun kami memperkirakan pasar keuangan akan tetap bergejolak dalam waktu dekat, kami melihat peluang taktis untuk kinerja yang relatif lebih baik di sektor-sektor yang diposisikan lebih baik untuk mendapatkan keuntungan dari inflasi yang meluas, kenaikan suku bunga, dan kenaikan harga komoditas. Kami juga melihat peluang yang muncul dari perubahan kebijakan yang luas dan prioritas strategis baru, termasuk meningkatkan kemampuan pertahanan dan keamanan energi.
Adapun untuk sektor keuangan, kami tetap konstruktif di sektor ini dan mendukung bank, khususnya yang merupakan penerima manfaat langsung dari suku bunga dana Fed yang lebih tinggi. Kami memproyeksikan tujuh kenaikan suku bunga masing-masing 25 bps tahun ini, dibandingkan dengan lima sebelumnya.
Underweight Obligasi
Dengan tren kenaikan suku bunga, kami masih underweight terhadap obligasi Investment Grade (IG) negara maju maupun negara berkembang. Namun, kami netral terhadap obligasi High Yield (HY). – Vasu Menon
Kinerja aset pendapatan tetap di kuartal 1 tahun ini merupakan kinerja kuartalan terburuk sepanjang sejarah. Volatilitas pasar didorong oleh dua hal utama, yaitu gangguan rantai pasokan global dan tensi geopolitik antara Rusia – Ukraina. Dampak terbesar terlihat pada harga minyak dan komoditas lainnya, yang menopang kenaikan inflasi dunia. Maka dari itu, The Fed sendiri cenderung lebih hawkish, dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps untuk pertama kalinya sejak tahun 2018, serta memberikan indikasi potensi kenaikan 50 bps pada pertemuan berikutnya.
Menutup bulan yang fluktuatif sidways
Obligasi HY dan IG negara berkembang (EM) melebar masing-masing 110 bps dan 40 bps, sebelum akhirnya memulai reli penguatan untuk menutup bulan Maret 2022 di level yang tidak banyak berubah. Spread US HY sempat melebar sebanyak 50 bps, namun akhirnya berhasil menutup bulan lalu 35 bps lebih tipis. Sementara pergerakan US IG juga terlihat sama, ditutup 5 bps lebih tipis setelah sebelumnya sempat melebar sebanyak 25 bps.
Mempertahankan pandangan netral terhadap EM HY
Kredit negara berkembang saat ini cukup tertekan akibat perkembangan yang sedang terjadi secara global – seperti tensi geopolitik Rusia – Ukraina hingga tinggi nya inflasi global yang berawal akibat gangguan rantai pasokan akibat pandemi COVID-19.
Maka dari itu, kami mempertahankan pandangan netral terhadap EM HY. Terlebih lagi, kategori kelas aset tersebut merupakan yang paling menarik dari segi valuasi, dan memberikan perlindungan yang paling signifikan terhadap risiko kenaikan suku bunga. Durasi yang rata-rata lebih pendek juga akan melindungi kelas aset tersebut dari kenaikan suku bunga. Dan terakhir, fundamental bottom-up yang semakin membaik belakangan ini, seperti yang terlihat pada sektor properti China, potensi gagal bayar pun akan semakin rendah.
Lebih fokus terhadap sektor defensive
Kami juga mempertahankan pandangan netral terhadap obligasi HY Asia. Akan tetapi, dengan kombinasi antara tensi geopolitik, kenaikan suku bunga, dan kenaikan harga komoditas; kami memiliki kecenderungan untuk lebih menyukai sektor-sektor defensive seperti minyak & gas, makanan & agrikultur, besi/tambang, telekomunikasi, dan utilitas dipercaya akan memiliki prospek yang lebih baik saat ini.
Masih overweight terhadap obligasi IG Asia
Kami masih mempertahankan pandangan overweight kami terhadap obligasi IG Asia. Tidak seperti pasar obligasi HY, obligasi IG China masih didominasi oleh perusahaan BUMN dan beberapa korporasi yang penting secara sistemik. Namun, dalam konteks yang lebih luas, kami juga cenderung lebih menyukai industri dan perusahaan defensive bagi aset pendapatan tetap IG Asia.
Harga minyak tetap tinggi untuk jangka waktu lebih lama
Harga minyak berpotensi berfluktuatif dan lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama. Perkiraan kami untuk minyak Brent dalam 12 bulan kedepan tetap tidak berubah di USD100/barel. Namun, kami menurunkan target minyak Brent 3 bulan menjadi USD120/barel dari sebelumnya USD140/barel. Pelepasan cadangan minyak AS terbesar yang pernah ada dan penurunan permintaan minyak akibat lockdown di China, akan membantu menurunkan risiko lonjakan harga minyak dalam jangka pendek. – Vasu Menon
Minyak
Gedung Putih mengumumkan bahwa mereka berencana untuk melepaskan sebanyak 1 juta barel per hari dari cadangan minyak AS, dengan potensi sebanyak 180 juta barel selama beberapa bulan ke depan. Hal ini berbanding terbalik apa yang diumumkan pemerintah akhir-akhir ini, seperti 50 juta barel pada November dan 30 juta barel awal tahun ini.
Rilisan tersebut akan menjembatani hingga akhir tahun, ketika produksi domestik meningkat satu juta barel per hari tahun ini dan hampir 700,000 barel per hari pada 2023. Langkah Pemerintahan Biden untuk membatasi harga energi dari perang Rusia-Ukraina mencerminkan kekhawatiran atas inflasi di dalam negeri dan untuk menunjukkan dukungan untuk keamanan energi bersama dengan sekutu Amerika.
Emas
Status emas sebagai aset safe haven telah bersinar selama sebulan terakhir setelah invasi Rusia ke Ukraina. Emas harus terus mendapat manfaat dari kekhawatiran stagflasi yang dipicu oleh risiko kenaikan harga minyak yang lebih tinggi. Prospek ekonomi yang lebih tidak pasti dan potensi volatilitas yang lebih tinggi di seluruh obligasi dan ekuitas, juga menghadirkan emas sebagai aset alternatif yang layak untuk diversifikasi dan lindung nilai portofolio.
Namun krisis geopolitik tidak berlangsung selamanya. Meredanya kekhawatiran stagflasi di tengah persepsi kemajuan dalam pembicaraan damai Rusia-Ukraina dan Fed yang lebih hawkish dapat membatasi potensi kenaikan emas.
Currency
Guncangan awal yang disebabkan oleh geopolitik telah memudar. Jika konflik militer di Ukraina mereda, pasar diharapkan untuk kembali fokus pada tema-tema lain seperti hubungan pertumbuhan-inflasi, dinamika bank sentral, dan harga komoditas yang meningkat.
Dalam hal dinamika bank sentral, Fed yang hawkish menjadi fokus karena semakin banyak anggota FOMC yang tampaknya nyaman dengan kenaikan suku bunga 50 bps pada pertemuan FOMC mendatang di bulan Mei.
Namun, dalam waktu dekat mungkin ada fokus yang lebih besar pada ECB jika de-eskalasi yang signifikan di Ukraina menghilangkan hambatan bagi kebijakan hawkish ECB. Ini akan memungkinkan pasar untuk lebih percaya diri dalam memperkirakan ekspektasi kenaikan suku bunga ECB sejalan dengan kelompok anggota ECB yang mencari kenaikan suku bunga tahun 2022. Kami terus melihat pelemahan Yen Jepang (JPY) dan Pound pada jangka panjang, meskipun pergerakan ekstensif baru-baru ini dalam untuk USD (Dolar AS)-JPY yang secara teknis memerlukan penelusuran lebih lanjut.
Sementara BOJ melakukan pembelian obligasi tak terbatas pada akhir Maret untuk menjaga kurva imbal hasil sesuai target awal. Komentar terbaru dari BOE juga berfokus pada ketidakpastian ekonomi ke depan, menarik beberapa skeptisisme atas komitmen kenaikan suku bunganya.
Pada bulan Februari 2022, dunia dikejutkan dengan adanya konflik geopolitik antara Rusia dengan Ukraina yang diawali dengan invasi berskala besar yang dilakukan oleh Rusia untuk menaklukkan pemerintahan Ukraina. Beberapa sanksi ekonomi yang diberikan kepada Rusia, diperkirakan akan mendorong kenaikan inflasi lebih tinggi dalam beberapa bulan mendatang. Rusia cukup memegang peranan penting terhadap pasokan nikel dan minyak secara global. Selain itu, Ukraina juga berperan sebagai eksportir terbesar gandum dan biji matahari. Sehingga supply disruption ini diperkirakan akan mendorong terjadinya cost push inflation.
Sementara itu, beberapa negara di dunia secara bertahap terus membuka ekonomi dan perbatasan dalam upaya hidup berdampingan dengan pandemi COVID-19, walaupun tingkat pertumbuhan kasus masih cukup tinggi. China dan Hong Kong kembali menerapkan karantina wilayah dalam rangka zero covid policy. Selain itu juga, fokus para pelaku pasar juga tertuju pada pertemuan The Fed selanjutnya, dimana realisasi kenaikan suku bunga acuan AS akan terjadi pada bulan Maret 2022.
Dengan adanya faktor risiko dari konflik geopolitik Rusia – Ukraina, ekspektasi inflasi yang lebih tinggi dan potensi kenaikan suku bunga Fed, maka pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan lebih moderat di 2022 ini. Namun, Indonesia saat ini dengan tingkat inflasi yang relatif masih rendah di 2.06%, dan cadangan devisa yang berada di level tertinggi di US$141.30 miliar, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan akan berada di kisaran 5 hingga 5.5% di 2022.
Selama perdagangan di bulan Februari 2022, IHSG kembali melanjutkan kenaikan sebesar 3.87% ke level 6,888.17. Penguatan didukung oleh aliran dana asing yang membanjiri bursa saham domestik dan tercatat sebesar US$ 1.96 miliar selama bulan Februari lalu. Sementara itu, dalam menghadapi gelombang ketiga COVID-19, tingkat okupansi rumah sakit di seluruh Indonesia masih dalam keadaan terkendali. Vaksinasi terus dilakukan oleh pemerintah untuk mengejar herd immunity dan mengubah situasi pandemi menjadi endemi. Namun demikian, sentimen negatif konflik Rusia-Ukraina dapat menghambat proses pemulihan ekonomi dan dapat berdampak terhadap bursa saham secara global termasuk Indonesia.
Secara fundamental, pergerakan aset berisiko juga didukung oleh naiknya optimisme investor terhadap pemulihan ekonomi. Sektor infrastruktur membukukan kenaikan tertinggi sebesar 8.81% selama bulan Februari, seiring dengan rencana pemerintah untuk menormalisasi anggaran COVID-19 ke sektor infrastruktur. Kemudian disusul oleh sektor konsumsi yang berhasil membukukan kenaikan sebesar 6.17%. Dengan estimasi pertumbuhan laba perusahaan di kisaran level 15%, maka kami melihat bahwa IHSG dapat melanjutkan momentum pada rentang 7,200 hingga 7,500 di tahun 2022.
Pasar obligasi kembali mencatatkan penurunan di bulan Februari ini dengan imbal hasil 10 tahun ditutup meningkat sebesar 1.18% dari sebelumnya berada di level 6.44% ke level 6.52%. Kenaikan imbal hasil obligasi domestik ini dipengaruhi oleh naiknya imbal hasil obligasi pemerintah AS, US Treasury ke level tertinggi sejak pandemi, di atas 2 persen.
Namun, pada risalah pertemuan Fed terakhir, Fed terkesan tidak terlalu hawkish dan tidak menetapkan laju kecepatan kenaikan suku bunga pada tahun ini. Walaupun kenaikan suku bunga pertama akan terjadi di bulan Maret, namun hal ini sudah diantisipasi oleh para pelaku pasar. Dengan masih lebarnya rentang imbal hasil antara US Treasury dan obligasi pemerintah Indonesia, koreksi di pasar obligasi akan bersifat terbatas.
Selain itu, target penerbitan SBN yang lebih rendah di 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, akan mengurangi tekanan oversupply. Di saat yang sama, permintaan pasar akan terjaga melalui skema burden sharing antara Kemenkeu dan Bank Indonesia, yang masih berlanjut di 2022. Oleh karena itu, imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun diperkirakan akan bergerak di kisaran 6.6 hingga 6.9% pada semester satu tahun ini.
Untuk pasar mata uang, Rupiah melemah tipis terhadap Dolar AS di bulan Februari sebesar 0.1% ke level 14,382 per USD. Konflik ketegangan geopolitik antara Rusia-Ukraina telah menjadi katalis penguatan USD lebih lanjut, seperti yang dikonfirmasi oleh tren kenaikan indeks Dolar AS, DXY, saat ini. Walaupun masih ada ruang untuk pelemahan Rupiah lebih lanjut, potensi pelemahan akan cukup terbatas, didukung dari kebijakan Bank Indonesia yang akomodatif dan derasnya aliran dana asing yang masuk ke pasar saham, diharapkan memberikan stabilitas nilai tukar Rupiah. USD/IDR diperkirakan akan bergerak di rentang 14,200 – 14,500 pada semester satu tahun ini.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Ekonomi global akan menghadapi kejutan kenaikan harga minyak yang parah. Ini akan memiliki implikasi besar bagi prospek ekonomi makro tahun ini.
Eli Lee, Head of Investment Strategy, Bank of Singapore
Invasi Rusia ke Ukraina adalah ujian besar bagi ekonomi global. Volatilitas pasar keuangan telah melonjak karena investor bereaksi keras terhadap ketidakpastian. Rubel telah jatuh terhadap Dolar AS (USD). Saham Rusia telah kehilangan lebih dari setengah nilainya. Ekuitas global juga telah turun tajam sementara safe havens termasuk imbal hasil obligasi AS, USD, dan emas telah menguat. Harga energi melonjak karena investor khawatir ekspor minyak dan gas Rusia akan terganggu. Sebaliknya, mata uang Eropa termasuk EUR dan GBP telah melemah karena zona Euro dan Inggris menghadapi tekanan pada pasokan gas.
Menanggapi tindakan Rusia, AS, Uni Eropa (UE) dan sekutunya telah menjatuhkan sanksi keras yang menargetkan Bank Sentral Rusia, mengecualikan banyak bank Rusia dari sistem pembayaran global SWIFT dan membekukan aset para pemimpin dan pebisnis terkemuka Rusia. Dengan mengisolasi ekonomi Rusia, melemahkan mata uangnya, akan memacu inflasi dan menyebabkan perbankan mengalami kesulitan, yang oleh anggapan negara-negara Barat bertujuan untuk membuat biaya invasi begitu tinggi sehingga Moskow menghentikan permusuhan.
Situasi di Ukraina terus memburuk. Kemungkinan konflik yang lebih berlarut-larut, gangguan pada ekspor energi Rusia, dan arus besar pengungsi yang menyebabkan sekutu Ukraina mengambil sikap lebih keras terhadap agresi Rusia, semuanya menunjukkan dalam beberapa bulan ke depan, akan melihat ketidakpastian yang lebih besar, melonjaknya harga energi, dan bahkan sanksi yang lebih keras. Ekonomi global dengan demikian telah dipersiapkan untuk menghadapi kejutan minyak yang parah. Kami menurunkan perkiraan kami untuk pertumbuhan global menjadi 3,7% pada tahun 2022 dari 4,6% sebelumnya.
Pemulihan ekonomi dunia dari pandemi akan melambat tajam dari pertumbuhan tertinggi lima dekade tahun lalu sebesar 6,0% pada tahun 2021. Namun, pertumbuhan global masih akan ditopang oleh pembukaan kembali ekonomi tahun ini. Dengan demikian, perkiraan kami yang lebih rendah sebesar 3,7% masih di atas tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 3,0% yang dicapai oleh ekonomi dunia sejak tahun 1970-an. Oleh karena itu, kami tidak mengantisipasi ekonomi global secara keseluruhan untuk mengalami resesi pada tahun 2022.
Meskipun semua wilayah akan terpengaruh oleh harga energi yang lebih tinggi, Eropa berada di tengah badai dengan ketergantungannya yang besar pada energi Rusia – alasan utama mengapa UE enggan bergabung dengan AS dalam melarang impor energi dari Rusia.
Inflasi akan memburuk dengan kejutan harga minyak. Jadi, meskipun pertumbuhan melambat, kami memperkirakan The Fed dan BoE akan menaikkan suku bunga secara stabil tahun ini. Kami mengantisipasi lima kenaikan suku bunga oleh Fed dan empat oleh BoE pada tahun 2022, mengangkat suku bunga dana fed fund masing-masing menjadi 1,25-1,50% dan suku bunga bank menjadi 1,25% pada akhir tahun, karena masing-masing bank sentral bertujuan untuk membawa inflasi kembali ke arahnya. Target 2% selama beberapa tahun ke depan.
Singkatnya, meningkatnya ketidakpastian, melonjaknya harga energi dan bahkan sanksi lebih lanjut akan memperlambat pertumbuhan global lebih tajam tahun ini, meningkatkan inflasi, memaksa bank sentral – terutama The Fed – untuk menaikkan suku bunga di mana pertumbuhan masih kuat.
Source: Bank of Singapore
Kami mengambil sikap yang lebih defensif dalam strategi alokasi aset kami dengan menurunkan peringkat ekuitas Eropa dari posisi Netral ke Underweight. Hal ini mengurangi eksposur ekuitas kami secara keseluruhan ke posisi Netral.
Eli Lee, Head of Investment Strategy, Bank of Singapore
Sementara situasi geopolitik saat ini di Rusia-Ukraina adalah hambatan utama – namun demikian, melihat 16 peristiwa geopolitik yang signifikan sejak tahun 1960-an, kita melihat bahwa indeks S&P 500 relatif kuat dengan pelemahan maksimum rata-rata dalam 6 bulan berikutnya hanya di -4% karena pasar cenderung bereaksi terhadap ancaman peristiwa geopolitik daripada tindakan itu sendiri. Namun, ketegangan yang berkepanjangan dapat menyebabkan ketidakpastian bisnis secara umum, sementara lonjakan harga energi yang terus-menerus dan risiko dari Federal Reserve yang agresif yang berfokus pada inflasi dapat merusak sentimen dan pertumbuhan.
Harga minyak dan gas yang lebih tinggi akan berdampak lebih besar di Eropa, dan jika terjadi gangguan pasokan energi yang signifikan, guncangan ekonomi fundamental ke Eropa akan lebih besar dari pada kawasan lain.
