Membantu memastikan kemudahan, kemanan, dan kenyamanan Anda dalam melalukan transaksi perbankan di Private Center
Memberikan wawasan dan strategi dalam memenuhi kebutuhan finansial sesuai profil Anda
Memberikan wawasan, memprioritaskan kemudahan dan strategi dalam setiap keputusan transaksi valas Anda
Laporan konsolidasi akan dikirimkan ke nasabah Private Banking setiap bulannya sebagai sumber informasi terkait total relasi nasabah dengan bank OCBC baik berupa rekening produk keuangan Bank dan Non Bank.
Laporan Konsolidasi mencakup:
Untuk memudahkan transaksi nasabah, khususnya untuk Produk Valuta Asing, di seluruh Private Center OCBC NISP kami menyediakan fasilitas Phone Recording. Melalui fasilitas ini, Anda dapat melakukan transaksi Produk Valuta Asing melalui telepon, tanpa harus datang ke cabang.
Fasilitas ini dapat nasabah apabila sudah melengkapi dokumen yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Acara hanya untuk nasabah OCBC Private Bank dengan harga spesial dari berbagai merchant.
Nasabah Private Bank mendapatkan tarif dan biaya khusus dari Bank OCBC
Nasabah Private Bank mendapatkan tarif dan biaya khusus dari Bank OCBC yang terdiri dari:
* Syarat dan ketentuan berlaku
Penyesuaian Tarif & Biaya Khusus Nasabah Private Bank efektif per tanggal 3 November 2023 sebagai berikut:
Private Bank dengan rata-rata minimum saldo gabungan bulanan IDR 1,000,000,000 | ||
---|---|---|
Jenis | Channel | Kuota |
Bebas biaya transfer BI Fast | Cabang, IBMB, ATM, OCBC Business | Unlimited |
Bebas biaya tarik tunai | ATM | Unlimited |
Bebas biaya transfer online | IBMB, ATM, OCBC Business | Unlimited |
Bebas biaya pembayaran/pembelian | IBMB, ATM, OCBC Business (termasuk autodebet) | Unlimited |
Bebas biaya transfer RTGS | Cabang | 10x per bulan |
Bebas biaya transfer RTGS | IBMB, OCBC Business | 10x per bulan |
Bebas biaya TT | OCBC mobile | 1x per bulan (hanya biaya swift/telex) |
Bebas biaya cek saldo | ATM jaringan | unlimited |
Bebas biaya transfer SKN LLG | Cabang, IBMB, OCBC Business | unlimited |
Bebas biaya kliring | Cabang | unlimited |
Bebas biaya inkaso | Cabang | unlimited |
Notes:
Fasilitas khusus yang kami sediakan untuk Anda yang ingin memeriksa kesehatan di tengah kesibukan sehari-hari.
Paket pemeriksaan yang diberikan terdiri dari:
Paket Spesial (Asset Under Management Rp1 Miliar -< Rp10 Miliar) |
Paket Advance (Asset Under Management ≥ Rp10 Miliar) |
---|---|
Hematologi Lengkap | Hematologi Lengkap |
Fungsi Hati: SGOT, SGPT | Vitamin D |
Fungsi Ginjal: Ureum, Creatinine, Uric Acid | Fungsi Hati: SGOT, SGPT |
Profil Lipid: Total Cholesterol, Triglyceride | Fungsi Ginjal: Ureum, Creatinine, Uric Acid |
Profil Diabetes Melitus: Fasting Glucose | Profil Lipid: Total Cholesterol, Triglyceride |
Pemeriksaan Urine | Profil Diabetes Melitus: Fasting Glucose, Hba1C |
Pemeriksaan Urine | |
EKG |
Fasilitas ini diberikan satu kali dalam setahun (berjalan) kepada nasabah OCBC Private Banking.
Laboratorium Klinik Rekanan kami:Fasilitas ini tidak dikenakan biaya untuk nasabah. Dan apabila nasabah ingin memberikan fasilitas ini bagi anggota keluarga nasabah, maka dikenakan biaya sesuai tarif yang berlaku.
Fasilitas penjemputan dari bandara ke tempat tujuan Anda. Tersedia di Indonesia yaitu, Jakarta (Bandara Internasional Soekarno – Hatta / Halim Perdanakusuma), Surabaya (Bandara Internasional Juanda) dan Singapura (Bandara Internasional Changi).
Nikmati fasilitas penjemputan dari Bandara dengan armada Toyota Alphard, Mercedes-Benz atau Toyota Innova yang kami sediakan, bekerja sama dengan rekanan superior kami khusus untuk Anda.
Deskripsi Layanan/Fasilitas | Minimum saldo rata-rata bulanan selama 3 bulan terakhir (dalam Rp) | ||
---|---|---|---|
2 miliar < 5 miliar | 5 miliar < 10 miliar | > 10 miliar | |
Airport Pickup (Jakarta - Surabaya) | 8x setahun dengan kendaraan Toyota Innova | 12x setahun dengan kendaraan Toyota Alphard / Mercedes | 20x setahun dengan kendaraan Toyota Alphard / Mercedes |
Airport Pickup (Singapura) | – |
Fasilitas berlaku untuk pemilik rekening dan dapat berubah sewaktu-waktu.
