Kenaikan suku bunga acuan akan memicu aksi jual terhadap aset pendapatan tetap seperti obligasi.
Setelah melewati masa pelonggaran kebijakan, baik dari segi fiskal maupun moneter, kini dunia sedang mengalami isu kenaikan harga barang yang sangat tinggi. Inflasi secara diam-diam mengikis tabungan, investasi, dan kekayaan dan apabila tidak dijaga, maka akan berdampak terhadap daya konsumsi. Tingginya inflasi global telah memicu para bank sentral untuk memulai siklus kenaikan suku bunga acuan. Bank sentral AS, The Fed sendiri telah menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Sementara dari dalam negeri, Bank Indonesia juga telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125bps dalam 2 pertemuan, membawa naik suku bunga 7-Day Reverse Repo Rate dari 3.50% ke 4.75% saat ini.
Kenaikan suku bunga acuan akan memicu aksi jual terhadap aset pendapatan tetap seperti obligasi. Hal ini dikarenakan, apabila suku bunga naik, maka bunga deposito pun akan ikut naik. Maka dari itu, apabila suku bunga terus naik maka manfaat investasi pada obligasi akan semakin turun, mengingat deposito akan memberikan bunga yang semakin tinggi namun tidak memiliki risiko seperti layaknya obligasi.
Positifnya, seiring dengan aksi jual terhadap obligasi, harga yang turun menandakan kenaikan dari segi imbal hasil (yield-to-maturity), maka hal ini akan memberikan peluang bagi seorang investor untuk mengakumulasi obligasi tersebut di harga yang relatif lebih murah alias bargain hunting untuk mendapatkan yield yang lebih tinggi. Sehingga dengan potensi kenaikan suku bunga yang lebih dovish di tahun depan, maka prospek aset pendapatan tetap seperti obligasi juga akan membaik. Maka dari itu, kami melihat bahwa proses akumulasi untuk obligasi sendiri dapat dimulai secara bertahap.
Informasi lebih lanjut, klik tautan berikut https://www.ocbcnisp.com/id/individu/wealth-management/obligasi