Pasar Saham Jepang turun pada Februari seiring meningkatnya kehati-hatian investor akibat ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina. Dengan Federal Reserve yang siap untuk memulai siklus kenaikan suku bunga pada bulan Maret, pandangan kami adalah untuk kenaikan awal 25bps dan total lima (atau lebih) kenaikan tahun ini, meskipun situasi Rusia-Ukraina yang berkembang dan implikasi langsung terhadap global.
Indeks MSCI Asia ex-Jepang berakhir Februari dengan catatan yang bergejolak, dan ini terlihat di seluruh pasar ekuitas global karena invasi Rusia ke Ukraina. Di luar China, Bank of Korea memilih untuk mempertahankan suku bunga acuannya tidak berubah meskipun meningkatkan perkiraan inflasi untuk tahun ini. Negara-negara ASEAN seperti Indonesia dan Thailand sedang berupaya untuk secara bertahap membuka kembali perbatasan mereka untuk wisatawan asing, dan ini dapat memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi mereka tahun ini.
China lebih kuat terhadap guncangan karena tidak memiliki eksposur terhadap gas alam Eropa hingga Rusia, dan pasar tenaga kerja yang ketat di AS. Bank Rakyat China juga berada di jalur pelonggaran kebijakan, menyimpang dari lintasan kebijakan bank sentral di wilayah utama lainnya. Valuasi relatif murah dan kami mempertahankan overweight kami pada ekuitas Asia di luar Jepang dan China, meskipun kami memperingatkan bahwa meningkatnya kasus Covid-19 di China dan Hong Kong dapat mengurangi sentimen dalam waktu dekat.
Di pasar obligasi, kami memperkirakan spread kredit akan tetap lebar sehingga masih underweight secara keseluruhan terhadap aset kelas ini, namun netral terhadap obligasi high yield. Pemilihan obligasi yang lebih selektif akan menjadi kunci ditengah ketidakpastian ekonomi saat ini.
Vasu Menon, Executive Director, Investment Strategy, Wealth Management Singapore, OCBC Bank
Aset risiko global, termasuk kredit terlihat tertekan akibat upaya pengetatan kebijakan moneter para bank sentral global dan juga ketidakpastian geopolitik yang diakibatkan oleh perang Rusia dan Ukraina. Diawal bulan, imbal hasil US Treasury naik signifikan seiring dengan rilisan data inflasi yang mencapai 7.5% di bulan Januari, sehingga meningkatkan kekhawatiran pasar atas respon apa yang akan diambil oleh The Fed untuk mengendalikan kenaikan harga barang. Namun, kenaikan imbal hasil obligasi terlihat diseimbangi oleh aksi risk-off investor akibat invasi Rusia terhadap Ukraina, mendorong volatilitas pasar obligasi AS ke level ketiga tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Di pasar obligasi, kami memperkirakan spread kredit akan tetap lebar sehingga masih underweight secara keseluruhan, underweight terhadap obligasi Investment Grade (IG) baik untuk negara maju (DM) maupun negara berkembang (EM); dan netral terhadap obligasi high yield. Pemulihan obligasi yang selektif akan sangat penting di masa seperti saat ini.
Tekanan terhadap kredit global berlanjut di bulan Februari. Spread obligasi EM HY melebar sekitar 100 basis poin ke level terlebarnya sejak Juli 2020, sementara obligasi EM IG melebar sekitar 40 basis poin ke level terlebarnya sejak Oktober 2020.
Obligasi DM berkinerja lebih baik, dengan obligasi US HY hanya melebar 10 basis poin dan US IG 15 basis poin.
Beberapa hal yang membebani performa kelas aset pendapatan tetap saat ini – seperti pengetatan kebijakan moneter, tensi geopolitik yang meningkat akibat Rusia – Ukraina, hingga pengetatan kebijakan oleh pemerintah China akan sangat berpengaruh.
Bulan lalu, kami menurunkan rekomendasi overweight terhadap obligasi HY Asia ke netral seiring dengan pemulihan sektor properti China yang tidak secepat perkiraan kami sebelumnya.
Sepanjang bulan lalu, kami melihat adanya pemulihan permintaan di sektor properti China. Setelah pelonggaran yang dilakukan oleh kota Heze di Shandong China, semakin banyak kota – kota yang juga menurunkan rasio mortgage down-payment menjadi 20% untuk pembelian rumah pertama. Hal ini bukan lah sesuatu yang baru, pemerintah China telah merealisasikan kebijakan tersebut sejak tahun 2016 silam, namun memang masih banyak kota di China yang belum mengadopsi kebijakan tersebut akibat pengetatan kebijakan pemerintah.
Pada perspektif pasar yang lebih luas, saat ini kami lebih memilih Asia selain Jepang dari perspektif alokasi ekuitas regional, dibandingkan dengan AS, Eropa, dan Jepang. Sementara kami melihat lebih banyak peluang di Asia Ex-Jepang, kami juga akan menyoroti bahwa ada kantong peluang di wilayah lain.
Misalnya, harga energi tinggi yang berkelanjutan akan meningkatkan insentif bagi bisnis untuk lebih beralih ke energi terbarukan, yang menguntungkan perusahaan-perusahaan tertentu di sektor industri dan utilitas. Secara geografis, negara-negara yang lebih mandiri energinya dan memiliki cadangan yang lebih tinggi juga akan memiliki posisi yang lebih baik untuk keluar dari krisis energi.
Penargetan eksplisit ekspor energi Rusia oleh AS dan sekutunya dan situasi yang memburuk di Ukraina, berarti bahwa harga minyak akan diperdagangkan mendekati level rekor tertinggi. Kami sekarang memperkirakan harga minyak mentah Brent akan diperdagangkan dalam kisaran tinggi USD110-170/barel selama beberapa bulan ke depan.
Vasu Menon, Executive Director, Investment Strategy, Wealth Management Singapore, OCBC Bank
Ketika konflik Rusia-Ukraina meningkat, tanggapan dari sekutu Ukraina semakin meningkat. Perkembangannya pada saat ini telah bergerak melampaui pemogokan pembeliian terhadap minyak mentah Rusia akibat sanksi resmi yang dipublikasikan oleh AS dan Inggris terhadap ekspor energi Rusia. Sanksi serupa oleh negara Eropa mungkin tidak layak untuk saat ini, mengingat sanksi tersebut akan sangat mengganggu perekonomian Eropa.
AS telah melarang impor minyak dan gas Rusia, Inggris mengatakan akan menghapus impor minyaknya secara bertahap pada akhir tahun dan Uni Eropa mengumumkan rencana untuk mengurangi impor gasnya hingga dua pertiga dalam setahun tetapi tidak menghentikan larangan tersebut. Penargetan eksplisit ekspor energi Rusia dan situasi yang memburuk di Ukraina berarti bahwa dunia akan menghadapi kejutan kenaikan harga minyak yang parah.
Harga minyak akan diperdagangkan mendekati level rekor baru. Kami sekarang memperkirakan harga minyak mentah Brent akan diperdagangkan dalam kisaran tinggi USD 110-170/barel selama beberapa bulan ke depan dan perkiraan 3 bulan kami adalah USD 140/barel, jauh di atas level USD 80 yang terlihat pada awal tahun.
Emas adalah penerima manfaat dari kekhawatiran stagflasi yang dipicu oleh lonjakan harga energi. Kami pikir harga emas dapat menembus di atas level historis tertinggi karena meningkatnya risiko stagflasi hingga mencapai USD2,200/ons dalam waktu 3 bulan. Kami memiliki keyakinan rendah apakah emas dapat terus bertahan tinggi dalam waktu dekat. Kami menyesuaikan target emas 12 bulan kami menjadi USD1.900/ons (sebelumnya: USD1.700/ons) dengan asumsi penurunan global yang minim tetapi dapat meningkatkan perkiraan kami akan penurunan ekonomi lebih besar jika risiko resesi global meningkat.
Performa terbaik terhadap Dolar AS (USD) sejak ketegangan geopolitik mulai meningkat di Ukraina sekitar 11 Februari adalah Dolar Australia (AUD) dan Dolar Selandia Baru (NZD) karena harga komoditas yang lebih tinggi.
Kami memiliki sedikit preferensi untuk mata uang komoditas, tetapi kami memilih untuk tidak langsung mengejarnya terhadap USD. Kami memiliki pandangan negatif terhadap Euro (EUR) dan Pound (GBP). Dalam hal dampak terhadap pertumbuhan, konflik Rusia-Ukraina akan paling terasa di Eropa. GBP akan lebih bertahan terhadap ketegangan politik yang meningkat, tetapi dampak dari EUR bisa menjadi lebih jelas jika situasinya berlarut-larut. Kesimpulannya, untuk jangka pendek kami menunjukkan untuk menahan posisi beli USD-JPY yang ada dan mengharapkan penurunan untuk EUR dan GBP terhadap mata uang komoditas.
Selain itu juga, perkirakan untuk negara pemenang dan negara yang kalah di kawasan Asia akan ditentukan di sepanjang garis komoditas. Mata uang importir komoditas bersih seperti Thailand dan India seharusnya memiliki berkinerja lebih rendah dibandingkan dengan mata uang Malaysia dan Indonesia, di mana ekspor komoditas merupakan bagian yang lebih besar dari perekonomian.
Di awal tahun 2022 ini, sentimen pasar keuangan global cukup tertekan. Investor mengawali tahun baru dengan sikap yang lebih berhati – hati. Pelemahan yang dialami oleh pasar saham global sejalan dengan pasar obligasi, dimana imbal hasil US Treasury terlihat naik signifikan dari 1.5% ke level 1.78% di akhir bulan Januari. Keaikan tersebut terutama didorong oleh sikap The Fed yang semakin hawkish, dimana pasar saat ini memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps sebanyak empat hingga lima kali seiring dengan inflasi dan lapangan ketenagakerjaan yang semakin pulih. Bukan hanya The Fed, bank sentral Eropa juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan di semester kedua tahun ini.
Terkait COVID-19, bulan Januari melihat tingkat penyebaran yang meningkat secara global. Namun, investor terlihat lebih mengkhawatirkan potensi dimulai nya siklus kenaikan suku bunga yang lebih cepat. Semakin banyak negara, terutama di Eropa, kini memilih untuk hidup bersama dengan virus corona dan mengutamakan pembukaan masing – masing ekonomi. Sementara di Asia, sentimen aset berisiko masih dibebani oleh hal seperti ketidakpastian sektor properti China, tech crackdown oleh pemerintah China, hingga tingkat transmisi virus yang naik signifikan di beberapa negara. Positifnya, ekonomi dunia masih diperkirakan tumbuh moderat sebesar 4.7% tahun ini, turun dari lebih dari 6.0% tahun lalu.
Dari segi domestik, secara fundamental ekonomi Tanah Air terlihat semakin menunjukkan pemulihan yang kuat. Ekonomi tumbuh 5.02% secara tahunan di kuartal 4 2021, sehingga berhasil mencatatkan pertumbuhan penuh 3.69% tahun lalu; masih berada dalam target bank sentral dan pemerintah. Inflasi terlihat naik secara stabil, dari 1.87% ke 2.18% di bulan Januari, sementara PMI Manufaktur masih berada di level ekspansi di angka 53.7.
Setelah melalui bulan perdagangan yang fluktuatif, IHSG ditutup naik 0.75% di Januari ke level 6,631.15. Penguatan didukung oleh aliran dana asing yang tercatat sebesar USD$425 juta bulan lalu. Dari segi COVID-19, penyebaran domestik mulai meningkat pesat dari 500 per hari ke kisaran 10,000 per hari di akhir Januari. Pemerintah sebelumnya telah menyatakan komitmen nya untuk memproduksi lokal pengobatan COVID-19 di semester pertama 2022, dan memiliki target untuk mencapai 100% tingkat vaksinasi nasional di akhir kuartal 1 ini.
Secara fundamental, pergerakan aset berisiko juga didukung oleh naik nya optimisme investor terhadap pemulihan ekonomi. Setelah bertahun – tahun mencatatkan defisit ganda, selisih diantara nya semakin menipis. Terlebih lagi, transisi dana yang sebelumnya digunakan untuk penanganan pandemi COVID-19 dapat mulai kembali dipindahkan untuk pembangunan infrastruktur.
Apabila hal – hal tersebut benar dapat terjadi, seiring dengan pemulihan laba korporasi tahun ini, maka indeks IHSG dipercaya dapat diperdagangkan di rentang 7,000 – 7,500 di tahun 2022.
Di sisi lain, pasar obligasi mencatatkan penurunan di bulan Januari. Imbal hasil 10 tahun ditutup di level 6.44%, naik dari 6.38% di awal tahun. Kenaikan imbal hasil domestik mengikuti pergerakan imbal hasil US Treasury di Amerika Serikat.
Namun, dengan tinggi nya real yield yang diberikan obligasi Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya, maka aset pendapatan tetap masih akan diminati. Dengan The Fed yang terdengar semakin hawkish, kami melihat imbal hasil 10 tahun akan berada di rentang 6.4% hingga 6.8% tahun ini.
Di pasar mata uang, Rupiah melemah terhadap dollar AS di bulan Januari sebesar 0.75% ke level 14,368 per USD. Hawkish nya The Fed telah menjadi katalis penguatan USD, seperti yang dikonfirmasi oleh tren kenaikan indeks dollar DXY saat ini. Kedepan nya, walaupun masih ada ruang untuk pelemahan Rupiah, potensi pelemahan akan cukup terbatas. Seiring dengan semakin pulih nya inflasi di semester kedua 2022, Bank Indonesia dapat mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan demi menopang pergerakan mata uang domestik. USDIDR diperakan akan diperdagangkan di rentang 14,100 – 14,600 sepanjang tahun 2022.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPMeningkatnya ketidakpastian tetap akan membuat pasar finansial mengalami gejolak dalam jangka pendek. Namun pertumbuhan ekonomi global yang kuat di 2022 akan tetap memberikan dukungan reli paska pandemi untuk aset berisiko di masa depan – Eli Lee
Positifnya, ekonomi global terus pulih dengan kuat dari pandemi. Tahun lalu PDB dunia meningkat lebih dari 6,0% - laju tercepatnya dalam lima dekade - dan tahun ini kami memperkirakan pertumbuhan global akan tetap kuat di 4,7%. Dengan demikian, kegiatan ekonomi kemungkinan akan meningkat lebih cepat lagi pada tahun 2022 daripada rata-rata tingkat pertumbuhan 3% yang dicapai oleh ekonomi dunia setiap tahun sejak tahun 1970-an.
Pada kuartal pertama tahun ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan tertahan oleh varian Omicron yang lebih menular. Tetapi kehadirannya memiliki dampak yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan varian virus sebelumnya. Dengan demikian, kami telah menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB kami untuk tahun 2022 untuk AS, Inggris, dan Zona Euro masing-masing menjadi 4,2%, 4,7%, dan 4,2% dari 4,8%, 5,5%, dan 4,7%.
Kami juga mempertahankan perkiraan pertumbuhan PDB 2022 kami untuk China tidak berubah di 5,5%. Prospek China berubah lebih konstruktif tahun ini setelah ekonomi melambat tajam pada paruh kedua tahun 2021. Tingkat konsumsi cukup tertekan akibat kebijakan ketat zero-Covid yang mengarah ke pembatasan aktivitas yang ketat.
Risiko penurunan utama terhadap prospek ekonomi adalah kekhawatiran bahwa Beijing akan mempertahankan kebijakan ketat zero-Covid sampai setelah Kongres Partai Nasional China diadakan pada bulan November.
Namun, pada tahun 2022, kami berharap pelonggaran moneter dan fiskal akan membantu mendorong tingkat pertumbuhan PDB China kembali ke 5,5%, naik dari 4,0% YoY pada akhir tahun 2021.
Pertemuan FOMC Januari menandai dimulainya pengetatan kebijakan moneter The Fed karena bergeser dari mendukung pemulihan AS dari pandemi menjadi menahan tekanan inflasi.
Inflasi telah melonjak ke level tertinggi dalam beberapa dekade terakhir , jauh di atas target 2% The Fed. Dengan demikian, pada pertemuan Januari bank sentral mengkonfirmasi akan mengakhiri pelonggaran kuantitatif (QE) pada bulan Maret. The Fed juga dengan jelas mengisyaratkan akan mulai menaikkan suku bunga 0,00 - 0,25% pada pertemuan berikutnya di bulan Maret. Ini menguraikan rencana untuk mulai membalikkan QE pandemi dengan memangkas balance sheet ketika mulai menaikkan suku bunga. Pengetatan kuantitatif (QT) semacam itu membantu mengurangi tekanan inflasi, disamping kenaikan suku bunga.
Kami menilai prospek yang lebih tidak pasti akan memiliki implikasi berikut untuk pasar keuangan.
Pertama, meningkatnya ketidakpastian kemungkinan akan membuat pasar keuangan bergejolak dalam waktu dekat.
Kedua, pertumbuhan global yang kuat kemungkinan masih akan mendukung reli aset berisiko pasca pandemi tahun ini. Sedangkan prospek jangka panjang akan terus mendukung posisi overweight di pasar saham.
Ketiga, kombinasi dari kebijakan moneter Fed yang lebih ketat, kebijakan PBoC yang lebih longgar dan prospek pertumbuhan China yang lebih kuat dapat menguntungkan pasar saham Asia ex-Jepang dibandingkan dengan pasar saham AS sekarang.
Terakhir, risiko Fed melakukan lebih dari empat hingga lima kenaikan suku bunga 25bps yang sekarang diharapkan oleh pasar keuangan pada tahun 2022 dapat menyebabkan lebih banyak volatilitas di pasar obligasi secara global termasuk pasar negara berkembang.
Prospek yang lebih tidak pasti dengan demikian mungkin memiliki implikasi jangka pendek yang signifikan untuk pasar keuangan. Namun dalam jangka panjang, pertumbuhan global yang kuat tahun ini akan terus mendukung investasi dalam aset berisiko.
Secara keseluruhan kami percaya paska pandemi Covid 19, pasar saham masih dalam fase “bullish”. Kami tetap mempertahankan posisi “overweight” pada instrument saham, namun kami merubah posisi overweight ke pasar Asia ex – Jepang dari sebelumnya di Amerika Serikat, dengan pertimbangan valuasi berbanding risiko yang lebih menarik. – Eli Lee
Indeks S&P 500 mengawali tahun 2022 dengan volatilitas yang tinggi, dan kami melihat volatilitas masih akan bertahan untuk beberapa waktu kedepan. Sementara korporasi melaporkan kinerja yang lebih baik dari perkiraan, namun outlook kedepan masih bervariatif. Perusahaan produsen semikonduktor dan cloud terus mendapatkan permintaan yang meningkat, namun sebagian bisnis yang diuntungkan dengan adanya aktivitas “work from-home” mengalami perkembangan yang stagnan. Berdasarkan historis, kinerja S&P 500 akan mengalami tekanan disaat diberlakukan kebijakan yang lebih ketat akibat lonjakan inflasi. Untuk sementara kami memandang tingkat inflasi akan mencapai puncaknya di musim semi, oleh karena itu akan memberikan ruang bagi Fed untuk tetap memberlakukan kenaikan bunga di 2022.