Special Fees and Charges:
*Syarat dan ketentuan berlaku
Penempatan dana (Asset Under Management / AUM) pada produk Simpanan, yaitu Tabungan, Giro, Depositor dan termasuk diantaranya produk Wealth Management, misalnya Obligasi, Bancassurance, Reksadana, Treasury dan produk investasi lainnya baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing.
Acara hanya untuk nasabah OCBC Private Bank dengan harga spesial dari berbagai merchant.
*Fitur Global Debit adalah nama baru dari fitur Global Wallet
Tarik tunai dan belanja di luar negeri tanpa konversi, langsung mendebet mata uang asing di Tanda 360 Plus
*Fitur Global Debit adalah nama baru dari fitur Global Wallet
Nikmati berbagai promo menarik untuk berbagai kebutuhan perbankan khusus untuk nasabah OCBC Private Bank
Lihat PromoBiaya istimewa untuk sewa Safe Deposit Box untuk mempermudah Anda menyimpan berbagai barang berharga dengan aman.
Nilai Penempatan Dana
|
Ukuran Safe Deposit Box*
|
||
---|---|---|---|
AUM dalam Rupiah |
Small**
|
Medium **
|
Large **
|
≥ IDR 500Juta - < 2 Milyar | Gratis | 50% diskon | 50% diskon |
≥ IDR 2 Milyar - < 5 Milyar | Gratis | Gratis | 50% diskon |
≥ IDR 5 Milyar | Gratis | Gratis | Gratis |
*) Hanya dapat memilih salah satu fasilitas diskon/gratis dari skema diatas
**) Selama ukuran SDB tersedia
Jajaran analisis terpercaya di industri perbankan yang pendapat mereka dijamin berkualitas dalam pasar keuangan. Ulasan analisa dari Wealth Panel dapat mengoptimalkan pertumbuhan investasi Anda
Wealth Management Head
OCBC
Head of Investment Strategy
Bank of Singapore
Senior Investment Strategy
OCBC Bank
Troubling Times
Kinerja pasar saham global kembali mengalami tekanan yang cukup signifikan sepanjang bulan Oktober. Indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing membukukan pelemahan -1.36%, -2.20%, dan -2.78%. Pada pertemuan pejabat Fed di bulan September, nada kebijakan higher for longer mengakibatkan pasar obligasi melemah. Imbal hasil obligasi pemerintah US Treasury 10Y sempat menyentuh 5.018% pada perdagangan intraday di akhir bulan Oktober. Akan tetapi, pada pertemuan FOMC di awal bulan November, The Fed mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 5.25% - 5.50% sesuai estimasi pelaku pasar. Beberapa indikator perekonomian AS mulai menunjukkan perlambatan, seperti angka pengangguran Oktober yang meningkat ke level 3.9%, serta laju inflasi yang tetap bertahan relatif tinggi.
Selain itu, konflik geopolitik antara Israel dan Hamas juga turut membebani pergerakan pasar saham global khususnya AS. Serangan pertama Hamas ke Israel terjadi untuk pertama kali pada tanggal 7 Oktober 2023 dan masih berlangsung hingga saat ini dengan aksi saling membalas. Namun demikian, hal ini diperkirakan tidak akan terlalu berdampak pada kenaikan terhadap harga minyak mentah yang sampai dengan akhir Oktober 2023 masih berada di level US$ 82.11/barrel, mengingat negara tersebut bukan termasuk produsen utama.
Hal ini juga tercermin pada rilisan angka inflasi negara Zona Eropa yang masih terkendali. Inflasi Zona Eropa masih berada di level 4.3%, sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar. Maka dari itu, Bank sentral Eropa (ECB) sesuai ekspektasi menahan suku bunga acuan di level 4.5%. Bank sentral Eropa melihat belum ada urgensi untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya melihat angka inflasi yang masih cukup terkontrol. Keadaan positif ini juga mendukung pertumbuhan sektor manufaktur dan jasa yang dilaporkan mengalami perbaikan walaupun masih berada pada area kontraksi yaitu masing-masing di 43.7 dan 48.6.
Sementara itu di Asia, mayoritas pergerakan pasar saham juga mengalami penurunan, terlihat dari kinerja MSCI Asia Pacific ex-Japan -4.11% sepanjang bulan Oktober. Masih tingginya ketidakpastian ekonomi China membuat sebagian besar investor melakukan aksi jual pada aset berisiko. Perkembangan sektor properti China masih menjadi perhatian khusus investor, walaupun pemerintah China sudah melakukan berbagai macam stimulus dengan menjaga suku bunga pinjaman baik yang satu tahun maupun yang lima tahun di level rendah yaitu 3.45% dan 4.20%, namun belum mampu memberikan sentimen positif yang cukup signifikan.
Dari perekonomian domestik, Bank Indonesia secara mengejutkan menaikkan tingkat suku bunga acuan 7-day Reverse Repo Rate ke level 6.00%. Keputusan tersebut diambil oleh Bank Indonesia seiring dengan konsistensi dalam upaya bank sentral menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah yang melemah signifikan, hampir menyentuh level 16,000/US$ akibat nada kebijakan The Fed. Selain itu juga, kebijakan ini diambil untuk menjaga perbedaan suku bunga antara Dolar AS dan Rupiah.
