Burden sharing adalah upaya untuk menangani stabilitas keuangan negara saat di kondisi krisis.
Di Indonesia, kebijakan ini dilakukan oleh bank sentral (BI) dan pemerintah untuk membiayai berbagai beban selama pandemi COVID-19.
Awalnya, kebijakan ini direncanakan bersifat one off policy atau hanya sampai setahun saja.
Ternyata, karena beberapa pertimbangan, kebijakan burden sharing ini akhirnya diperpanjang hingga tahun 2022.
Dengan adanya perpanjangan ini, apa saja dampak yang bisa terjadi pada ekonomi Indonesia? Selengkapnya, yuk bahas bersama-sama dalam uraian berikut ini.
Apa itu Burden Sharing?
Berdasarkan laman Kementerian Keuangan, burden sharing adalah kebijakan kerjasama antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah untuk membiayai berbagai beban selama penanganan COVID-19.
Pada praktiknya, skema burden sharing diatur di dalam UU PPSK (Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) yang baru disahkan pada 3 Januari 2023 lalu.
Dilansir dari Kompas, UU PPSK memberikan mandat kepada BI untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) jangka panjang di pasar perdana jika terjadi krisis.
Awalnya, kebijakan ini direncanakan bersifat one off policy atau dijalankan dalam setahun saja.
Namun, karena pemerintah memerlukan pembiayaan yang pasti saat Pandemi COVID-19, akhirnya kebijakan ini diperpanjang hingga tahun 2022.
Baca juga: Ekonomi Makro: Pengertian, Tujuan, Kebijakan & Ruang Lingkup
Manfaat Burden Sharing
Dalam kondisi krisis, burden sharing dapat dilakukan sebagai upaya untuk:
1. Membantu Pemerintah Menghemat Anggaran
Manfaat pertama dari kebijakan burden sharing adalah bisa membantu pemerintah menghemat anggaran belanja.
Dilansir dari Investasi Kontan, Chief Economist Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, mengatakan bahwa dengan adanya burden sharing di tahun 2022 beban rasio belanja bunga utang turun menjadi 14,6% atau setara dengan Rp395 triliun.
Padahal, sebelum adanya skema burden sharing I, II, dan III, rasio belanja bunga utang terhadap total belanja pemerintah bisa mencapai 16,2% atau setara dengan Rp438 triliun di tahun 2022.
2. Menyerap Penerbitan SBN Pemerintah
Selain mengurangi beban bunga yang dibayarkan pemerintah, dampak positif lain dari skema burden sharing adalah bisa menyerap penerbitan SBN Pemerintah.
Kebijakan ini juga memberi sentimen positif bagi pasar karena dapat mengurangi jumlah peredaran SBN di pasar obligasi.
Dampak Burden Sharing
Dalam waktu darurat, kebijakan burden sharing memang mampu membantu pemerintah untuk menangani krisis keuangan.
Namun, jika dilakukan dalam jangka waktu panjang, ada beberapa dampak negatif yang mungkin muncul akibat aplikasi kebijakan ini, salah satunya adalah debt monetization.
Dengan adanya debt monetization, ancamannya adalah inflasi dan nilai tukar yang tidak terkendali.
Bagi para investor, tindakan monetisasi utang ini juga dinilai berisiko tinggi karena dapat menyebabkan sudden shock terhadap arus modal dan pelemahan nilai tukar.
Selain itu, potensi dampak lain dari skema burden sharing adalah moral hazard dalam pembiayaan defisit APBN, di mana belanja negara tidak efektif sehingga independensi BI teramputasi.
Ditambah lagi, skema burden sharing yang terlalu panjang juga bisa menyebabkan penurunan sovereign credit, kehilangan kepercayaan investor, serta memicu pelemahan nilai tukar rupiah.
Secara historis, saat BI dimandatkan membeli SBN di pasar primer pada Juni 2020 lalu, data transaksi menunjukkan bahwa terjadi aliran modal keluar (outflows) sebesar Rp8,39 triliun, yang terdiri atas outflows SBN Rp6,80 triliun dan saham Rp1,59 triliun.
Keluarnya aliran modal tersebut akhirnya mendorong pelemahan rupiah sekitar 1,8% selama Juli 2020.
Selain itu, selama tahun 2020, rupiah juga melemah sekitar 3,6% (Year to Date).
Dari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa burden sharing adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk membantu stabilitas keuangan negara dalam kondisi krisis.
Meskipun banyak pihak yang menganggap bahwa perpanjangan burden sharing menimbulkan sejumlah dampak negatif, namun di sisi lain kebijakan ini juga telah berkontribusi dalam menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kolaps.
Nah, jika Sobat OCBC NISP ingin mengetahui insight lebih banyak seputar dunia keuangan dan ekonomi, yuk baca konten-konten lainnya di blog OCBC NISP!
Baca juga: Apa Itu Imported Inflation? Pengertian, Jenis, dan Contohnya