Di 2022, pasar Eropa akan mengalami kembali tahun keuntungan yang lebih positif, tapi akan diiringi dengan volatilitas yang lebih tinggi, mengingat meningkatnya arus silang makro – pertumbuhan yang kuat namun mencapai puncaknya dengan latar belakang berkurangnya dukungan kebijakan.
Pada 2021, MSCI Jepang menghasilkan kenaikan +14% secara keuntungan total. Namun keuntungan dalam USD +2%, tertinggal dibandingkan keuntungan pasar saham global +23% meskipun melambung di 2H2021 karena harapan stimulus. Untuk tahun 2022, kami memiliki sikap konstruktif dengan prospek pendapatan yang menguat. Posisi investor asing yang rendah mengikuti kinerja pasar yang rendah, menunjukkan risiko penurunan yang relatif lebih terbatas dengan pemulihan ekonomi global yang berkelanjutan.
Sementara kami mempertahankan preferensi kami untuk pasar A - share, kami juga menyukai ekuitas Hong Kong karena eksposur yang relatif tinggi ke sektor Keuangan (menyumbang lebih dari sepertiga dari indeks Hang Seng) yang akan mendapat manfaat dari Fed AS siklus kenaikan suku bunga.
Dalam waktu dekat, MSCI China akan berada dikisaran saat ini karena liburan Tahun Baru Imlek dan pasar menunggu lebih banyak kebijakan yang mendukung pertumbuhan di Kongres Rakyat Nasional mendatang. Dalam jangka menengah, kami menjadi lebih konstruktif di MSCI China setelah musim hasil yang akan datang di bulan Maret karena tekanan penyesuaian ke bawah pendapatan moderat dan kebijakan dan langkah-langkah pendukung lebih lanjut terus diluncurkan.
Awal tahun 2022 terjadi rotasi tajam dalam kepemimpinan pasar ekuitas, saham dengan pertumbuhan berlipat ganda turun tajam dan sektor siklikal menikmati awal yang sehat untuk tahun baru. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sektor-sektor yang memiliki kinerja terbaik tahun lalu (Energi, Keuangan) saat ini memimpin.
Sementara kami mempertahankan value / siklikal kami dalam preferensi sektor, kami terus menyoroti perusahaan yang terkena tren struktural positif dalam jangka panjang.
Untuk obligasi, kami mengubah posisi terhadap Emerging Market High Yield (EM HY) dari overweight menjadi netral seiring dengan ekspektasi akan ada nya tekanan dari naik nya imbal hasil dan juga prospek sektor properti China yang masih tidak pasti. – Vasu Menon
Menurut kami, outlook pasar obligasi EM HY kini akan menjadi lebih challenging. Potensi kenaikan suku bunga acuan di AS dapat berdampak signifikan bagi obligasi EM HY, terutama dengan proyeksi yang lebih agresif saat ini dibandingkan sebelumnya. Outlook sektor properti China, yang memiliki eksposur terbesar di kategori EM HY, masih belum meyakinkan.
Pelonggaran kebijakan saat ini terlihat jelas sedang terjadi di China, seperti contoh nya penurunan suku bunga acuan dan juga giro wajib minimum. Namun, baik konsumen, para lembaga keuangan, dan investor domestik masih terlihat berhati – hati; aliran dana yang masuk ke sektor properti pun masih terbatas, sehingga risiko gagal bayar dan penundaan pembayaran obligasi pun masih terjadi.
Dengan proyeksi penjualan properti yang masih lemah, lebih dibutuhkan banyak pelonggaran kebijakan agar krisis likuiditas dapat terhindari, sebelum prospek sektor properti dapat pulih.
Selain itu, meningkatnya tensi geopolitik seperti yang sedang terjadi antara Russia dan Ukraina berpotensi untuk membebani pasar obligasi EM HY secara keseluruhan. Kami mempertahankan posisi market weight (netral) terhadap developed market (DM) HY dan underweight terhadap obligasi investment grade (IG) baik di DM maupun EM.
Diluar dari sektor properti, kami masih cukup optimis terhadap potensi pertumbuhan ekonomi China tahun ini. Pemangkasan suku bunga acuan oleh PBOC untuk yang pertama kali sejak April 2020 mengkonfirmasi niat bank sentral untuk lebih akomodatif kedepan nya.
Kami merevisi turun pandangan kami terhadap obligasi EM HY dari overweight kami ke market weight (netral). Ada beberapa hal yang mendukung revisi penurunan tersebut yaitu: 1) Siklus kenaikan suku bunga acuan yang lebih cepat dari sebeumnya diprediksi; 2) Pemulihan sektor properti China yang masih belum terealisasi; 3) Kurangnya dukungan pergerakan harga dari segi teknikal.
Untuk Asia yang memiliki rata – rata durasi paling pendek, kami cenderung overweight. Terlebih lagi, tidak seperti di HY, IG China lebih didominasi oleh perusahaan BUMN dan memiliki fungsi yang sangat penting.
Risiko pasokan, seperti potensi ketegangan Rusia-Ukraina memburuk, bersama dengan permintaan minyak yang tangguh dan persediaan yang rendah, dapat membuat harga minyak lebih tinggi dan tidak stabil dalam jangka pendek. Kami menaikkan perkiraan harga Brent 3 bulan menjadi USD95/barel – Vasu Menon
Harga minyak rebound meskipun adanya peningkatan persediaan minyak AS dalam beberapa pekan terakhir. Ini menunjukkan bahwa geopolitik, bukan dari pada fundamental, bahwa saat ini mendominasi pergerakan harga, yang kami yakini akan tetap fluktuatif. Ketegangan geopolitik di Ukraina menimbulkan risiko sanksi terhadap Rusia, meningkatkan kekhawatiran gangguan aliran minyak dari Rusia.
Mengingat gejolak pasar minyak untuk jangka pendek, kami meningkatkan perkiraan minyak Brent untuk 3 bulan menjadi USD95/barel (sebelumnya USD80/barel). Kami tidak dapat mengesampingkan kemungkinan harga jangka pendek bergerak lebih lanjut di atas USD100/barel jika ketegangan geopolitik memburuk. Tetapi risiko harga jangka menengah tetap turun karena pasar minyak akan dipasok dengan lebih baik pada semester 2 2022.
Tekanan dari Fed yang lebih hawkish mulai lebih membebani emas sebagai alat lindung nilai walaupun adanya dorongan tensi dari ketegangan geopolitik. Kami tetap cautious pada prospek emas.
Kombinasi dari meningkatnya ketegangan antara Rusia dan Ukraina, aksi risk-off yang dipimpin oleh pasar ekuitas dan koreksi harga yang signifikan di pasar crypto dapat menyebabkan emas bergerak berlawanan arah dengan kenaikan imbal hasil riil AS. Tetapi dengan Ketua Fed Powell membiarkan pintu terbuka untuk lebih dari empat kali kenaikan suku bunga pada tahun 2022, sinyal Fed yang hawkish memberikan signal terhadap valuasi emas yang sudah cukup mahal dan mulai mengikis ketahanan emas.
Peristiwa seputar keputusan dari pertemuan Januari Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) menunjukkan bahwa Federal Reserve AS (Fed) tetap menjadi permainan utama di kota. Dua pendorong Dolar AS (USD) yang biasa terjadi - Fed yang relatif lebih hawkish dan sentimen risk-off, telah mulai memberikan pengaruh yang lebih besar pada USD sejak akhir Januari, dan ini dapat meluas hingga Februari.
Ketua Fed Jerome Powell tidak berkomitmen dalam konferensi pers FOMC Januari yang ditafsirkan oleh pasar sebagai membuka kemungkinan kenaikan suku bunga Fed yang lebih tinggi pada tahun 2022. Hal ini memungkinkan USD terapresiasi terhadap Euro dan Yen, yang telah begitu resilient tahun ini.
Untuk mata uang Asia, lingkungan imbal hasil yang meningkat di pasar negara maju (DM) dan sentimen risiko yang mengkhawatirkan menyiratkan risiko penurunan yang lebih besar dalam waktu dekat untuk mata uang Asia. Secara khusus, lingkungan imbal hasil negara maju yang lebih tinggi mulai membebani negara dengan imbal hasil yang tinggi seperti Rupiah Indonesia (IDR). Di sisi lain, perkirakan Won Korea dan Baht Thailand lebih sensitif terhadap dinamika risk-off. Sedangkan Dolar Singapura kemungkinan melemah terhadap USD.
Perekonomian global terlihat mulai menunjukan perbaikan yang cukup kuat, khususnya beberapa negara yang mulai membuka perbatasan untuk kedatangan wisatawan internasional. Kebijakan The Fed juga tetap netral sesuai dengan rencana awal, yaitu akan tetap melakukan tapering sebesar USD 15 Miliar setiap bulannya. Selain itu, ketua The Fed, Jerome Powell, masih akan mempertimbangkan untuk rencana kenaikan suku bunga acuan, dengan melihat rilisan beberapa data ekonomi, khususnya data ketenagakerjaan terlebih dahulu. Adanya kekhawatiran awal bahwa varian baru COVID-19 Omicron dapat mengganggu proses pembukaan ekonomi secara penuh, tidak menyebabkan kepanikan dalam pada pasar global. Hal ini karena beberapa ahli berpendapat bahwa tingkat keparahan yang diderita akibat Omicron tidak setinggi yang diperkirakan sebelumnya.
Di pasar domestik, keadaan terlihat semakin membaik dengan rendahnya laju kasus harian COVID-19, percepatan vaksinasi, dan juga dari sisi data ekonomi Indonesia yang menunjukan akselerasi. Angka inflasi Indonesia dirilis di level 1.77% di bulan November lalu dan hal ini menunjukan bahwa konsumsi mulai bangkit secara perlahan di tengah proses pemulihan ekonomi yang terjadi. Indikator aktivitas manufaktur mengalami penurunan, dari 57.2 ke 53.9. Adanya kenaikan bahan baku produksi mendorong kenaikan harga, sehingga mengakibatkan penurunan permintaan. Selain itu pula, para pelaku pasar merespon positif terkait dengan rencana pemerintah yang membatalkan kebijakan PPKM level 3 menjelang liburan Natal dan Tahun Baru pada akhir tahun ini. Hal ini berarti, aktivitas ekonomi masih dapat berjalan meskipun terdapat beberapa pengetatan untuk menghindari lonjakan kasus seperti seperti pada bulan Juni – Juli lalu.
IHSG mengalami pelemahan sebesar -0.87% di bulan November 2021, yang mana pelemahan ini sudah diantisipasi oleh pelaku pasar mengingat secara historis, IHSG berpotensi untuk melemah di bulan November. Pelemahan yang terjadi juga disebabkan oleh aksi jual investor asing yang terihat keluar dari bursa saham domestik sebesar USD 73.7 Juta selama bulan November, seiring dengan sentimen negatif terkait Omicron yang telah menyebar ke beberapa negara. Namun demikian, pertumbuhan kasus harian dalam negeri tetap terkendali dan berada di level terendah di kisaran 200-300 kasus per hari. Redanya kekhawatiran Omicron akan mendorong investor untuk kembali risk-on dan IHSG berpotensi untuk melanjutkan kenaikan pada kisaran 6,700 – 6,800 seiring dengan siklus window dressing di akhir tahun.
Di tengah nada Fed yang lebih agresif dalam melakukan tapering, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia masih tetap terjaga di level 6.07% menutup bulan November. Kestabilan yang terjadi pada imbal hasil ini didukung oleh beberapa faktor seperti realisasi burden sharing Bank Indonesia serta telah berakhirnya lelang SUN untuk 2021. Selain itu pula, animo investor domestik yang masih antusias terhadap pasar obligasi domestik di tengah rendahnya suku bunga, turut mendorong kestabilan harga obligasi. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun dalam jangka pendek diperkirakan akan berada di kisaran 6.1 hingga 6.4 persen.
Di bulan November, Rupiah kembali mengalami pelemahan terhadap Dolar AS -1.5% ke level 14,335. Pelemahan Rupiah ini lebih disebabkan oleh nada kebijakan Fed yang lebih hawkish dengan wacana untuk melakukan tapering lebih cepat serta potensi kenaikan suku bunga lebih cepat pada tahun 2022 mendatang. Adanya kenaikan permintaan Dolar AS yang seringkali terjadi pada siklus akhir tahun, berpotensi untuk menekan pergerakan Rupiah. Namun demikian, dengan ekonomi yang kini berada pada fase pemulihan, maka pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan membaik di tahun ini. Dengan demikian, Rupiah akan diperdagangkan di kisaran di 14,300-14,550 hingga akhir tahun 2021.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPEkonomi dunia cenderung untuk berkembang dengan kuat seiring dengan negara-negara yang dibuka kembali, menyusul rekor rebound di tahun ini, meskipun outlook menghadapi risiko baru. – Eli Lee
Kami mengekspektasi pertumbuhan global secara keseluruhan akan mendekati 5% di tahun 2022. Dengan demikian, ekonomi dunia akan berkembang untuk tahun kedua berturut-turut, jauh lebih cepat dari rata-rata tahunan 3% yang tercatat sejak tahun 1970-an.
Bagaimanapun, prospek makroekonomi terus menghadapi risiko baru. Pertama, varian baru Omicron, yang awalnya diidentifikasi di Afrika Selatan, yang mungkin merupakan strain virus yang sangat menular, bahkan lebih dari Delta, dan terbukti lebih tahan terhadap vaksin yang tersedia saat ini.
Peneliti masih membutuhkan waktu sampai pertengahan Desember untuk menilai seberapa menular Omicron dibandingkan dengan varian lain.
Dengan demikian, aktivitas ekonomi di seluruh dunia dapat tertekan saat 2022 dimulai. Tetapi risiko terhadap pertumbuhan dari Omicron kemungkinan dapat diredakan oleh pengetahuan yang diperoleh pemerintah, bank sentral, perusahaan, karyawan, dan rumah tangga selama pandemi sejak awal 2020.
Risiko kedua terhadap prospek adalah inflasi. Harga konsumen naik lebih dari 6.0% YoY di AS dan lebih dari 4.0% YoY di Inggris dan Zona Euro. Melonjaknya permintaan karena perekonomian yang dibuka kembali dan gangguan pasokan mendorong kenaikan inflasi hingga tingkat yang terakhir terlihat tiga puluh tahun yang lalu pada ekonomi Barat. Sebaliknya, inflasi di seluruh Asia terlihat lebih tenang.
Kami akan memantau risiko ini saat 2022 dimulai. Tetapi aktivitas ekonomi tetap jauh lebih kuat dengan berakhirnya 2021 dibandingkan dengan 2020 ketika virus pertama kali muncul. Dan kami berharap bank sentral akan tetap dovish jika pemulihan global tertunda - dan hal tersebut akan terus mendukung aset berisiko.
Pusat prospek pada tahun 2022 adalah seberapa cepat Federal Reserve menarik kembali stimulus moneter besar yang diberikan pada tahun 2020 pada awal krisis.
Di depan Kongres tanggal 30 November, Ketua The Fed Powell mengisyaratkan dengan kuat bahwa The Fed dapat mempertimbangkan untuk mengurangi pelonggaran kuantitatifnya lebih cepat jika sesuai dengan target pada bulan Desember.
Tapering yang lebih cepat memberi The Fed pilihan untuk memulai kenaikan suku bunga lebih awal dari musim panas mendatang jika inflasi tetap tinggi. Tetapi para pejabat masih ingin melihat kemajuan tingkat pengangguran dan pandemi, dan akan menekankan bahwa syarat untuk memulai kenaikan suku bunga akan lebih tinggi dari untuk memulai tapering.
Dengan demikian, kami mempertahankan pandangan kami bahwa bank sentral dapat menunggu hingga 2023 sebelum menaikkan suku bunga sambil meninjau perkiraan kami setelah pertemuan Fed yang akan datang.
Oleh karena itu, kami melihat bank sentral utama terus mendukung aset berisiko pada tahun 2022. Kami memperkirakan pikir imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun akan naik dari waktu ke waktu tetapi hanya mencapai 1.90% selama tahun depan, mencerminkan pandangan kami bahwa biaya pinjaman secara keseluruhan akan tetap rendah ditengah lonjakan inflasi saat ini.
Kami tetap konstruktif pada pasar saham di tahun 2022, meskipun kami memperhatikan risiko yang mengikuti, seperti hambatan yang akan dihadapi pembukaan ekonomi, terkait varian Omicron COVID-19. – Eli Lee
Memasuki tahun 2022, kami tetap konstruktif pada pasar saham, terlihat dari posisi overweight kami di pasar AS. Amerika Serikat tetap menjadi tempat pilihan kami memasuki tahun 2022. Tekanan inflasi telah menjadi pusat perhatian, tetapi kami percaya bahwa pendorong inflasi termasuk permintaan konsumen yang kuat dan ekspansi dalam output yang didorong oleh tren pembukaan kembali yang luas yang masih utuh. The Fed akan memantau dengan cermat data yang masuk untuk menentukan seberapa cepat menghentikan pembelian asetnya; setiap penyesuaian pada kecepatan tapering dapat mengakibatkan volatilitas pasar lebih lanjut.
Di Eropa, kami melihat bahwa pemulihan ekonomi akan segera terjadi, meskipun data aktivitas di beberapa daerah menunjukkan tanda-tanda perlambatan di belakang faktor-faktor seperti kendala rantai pasokan dan harga energi yang tinggi. Dalam jangka panjang, pemulihan Eropa akan berlanjut, tetapi dengan kecepatan yang moderat.
Ke depan, kami mengharapkan politik yang lebih stabil mengingat mosi percaya yang dimenangkan oleh pemerintahan Kishida. Sementara musim pendapatan telah memberikan lebih banyak kejutan positif daripada negatif, proporsi perusahaan yang mengalahkan perkiraan dimoderasi.
Kami mempertahankan sikap netral kami pada MSCI China karena revisi penurunan pendapatan kemungkinan akan berlanjut (terutama untuk internet lepas pantai dan industri platform). Tetapi kami terus memantau potensi peningkatan dan memperhatikan nada kebijakan dan stabilisasi yang lebih pro-pertumbuhan di momentum penurunan laba. Dalam pasar saham China, kami memperkenalkan kembali preferensi relatif kami untuk A-shares karena valuasi yang menyempit terhadap MSCI China, korelasi yang relatif rendah dengan pasar lain, dan eksposur yang lebih besar ke sektor-sektor yang akan mendapat manfaat dari perubahan kebijakan.