Equity
Bursa saham IHSG mencatatkan penurunan sebesar -2.70% sepanjang bulan Oktober, mengikuti pelemahan yang terjadi pada bursa saham global lainnya. Saham di sektor teknologi dan konsumen transportasi memimpin pelemahan paling tinggi, masing-masing sebesar -11.08% dan -9.34%. Pelemahan pasar saham di bulan Oktober juga disebabkan karena keluarnya aliran dana asing di sepanjang tahun 2023 sebesar US$ 865.2 juta. Di tengah kekhawatiran terhadap pelemahan ekonomi global terutama dari AS dan Eropa, ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan bertumbuh di 2023 di kisaran 5.0% – 5.3%. Terlebih dengan adanya masa pemilihan umum pada awal 2024 yang diperkirakan akan menambah dorongan untuk kenaikan pada sektor keuangan, infrastruktur, dan industri.
Bond
Seperti halnya yang terjadi di negara maju, pasar obligasi domestik di bulan Oktober turut tertekan sebagai imbas dari kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun mengalami kenaikan, hingga menyentuh level tertinggi ke level 7.26%. Puncak kenaikan imbal hasil ini terjadi pada 24 Oktober paska pernyataan The Fed yang bernada hawkish, di ikuti tindakan pre-emptive Bank Indonesia yang secara mengejutkan menaikan suku bunga acuan ke level 6.00%. Tingginya ketidakpastian di pasar obligasi, akan menimbulkan volatilitas dalam jangka pendek.
Akan tetapi, secara fundamental, investasi pada obligasi domestik masih cukup menarik, dengan realisasi penerbitan obligasi yang masih jauh di bawah target awal pemerintah, tingkat defisit anggaran yang diperkirakan akan turun, inflasi domestik yang relatif rendah, serta kepemilikan investor asing yang cukup rendah tepatnya di kisaran 14.77%%, seharusnya volatilitas yang timbul hanya sementara. Investor dapat secara selektif melakukan akumulasi pada saat terjadi penurunan harga.
Currency
Mata uang Rupiah kembali bergerak melemah cukup signifikan sepanjang bulan Oktober terhadap Dolar AS sebesar 2.71% ke kisaran 15,885. Pelemahan mata uang Rupiah diakibatkan oleh menguatnya mata uang Dollar AS terhadap mata uang global dengan US Dollar Index (DXY) masih berada pada level 106.80 sepanjang bulan Oktober. Dalam jangka pendek, volatilitas mata uang Rupiah diperkirakan masih akan terjadi, akibat tingginya ketidakpastian akibat retorika kebijakan suku bunga Fed, higher for longer. Sementara itu, Cadangan Devisa bulan September dirilis sebesar US$ 133.1 miliyar, setara dengan pembiayaan enam bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Bank Indonesia juga berkomitmen untuk tetap menjaga stabilitas mata uang Rupiah melalui beberapa kebijakan makroprudential dan sistem pembayaran, seperti halnya kebijakan Local Currency Settlement (LCS), Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), hingga kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE).
Juky Mariska, Wealth Management Head, PT Bank OCBC NISP Tbk
Dalam 12 bulan ke depan, kami khawatir terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global akan menghadapi ketidakpastian signifikan dari pengetatan kondisi keuangan, berkurangnya tabungan masyarakat selama pandemi, dan memuncaknya pengeluaran pemerintah AS. - Eli Lee
Proyeksi ekonomi ke depan tetap menjadi tantangan bagi pasar keuangan. Pertama, imbal hasil surat utang AS (UST) tenor 10 tahun menyentuh 5.00% untuk pertama kalinya sejak tahun 2007. The Fed menahan kebijakan suku bunga sejak terakhir kali menaikan Fed Fund Rate menjadi 5.25-5.50% pada bulan Juli. Namun, The Fed tetap memperingatkan potensi kenaikan tingkat suku bunga bila diperlukan untuk menekan laju inflasi. Tingginya imbal hasil UST juga didukung oleh solidnya perekonomian AS. Pada kuartal III - 2023, PDB AS bertumbuh pada 4.9% secara tahunan ditengah kenaikan tingkat suku bunga Fed yang terjadi dalam beberapa kuartal terakhir, akibat dari konsumsi yang tetap tinggi. Selain itu, pinjaman berskala besar oleh Departemen Keuangan AS untuk mendanai defisit anggaran pemerintah sebesar 8% dari PDB juga turut mendorong kenaikan imbal hasil obligasi.
Dalam waktu dekat, imbal hasil UST diperkirakan masih akan berfluktuasi hingga akhir tahun ini sementara Fed masih mempertahankan pandangan hawkish terkait potensi kenaikan suku bunga. Kami juga memperkirakan bank sentral AS masih akan bertahan dengan suku bunga acuan di 5.25%-5.50% sampai dengan musim panas mendatang untuk mencapai target inflasi pada 2%. Namun dalam 12 bulan ke depan, kami khawatir bahwa kondisi keuangan akan semakin sulit, berkurangnya simpanan dari stimulus masa pandemi dan naiknya pengeluaran pemerintah AS, akan menyebabkan ekonomi AS jatuh ke dalam resesi dengan terkontraksi selama dua kuartal berturut-turut di tahun 2024. Maka, kami memperkirakan imbal hasil UST akan lebih rendah dalam 12 bulan mendatang seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini. Kami juga mengantisipasi bahwa The Fed akan merespon kondisi resesi melalui pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps setiap kuartal pada pertengahan tahun 2024.
Risiko kedua terhadap proyeksi pertumbuhan adalah pecahnya perang di Israel dan Gaza. Konflik ini telah membuat harga energi melaju tinggi. Namun, apabila negara lain ikut terlibat dalam konflik di Timur Tengah, maka harga minyak diperkirakan dapat melonjak hingga US$ 100/barel seperti yang terjadi pada tahun lalu ketika Rusia menginvasi Ukraina.
Ketiga, kekhawatiran resesi terus membayangi pertumbuhan Eropa. Purchasing Manager Index (PMI) periode Oktober – sebuah indikator sentimen bisnis, mengindikasikan kontraksi di Zona Eropa dan Inggris pada semester kedua tahun ini setelah European Central Bank (ECB) menaikkan suku bunga hingga 4.00% dan Bank of England hingga 5.25% untuk menekan inflasi. Kami memperkirakan Zona Eropa akan mengalami penurunan PDB untuk kuartal III – 2023 dan kuartal IV – 2023. Dengan demikian, kawasan ini akan mengalami resesi untuk pertama kalinya sejak pandemi tahun 2020.
Keempat, pembukaan kembali ekonomi China paska pandemi yang tidak merata juga membebani proyeksi ekonomi. Tahun ini, pemulihan China dihadapkan oleh kurangnya optimisme setelah serangkaian kejutan di tahun 2020-2022, mulai dari ketatnya pembatasan wilayah, pengetatan kebijakan, pelemahan di sektor properti, resesi luar negeri dan meningkatnya risiko geopolitik. Oleh karena itu, hampir seluruh sektor pertumbuhan China seperti konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah daerah, dan ekspor berada dalam tekanan, juga kekhawatiran terhadap rendahnya permintaan akan menyebabkan ekonomi jatuh ke dalam perangkap deflasi. Pada bulan September, inflasi atau Consumer Price Index (CPI) China adalah 0%.
Sebaliknya, pemerintah pusat menjadi satu-satunya penggerak dalam perekonomian dengan tingkat utang yang rendah sehingga mampu meningkatkan belanja negara secara signifikan, menaikan permintaan dan memastikan China tidak mengalami deflasi berkepanjangan seperti Jepang selama "beberapa dekade yang hilang". Dalam pemberitahuan penting bulan lalu yang disampaikan oleh komite kongres rakyat nasional China, menyetujui penerbitan obligasi pemerintah pusat sebesar CNY 1 triliun untuk mendukung investasi infrastruktur.
Dengan mengambil langkah menaikan defisit fiskal tahun ini dari 3.0% menjadi 3.8% dari PDB, pemerintah akan menjadi motor penting pengerak pertumbuhan dengan pendanaan dari penerbitan obligasi baru sejumlah CNY 500 miliar yang diharapkan akan digunakan pada kuartal IV – 2023 dan CNY 500 miliar lainnya pada tahun 2024. Maka, kami memproyeksikan target PDB China tahun 2023 "sekitar 5%" akan tercapai dan mempertahankan perkiraan kami terhadap PDB akan bertumbuh sebesar 5.4% untuk tahun ini dibandingkan pertumbuhan sebesar 3.0% pada tahun 2022.
Akan tetapi, optimisme masih rendah terutama dengan pelemahan di sektor properti China. Indikator PMI di bulan Oktober menurun. Maka dari itu, meskipun ada kenaikan signifikan dalam defisit anggaran pemerintah tahun 2023, diperlukan lebih banyak stimulus agar sentimen tidak semakin negatif. Misalnya, melonggarkan pembatasan utang pada pembelian properti atau kembali menurunkan rasio cadangan wajib (RRRs).
Risiko kelima terhadap proyeksi ekonomi datang dari Bank of Japan (BoJ) yang saat ini mempersiapkan untuk keluar dari periode suku bunga negatifnya karena inflasi yang tetap terjadi di Jepang. Kami tidak memperkirakan BoJ akan menaikan suku bunga hingga tahun depan. Tetapi, kenaikan suku bunga secara tergesa-gesa akan mengejutkan pasar keuangan global, menyebabkan imbal hasil obligasi pemerintah Jepang melonjak dan mendorong imbal hasil UST naik semakin tinggi.
Dengan demikian, investor harus tetap berhati-hati mengingat pandangan pertumbuhan ekonomi yang tidak menentu menjelang penghujung tahun.
Source: Bank of Singapore
Proyeksi ekonomi yang kurang mendukung
Pada pasar saham, terlepas dari peringkat Netral kami untuk ekuitas AS, kami tetap Netral di Asia ex-Japan, Underweight di Eropa, dan Overweight di Jepang. Dalam hal sektor saham, kami tetap mendukung sektor kesehatan, konsumsi dasar, dan utilitas. – Eli Lee
Di bulan Oktober, pelaku pasar menjadi lebih menghindari risiko dan kekhawatiran terlihat jelas selama musim laporan pendapatan kuartal III – 2023. Sejauh ini, hasil dari laporan pendapatan perusahaan cukup beragam, reaksi pasar terhadap kinerja perusahaan yang baik masih dibayangi oleh sentimen kehati-hatian terhadap kondisi suku bunga yang lebih tinggi dan ketidakpastian ekonomi. Hal serupa juga terjadi pada musim laporan pendapatan kuartal II – 2023, perusahaan yang merilis laporan keuangan lebih baik daripada estimasi mendapat kenaikan pada harga sahamnya, dibandingkan perusahaan yang melaporkan laporan keuangan yang meleset, mengalami koreksi harga saham yang cukup dalam.