Memasuki 2022, kami tetap nyaman dengan segmen value/cyclical yang telah kami moderasi dari pembobotan overweight sebelumnya. Namun, investor disarankan untuk lebih selektif dan mengadopsi pendekatan stock-picking pada level saat ini. Nama-nama tertentu di sektor yang terpapar tren struktural positif seperti teknologi dan perawatan kesehatan juga memerlukan tempat dalam portofolio, karena beberapa dapat menjadi compounder dalam jangka panjang.
Pandangan overweight kami terhadap obligasi EM HY di tahun 2022 akan ditopang oleh fundamental yang mendukung dan valuasi yang atraktif, setelah melewati tahun 2021 yang cukup berat. – Vasu Menon
Bulan November merupakan salah satu bulan yang paling monumental bagi pasar obligasi global. Di awal bulan, rencana tapering oleh The Fed akhirnya terdengar, diiringi oleh komentar yang dovish. Dari segi inflasi, secara tahunan di akhir bulan Oktober tercatat di level 6.2%, level tertinggi setidaknya dalam tiga dekade terakhir. Hal tersebut mendorong kenaikan tertinggi imbal obligasi AS sejak awal tahun 2020.
Untuk pasar obligasi, kami masih overweight terhadap obligasi EM HY, dimana valuasi masih terlihat atraktif. Kami masih underweight terhadap Developed Market (DM) dan EM Investment Grade (IG), seiring dengan potensi kenaikan suku bunga yang dapat lebih mempengaruhi kedua kategori tersebut.
Untuk obligasi EM HY, penguatan regional yang cukup merata sebelumnya terhapus oleh krisis likuiditas yang sedang dialami oleh sektor properti China; sejak awal tahun mencatatkan pelemahan sekitar -2.5%. Untuk IG, kenaikan suku bunga juga membebani pergerakan harga, mencatatkan pelemahan -0.4% sejak awal tahun. Untuk tahun 2022, kami melihat akan ada nya perbaikan untuk obligasi HY, didorong oleh tingkat likuiditas yang meningkat dan juga pendanaan yang lebih suportif bagi sektor properti China. Sementara obligasi IG akan didukung oleh kenaikan suku bunga yang lebih pelan.
Di tahun 2022, pertumbuhan ekonomi EM (proyeksi IMF di 5.1%) yang lebih merata akan menjadi katalis bagi investasi terhadap obligasi korporasi negara berkembang. Neraca keuangan korporasi akan menunjukkan pemulihan yang berkelanjutan, seiring dengan peningkatan laba yang sudah terlihat dalam beberapa kuartal terakhir.
Dibebani oleh kekhawatiran atas tingkat hutang sektor properti China, spread obligasi EM HY secara keseluruhan melebar sekitar 90 basis poin tahun ini. Namun, valuasi saat ini untuk EM HY masih terlihat atraktif baik dari segi historical maupun jika dibandingkan US HY.
Di kategori HY, kami menaikkan rekomendasi untuk Asia ke overweight. Peningkatan tersebut didasari oleh kepercayaan bahwa penyusutan spread pada obligasi sektor properti di China yang dimulai pada bulan November lalu akan berlanjut hingga tahun depan, seiring dengan pemerintah yang sedang dalam upaya untu merelaksasi regulasi dan memperbaik pendanaan dan likuiditas.
Pandangan overweight kami terhadap obligasi EM HY ditopang oleh fundamental top-down dan bottom-up yang mendukung dan valuasi yang lebih atraktif saat ini dibandingkan tahun 2021. Di kategori IG, walaupun risiko kenaikan suku bunga tidak akan terlalu besar tahun depan, kami masih cenderung lebih berhati – hati. Seiring dengan masih ada nya ketidaksepadanan dari segi valuasi, kami mempertahankan pandangan underweight kami terhadap EM IG.
Prospek untuk imbal hasil riil AS yang lebih tinggi dan greenback yang lebih kuat kemungkinan akan membebani emas pada tahun 2022, meskipun investor akan mempertahankan eksposur terhadap emas untuk diversifikasi. – Vasu Menon
Pemulihan harga minyak dari penurunan tajam baru-baru ini masih mungkin terjadi akibat dari kekhawatiran Omicron dan jika OPEC+ mengembalikan kembali lintasan produksinya di tengah ketidakpastian atas Omicron. Kami telah menurunkan perkiraan minyak Brent tiga bulan menjadi USD 80/barel, dengan sebelumnya USD 85/barel untuk memperhitungkan risiko yang lebih besar dari negara-negara yang memperlambat pembukaan kembali perbatasan mereka untuk mengulur waktu guna meningkatkan tingkat vaksinasi. Inflasi semakin memburuk oleh harga minyak yang tinggi, menjadi masalah politik di AS. AS dapat melakukan berbagai cara untuk membatasi kenaikan harga minyak di luar rilisian cadangan minyak baru-baru ini, dengan berkoordinasi dengan negara-negara konsumen minyak lainnya.
Prospek untuk imbal hasil riil AS yang lebih tinggi dan prospek Dolar AS yang lebih kuat kemungkinan akan membebani emas pada tahun 2022. Kami menargetkan harga emas turun ke USD 1.620/ounce pada akhir 2022. Investor akan tetap mempertahankan eksposur emas untuk diversifikasi. Tetapi alokasi cenderung lebih kecil dari sebelumnya. Kami mengharapkan The Fed untuk menjaga kredibilitas dalam kesediaan dan kemampuan untuk menghindari inflasi yang lebih tinggi. Ini harus membatasi daya pikat emas sebagai lindung nilai inflasi. Namun, harga emas bisa bertahan lebih tinggi lebih lama jika pembuat kebijakan moneter diminta untuk mengambil sikap yang lebih hati-hati terhadap pengetatan. Ini bisa terjadi jika varian Omicron terbukti menjadi tantangan material bagi pemulihan global.
Kami telah melihat kebangkitan akibat pandemi COVID-19, pertama melalui peningkatan signifikan dalam kasus di Eropa dan kemudian varian Omicron. Eropa telah memberlakukan kembali pembatasan, sehingga merugikan Euro dan wilayah Uni Eropa. Varian Omicron tidak mengubah pandangan makro kami, tetapi kemungkinan akan mendominasi perhatian pasar pada awal Desember. Buku pedoman jangka pendek kami bersifat defensif - tetap short pada AUD-USD dan USD-JPY sebagai lindung nilai risiko.
Lebih jauh lagi, kami tidak percaya bahwa perkembangan COVID-19 baru-baru ini akan mengubah landasan kebijakan moneter pada H1 2022. The Fed yang hawkish terus menjadi asumsi utama. Narasi Fed tampaknya beralih ke laju penurunan yang lebih cepat, yang kemudian dapat berkembang menjadi kemungkinan kenaikan suku bunga pada tahun 2022. Ini menyiratkan bahwa Fed dapat mengejar ekspektasi kenaikan suku bunga tersirat pasar dan seharusnya ini pada dasarnya memberikan fundamental Dolar AS (USD) yang positif.
Perekonomian global terlihat mulai menunjukan perbaikan yang cukup kuat, khususnya beberapa negara yang mulai membuka perbatasan untuk kedatangan wisatawan internasional. Kebijakan The Fed juga tetap netral sesuai dengan rencana awal, yaitu akan tetap melakukan tapering sebesar USD 15 Miliar setiap bulannya. Selain itu, ketua The Fed, Jerome Powell, masih akan mempertimbangkan untuk rencana kenaikan suku bunga acuan, dengan melihat rilisan beberapa data ekonomi, khususnya data ketenagakerjaan terlebih dahulu. Adanya kekhawatiran awal bahwa varian baru COVID-19 Omicron dapat mengganggu proses pembukaan ekonomi secara penuh, tidak menyebabkan kepanikan dalam pada pasar global. Hal ini karena beberapa ahli berpendapat bahwa tingkat keparahan yang diderita akibat Omicron tidak setinggi yang diperkirakan sebelumnya.
Di pasar domestik, keadaan terlihat semakin membaik dengan rendahnya laju kasus harian COVID-19, percepatan vaksinasi, dan juga dari sisi data ekonomi Indonesia yang menunjukan akselerasi. Angka inflasi Indonesia dirilis di level 1.77% di bulan November lalu dan hal ini menunjukan bahwa konsumsi mulai bangkit secara perlahan di tengah proses pemulihan ekonomi yang terjadi. Indikator aktivitas manufaktur mengalami penurunan, dari 57.2 ke 53.9. Adanya kenaikan bahan baku produksi mendorong kenaikan harga, sehingga mengakibatkan penurunan permintaan. Selain itu pula, para pelaku pasar merespon positif terkait dengan rencana pemerintah yang membatalkan kebijakan PPKM level 3 menjelang liburan Natal dan Tahun Baru pada akhir tahun ini. Hal ini berarti, aktivitas ekonomi masih dapat berjalan meskipun terdapat beberapa pengetatan untuk menghindari lonjakan kasus seperti seperti pada bulan Juni – Juli lalu.
IHSG mengalami pelemahan sebesar -0.87% di bulan November 2021, yang mana pelemahan ini sudah diantisipasi oleh pelaku pasar mengingat secara historis, IHSG berpotensi untuk melemah di bulan November. Pelemahan yang terjadi juga disebabkan oleh aksi jual investor asing yang terihat keluar dari bursa saham domestik sebesar USD 73.7 Juta selama bulan November, seiring dengan sentimen negatif terkait Omicron yang telah menyebar ke beberapa negara. Namun demikian, pertumbuhan kasus harian dalam negeri tetap terkendali dan berada di level terendah di kisaran 200-300 kasus per hari. Redanya kekhawatiran Omicron akan mendorong investor untuk kembali risk-on dan IHSG berpotensi untuk melanjutkan kenaikan pada kisaran 6,700 – 6,800 seiring dengan siklus window dressing di akhir tahun.
Di tengah nada Fed yang lebih agresif dalam melakukan tapering, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia masih tetap terjaga di level 6.07% menutup bulan November. Kestabilan yang terjadi pada imbal hasil ini didukung oleh beberapa faktor seperti realisasi burden sharing Bank Indonesia serta telah berakhirnya lelang SUN untuk 2021. Selain itu pula, animo investor domestik yang masih antusias terhadap pasar obligasi domestik di tengah rendahnya suku bunga, turut mendorong kestabilan harga obligasi. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun dalam jangka pendek diperkirakan akan berada di kisaran 6.1 hingga 6.4 persen.
Di bulan November, Rupiah kembali mengalami pelemahan terhadap Dolar AS -1.5% ke level 14,335. Pelemahan Rupiah ini lebih disebabkan oleh nada kebijakan Fed yang lebih hawkish dengan wacana untuk melakukan tapering lebih cepat serta potensi kenaikan suku bunga lebih cepat pada tahun 2022 mendatang. Adanya kenaikan permintaan Dolar AS yang seringkali terjadi pada siklus akhir tahun, berpotensi untuk menekan pergerakan Rupiah. Namun demikian, dengan ekonomi yang kini berada pada fase pemulihan, maka pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan membaik di tahun ini. Dengan demikian, Rupiah akan diperdagangkan di kisaran di 14,300-14,550 hingga akhir tahun 2021.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPEkonomi dunia cenderung untuk berkembang dengan kuat seiring dengan negara-negara yang dibuka kembali, menyusul rekor rebound di tahun ini, meskipun outlook menghadapi risiko baru. – Eli Lee
Kami mengekspektasi pertumbuhan global secara keseluruhan akan mendekati 5% di tahun 2022. Dengan demikian, ekonomi dunia akan berkembang untuk tahun kedua berturut-turut, jauh lebih cepat dari rata-rata tahunan 3% yang tercatat sejak tahun 1970-an.
Bagaimanapun, prospek makroekonomi terus menghadapi risiko baru. Pertama, varian baru Omicron, yang awalnya diidentifikasi di Afrika Selatan, yang mungkin merupakan strain virus yang sangat menular, bahkan lebih dari Delta, dan terbukti lebih tahan terhadap vaksin yang tersedia saat ini.
Peneliti masih membutuhkan waktu sampai pertengahan Desember untuk menilai seberapa menular Omicron dibandingkan dengan varian lain.
Dengan demikian, aktivitas ekonomi di seluruh dunia dapat tertekan saat 2022 dimulai. Tetapi risiko terhadap pertumbuhan dari Omicron kemungkinan dapat diredakan oleh pengetahuan yang diperoleh pemerintah, bank sentral, perusahaan, karyawan, dan rumah tangga selama pandemi sejak awal 2020.
Risiko kedua terhadap prospek adalah inflasi. Harga konsumen naik lebih dari 6.0% YoY di AS dan lebih dari 4.0% YoY di Inggris dan Zona Euro. Melonjaknya permintaan karena perekonomian yang dibuka kembali dan gangguan pasokan mendorong kenaikan inflasi hingga tingkat yang terakhir terlihat tiga puluh tahun yang lalu pada ekonomi Barat. Sebaliknya, inflasi di seluruh Asia terlihat lebih tenang.
Kami akan memantau risiko ini saat 2022 dimulai. Tetapi aktivitas ekonomi tetap jauh lebih kuat dengan berakhirnya 2021 dibandingkan dengan 2020 ketika virus pertama kali muncul. Dan kami berharap bank sentral akan tetap dovish jika pemulihan global tertunda - dan hal tersebut akan terus mendukung aset berisiko.
Pusat prospek pada tahun 2022 adalah seberapa cepat Federal Reserve menarik kembali stimulus moneter besar yang diberikan pada tahun 2020 pada awal krisis.
Di depan Kongres tanggal 30 November, Ketua The Fed Powell mengisyaratkan dengan kuat bahwa The Fed dapat mempertimbangkan untuk mengurangi pelonggaran kuantitatifnya lebih cepat jika sesuai dengan target pada bulan Desember.
Tapering yang lebih cepat memberi The Fed pilihan untuk memulai kenaikan suku bunga lebih awal dari musim panas mendatang jika inflasi tetap tinggi. Tetapi para pejabat masih ingin melihat kemajuan tingkat pengangguran dan pandemi, dan akan menekankan bahwa syarat untuk memulai kenaikan suku bunga akan lebih tinggi dari untuk memulai tapering.
Dengan demikian, kami mempertahankan pandangan kami bahwa bank sentral dapat menunggu hingga 2023 sebelum menaikkan suku bunga sambil meninjau perkiraan kami setelah pertemuan Fed yang akan datang.
Oleh karena itu, kami melihat bank sentral utama terus mendukung aset berisiko pada tahun 2022. Kami memperkirakan pikir imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun akan naik dari waktu ke waktu tetapi hanya mencapai 1.90% selama tahun depan, mencerminkan pandangan kami bahwa biaya pinjaman secara keseluruhan akan tetap rendah ditengah lonjakan inflasi saat ini.
Kami tetap konstruktif pada pasar saham di tahun 2022, meskipun kami memperhatikan risiko yang mengikuti, seperti hambatan yang akan dihadapi pembukaan ekonomi, terkait varian Omicron COVID-19. – Eli Lee
Memasuki tahun 2022, kami tetap konstruktif pada pasar saham, terlihat dari posisi overweight kami di pasar AS. Amerika Serikat tetap menjadi tempat pilihan kami memasuki tahun 2022. Tekanan inflasi telah menjadi pusat perhatian, tetapi kami percaya bahwa pendorong inflasi termasuk permintaan konsumen yang kuat dan ekspansi dalam output yang didorong oleh tren pembukaan kembali yang luas yang masih utuh. The Fed akan memantau dengan cermat data yang masuk untuk menentukan seberapa cepat menghentikan pembelian asetnya; setiap penyesuaian pada kecepatan tapering dapat mengakibatkan volatilitas pasar lebih lanjut.
Di Eropa, kami melihat bahwa pemulihan ekonomi akan segera terjadi, meskipun data aktivitas di beberapa daerah menunjukkan tanda-tanda perlambatan di belakang faktor-faktor seperti kendala rantai pasokan dan harga energi yang tinggi. Dalam jangka panjang, pemulihan Eropa akan berlanjut, tetapi dengan kecepatan yang moderat.
Ke depan, kami mengharapkan politik yang lebih stabil mengingat mosi percaya yang dimenangkan oleh pemerintahan Kishida. Sementara musim pendapatan telah memberikan lebih banyak kejutan positif daripada negatif, proporsi perusahaan yang mengalahkan perkiraan dimoderasi.
Kami mempertahankan sikap netral kami pada MSCI China karena revisi penurunan pendapatan kemungkinan akan berlanjut (terutama untuk internet lepas pantai dan industri platform). Tetapi kami terus memantau potensi peningkatan dan memperhatikan nada kebijakan dan stabilisasi yang lebih pro-pertumbuhan di momentum penurunan laba. Dalam pasar saham China, kami memperkenalkan kembali preferensi relatif kami untuk A-shares karena valuasi yang menyempit terhadap MSCI China, korelasi yang relatif rendah dengan pasar lain, dan eksposur yang lebih besar ke sektor-sektor yang akan mendapat manfaat dari perubahan kebijakan.
Memasuki 2022, kami tetap nyaman dengan segmen value/cyclical yang telah kami moderasi dari pembobotan overweight sebelumnya. Namun, investor disarankan untuk lebih selektif dan mengadopsi pendekatan stock-picking pada level saat ini. Nama-nama tertentu di sektor yang terpapar tren struktural positif seperti teknologi dan perawatan kesehatan juga memerlukan tempat dalam portofolio, karena beberapa dapat menjadi compounder dalam jangka panjang.
Pandangan overweight kami terhadap obligasi EM HY di tahun 2022 akan ditopang oleh fundamental yang mendukung dan valuasi yang atraktif, setelah melewati tahun 2021 yang cukup berat. – Vasu Menon
Bulan November merupakan salah satu bulan yang paling monumental bagi pasar obligasi global. Di awal bulan, rencana tapering oleh The Fed akhirnya terdengar, diiringi oleh komentar yang dovish. Dari segi inflasi, secara tahunan di akhir bulan Oktober tercatat di level 6.2%, level tertinggi setidaknya dalam tiga dekade terakhir. Hal tersebut mendorong kenaikan tertinggi imbal obligasi AS sejak awal tahun 2020.
Untuk pasar obligasi, kami masih overweight terhadap obligasi EM HY, dimana valuasi masih terlihat atraktif. Kami masih underweight terhadap Developed Market (DM) dan EM Investment Grade (IG), seiring dengan potensi kenaikan suku bunga yang dapat lebih mempengaruhi kedua kategori tersebut.