Meningkatnya dampak negatif dari konflik di Timur Tengah, sejalan dengan ketidakpastian pertumbuhan ekonomi akibat tingginya suku bunga acuan, menguatkan kembali strategi Underweight kami terhadap instrumen saham, dan kami mempertahankan peringkat Underweight kami untuk Eropa, Netral untuk AS dan Asia ex-Japan, sedangkan Overweight untuk Jepang. Kami terus memantau China, dimana pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan pelonggaran untuk meningkatkan pertumbuhan.
AS – Menghadapi ketidakpastian yang besar di masa depan
Musim pendapatan AS sekarang sedang berlangsung, lebih dari 75% perusahaan yang terdaftar pada bursa S&P 500 telah mengeluarkan laporan dan mencatatkan laba per saham (EPS) yang lebih baik dari perkiraan. Namun, tidak seperti kuartal sebelumnya, hasil yang positif hanya mengalami sedikit kenaikan harga (dari perspektif harga saham) sementara yang lebih rendah dari perkiraan mengalami penurunan signifikan. Kami tetap defensif dan mempertahankan preferensi kami untuk sektor-sektor seperti konsumsi kebutuhan pokok, utilitas, dan kesehatan.
Zona Eropa – Risk versus reward yang kurang menarik
Pada 27 Oktober, sudah sepertiga perusahaan Eropa melaporkan pendapatan kuartal III – 2023 dan hanya 27% dari perusahaan tersebut melebihi ekspektasi konsensus dibandingkan dengan 40% lainnya melaporkan hasil yang lebih rendah dari perkiraan. Sementara itu, seperti biasa pada pertengahan Oktober, pemerintah Uni Eropa (EU) telah menyerahkan rancangan anggaran 2024 ke Komisi Eropa (EC). Sekitar tujuh negara berencana untuk melewati batas defisit anggaran 3% untuk tahun 2024, dan perhatian investor mungkin akan beralih pada seberapa ketat Komisi Eropa akan menerapkan aturan ini. Secara keseluruhan, konsolidasi fiskal mungkin akan membebani pertumbuhan masa mendatang.
Jepang – Investor akan berfokus pada arah kebijakan
Indeks MSCI Jepang berdenominasi USD dan JPY serentak melemah selama bulan Oktober, hal ini tidak mengejutkan dengan adanya ketegangan geopolitik yang meningkat dan tingginya suku bunga acuan, sehingga memicu imbal hasil US 10Y Treasury (UST) menembus 5%. Berita baiknya, kami melihat dorongan untuk reformasi perusahaan yang lebih positif di Jepang, seiring pengumuman dari Bursa Efek Tokyo (Tokyo Stock Exchange – TSE) terkait penerbitan daftar perusahaan yang sudah menanggapi permintaan untuk reformasi tata kelola perusahaan, yang akan dimulai pada 2024.
Asia ex-Japan – Fokus pada musim rilis laporan keuangan yang akan datang
Sentimen pasar dalam tiga bulan terakhir ini adalah terjadi revisi penurunan pada konsensus EPS 2024 untuk indeks MSCI Hong Kong, China dan Taiwan. Di sisi lain pada waktu yang sama, Indonesia, Filipina, dan Korea menerima kenaikan revisi untuk perkiraan EPS 2024.
Tidak ada kejutan besar dari bank sentral di kawasan ini, kecuali Indonesia, di mana Bank Indonesia (BI) secara tak terduga menaikan suku bunga acuan sebesar 25bps menjadi 6.0% pada bulan Oktober meskipun inflasi mencapai 2.3% year-on-year, dengan tren menurun. Ini merupakan kenaikan BI yang pertama sejak Januari 2023.
China/HK – Berfokus pada efektivitas stimulus
Index Hang Seng dan indeks MSCI China mengalami pelemahan sekitar 2-3%, sejalan dengan mayoritas pasar saham Asia ex-Japan.
Para pembuat kebijakan China memberikan sinyal tambahan yang mendukung momentum pertumbuhan dengan perluasan anggaran fiskal dalam satu tahun dan persetujuan penerbitan tambahan obligasi pemerintah (CGB) sebesar CNY 1 triliun. Hal ini sangat jarang terjadi terutama di tengah tahun fiskal berjalan dan merupakan kejutan positif. Sehingga berpotensi meningkatkan defisit fiskal menjadi 3.8% dari PDB. Ditambah dengan pembelian oleh “Tim Nasional” pada indeks A-shares (Indeks CSI 300), ini merupakan sinyal kuat bahwa pertumbuhan adalah prioritas utama dan seharusnya mendukung sentimen pasar.
Merekomendasi strategi barbel
Meskipun kami yakin bahwa imbal hasil jangka panjang akan melandai dalam 12 bulan ke depan, namun kami tetap waspada terhadap volatilitas yang masih tinggi pada obligasi berdurasi panjang, artinya obligasi Investment Grade (IG) dengan durasi panjang berpotensi memberikan apresiasi jangka panjang yang lebih besar sejalan dengan volatilitas yang lebih tinggi. – Vasu Menon
Di pasar obligasi, kami menyukai obligasi IG negara maju (DM) yang memang merupakan aset lindung nilai aset ketika terjadi resesi dan tensi geopolitik. Sementara, meskipun obligasi AS berdurasi panjang memiliki volatilitas yang lebih tinggi, namun kami percaya akan menurun dalam satu tahun ke depan. Kami merekomendasikan strategi barbel dari sisi durasi: obligasi bertenor pendek memberikan pendapatan yang menarik, sementara tenor yang lebih panjang berpotensi memberikan peluang kenaikan harga yang lebih besar seiring dengan volatilitas yang juga lebih tinggi.
Di bulan Oktober, aset pendapatan tetap kembali mengalami pelemahan akibat kenaikan suku bunga. Selisih kredit (credit spread) yang sejauh ini relatif stabil, belakangan ini sudah memperlihatkan indikasi pelemahan seiring dengan meningkatnya tensi geopolitik dan kenaikan harga energi. Imbal hasil UST tenor 10 tahun sempat naik di atas batas level psikologis 5%, dengan tenor 30 tahun naik ke kisaran 5.17%. Ketatnya likuiditas di pasar keuangan sebagai dampak kebijakan moneter bank sentral global terlihat dengan jelas. Proyeksi kami akan terjadi resesi di AS pada tahun 2024, dan potensi penurunan imbal hasil UST 10 tahun ke level 3.25% dalam 12 bulan ke depan. Kami juga menyukai durasi dibandingkan credit rating, dengan preferensi terhadap obligasi IG dibandingkan High Yield (HY).
Imbal hasil negatif
Seluruh jenis obligasi melemah, dengan pelemahan terdalam dicatatkan oleh obligasi DM HY -1.5%, dan DM IG -1.3%, lebih dalam dibandingkan obligasi negara berkembang (EM) dimana EM IG -1.1% dan EM HY -1.2%. Pergerakan spread lebih terbatas di negara maju, dengan obligasi DM IG melebar 5 bps dan DM HY 6 bps. Di negara berkembang, spread obligasi IG melebar 15 bps dan 45 bps untuk HY.
Obligasi negara maju
Kombinasi antara kenaikan imbal hasil obligasi, laporan keuangan kuartal III – 2023 yang bervariatif, proyeksi yang lebih rendah, ketidakpastian geopolitik, dan tingginya harga minyak membebani kinerja obligasi DM IG dan HY. Sejak awal tahun obligasi melemah seiring tingginya suku bunga dan spread yang lebih lebar.
Obligasi negara berkembang
Imbal hasil negara berkembang mengalami kenaikan seiring memburuknya sentimen dan likuiditas pasar. Kami mempertahankan preferensi kami terhadap obligasi IG dibandingkan HY di tengah ketidakpastian global dan banyaknya supply obligasi BUMN (sekitar 35%) di dalam pasar obligasi IG negara berkembang.
Obligasi Asia
Kami tetap underweight pada obligasi negara berkembang di Asia. Kami cenderung lebih menyukai kategori IG dibandingkan HY di Asia, dengan preferensi terhadap obligasi IG berdurasi pendek. Investor sebaiknya lebih fleksibel terhadap durasi ditengah volatilitas yang tinggi. Sementara untuk kategori HY, kami pun masih menyukai beberapa nama berkualitas dan menyukai beberapa obligasi HY non-China dengan fundamental kuat dan tingkat utang yang relatif rendah.
Gold: sebagai diversifikasi resiko
Risiko eskalasi geopolitik mendukung penguatan harga emas, tetapi pandangan positif kami untuk emas di tahun 2024 lebih bergantung pada siklus kenaikan suku bunga The Fed yang mendekati akhir. Hal ini akan berimbas pada penurunan imbal hasil US Treasury, dan mengurangi potensi kerugian (opportunity cost) dalam berinvestasi emas. – Vasu Menon
Gold
Risiko eskalasi geopolitik menyebabkan terjadinya perpindahan ke aset yang lebih aman sehingga mendorong kenaikan emas. Kekhawatiran akan konflik Israel-Hamas dapat meningkat menjadi konflik regional yang semakin meluas, dan upaya diplomatik untuk membendungnya juga meningkat.
Pengaruh geopolitik menjadi lebih jelas saat kenaikan harga emas terjadi bersamaan dengan kenaikan imbal hasil obligasi AS. Peningkatan yang lebih lanjut pada imbal hasil UST dan penguatan Dolar AS sebelumnya telah membuat harga emas bergerak ke level rendah US$ 1,820/oz di awal bulan Oktober. Akan tetapi, pelemahan ini mendadak berbalik arah seiring dengan meningkatnya ancaman konflik Timur Tengah yang lebih luas, menjadikan emas sebagai permintaan aset safe-haven yang kuat. Peran emas sebagai aset lindung nilai dari risiko geopolitik dapat menjaga pergerakan harga emas untuk saat ini. Namun, dengan volatilitas harga emas yang cukup tinggi, akan sulit untuk menjadi penopang harga dalam jangka waktu panjang.
Pandangan positif kami untuk emas di 2023 lebih bergantung pada siklus kenaikan suku bunga The Fed yang mendekati akhir. Hal ini akan mengakibatkan penurunan imbal hasil US Treasury, sehingga mengurangi potensi kerugian dalam berinvestasi emas.
Oil
Harga minyak telah berbalik menjadi lebih tinggi sejak Juni karena pasokan yang semakin terbatas. Ketatnya pasokan terlihat setelah beberapa kali pengurangan produksi OPEC dan sinyal bahwa Rusia menepati janjinya untuk membatasi ekspor. Pandangan kami adalah harga minyak mungkin akan tetap tinggi dan mencoba menguji US$100/barel pada kuartal ini sejalan dengan perkiraan kami bahwa pasar minyak mentah akan tetap mengalami defisit. Ketegangan di Timur Tengah akibat konflik Israel-Hamas menambah premi risiko perang pada harga minyak mentah mengingat adanya risiko eskalasi. Namun, harga minyak yang lebih rendah diperkirakan terjadi pada 2024, dengan harga minyak berpotensi kembali ke kisaran US$ 80/barrel dalam waktu satu tahun.