Untuk obligasi EM HY, penguatan regional yang cukup merata sebelumnya terhapus oleh krisis likuiditas yang sedang dialami oleh sektor properti China; sejak awal tahun mencatatkan pelemahan sekitar -2.5%. Untuk IG, kenaikan suku bunga juga membebani pergerakan harga, mencatatkan pelemahan -0.4% sejak awal tahun. Untuk tahun 2022, kami melihat akan ada nya perbaikan untuk obligasi HY, didorong oleh tingkat likuiditas yang meningkat dan juga pendanaan yang lebih suportif bagi sektor properti China. Sementara obligasi IG akan didukung oleh kenaikan suku bunga yang lebih pelan.
Di tahun 2022, pertumbuhan ekonomi EM (proyeksi IMF di 5.1%) yang lebih merata akan menjadi katalis bagi investasi terhadap obligasi korporasi negara berkembang. Neraca keuangan korporasi akan menunjukkan pemulihan yang berkelanjutan, seiring dengan peningkatan laba yang sudah terlihat dalam beberapa kuartal terakhir.
Dibebani oleh kekhawatiran atas tingkat hutang sektor properti China, spread obligasi EM HY secara keseluruhan melebar sekitar 90 basis poin tahun ini. Namun, valuasi saat ini untuk EM HY masih terlihat atraktif baik dari segi historical maupun jika dibandingkan US HY.
Di kategori HY, kami menaikkan rekomendasi untuk Asia ke overweight. Peningkatan tersebut didasari oleh kepercayaan bahwa penyusutan spread pada obligasi sektor properti di China yang dimulai pada bulan November lalu akan berlanjut hingga tahun depan, seiring dengan pemerintah yang sedang dalam upaya untu merelaksasi regulasi dan memperbaik pendanaan dan likuiditas.
Pandangan overweight kami terhadap obligasi EM HY ditopang oleh fundamental top-down dan bottom-up yang mendukung dan valuasi yang lebih atraktif saat ini dibandingkan tahun 2021. Di kategori IG, walaupun risiko kenaikan suku bunga tidak akan terlalu besar tahun depan, kami masih cenderung lebih berhati – hati. Seiring dengan masih ada nya ketidaksepadanan dari segi valuasi, kami mempertahankan pandangan underweight kami terhadap EM IG.
Prospek untuk imbal hasil riil AS yang lebih tinggi dan greenback yang lebih kuat kemungkinan akan membebani emas pada tahun 2022, meskipun investor akan mempertahankan eksposur terhadap emas untuk diversifikasi. – Vasu Menon
Pemulihan harga minyak dari penurunan tajam baru-baru ini masih mungkin terjadi akibat dari kekhawatiran Omicron dan jika OPEC+ mengembalikan kembali lintasan produksinya di tengah ketidakpastian atas Omicron. Kami telah menurunkan perkiraan minyak Brent tiga bulan menjadi USD 80/barel, dengan sebelumnya USD 85/barel untuk memperhitungkan risiko yang lebih besar dari negara-negara yang memperlambat pembukaan kembali perbatasan mereka untuk mengulur waktu guna meningkatkan tingkat vaksinasi. Inflasi semakin memburuk oleh harga minyak yang tinggi, menjadi masalah politik di AS. AS dapat melakukan berbagai cara untuk membatasi kenaikan harga minyak di luar rilisian cadangan minyak baru-baru ini, dengan berkoordinasi dengan negara-negara konsumen minyak lainnya.
Prospek untuk imbal hasil riil AS yang lebih tinggi dan prospek Dolar AS yang lebih kuat kemungkinan akan membebani emas pada tahun 2022. Kami menargetkan harga emas turun ke USD 1.620/ounce pada akhir 2022. Investor akan tetap mempertahankan eksposur emas untuk diversifikasi. Tetapi alokasi cenderung lebih kecil dari sebelumnya. Kami mengharapkan The Fed untuk menjaga kredibilitas dalam kesediaan dan kemampuan untuk menghindari inflasi yang lebih tinggi. Ini harus membatasi daya pikat emas sebagai lindung nilai inflasi. Namun, harga emas bisa bertahan lebih tinggi lebih lama jika pembuat kebijakan moneter diminta untuk mengambil sikap yang lebih hati-hati terhadap pengetatan. Ini bisa terjadi jika varian Omicron terbukti menjadi tantangan material bagi pemulihan global.
Kami telah melihat kebangkitan akibat pandemi COVID-19, pertama melalui peningkatan signifikan dalam kasus di Eropa dan kemudian varian Omicron. Eropa telah memberlakukan kembali pembatasan, sehingga merugikan Euro dan wilayah Uni Eropa. Varian Omicron tidak mengubah pandangan makro kami, tetapi kemungkinan akan mendominasi perhatian pasar pada awal Desember. Buku pedoman jangka pendek kami bersifat defensif - tetap short pada AUD-USD dan USD-JPY sebagai lindung nilai risiko.
Lebih jauh lagi, kami tidak percaya bahwa perkembangan COVID-19 baru-baru ini akan mengubah landasan kebijakan moneter pada H1 2022. The Fed yang hawkish terus menjadi asumsi utama. Narasi Fed tampaknya beralih ke laju penurunan yang lebih cepat, yang kemudian dapat berkembang menjadi kemungkinan kenaikan suku bunga pada tahun 2022. Ini menyiratkan bahwa Fed dapat mengejar ekspektasi kenaikan suku bunga tersirat pasar dan seharusnya ini pada dasarnya memberikan fundamental Dolar AS (USD) yang positif.
Laporan pendapatan perusahaan yang kuat di kuartal ketiga menjadi pendorong di Wall Street pada bulan Oktober ini. Sebagian besar memprediksikan bahwa sektor swasta sedang berada di trajektori yang naik. Inflasi yang naik biasa seiring dengan asset yang berisiko tinggi, namun tidak demikian untuk market obligasi. The Fed sebelumnya telah mengumuman bahwa dovish tapering akan dilaksanakan sebelum akhir November. Program pembelian obligasi dikurangi sebanyak USD15 Miliar, dari yang sebelumnya USD120 Miliar per bulan ke USD105 Miliar. Kabar baiknya adalah Ketua The Fed, Jerome Powell, mengatakan bahwa bank sentral tidak akan menaikkan suku bunga utama dalam waktu dekat, saat ini berada di 0.25% setidaknya sampai pasar tenaga kerja menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Sedangkan untuk pasar Asia bulan lalu, setelah terjadinya volatilitas penjualan, pasar ditutup sideways di level yang sama dengan saat awal bulan. Penghasilan korporasi di Asia tidak sebaik di negara maju, dan juga karena masih adanya sentimen negatif seperti naiknya angka COVID-19 di beberapa negara. Namun, kontributor terbesar terhadap saham-saham Asia yang di bawah rata-rata adalah kekhawatiran terhadap krisis hutang yang dilakukan sektor properti China.
Di pasar domestik, keadaan terlihat membaik dalam hal COVID-19 dan juga dari sisi pertumbuhan ekonomi. Ekonomi mencatat peningkatan sebesar 3.51% selama kuartal tiga, membuktikan bahwa ekonomi sudah dalam proses perbaikan. Mengenai perubahan peraturan, Pemerintah sekali lagi menurunkan larangan mobilitas dengan menurunkan PPKM ke level 2 di bulan Oktober untuk Jakarta. Ini berarti semakin banyak orang akan diperbolehkan untuk kembali ke kantor dan juga berkurangnya larangan operasi untuk bisnis.
IHSG naik 4.8% di bulan Oktober. Ini merupakan kenaikan per bulan terbesar kedua di tahun 2021. Sentimen pasar didukung oleh beberapa faktor. Katalis positif yang utama adalah angka COVID-19 per hari yang berada di level terendah, hanya 500 kasus per hari. Data ekonomi juga mengkonfirmasi bahwa kita sekarang sudah dalam fase pemulihan. Selain itu, kenaikan di pasar saham juga didukung oleh masuknya dana asing sebanyak USD918 Juta. Ditambah lagi, dengan memasuki earnings season, baik dalam pasar domestik maupun global, telah menjadi faktor pendukung untung IHSG.
Setelah rebound yang kuat bulan lalu, kami memperkirakan bahwa IHSG akan bergejolak bulan ini dengan adanya pelemahan. Namun demikian, kami melihat bahwa bulan Desember akan menjadi bulan untuk window dressing sehingga IHSG diperkirakan akan ditutup di 6,700 - 6,900.
Sebelum terjadinya tapering, pasar obligasi terus mengalami penguatan. Obligasi Pemerintah dengan tenor 10-tahun jatuh dari 6.26% ke 6.06% di bulan Oktober. Dukungan berkelanjutan dari bank sentral dengan skema pembagian beban, bersama dengan berkurangnya supply obligasi, telah menjadi katalis untuk pasar obligasi. Penguatan ini juga didukung dengan menguatnya Rupiah bulan lalu.
Pengumuman yang dibuat oleh the Fed untuk memulai mengurangi pembelian asset secara bertahap sebelum akhir November telah menjadi tekanan untuk pasar obligasi. Namun, pada awal November, Pemerintah mengumumkan untuk menghentikan pelelangan obligasi karena target 2021 telah tercapai. Sehingga kini kami dapat memperkirakan bahwa obligasi Pemerintah dengan tenor 10 tahun akan diperjualbelikan di level 6% - 6.3% sampai akhir tahun.
Rupiah menguat terhadap greenback di bulan Oktober, dari 14,313 ke 14,100 sesaat dan kemudian ditutup di 14,168 per USD pada akhir bulan. Dengan ekonomi yang kini berada pada fase pemulihan, prospek pertumbuhan ekonomi kini terlihat lebih jelas. Dengan demikian, kami memperkirakan USD/IDR akan diperjualbelikan di 14,150 - 14,450 selama sisa tahun 2021.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPPemulihan global dari pandemi menghadapi tantangan yang signifikan. Inflasi terbukti lebih persisten dari yang diperkirakan bank sentral, namun prospek keseluruhan masih mendukung aset berisiko – Eli Lee.
As 2021 draws to a close, the global recovery faces significant challenges and risks:
Kenaikan inflasi lebih persisten
Risiko pertama adalah inflasi. Harga konsumen telah rebound karena melonjaknya permintaan barang dan jasa didukung oleh ekonomi yang dibuka kembali. Inflasi indeks harga konsumen (IHK) telah melampaui 5% di Amerika, 4% di Zona Euro, dan 3% di Inggris. Kenaikan inflasi seiring dengan ekonomi yang dibuka kembali terbukti lebih kuat dari yang diperkirakan bank sentral.
Investor dengan demikian khawtir bahwa sikap dovish dari bank sentral utama, yang telah menjadi kunci aset berisiko yang mencapai tertinggi sepanjang masa tahun ini, akan ditinggalkan jika inflasi tidak mulai mereda selama beberapa bulan ke depan.
Melonjaknya harga energi
Risiko kedua saat ini adalah lonjakan harga minyak, gas alam dan batubara. Kenaikan harga energi dapat menyebabkan inflasi yang lebih luas jika perusahaan meneruskan biaya bahan bakar yang lebih tinggi kepada konsumen dengan menaikkan harga barang dan jasa.
Investor dengan demikian mencermati bagaimana bank sentral merespon dampak dari guncangan minyak. Jika pembuat kebijakan pada ekonomi pengimpor energi memutuskan untuk menaikkan suku bunga dengan cepat untuk mengurangi tekanan inflasi, maka aset berisiko cenderung tertekan.
Kasus baru kembali melonjak
Risiko ketiga adalah kasus baru yang terus muncul. Namun, dampak pandemi terhadap aktivitas ekonomi jauh lebih sedikit dibandingkan dua gelombang pertama tahun 2020 dan penyebaran varian delta selama musim panas 2021.
Perlambatan China berlanjut
Kasus virus baru mengakibatkan lockdown ketat yang menekan konsumsi. Sentimen juga kemungkinan telah dirusak oleh beberapa pengumuman peraturan baru-baru ini yang mencakup sektor-sektor yang beragam seperti uang sekolah, game, penyimpanan data dan pembayaran.
Namun, kami mengekspektasi tidak mungkin ekonomi China akan mengalami penurunan besar yang akan memukul aset berisiko secara global. Keberhasilan pihak berwenang dalam membatasi wabah virus baru telah mengakibatkan dicabutnya lockdown. PBoC kemungkinan akan menindaklanjuti pemangkasan di bulan Juli dalam rasio persyaratan cadangan bank (RRR) dengan langkah lebih lanjut untuk membebaskan likuiditas jika aktivitas di China terus melunak.
Selain perlambatan China, sikap The Fed tetap menjadi kunci apakah risiko inflasi, lonjakan harga energi dan gelombang virus musim dingin baru akan menggagalkan aset berisiko.
Kami berharap The Fed tetap dovish dan hanya akan berubah hawkish jika kemacetan pasokan dan inflasi tidak mereda dari musim semi 2022 (antara Maret dan Juni tahun depan).
Kami mempertahankan pandangan kami bahwa The Fed akan menunggu sampai 2023 - sementara pasar tenaga kerja terus pulih - sebelum menaikkan suku bunga.
Dalam strategi aset alokasi, kami mempertahankan sikap risk-on yang moderat, menjaga posisi overweight di ekuitas, terutama di pasar AS. – Eli Lee
Kami tetap mewaspadai meningkatnya kasus COVID-19 di sebagian besar Eropa, sementara kami menyoroti potensi risiko pasar yang tidak sepenuhnya memperhitungkan potensi penurunan peringkat pendapatan di China. Secara sektoral, kami mempertahankan preferensi kami untuk Energi, Keuangan, Industri, dan Real Estat.
Sebagian besar perusahaan S&P500 yang telah melaporkan pendapatan kuartal ketiga telah mengalahkan ekspektasi pendapatan. Sementara perusahaan tampaknya menghadapi tekanan biaya yang meningkat, namun demikian penjualan yang lebih tinggi dan efisiensi biaya operasional terlihat dapat mengurangi beberapa hambatan sejauh ini.
Meskipun tapering dimulai, pandangan kami adalah bahwa The Fed akan mempertahankan sikap dovish dan belum akan menaikkan suku pada tahun 2022. Selain itu, kami percaya bahwa kurangnya dukungan dari total 50 senator Demokrat untuk meningkatkan tarif pajak untuk badan hukum, dapat memberikan keringanan EPS pada tahun 2022.
Data ekonomi menunjukkan bahwa aktivitas melambat di lebih banyak bagian Eropa karena efek dari kendala rantai pasokan. Kondisi ini memberikan tekanan harga ke atas, diperburuk oleh biaya energi yang lebih tinggi yang memiliki efek luas di seluruh rantai nilai.
Meskipun fokus investor pada COVID-19 telah menurun karena pandemi menjadi lebih endemik, kami tetap waspada. Kasus COVID-19 meningkat lagi di sebagian besar Eropa dan di beberapa negara disertai dengan peningkatan rawat inap. Jika ada gelombang keempat COVID-19, gelombang tersebut juga kemungkinan tidak akan merata di seluruh Eropa.
Konsensus perkiraan pertumbuhan pendapatan perusahaan meningkat menjadi sekitar 33% untuk FY3/22. Secara keseluruhan, kami konstruktif mengingat kinerja pasar yang kurang baik tahun ini, yang menunjukkan posisi investor asing yang relatif ringan.
Indeks MSCI Asia ex-Jepang naik tipis untuk bulan Oktober setelah kinerja negatif di bulan September. Ke depan, kami yakin investor akan fokus pada sisa musim pendapatan 3Q21 dan arah kebijakan dari pleno keenam China pada bulan November.
Pasar saham China telah diselimuti oleh perubahan peraturan, kekhawatiran akan dampak lanjutan Evergrande dan dampak potensial dari pembatasan pada pendapatan perusahaan. Sementara kami percaya pasar seharusnya memperhitungkan dua masalah pertama, kami berharap revisi penurunan pendapatan perusahaan akan terus berlanjut.
Terlepas dari potensi risiko penurunan peringkat pendapatan, tema “green Economy”, yaitu perusahaan yang berfokus pada energi terbarukan dan kendaraan energi baru, terus mendapatkan daya tarik baru-baru ini. Kami mempertahankan pandangan kami bahwa energi terbaru akan menjadi tema investasi multi-tahun yang harus diwaspadai.
Minat terhadap tema transisi energi juga tinggi dengan kenaikan harga komoditas energi baru-baru ini. Setelah itu adalah keuangan, yang telah didukung oleh ekspektasi kenaikan imbal hasil dan pemulihan ekonomi global. Teknologi Informasi berada di peringkat ketiga, diikuti oleh real estate dan industri.
Seiring dengan pandangan kami atas potensi kenaikan suku bunga acuan dalam beberapa bulan kedepan, kami mempertahankan posisi overweight terhadap obligasi Emerging Market High Yield (EM HY), netral terhadap Developed Market High Yield (DM HY) dan underweight terhadap Investment Grade (IG). – Vasu Menon
Bulan oktober merupakan bulan yang fluktuatif bagi aset pendapatan tetap. Imbal hasil obligasi 10 tahun AS sempat naik 25 basis poin ke level tertinggi nya di bulan Oktober akibat kekhawatiran atas kenaikan inflasi, krisis energi, dan juga isu rantai pasokan yang ditakutkan dapat menunda pemulihan ekonomi global. Sementara di China, pemulihan ekonomi tertunda di kuartal 3 akibat krisis energi, sentimen negatif yang dipicu oleh sektor properti, dan juga pengetatan regulasi dunia usaha oleh pemerintah.
Spread hutang negara berkembang (EM) melebar di bulan Oktober. High Yield (HY) melebar 57 basis poin dipimpin oleh China, yang melebar 500 basis poin. Diluar China, spread obligasi HY mayoritas lebih sempit terkecuali bagi Brazil yang melebar 20 basis poin. Spread obligasi IG terlihat lebih stagnan, hanya melebar 5 basis poin sepanjang bulan Oktober.
Di bulan Oktober kami melihat selisih yang signifikan antara imbal hasil regional pasar obligasi. Centra Europe Middle East Africa (CEEMEA) terlihat stagnan, Amerika Latin turun -0.3% sementara Asia turun -7.5%. Kinerja Asia yang lebih buruk didorong oleh China yang mencatatkan pelemahan signifikan sebesar -13.3%. Negara utama Asian lainnya berkinerja baik, dengan Indonesia dan India mencatatkan penguatan sebesar 0.8%.
Kami melihat bahwa The Fed akan melakukan tapering yang lembut. Terlebih lagi, sikap pemerintah China yang mulai melunak seharusnya akan dapat menopang sektor properti seiring dengan upaya Presiden Xi Jinping untuk merestrukturisasi industri-industri inti ekonomi China dan mengurangi beban hutang yang dapat berdampak negatif terhadap sistem keuangan kedepan nya.
Lonjakan kasus COVID-19 di China dan Eropa belakangan ini kembali memperingatkan kita atas potensi dampak virus corona terhadap perekonomian. Hal ini dapat kembali membebani pertumbuhan ekonomi China ditengah reformasi kebijakan yang juga semakin terjadi.
Optimisme terhadap pasar obligasi China saat ini berada di kisaran level terendah nya, terutama bagi sektor HY. Krisis likuiditas perusahaan properti Evergrande yang mengakibatkan pihak perusahaan kesulitan membayar kupon – kupon obligasi yang diterbitkan ditakutkan dapat menyebar, memicu gagal bayarnya korporasi yang serupa.
Seiring dengan ekspektasi kami bahwa siklus kenaikan suku bunga akan dimulai dalam beberapa bulan kedepan, kami mempertahankan pandangan overweight terhadap obligasi HY dan merekomendasikan underweight terhadap obligasi IG akibat beberapa hal seperti:
Kami mempertahankan perkiraan minyak Brent 3 bulan di USD 85/barel sebagai basis kami, dengan mempertimbangkan risiko kenaikan singkat menjadi USD 90/barel sebelum meningkatnya hasil pasokan dalam penurunan harga setelah musim dingin. – Vasu Menon
Harga minyak mengalami kenaikan, didukung oleh kekurangan cadangan gas alam yang menyebabkan kenaikan demand untuk sumber energi lain. Kami mempertahankan prediksi 3-month Brent oil di USD 85/barel sebagai basis kami, dengan mempertimbangkan resiko kenaikan singkat ke USD90/barel sebelum kemudian harga dapat turun setelah musim dingin. Meskipun terdapat permintaan untuk menaikkan supply minyak, keengganan OPEC untuk menambah barel minyak akan menyebabkan kenaikan harga. Namun demikian, harga minyak terlihat hampir mencapai peak, ditandai dengan menurunnya harga batu bara China dan gas Eropa yang mensinyalkan meredanya krisis energi.
Emas mengalami comeback dengan adanya kekhawatiran stagflasi. Kenaikan sementara dapat terjadi jika kekhawatiran stagflasi memburuk. Namun, USD1,840/ons dapat dianggap sebagai soft cap.
Pertama, kekhawatiran akan stagflasi dapat mengakibatkan kombinasi perlambatan inflasi dan pertumbuhan yang cukup stabil dan kuat. Kedua, kecenderungan hawkish The Fed akan mempercepat transisi USD ke angka yang lebih kuat di jangka menengah.
Walaupun terdapat kekhawatiran terhadap harga emas, kami masih melihat bahwa investor masih akan menyimpan sebagian emas di dalam portfolio mereka. Hal ini dikarenakan kita sedang mengalami waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya di mana dunia perlahan-lahan keluar dari krisis yang belum pernah terjadi selama hampir 100 tahun terakhir.
Harga emas memang cenderung naik ketika bunga menurun sejalan dengan melemahnya ekonomi. Oleh karena itu, emas dapat digunakan sebagai hedge terhadap ketidakpastian ekonomi atau bahkan kemungkinan terjadinya resesi.
Di bulan Oktober, kami mengalami ekspektasi penetapan harga dari kenaikan tarif tercepat di dalam sejarah perbankan. Terlihat adanya usaha dari traders untuk mendorong bank sentral yang dovish, seperti ECB dan RBA, supaya dapat menjadi lebih hawkish. Ekspektasi terjadinya kenaikan tarif ini menyebabkan kekhawatiran tentang pertumbuhan dan melandainya yield curve.
Bank Sentral mana yang posisinya paling baik untuk menaikkan tarif tanpa pengaruh terhadap pertumbuhan yang signifikan? Dalam hal ini, USD masih berada di posisi paling atas, dengan Euro dan Japanese Yen berada di sisi lain dari spektrum.
Di Asia, latar belakang makro di China masih belum mengalami perbaikan. Namun, hal ini tidak mempengaruhi Renminbi selama perdagangan dan portfolio yang masuk tetap suportif. Dengan latar belakang seperti ini, USD-Asia performance dapat menyimpang, tergantung pada paparan masing-masing terhadap kompleksitas komoditi. Dengan itu, kami tetap condong memilih Ringgit Malaysia dan Rupiah Indonesia dibandingkan dengan Rupee India dan Won Korea.
Akhir-akhir ini, pergerakan pasar keuangan global diselimuti oleh berbagai sentimen. Dimulai dari rencana tapering The Fed akhir tahun ini, ketidakpastian seputar hambatan batas utang AS, krisis likuiditas perusahaan properti China, sampai krisis energi global yang telah mendorong harga minyak untuk naik ke level tertinggi sejak tahun 2014. Terlihat bahwa pemulihan sedang menghadapi berbagai tantangan baru.
Di AS, data ketenagakerjaan terbaru menunjukkan non-farm payrolls hanya bertambah 194 ribu pada bulan September. Sementara tingkat pengangguran AS turun ke level 4.8% dari 5.2% di bulan Agustus. Namun, peluang tapering di akhir tahun berpotensi tetap ada meskipun data ketenagakerjaan belum pulih, mengingat proyeksi suku bunga terbaru The Fed yang akan dinaikan lebih cepat dari proyeksi sebelumnya di tahun 2023. Ke depannya, pasar saham AS masih akan volatile di tengah sentimen yang ada. Musim laporan keuangan Q3 pun akan dimulai, dimana investor akan kembali mencermati permasalahan rantai pasokan global dan kekurangan tenaga kerja yang dialami perusahaan AS.
Dari dalam negeri, pelonggaran PPKM serta percepatan vaksinasi yang mencapai 2 juta dosis per hari berhasil mengendalikan pandemi di Indonesia. Penanganan yang baik turut mendukung aktivitas ekonomi di bulan September. Aktivitas pabrik di dalam negeri mulai ekspansif, dengan indeks PMI manufaktur yang naik ke angka 52.2. Sementara data inflasi juga tercatat naik 1.6% YoY. Bantuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) turut mendukung, yang mana 54.3% sudah berhasil tersalurkan per September 2021 dari total Rp 744.77 Triliun sepanjang tahun ini.
IHSG berhasil menguat +2.22% ke level 6,286 di bulan September. Umumnya, secara historis pergerakan bulan September dibayangi oleh penurunan. IHSG berhasil menguat didukung oleh aliran dana investor asing yang deras sejak bulan lalu. Investor asing sendiri mencatatkan net buy sebesar Rp 4.3 Triliun di bulan September. Sektor energi yang dianggap sebagai old economy memimpin penguatan dari segi sektoral, seiring dengan melonjaknya harga komoditas batu bara dan minyak. Kenaikan sektor energi dan pemulihan permintaan domestik dengan pelonggaran PPKM, diharapkan akan mendorong kenaikan IHSG ke kisaran 6,500 hingga 6,700 hingga akhir tahun.
Di akhir bulan September, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun mengalami kenaikan, dari awal bulan di level 6.06% ke 6.26%. Kenaikan mengikuti imbal hasil US Treasury seiring dengan kekhawatiran akan inflasi. Untuk pasar obligasi, kami melihat real yield yang masih tinggi dan supply risk yang semakin menurun akan terus menjadi katalis positif bagi pasar obligasi Indonesia. Faktor-faktor tersebut sangat menarik bagi investor, terutama investor asing, sehingga imbal hasil obligasi diperkirakan dapat berada di kisaran 5.8-6.3% hingga akhir tahun.
Sementara itu, mata uang Rupiah melemah 0.32% sepanjang bulan lalu, dan ditutup pada level 14,313 di akhir bulan September. Di penghujung bulan September, Rupiah melemah merespon rilisan data PMI manufaktur China yang mengalami penurunan selama enam bulan beruntun. Di sisi lain, Bank Indonesia melaporkan cadangan devisa di akhir September sebesar USD 146.9 Miliar, rekor tertinggi sepanjang sejarah. Hal tersebut diharapkan memberikan stabilitas pada nilai tukar Rupiah. Rupiah diperkirakan akan berada di kisaran 14,150 – 14,350 menutup tahun 2021.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPWalaupun ada risiko jangka pendek akan pertumbuhan di AS dan China, prospek ekonomi tetap menguntungkan. Hal ini didukung oleh pemulihan global yang berlangsung dari pandemi dan bank sentral yang dovish, yang menoleransi tingkat inflasi yang sedikit diatas target dan menjaga kebijakan moneter tetap akomodatif. – Eli Lee
Bagaimanapun, pemulihan global dari pandemi menghadapi tantangan baru.
Di AS, penyebaran varian delta, kekurangan tenaga kerja yang disebabkan oleh ketakutan pekerja untuk kembali bekerja selama pandemi, dan gangguan pasokan telah menghentikan pembukaan kembali ekonomi pada Q3 2021.
Begitu juga di China, aktivitas ekonomi juga terganggu selama Q3 oleh wabah regional varian delta yang mendorong pihak berwenang untuk memberlakukan penguncian ketat.
Amerika Serikat dan China merupakan dua ekonomi terbesar di dunia. Dengan menurunkan proyeksi mereka, kami juga menurunkan proyeksi pertumbuhan global kami dari 6.1% menjadi 5.8% untuk 2021 dan dari 5.0% menjadi 4.9% untuk 2022.
Meskipun adanya downgrades, kami masih melihat pertumbuhan global tetap sangat kuat tahun ini dan tahun depan. Dengan demikian, sementara prospek telah memoderasi aktivitas yang lebih lambat di AS dan China, laju pertumbuhan global pada 2021 dan 2022 kemungkinan masih mendukung aset berisiko.
Risiko utama lainnya terhadap pemulihan global berasal dari imbal hasil US Treasury yang mulai meningkat lagi.
Sejak pertengahan September, imbal hasil obligasi telah melonjak dengan imbal hasil US Treasury 10-tahun melebihi 1.5% untuk pertama kalinya sejak Juni.Imbal hasil meningkat karena The Fed sekarang bersiap untuk memulai tapering secepatnya pada awal pertemuan berikutnya bulan November. Dengan mengurangi pembelian obligasi untuk menghentikan ekonomi AS dari overheating, Bank Sentral akan menghapus tekanan pada imbal hasil.
Imbal hasil meningkat karena The Fed sekarang bersiap untuk memulai tapering secepatnya pada awal pertemuan berikutnya bulan November. Dengan mengurangi pembelian obligasi untuk menghentikan ekonomi AS dari overheating, Bank Sentral akan menghapus tekanan pada imbal hasil.
Imbal hasil US Treasury juga cenderung terus meningkat dalam waktu dekat karena kemacetan rantai pasokan, kekurangan tenaga kerja dan kenaikan harga energi – yang disebabkan oleh pasokan yang berjuang untuk memenuhi permintaan ketika ekonomi dibuka kembali – semuanya memberikan tekanan pada inflasi dalam jangka pendek.
Namun, kami tidak mengharapkan imbal hasil US Treasury 10 tahun melebihi 2% dalam waktu 12 bulan. Kami mengekspektasi The Fed tidak akan mulai meningkatkan suku bunga Fed fund dalam dua tahun lagi sampai semester kedua di 2023 ketika pasar tenaga kerja AS telah sepenuhnya mendapatkan kembali semua pekerjaan yang hilang selama pandemi. Oleh karena itu, kami mengekspektasi imbal hasil obligasi pemerintah untuk tetap diperdagangkan di level yang rendah, dan dapat memberikan keuntungan pada aset berisiko.
Dengan demikian, sementara pemulihan global menghadapi risiko jangka pendek terhadap pertumbuhan di AS dan China, dan penetapan kembali imbal hasil US Treasury saat ini dapat menyebabkan lebih banyak volatilitas di pasar keuangan selama beberapa minggu ke depan, prospek ekonomi secara keseluruhan terus mendukung aset berisiko.
Dengan kita memulai kuartal keempat, kami tetap positif pada instrumen saham secara keseluruhan dalam strategi alokasi aset kami, dengan preferensi untuk ekuitas AS, dimana prospek pendapatan tetap didukung dengan baik oleh momentum pertumbuhan ekonomi yang kuat. – Eli Lee
Pasah saham global mengalami tantangan di bulan September. Ketidakpastian atas Evergrande, developer terbesar kedua di China, menyebabkan memburuknya sentimen risiko secara global. Sementara kinerja pasar saham AS juga tertatih-tatih oleh kekhawatiran risiko fiskal dan kebijakan moneter. Meskipun demikian, kami terus mempertahankan posisi overweight kami di ekuitas dan melihat alasan untuk tetap optimis pada AS.
Dengan volatilitas akhir-akhir ini dalam indeks S&P 500, kami percaya bahwa beberapa investor semakin khawatir atas potensi hambatan pajak mulai tahun 2022, tekanan margin perusahaan, risiko penurunan dari kebijakan moneter yang hawkish, dan transisi melewati puncak pertumbuhan ekonomi.
Namun, kami juga melihat beberapa optimisme bahwa kami percaya tingkat penurunan dalam siklus persediaan dan belanja modal serta pemulihan pasar tenaga kerja yang berkelanjutan memberikan ruang untuk pertumbuhan lebih lanjut.
Indeks MSCI Eropa telah terkoreksi seiring dengan kawasan utama seperti AS dan Asia selain Jepang. Hal tersebut sangat berfokus pada kondisi internasional, dan bergerak seiring dengan anomaly ekonomi global. Oleh karena itu, mengingat sikap risk-on kami yang moderat untuk ekuitas global, kami telah memilih untuk menjaga kawasan ini tetap netral, mengingat kami sudah overweight pada ekuitas AS.
Pemilihan Partai Demokrat Liberal (LDP) dimenangkan oleh Fumio Kishida. Perhatian pasar akan fokus pada pembentukan kabinet baru dan paket stimulus potensial. Normalisasi lebih lanjut dari kegiatan ekonomi karena dorongan vaksinasi Jepang yang meningkat juga harus mendukung pendapatan perusahaan, meskipun ekonom kami telah menyoroti risiko jangka pendek dari infeksi varian Delta. Secara keseluruhan, kami mempertahankan strategi bottom-up.
Pasar saham China diselimuti oleh panduan peraturan, kekurangan listrik dan ketidakpastian Evergrande pada bulan September. Kami percaya pasar akan membutuhkan waktu untuk mencerna dampaknya dan re-rating valuasi tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat. Kami mempertahankan preferensi relatif kami untuk ekuitas A-share dan mempertahankan sikap hati-hati terhadap industri dengan hambatan kebijakan. Namun, industri yang selaras dengan prioritas kebijakan baru China, harus mendapat dukungan.
Untuk pasar obligasi, kami masih overweight terhadap obligasi Emerging Market High Yield (EM HY), dimana valuasi masih terlihat menarik. Namun, kami underweight terhadap obligasi Developed Market dan Emerging Market Investment Grade (IG) akibat potensi risiko terhadap kenaikan suku bunga acuan yang lebih besar. – Vasu Menon.
Bulan September merupakan salah satu bulan yang paling penuh dengan kejadian di tahun ini. Isu likuiditas Evergrande menimbulkan kekhawatiran pasar, dan ditakutkan dapat berdampak terhadap laju pemulihan ekonomi China. Tak hanya itu, mendekati akhir bulan imbal hasil US Treasury meningkat ke level yang sangat tinggi seiring dengan The Fed yang mentakan bahwa tapering dapat dilakukan secepat bulan November. Maka dari itu, kami masih overweight terhadap obligasi EM HY, didukung oleh fundamental yang membaik dan valuasi yang menarik.
Spread pada kredit EM melebar di bulan September, terutama di China, akibat kekhawatiran investor terhadap isu likuiditas Evergrande dan dampak potensi gagal bayar nya terhadap ekonomi China. Spread HY melebar 40 poin, dimana kawasan Asia sendiri melebar 60 poin. Secara bersamaan, spread IG hanya terlihat datar.
Setelah melewati bulan Agustus dimana penerbitan berada di level yang sangat rendah, penerbitan di bulan September meningkat jauh ditengah krisis Evergrande. Per 29 September, ada sebanyak USD 52.7 Miliar penerbitan obligasi korporasi, dimana 60% diantara nya datang dari Asia dan HY sendiri berkontribusi sebanyak 40%. Sepanjang tahun 2021, penerbitan telah mencapai USD 433 Miliar.
Walaupun komentar terbaru The Fed mengindikasikan bahwa bank sentral dapat memulai tapering dalam waktu dekat (di bulan November), kebijakan yang longgar seharusnya masih akan dapat mengakomodasi pengetatan yang akan dilakukan. Kami juga masih percaya bahwa para pembuat kebijakan di China masih berkomitmen untuk menjaga krisis Evergrande agar tidak semakin lepas kendali.
Seiring dengan perkiraan kami bahwa akan dimulai nya tren kenaikan suku bunga beberapa bulan kedepan, kami mempertahankan padangan overweight terhadap obligasi HY dan underweight terhadap obligasi IG akibat beberapa hal seperti:
Kami tetap skeptis bahwa kenaikan minyak saat ini adalah "siklus super". Kami memperkirakan kenaikan minyak akan berlanjut, meningkatkan perkiraan harga Brent untuk 3 bulan kami menjadi USD 85/barel tetapi penurunan kembali ke bawah USD 80 tetap mungkin terjadi dalam waktu satu tahun karena OPEC+ melepaskan pembatasan pasokannya dan produsen AS meningkatkan produksi. – Vasu Menon
Komoditas kembali menguat naik setelah kehilangan tenaga pada pertengahan 2021. Namun tidak mengalami kenaikan signifikan seperti awal tahun ini, kenaikan komoditas kemungkinan akan lebih terdiferensiasi. Kami tetap positif pada harga minyak untuk sisa tahun ini. Pertama, persediaan yang rendah menimbulkan risiko kenaikan yang signifikan untuk harga minyak dalam waktu dekat. Kedua, membaiknya COVID-19 dan latar belakang vaksinasi, baik di AS maupun global, memberikan ruang untuk optimisme baru atas pertumbuhan global. Ketiga, lonjakan harga gas alam, terutama di Eropa - sebagian karena berkurangnya pasokan gas Rusia - dapat memicu peralihan gas ke minyak bumi untuk pembangkit listrik dan menguntungkan harga minyak.