Akan tetapi, Ada dua risiko utama yang dapat mendorong harga minyak lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama. Pertama, ada beberapa kekhwatiran jika Iran terlibat ke dalam konflik, Hal ini dapat mengakibatkan penerapan sanksi AS yang lebih ketat terhadap minyak dari Iran. Kedua, serangan Hamas terhadap Israel telah meningkatkan tensi geopolitik pada wilayah penghasil minyak terbesar di dunia. Meningkatnya eskalasi permusuhan terhadap wilayah tetangga mungkin berdampak pada kesediaan Arab Saudi untuk meningkatkan produksi minyak.
Currency
Indeks Dollar AS (USD) sangat fluktuatif di bulan Oktober. Ketegangan geopolitik, perubahan imbal hasil (yield) obligasi AS, retorika The Fed yang cenderung dovish, dan beragamnya hasil laba korporasi menjadi beberapa faktor pendorong volatilitas.
Sementara itu, konflik militer Israel-Hamas yang terjadi pada tanggal 7 Oktober adalah risiko terbaru yang dihadapi pasar. Dalam waktu dekat, ketidakpastian geopolitik dapat mendorong permintaan aset safe-haven dan menguntungkan Dolar AS, Swiss Franc, dan Emas. Namun, perkembangan geopolitik selalu berubah, jika konflik lebih terisolasi dan tidak menyebar ke negara Timur Tengah lainnya, maka permintaan akan aset lindung nilai dapat berkurang.
Pertemuan FOMC terbaru pada 2 November, Bank Sentral AS mempertahankan suku bunga acuannya dalam dua pertemuan secara berturut-turut, tetapi juga tetap membuka kemungkinan untuk menambahan pengetatan di tahun ini atau tahun depan jika inflasi terbukti bertahan lebih dari yang diperkirakan. The Fed menyadari bahwa aktivitas ekonomi telah berekspansi pada fase yang kuat, jauh di atas ekspektasi, dan pasar ketenagakerjaan tetap solid, seiring dengan kondisi pasokan dan permintaan yang seimbang. Gubernur Fed, Powell juga menyatakan melalui konferensi pers bahwa perlambatan pertumbuhan memberikan gambaran yang lebih baik kepada para pejabat Fed tentang sejauh mana kebijakan perlu dilakukan. Powell juga tampaknya menurunkan ekspektasi dot plot bulan September dan kekhawatiran terhadap ekspektasi inflasi mulai berkurang. Secara keseluruhan, pesan yang disampaikan oleh The Fed mengindikasikan pertumbuhan positif dan aktivitas ekonomi, tetapi juga memberikan sinyal untuk menahan suku bunga lebih panjang, dan kenaikan mungkin sudah selesai untuk saat ini.
Kami yakin, saat ini The Fed mungkin sudah selesai melakukan pengetatan karena tekanan inflasi sudah mulai berkurang, sejalan dengan ekspektasi inflasi. Terlebih, suku bunga riil lebih dari 2.4% (yang melebihi dari level tertinggi dalam 10 tahun terakhir) juga telah dibatasi. Kami berpendapat bahwa The Fed akan lebih sulit melakukan pengetatan kembali jika rilisan data selanjutnya menunjukan perlambatan pada inflasi dan ketenagakerjaan.
Challenging yield
Performa pasar saham global mengalami tekanan signifikan sepanjang bulan September. Indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing melemah -3.5%, -4.8%, dan -5.81%. Keputusan bank sentral Fed pada pertemuan FOMC bulan September lalu dengan mempertahankan tingkat suku bunga di level 5.25% - 5.50% telah diantisipasi secara luas oleh investor. Namun, Gubernur Fed, Jerome Powell paska pertemuan tersebut menyisakan sentimen negatif yang mendalam, dengan menyatakan potensi kenaikan suku bunga satu kali lagi di tahun 2023 ini, dan menahan suku bunga higher for longer. Selain itu, kenaikan harga minyak global ke kisaran level USD 93/ barel, yang merupakan level tertinggi dalam setahun terakhir juga turut membebani pergerakan pasar akibat ancaman inflasi yang berpotensi meningkat.
Hal ini mengakibatkan imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun meningkat ke 4.6% yang merupakan level tertinggi dalam 16 tahun terakhir. Kekhawatiran investor akan kebijakan higher for longer mendorong aksi sell-off di pasar obligasi global.
Kekhawatiran akan inflasi turut dialami pasar saham Eropa. Indeks DAX Jerman melemah 3.91%, dan Eurostoxx50 melemah 3.15%. Bank sentral Eropa (ECB) di luar dugaan menaikkan suku bunga acuan ke level 4.5%. Kenaikan tingkat suku bunga dinilai akan terus membebani upaya pemulihan ekonomi yang saat ini masih tertekan. Pertumbuhan PDB Eropa kuartal II - 2023 dilaporkan bertumbuh sebesar 0.5%, lebih rendah dari periode sebelumnya di 0.6%. Sementara, pertumbuhan sektor manufaktur dan jasa dilaporkan bertahan di level kontraksi, masing-masing di level 43.5 dan 46.7.