Emas masih memiliki tempat tersendiri dalam portofolio investor, tetapi alokasinya cenderung lebih kecil dari sebelumnya. Kekhawatiran akan emas meningkatkan ekspektasi pertumbuhan global dan Fed yang lebih hawkish. The Fed sebelumnya menjelaskan bahwa kemungkinan akan mulai melakukan tapering pada pertemuan November dan Powell memperkirakan pengurangan akan selesai sekitar pertengahan tahun depan. Ringkasan ini menunjukan proyeksi Ekonomi The Fed lebih hawkish, dengan dot plot menunjukkan peluang 50/50 dari kenaikan 2022 dan memproyeksikan kemungkinan kenaikan suku bunga yang lebih besar. Kami tetap berhati-hati pada emas di tengah ekspektasi peningkatan aktivitas ekonomi, pemulihan COVID, dan kenaikan imbal hasil AS. Penurunan harga emas tetap merupakan hasil yang paling mungkin terjadi selama 6 hingga 12 bulan ke depan. Kami menurunkan perkiraan emas 12 bulan kami menjadi USD 1620/oz dari USD 1675/oz sebelumnya.
Dolar AS (USD) tetap sebagai favorit di Q4 2021. Dua kaki kekuatan USD – laju pemulihan global yang melambat dan ekspektasi Fed yang hawkish – tetap utuh. Dalam hal pemulihan global, sementara kita tidak mengantisipasi resesi, tanda-tandanya sekarang jelas bahwa pemulihan puncak telah melewati kita. Ini adalah perkembangan normal di setiap jalur pemulihan tetapi tetap membebani sentimen risiko sejak akhir Q2. Peristiwa istimewa baru-baru ini, seperti Evergrande, juga merupakan pemicu jangka pendek untuk meredakan sentimen risiko ini. Ini mendukung status surga USD, terutama terhadap mata uang siklus seperti Dolar Australia (AUD).
Setelah menjadi topik bahasan utama para pelaku pasar selama beberapa bulan, hasil risalah pertemuan Bank Sentral AS atau Federal Reserve (Fed) mengindikasikan adanya usulan dari sebagian pejabat Fed untuk memulai tapering atau pengurangan pembelian aset obligasi di akhir tahun 2021. Pidato Gubernur Fed, Jerome Powell, pada simposium Jackson Hole di akhir bulan Agustus, turut mengkonfirmasi hal tersebut. Selain itu, suku bunga Fed masih akan tetap dipertahankan di level saat ini walaupun terdapat lonjakan inflasi karena dinilai bersifat sementara. Fed juga meyakini bahwa pemulihan sektor tenaga kerja telah berlangsung cukup baik, namun belum kembali ke level pra-pandemi. Akibatnya, pelaku pasar menilai bahwa pengetatan kebijakan atau tapering tidak akan terjadi secara agresif yang dapat mengakibatkan tantrum atau kepanikan pada pasar.
Dari dalam negeri, dengan tingkat vaksinasi pertama yang telah mencapai lebih dari 30% populasi, jumlah kasus positif COVID-19 pun berangsur turun paska lonjakan di bulan Juli lalu. Indikator aktivitas ekonomi atau PMI Manufacturing Index, walaupun masih mengalami kontraksi di angka 43.7, namun angka ini menunjukkan perbaikan dibandingkan bulan Juli yang hanya sebesar 40.1. Selain itu, inflasi bulan Agustus dilaporkan hanya sebesar 0.03% m-o-m namun meningkat secara tahunan di 1.59% jika dibandingkan bulan Juli yang sebesar 1.52%. Dengan adanya pelonggaran PPKM, akselerasi vaksinasi serta dukungan stimulus pemerintah diharapkan dapat mendorong pemulihan ekonomi lebih lanjut untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2021 di kisaran 3.7% hingga 4.5%.
Secara historis, bulan Agustus seringkali identik dengan bulan yang mana terjadi koreksi di pasar saham. Namun, kali ini di bulan Agustus IHSG tercatat menguat 1.32%. Pelonggaran PPKM di tengah menurunnya jumlah kasus harian COVID-19 serta ekspektasi tapering yang lebih bersahabat, turut menjadi sentimen positif bagi pasar saham. Investor asing mencatatkan pembelian bersih di kisaran Rp4 Triliun di bulan Agustus. Optimisme pemulihan ekonomi lebih lanjut diharapkan dapat mendorong IHSG untuk kembali bergerak ke kisaran 6,400 hingga 6,700 di akhir tahun.
Menutup bulan Agustus, imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun mengalami penurunan ke level 6.07%. Keputusan Bank Indonesia untuk memperpanjang kebijakan burden sharing dengan pemerintah menjadi salah satu sentimen yang mendorong penguatan pasar obligasi tanah air. Melalui skema ini, Bank Indonesia akan membeli SBN Pemerintah sebanyak Rp215 Triliun di 2021, dan Rp224 Triliun di 2022. Selain itu, di akhir bulan Agustus, pemerintah pun mengumumkan memangkas pajak obligasi atas kupon dan diskonto yang semula berada di 15% menjadi 10%. Hal ini dinilai akan menstabilkan pasar obligasi dan menjaga permintaan pada obligasi domestik sehingga imbal hasil obligasi diperkirakan dapat berada di kisaran 5.75 - 6.25 persen hingga akhir tahun.
Tidak hanya pasar saham dan obligasi yang menguat, Rupiah pun turut menguat 1.07% di bulan Agustus dan ditutup di kisaran 14,200. Tapering yang diperkirakan lebih mild mendorong penguatan mata uang Rupiah. Cadangan devisa bulan Agustus meningkat drastis ke US$144.8 Miliar, dibandingkan bulan Juli yang sebesar US$137.3 Miliar. Hal ini akan memberikan dukungan pada stabilitas nilai tukar Rupiah. Dengan demikian, Rupiah diperkirakan akan berada di kisaran 14,150 – 14,350 hingga akhir tahun.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPKami memperkirakan risiko dari pandemi tidak akan mengganggu pemulihan global, dengan bank sentral utama yang akan terus menetapkan suku bunga sangat rendah dan Pemerintah yang akan memberikan bantuan fiskal lebih lanjut untuk meningkatkan kegiatan ekonomi agar tetap rebound. – Eli Lee
Pada pertemuan tahunan The Fed di Jackson Hole pada bulan Agustus, Ketua The Fed Powell memperkuat pesan FOMC bahwa tapering pada pembelian obligasi Bank Sentral dapat dimulai tahun ini.
Untuk mengurangi risiko taper tantrum, kami memperkirakan The Fed akan menunggu sampai akhir November sebelum mengumumkan bahwa mereka akan mulai mengurangi laju pembelian obligasi senilai USD120 Miliar per bulan, dimulai dengan pemangkasarn USD15 Miliar pada bulan Desember.
Waktu yang bertahap untuk mengurangi quantitative easing akan menguntungkan aset berisiko karena The Fed masih akan mencetak uang hingga akhir 2022. Kami memperkirakan imbal hasil 10Y akan tetap pada tingkat yang sangat rendah di bawah 2% selama 12 bulan ke depan jika Fed hanya mengurangi pelonggaran kuantitatifnya secara perlahan. Imbal hasil yang rendah akan terus mendukung aset berisiko.
Strain virus baru ini sangat mengancam negara-negara berkembang di mana sistem perawatan kesehatan yang lebih lemah berjuang untuk menangani infeksi yang melonjak, serta tingkat vaksinasi yang tetap rendah, dan lockdowns menyebabkan pemulihan ekonomi terhenti lagi.
Tetapi ekonomi utama - dengan laju vaksinasi yang lebih cepat dan sumber daya anggaran yang lebih kuat - tampaknya lebih tahan terhadap varian delta.
Pelemahan di China pada kuartal III - 21 disebabkan oleh varian delta yang mendorong penguncian yang ketat. Tetapi kami mengharapkan vaksinasi dan peningkatan pinjaman pemerintah daerah untuk membiayai pengeluaran infrastruktur akan membantu aktivitas untuk rebound akhir tahun ini. Dengan demikian, kami terus memperkirakan pertumbuhan PDB yang kuat secara keseluruhan untuk China pada tahun 2021.
Kami mengekspektasi prospek ekonomi terus mendukung aset berisiko. Vaksinasi yang meningkat memungkinkan ekonomi untuk tetap dibuka. Bank-bank sentral utama akan mempertahankan suku bunga mendekati level nol untuk beberapa kuartal mendatang dan Pemerintah sedang mempersiapkan bantuan lebih lanjut. Pemerintah AS bekerja sama dengan Kongres untuk menyetujui pengeluaran baru senilai hingga USD3.5 Triliun.
Dana Pemulihan EUR750 Miliar Uni Eropa yang baru disepakati tahun lalu akan mulai dikucurkan pada paruh kedua tahun 2021. Pemerintah Jepang kemungkinan akan mengumumkan anggaran tambahan lainnya, dan pemerintah daerah di China masih memiliki kuota yang cukup besar tahun ini untuk menerbitkan obligasi untuk membiayai pengeluaran baru. Dengan demikian, kami mengharapkan pemulihan global untuk terus menentang risiko untuk mendukung pasar keuangan.
Dalam strategi alokasi aset, secara keseluruhan kami tetap positif pada instrumen saham terutama pasar saham AS. Tren harga perusahaan selama beberapa bulan ke depan akan menjaga sektor siklikal dan perusahaan yang menerima manfaat dari inflasi masih terbantu dalam jangka pendek. – Eli Lee
Pasar saham AS tetap positif didukung oleh sikap ramah risiko oleh Federal Reserve, sementara investor terus mencerna dampak tindakan pemerintah terhadap berbagai industri di China. Kami mempertahankan posisi overweight dalam ekuitas, terutama di pasar saham AS.
Musim pendapatan 2Q 2021 telah menjadi musim yang kuat. Selain itu, varian Delta tampaknya tidak memengaruhi mobilitas secara signifikan dibandingkan dengan wabah sebelumnya sebelum peluncuran vaksin.
Kami berpandangan bahwa The Fed hanya akan mengumumkan tapering pada November dan mulai mengurangi pembelian asetnya pada Desember. Dengan pengaturan tersebut, kami memandang dapat terus mendukung aset berisiko, sehingga kami tetap konstruktif pada pasar saham AS.
Ketika Eropa muncul dari kedalaman pandemi, perbandingan year-on-year saat ini ditarik terhadap dampak terburuk COVID-19 pada tahun 2020, membuat pemulihan perusahaan dan ekonomi tampak sangat kuat dari basis yang rendah.
Berbagai metrik menunjukkan rebound yang signifikan, seperti mobilitas, pendapatan perusahaan, dan kumpulan data inflasi. Namun, saat kita menuju akhir tahun, gambarannya kemungkinan akan menjadi lebih beragam dan bernuansa karena investor berusaha menghitung dampak penuh varian Delta pada pertumbuhan, yang tampaknya dapat dikelola untuk saat ini.
Pasar saham mengalami kenaikan moderat, pada bulan lalu. Dengan berakhirnya Olimpiade dengan sukses, acara domestik berikutnya adalah pemilihan umum presiden dan majelis rendah Partai Demokrat Liberal.
Menyusul serangkaian hasil pendapatan yang dirilis dengan mayoritas perusahaan mengalahkan prediksi, perkiraan pertumbuhan pendapatan telah sedikit dinaikkan menjadi sekitar 27% untuk tahun fiskal yang berakhir Maret 2022. Normalisasi lebih lanjut dari kegiatan ekonomi seiring akselerasi langkah vaksinasi akan terus mendukung pendapatan perusahaan.
Indeks MSCI Asia ex-Jepang kembali mengalami pelemahan pada Agustus mengingat berita lebih lanjut tentang pengetatan peraturan China, ditambah dengan kekhawatiran atas dampak varian Delta dan tapering Fed.
Seiring inisiatif rebalancing, kami mempertahankan pandangan kami bahwa hambatan regulasi kemungkinan akan bertahan di 2H21, dan peraturan sektoral kemungkinan akan terus diselaraskan dengan prioritas kebijakan yang lebih luas.
Mempertimbangkan volatilitas yang meningkat dan kinerja relatif yang signifikan dalam industri selektif, kami akan merekomendasikan investor untuk mengakumulasi penarikan.
Dengan kekhawatiran perlambatan pertumbuhan global karena varian Delta, serta faktor-faktor spesifik pada sektor, dimana pada bulan lalu kami melihat sektor-sektor seperti Material (yang kami turunkan ke netral bulan lalu) dan Consumer Discretionary mengalami ketertinggalan. Sektor keuangan bernasib baik di tengah berita positif seperti pengumuman Bank Sentral Eropa bahwa mereka tidak akan memperpanjang pembatasan dividen dan pembelian kembali saham setelah akhir September 2021.
Untuk pasar obligasi, kami masih optimis terhadap obligasi Emerging Market (EM) High Yield, dimana valuasi masih terlihat relatif lebih menarik dan dapat memberikan perlindungan nilai terhadap kenaikan suku bunga dibandingkan kategori obligasi lainnya. – Vasu Menon
Nada dan perilaku The Fed beberapa bulan terakhir, dan juga pada simposium Jackson Hole, berhasil memberikan ketenangan bagi para pelaku pasar dan kepercayaan bahwa tapering yang akan terjadi tidak akan terlalu mengejutkan pasar. Hal ini akan berdampak positif terhadap aset berisiko. Maka dari itu kami mempertahankan posisi overweight terhadap obligasi EM HY yang masih memiliki valuasi yang menarik. Akan tetapi, kami cenderung berhati-hati terhadap obligasi Developed Market (DM) dan EM Investment Grade (IG), yang secara historis lebih mahal dan memiliki risiko lebih tinggi. Kami netral terhadap obligasi DM HY.
Di bulan Agustus, penyebaran varian Delta yang kembali meningkat terus membebani pertumbuhan ekonomi AS. Namun, hal tersebut malah membuat berinvestasi terhadap pasar obligasi lebih menarik. Pertumbuhan ekonomi yang tertekan akibat varian Delta menurunkan risiko kenaikan inflasi, sehingga menjaga imbal hasil obligasi 10 tahun di kisaran 1.25%. Terlebih lagi, musim laporan keuangan Q2 dari negara berkembang (EM) mayoritas positif dan berada diatas konsensus.
Musim panas biasanya diikuti oleh turunnya penerbitan obligasi, terutama di bulan Agustus lalu dimana penerbitan hanya mencapai USD16.3 Miliar, terendahnya dalam satu tahun setengah terakhir, dan kurang dari setengah penerbitan di bulan Juli. Dengan musim laporan keuangan yang kuat dan The Fed yang cenderung dovish, kami melihat akan adanya akselerasi penerbitan obligasi setelah hari raya Labor Day di Amerika Serikat.
Sejak awal tahun, EM funds melihat aliran dana masuk sebesar USD26.4 Miliar, jauh diatas pencapaian tahun peuh 2020 yang hanya tercatat sebesar USD15.8 Miliar.
Walaupun kekhawatiran atas dampak varian Delta terhadap pemulihan ekonomi global saat ini mulai mereda, kami masih cenderung lebih konservatif akibat melihat gampangnya virus tersebut bermutasi. Terlebih agi, kami masih memonitor perkembangan ekonomi China, terutama dari segi perubahan-perubahan kebijakan oleh pemerintah yang dapat semakin mempengaruhi kinerja pasar modal.
Walaupun kami masih overweight terhadap HY, kami percaya bahwa masih diperlukannya memilih obligasi dengan cara yang lebih selektif untuk sisa tahun 2021. Volatilitas masih akan tinggi, sehingga pemilihan obligasi pun harus lebih selektif.
Sejak awla tahun hingga akhir bulan Agustus 2021, obligasi IG China memberikan imbal hasil 1%; sementara obligasi HY China -8.3%. Namun di bulan Agustus sendiri, obligasi HY China berkinerja positif sebesar +3.7%.
Kami melihat harga minyak Brent yang lebih tinggi sebesar USD 80/barel pada akhir 2021, karena varian Delta menurun tetapi tidak mengurangi permintaan minyak global. Harga minyak kemungkinan akan turun secara moderat ke USD 76/barel dalam waktu 12 bulan dengan latar belakang fundamental yang kurang mendukung yang dapat menyebabkan peningkatan penyimpanan. -Vasu Menon
Penyebaran varian Delta baru-baru ini, terutama di China, telah menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan pemulihan ekonomi global. Tetapi dampak negatif dari penyebaran virus yang dilemparkan oleh varian Delta terhadap pasar minyak akan hilang karena wabah COVID terkendali di China sementara mobilitas terus bertahan di Eropa dan AS. Penurunan lebih lanjut dalam persediaan minyak AS menunjukkan permintaan yang stabil ditengah penyebaran virus varian Delta. Hal ini pada gilirannya menambah prospek bahwa harga minyak bisa mendapatkan kembali kekuatan yang hilang. Kami masih melihat harga minyak Brent lebih tinggi dari USD 80/barel pada akhir 2021, karena varian Delta menyebar tetapi tidak mengurangi permintaan minyak global.
Emas masih memiliki tempat tersendiri dalam portofolio investor, tetapi alokasinya cenderung lebih kecil dari sebelumnya. Kami melihat tiga alasan untuk tetap berhati-hati pada prospek emas mengingat prospek kenaikan imbal hasil AS selama 6-12 bulan ke depan.
Penurunan harga emas tetap merupakan hasil yang paling kemungkinan terjadi, dengan pelemahan harga emas yang terjadi pada Dolar AS (USD) karena sentimen risiko global stabil. Kami terus menargetkan emas untuk turun secara bertahap di bawah USD 1,700/oz dalam waktu 6-12 bulan.
Nada dovish dari Ketua Fed Jerome Powell di Jackson Hole meningkatkan selera risiko lebih lanjut dan telah membuat USD di bawah tekanan. Momentum jangka pendek untuk USD adalah negatif mengingat sikap risk-on yang diperpanjang ini. Secara keseluruhan, kami melihat USD berada dalam fase bearish jangka pendek, ditengah tren kenaikan untuk jangka menengah. Kedepan, pendorong utama adalah kecepatan tapering. Ini kemudian akan berdampak pada waktu kenaikan suku bunga Fed pertama kali.
Tingginya tingkat vaksinasi lengkap di AS yang mencapai kisaran 50% populasi ini mendorong keyakinan akan pemulihan ekonomi lebih lanjut. Tingkat pertumbuhan PDB AS pada kuartal II dilaporkan mengalami ekspansi sebesar 6.5%. Tingkat konsumsi dilaporkan melonjak 11.8%, yang berkontribusi 69% terhadap PDB AS. Menuju akhir paruh kedua 2021, diperkirakan tingkat pertumbuhan akan melambat. Terutama, dengan stimulus bantuan sosial pengangguran yang akan berakhir di bulan September 2021. Di sisi lain, The Fed mempertahankan pandangan yang relatif lebih dovish dan memperkirakan kenaikan suku bunga dapat dimulai pada tahun 2023.
Dari dalam negeri, pertumbuhan ekonomi kuartal II meningkat 3.31% secara kuartalan atau 7.07% secara tahunan. Angka ini meningkat pesat dibandingkan kuartal I-2021 yang mengalami kontraksi -0.74% secara tahunan. PPKM dan penyebaran varian Delta yang berlangsung selama bulan Juli telah menekan aktivitas manufaktur. Angka Purchasing Manager Index (PMI) untuk manufaktur mengalami kontraksi ke 40.1. Angka inflasi bulan Juli tercatat meningkat tipis 0.08%, dengan sektor kesehatan mengalami kenaikan lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya.
Mengantisipasi imbas PPKM terhadap masyarakat, Kementerian Sosial menganggarkan Rp 2.3 Triliun dana bantuan sosial yang diharapkan dapat menopang tingkat konsumsi. Selain itu, turunnya bed occupancy rate dan jumlah kasus positif harian, diharapkan juga dapat mendorong dilonggarkannya PPKM sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya perlambatan ekonomi di kuartal III.
Pada bulan Juni, IHSG bergerak menguat di kisaran 5,985 – 6,070, menutup bulan dengan kenaikan 1.41%. Penguatan ini juga dibantu oleh aliran dana asing yang kembali masuk ke bursa saham domestik dan tercatat mencapai Rp 482.4 miliar. IPO Bukalapak pada awal pekan bulan Agustus juga menjadi fokus investor karena menjadi ujung tombak revolusi teknologi di Indonesia, mengawali transisi tatanan ekonomi lama ke ekonomi baru. Selain itu IPO GoTo yang diwacanakan di kuartal IV-2021 diperkirakan akan menjadi katalis bagi pasar saham domestik, sehingga IHSG diproyeksikan berada pada kisaran level 6,500 – 6,800 pada akhir tahun.
Pasar obligasi mencatat penguatan signifikan pada bulan Juli 2021 ini. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun turun 4.49% dan ditutup di level 6.294%. Lonjakan kasus positif akibat varian Delta serta rendahnya tingkat inflasi mendorong investor kembali mengakumulasi aset obligasi. Lelang SUN di awal bulan Agustus mencatatkan lonjakan permintaan tertinggi sejak awal tahun di Rp 107.7 Triliun, dengan serapan lelang hanya sebesar Rp 34 Triliun. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, berencana mengurangi penerbitan SUN di semester kedua tahun ini sebesar Rp 219.3 Triliun seiring dengan turunnya estimasi defisit anggaran tahun ini. Keterbatasan suplai obligasi, tingginya real yield, rendahnya tingkat inflasi, serta ekspektasi suku bunga yang ditahan tetap rendah, akan mendorong kinerja obligasi. Sehingga, imbal hasil obligasi diperkirakan akan stabil berada di kisaran 6.0 - 6.5% hingga akhir tahun.
Rupiah menguat sebanyak 0.26% terhadap USD pada bulan Juli. Dollar Index (DXY) mengalami penurunan dari level 92.43 menjadi 92.17 pada akhir bulan, seiring dengan pernyataan dari Jerome Powell yang belum akan melakukan tapering dalam waktu dekat serta kebijakan moneter yang masih sama membuat hal tersebut memberikan tekanan pada Dolar AS. Namun demikian, Rupiah diperkirakan akan berada di kisaran di kisaran 14,300 – 14,500 hingga akhir tahun.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPPemulihan global menghadapi risiko baru dari varian Delta, tindakan peraturan China dan meningkatnya inflasi saat ekonomi dibuka kembali. Tetapi kami memperkirakan prospek makroekonomi secara keseluruhan akan terus mendukung aset risiko tahun ini. – Eli Lee
Negara-negara rentan di Asia sedang menghadapi strain virus baru. Kami berharap hal tersebut hanya akan “menunda” dibandingkan “menggagalkan” rebound global. Kami juga melihat China masih tumbuh kokoh dan bank sentral tetap dovish.
Pertama, strain virus baru mengancam negara-negara rentan, terutama yang berada di pasar negara berkembang, dimana sistem perawatan kesehatan masih berjuang untuk mengatasi lonjakan kasus, tingkat vaksinasi tetap rendah, penguncian yang kembali diberlakukan dan anggaran fiskal yang ketat membatasi pengeluaran sosial.
Sebaliknya, kami memperkirakan varian Delta hanya dapat menunda daripada menggagalkan pemulihan di negara ekonomi utama, mengingat laju vaksinasi yang lebih cepat dan posisi fiskal yang lebih kuat untuk mendukung aktivitas domestik.
Oleh karena itu, kami perkiraan kami sebagian besar tidak berubah untuk AS, Inggris, Zona Euro, Cina dan Jepang serta untuk ekonomi regional maju di Asia termasuk Hong Kong, Singapura, Korea Selatan dan Taiwan.
Dengan demikian, kami melihat perekonomian global berkembang lebih dari 6% tahun ini, laju tercepatnya dalam lima dekade.
Tindakan regulasi China dalam beberapa bulan terakhir - dari teknologi hingga pendidikan - telah mengejutkan investor dan meningkatkan volatilitas di pasar ekuitas China. Namun rebound berbentuk V ekonomi tahun ini masih cenderung tetap utuh.
Pada bulan Juli, People's Bank of China memangkas rasio persyaratan cadangan bank komersial (RRR) untuk membebaskan likuiditas dan memastikan bank dapat meminjamkan lebih banyak pada paruh kedua 2021 setelah perlambatan pertumbuhan kredit yang signifikan pada paruh pertama tahun ini.
Kami menjaga perkiraan kami untuk PDB China untuk berekspansi sebesar 8.7% tahun ini berdasarkan permintaan eksternal yang kuat untuk ekspor China – dengan pembukaan kembali seluruh dunia – dan konsumsi yang meningkat, seiring dengan percepatan vaksinasi di China.
Rebound pada harga konsumen saat ekonomi dibuka kembali dari pandemi telah mendorong inflasi di atas target 2% bank sentral. Dengan demikian, bank sentral utama tetap dovish, menahan diri untuk tidak menaikkan suku bunga tahun ini dan akan terus mendukung aset risiko.
Oleh karena itu, kami melihat rebound global dari pandemi tetap utuh meskipun ada risiko segar terhadap pemulihan dari varian Delta, tindakan peraturan China, dan peningkatan inflasi. Dengan demikian, prospek perekonomian cenderung tetap mendukung aset risiko selama tahun 2021.
Sementara kami terus mempertahankan posisi overweight dalam ekuitas, kami mengubah China dan Hong Kong ke posisi netral, seiring dengan peraturan yang menggantung dan potensi penyesuaian pendapatan yang cenderung turun. – Eli Lee.
Dalam strategi alokasi aset kami, kami mempertahankan posisi overweight secara keseluruhan dalam ekuitas dengan preferensi untuk ekuitas AS.
Sementara kami percaya tekanan inflasi kemungkinan akan mulai mereda dari tingkat tinggi saat ini pada tahun 2022. Tren harga yang kuat selama beberapa bulan ke depan akan menjaga sektor cyclical.
Karena kekhawatiran atas varian Delta dan prospek pertumbuhan, kami melihat peluang selektif di perusahaan yang dijalankan dengan solid dan memiliki neraca yang kuat serta profil pendapatan yang sehat.
Mayoritas perusahaan dalam indeks S&P 500 yang melaporkan pendapatan kuartal kedua telah mengalahkan ekspektasi di atas dan bawah. Perusahaan teknologi mega-cap secara umum memberikan kartu skor yang kuat.
Meskipun ada kekhawatiran tentang meningkatnya jumlah kasus virus di AS (dan secara global) karena varian Delta, kami yakin ini akan menimbulkan risiko yang minim bagi pasar ekuitas AS, mengingat vaksinasi yang tersebar luas dan strategi yang berfokus pada penahanan.
Sementara di Eropa, yang lebih diperhatikan adalah data rawat inap, yang bisa menjadi faktor lebih besar dalam merespons pandemi. Jika tetap terkendali, kita tidak akan melihat kembali pembatasan signifikan yang menghambat bisnis, investor cenderung mengabaikan kenaikan jangka pendek dalam kasus karena vaksinasi terus berlanjut.
Ekuitas Jepang relatif stagnan bulan lalu, dengan keadaan darurat keempat diumumkan dari 12 Juli hingga 22 Agustus yang menyiratkan beberapa hambatan lebih lanjut pada konsumsi domestik dalam waktu dekat.
Indeks MSCI Asia ex-Jepang memiliki kinerja yang buruk untuk bulan Juli, dengan hambatan datang terutama dari China dan Hong Kong.
Pasar ekuitas luar negeri China telah dikejutkan secara negatif oleh gelombang panduan peraturan pada bulan Juli. Kami melihat hambatan regulasi akan berlanjut di 2H21 terutama mengingat langkah terbaru oleh pihak berwenang untuk membentuk satuan tugas khusus untuk mengatur sektor internet.
Kami menurunkan peringkat sektor material dari overweight ke netral, berdasarkan pandangan kami sendiri bahwa lonjakan inflasi baru-baru ini mungkin hanya sementara.
Industri teknologi pendidikan menghadapi jalan restrukturisasi yang sulit dan tidak pasti ke depan karena model bisnis akan terpengaruh secara substansial sebagai akibat dari arahan peraturan terbaru. Saat ini, kami tidak menyarankan mengambil posisi di sektor ini.
Di sektor teknologi, pelemahan juga terjadi pada nama-nama China karena kekhawatiran dari perkembangan di bidang teknologi pendidikan. Di pasar negara maju, kami tetap relatif optimis karena perusahaan teknologi besar secara luas telah menghasilkan hasil yang sehat. Yang terakhir, kami juga menyukai semikonduktor dengan dorongan berkelanjutan menuju peningkatan otomatisasi dan digitalisasi di seluruh dunia, serta dorongan China menuju swasembada.
Kami percaya bahwa tema reflasi masih akan nyata beberapa bulan kedepan, dengan imbal hasil US Treasury 10 tahun berpotensi untuk naik ke 1.75% di akhir tahun 2021. Jika hal tersebut terjadi, maka dari itu kami lebih menyukai obligasi korporasi Emerging Market High Yield (EM HY) – Vasu Menon.
Di bulan Juli, pasar terlihat tidak meresponi reflasi dengan baik. Kekhawatiran atas pelemahan dari segi pemulihan ekonomi didorong oleh 2 faktor yaitu: (1) Dampak dari penyebaran varian Delta dan (2) Perlambatan pertumbuhan dunia usaha China yang diakibatkan oleh pengetatan kebijakan pemerintah seputar undang – undang dan regulasi. Akibatnya, imbal hasil US Treasury 10 tahun jatuh dibawah 1.2% bulan lalu seiring dengan kurva yang terlihat semakin mendatar. Akan tetapi, kami masih percaya bahwa tema reflasi masih akan terjadi di beberapa bulan kedepan.
Maka dari itu, kami tetap overweight terhadap obligasi EM HY dimana valuasi masih terlihat lebih menarik, dan juga akan dapat memberikan perlindungan yang lebih apabila suku bunga mulai dinaikkan; dibandingkan aset pendapatan tetap lainnya. Kami masih underweight terhadap obligasi Developed Market (DM) dan Emerging Market Investment Grade (EM IG).
Setelah berhasil mencatatkan kenaikan sebesar 80 basis poin ke level 1.74% di akhir kuartal 1, imbal hasil US Treasury jatuh dibawah 1.2% di bulan Juli. Hal ini berhasil mendorong obligasi IG dengan durasi yang lebih panjang untuk menutupi pelemahan sejak awal tahun. Walaupun keduanya obligasi DM dan EM IG lebih dulu melemah dibandingkan kelas obligasi HY, obligasi HY masih mendapatkan perlindungan dari spread yang lebih tinggi.
Berdasarkan data dari JP Morgan, sejak awal tahun hingga 26 Juli, penerbitan mencapai USD$354.4 miliar, jauh diatas pencapaian tahun lalu. Penerbitan obligasi HY masih sangat tinggi, mencakup 36% dari total penerbitan di tahun 2021 jauh diatas tahun 2020 dimana angka tersebut hanya mencapai 27%. Akan tetapi, penerbitan di Asia hanya mencakup 57% dari total penerbitan di tahun 2021, lebih rendah dibandingkan tahun 2020 dan bahkan tahun – tahun sebelumnya dimana angka tersebut berada di rentang 60 - 65%.
Dengan pandangan kami bahwa suku bunga akan mulai naik mendekati akhir tahun 2021, kami mempertahankan pandangan overweight terhadap obligasi HY dan underweight terhadap obligasi IG akibat beberapa hal seperti:
Prospek percepatan pertumbuhan lapangan kerja AS dan penguatan keyakinan bahwa varian Delta bukanlah ancaman yang serius bagi pertumbuhan global, dapat mendorong imbal hasil riil AS kembali sehingga merugikan emas. – Vasu Menon
Fundamental tetap mendukung harga minyak yang lebih tinggi untuk semester II 2021. Rilisan data inventaris di AS menunjukkan bahwa kekhawatiran pertumbuhan ekonomi yang melemah tidak membebani permintaan minyak. Kami terus memperkirakan kenaikan Brent ke USD 80/barel dalam kurun waktu 6-12 bulan. Akibatnya, pemulihan ekonomi global yang berlangsung seharusnya akan terus memberikan keuntungan terhadap minyak.
Kami menyetujui penilaian optimis pasar obligasi AS tentang risiko inflasi. Namun, penurunan imbal hasil riil AS tampaknya terlalu berlebihan terkait dengan kekhawatiran akan pertumbuhan ekonomi. Prospek percepatan pertumbuhan pada pekerjaan AS pada bulan September dan seterusnya, dengan tunjangan pengangguran yang diperpanjang akan berakhir secara nasional, dapat mendorong imbal hasil riil AS kembali sebelumnya sehingga akan merugikan emas. Penurunan harga emas tetap merupakan perkiraan yang kemungkinan akan terjadi, dengan potensi penurunan terhadap mata uang USD setelah sentimen risiko bergerak stabil. Kami terus memperkirakan emas sebesar USD 1675/oz dalam waktu satu tahun. Jika The Fed kehilangan kendali inflasi dan USD melemah signifikan, hal tersebut akan menjadi bullish untuk emas.
Reaksi pasar mata uang terhadap pertemuan kebijakan The Fed pada bulan Juli (FOMC) yang dovish, membuat Dolar AS (USD) lebih rendah di sesi berikutnya. Ketidakpastian Ketua The Fed Jerome Powell untuk secara eksplisit berkomitmen pada tapering memberatkan pergerakan USD. Namun, selama wacana tapering masih di atas meja dalam enam bulan ke depan atau lebih, kami berharap The Fed menjadi salah satu bank sentral utama yang kurang dovish. Ini akan memberi beberapa dukungan pada USD. Sementara itu, USD dapat diperdagangkan sideways karena pasar menunggu tapering yang konkret dari Fed.
Federal Reserve AS (The Fed) mengejutkan pasar pada bulan Juni dengan membahas kapan harus melakukan program pelonggaran kuantitatifnya. Bank sentral juga memperkirakan bahwa kenaikan suku bunga dapat dimulai pada tahun 2023, lebih awal dari sebelumnya. Terlepas dari nada hawkish-nya, The Fed hanya cenderung keluar dari kebijakan dovish-nya secara bertahap - dimulai dengan memperlambat pembelian obligasinya dari awal 2022. Kehati-hatian The Fed seharusnya tetap menguntungkan aset risiko di sisa 2021 dengan mempertahankan tingkat dana The Fed mereka saat ini di 0.00% - 0.25% dan masih membeli obligasi senilai USD$ 120 miliar per bulan untuk mendukung ekonominya.
Di dalam negeri, adanya virus varian Delta COVID-19 menjadi perhatian di bulan Juni; dengan banyak ahli yang menyatakan bahwa suntikan vaksin ekstra harus dipertimbangkan untuk mendapatkan perlindungan lebih dari varian baru. Awal bulan ini, Pemerintah memperkenalkan langkah baru untuk menurunkan mobilitas domestik yang disebut "Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat" atau "PPKM", dengan status darurat yang akan diterapkan dari 3 Juli hingga tanggal 20 Juli untuk meredakan angka infeksi COVID-19.
Terkait data ekonomi yang menjadi perhatian adalah angka inflasi bulan Juni yang masih naik 1.33%, namun menurun dibandingkan bulan sebelumnya di 1.45%. PMI Manufaktur bulan Juni juga mencatat sedikit penurunan, dari 55.3 menjadi 53.5. Pada pertemuan Juni, Bank Indonesia 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3.50% sesuai ekspektasi. Namun, sejak pertemuan Juni, kasus baru harian telah melonjak hampir tiga kali lipat. Oleh karena itu, pertemuan Bank Indonesia pada bulan Juli sangat dinantikan karena investor ingin mengetahui lebih lanjut langkah apa yang akan diambil sehubungan dengan kebijakan moneter dalam beberapa bulan mendatang.
Pada bulan Juni, IHSG bergerak agak sideways di kisaran 5,950 – 6,100, menutup bulan hanya dengan kenaikan 0.64%. Ancaman terbesar saat ini bagi pasar saham adalah kemungkinan adanya lockdown secara penuh yang mana pemerintah berusaha keras untuk menghindari hal tersebut. Dengan lonjakan kasus baru harian bulan lalu, investor mengambil lebih banyak sikap wait & see daripada sikap panic selling. Kedepan, investor yang tenang dan oportunistik akan mencari saham pada sektor-sektor yang kurang baik pada bulan Juni seperti transportasi & logistik (-6.72%), properti & real estat (-5.54%), dan non-cyclicals konsumen (-3.39%).
IPO yang direncanakan untuk GoTo dan Bukalapak bulan depan juga akan menjadi fokus investor karena akan menjadi ujung tombak revolusi teknologi di Indonesia, membantu menggeser Ekonomi Lama ke Ekonomi Baru. Kami masih melihat adanya upside di pasar saham dengan proyeksi akhir tahun 6,400 – 6,800.
Pasar obligasi mencatat kerugian pada bulan Juni. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun naik 2.62% menjadi menutup bulan di level 6.59%, level terakhir yang terlihat pada April. Pergerakan tersebut didorong oleh berbagai faktor seperti varian Delta COVID-19 yang meredam sentimen, dan depresiasi Rupiah. Namun, investor asing masih mencatatkan inflow sebesar Rp 18.07 triliun pada Juni yang berarti sebagian besar aksi jual didominasi oleh investor domestik. Dengan penawaran Real-Yield yang relatif lebih tinggi oleh obligasi domestik, ka