Sementara itu di Asia, mayoritas pergerakan pasar saham juga mengalami penurunan, terlihat dari kinerja MSCI Asia Pacific ex-Japan -3.86% sepanjang bulan September. Masih tingginya ketidakpastian ekonomi China membuat sebagian besar investor mundur dari aset berisiko. Perkembangan sektor properti China masih menjadi sorotan investor, sebab perusahaan properti terbesar China, Evergrande belum dapat menyelesaikan permasalahan hutang yang akan jatuh tempo. Dari sisi fundamental, laporan data ekonomi China mulai menunjukan tanda-tanda pemulihan. Sektor manufaktur di bulan September dilaporkan berhasil naik ke level ekspansi 50.2, sementara tingkat output industri tumbuh 4.5% di bulan Agustus, dan penjualan ritel tumbuh 4.6%.
Dari perekonomian domestik, Bank Indonesia sesuai dengan ekspektasi kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 5.75%. Keputusan tersebut konsisten dengan upaya bank sentral dalam menjaga tingkat inflasi tetap rendah dan terkendali dalam kisaran 3 ±1%. Angka surplus neraca perdagangan sebesar USD 3.1 miliyar, jauh lebih tinggi dari estimasi sebesar USD 1.5 miliyar. Begitu pula dengan tingkat keyakinan konsumen, dilaporkan sebesar 125.2, meningkat dari bulan sebelumnya di 123.5. Sementara pertumbuhan sektor manufaktur bertahan di level ekspansi 53.9.
Equity
Bursa saham IHSG mencatatkan penurunan sebesar -0.19% sepanjang bulan September. Saham di sektor properti dan konsumen siklikal memimpin pelemahan, masing-masing sebesar -4.41% dan -3.98%. Pelemahan pasar saham di bulan September dibebani salah satunya dari outflow dana asing yang sepanjang 2023 telah keluar sebesar USD 308 juta.
Di tengah kekhawatiran pelemahan ekonomi global terutama dari AS dan Eropa, ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan bertumbuh di 2023 di kisaran 5.0 – 5.3%. Kinerja pasar saham di 2023 diproyeksikan akan mendapat dukungan dari sektor keuangan, infrastruktur, dan industri. Secara historis, sektor-sektor ini memiliki kinerja relatif positif saat terjadinya perhelatan politik.
Obligasi
Seperti halnya yang terjadi di negara maju, pasar obligasi domestik di bulan September turut tertekan sebagai imbas dari kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun mengalami kenaikan ke level 6.91% yang mensinyalkan terjadinya penurunan harga. Kenaikan ini berlanjut di minggu awal bulan Oktober menyentuh di atas 7%. Harga minyak global yang menanjak kembali meningkatkan kekhawatiran akan inflasi turut menekan pasar obligasi.
Dengan ketidakpastian yang meningkat di pasar obligasi, maka hal ini dapat meningkatkan volatilitas jangka pendek. Akan tetapi, secara fundamental investasi pada obligasi domestik masih cukup menarik, dengan rencana pemerintah untuk mengurangi jumlah penerbitan hutang di 2023, tingkat defisit anggaran yang diperkirakan akan turun, inflasi domestik yang relatif rendah, serta kepemilikan investor asing yang cukup rendah di kisaran 15%, dapat mengurangi volatilitas. Investor kelas aset ini dapat secara selektif melakukan averaging dengan mengakumulasi pada saat terjadi penurunan harga.
Currency
Mata uang Rupiah bergerak melemah sepanjang bulan September terhadap Dolar AS sebesar 1.39% ke kisaran 15,460. Pelemahan mata uang Rupiah diakibatkan oleh menguatnya mata uang Dolar AS terhadap mata uang global. US Dollar Index (DXY) meningkat 1.86% ke level 106.17 sepanjang bulan September.
Dalam jangka pendek, volatilitas mata uang Rupiah diperkirakan masih akan terjadi, dengan tingginya ketidakpastian akibat retorika kebijakan suku bunga Fed, higher for longer. Sementara itu, Bank Indonesia berkomitmen untuk tetap menjaga stabilitas mata uang Rupiah melalui beberapa kebijakan makroprudential dan sistem pembayaran, seperti halnya kebijakan Local Currency Settlement (LCS), Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), ataupun kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Cadangan Devisa bulan September dirilis stabil di level yang tinggi atau sebesar USD 134.9 miliyar, setara dengan pembiayaan enam bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Juky Mariska, Wealth Management Head, Bank OCBC NISP Tbk
Selama beberapa bulan ke depan, imbal hasil US Treasury diperkirakan akan tetap berfluktuasi. Oleh karena itu, investor harus tetap berhati-hati selama outlook ekonomi masih belum pasti.
- Eli Lee
Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun telah melonjak ke level tertinggi dalam 16 tahun terakhir di atas 4.50%, yang menarik perhatian pasar keuangan di seluruh dunia.
Pertama, karena The Fed masih mengambil sikap hawkish. Bulan lalu, The Fed mempertahankan suku bunga acuan, pada 5.25-5.50% sebagaimana para pejabat menunggu lebih banyak data untuk melihat apakah kenaikan suku bunga sebelumnya sudah cukup untuk menekan inflasi kembali ke target 2%. Namun, The Federal Open Market Committee (FOMC) masih mempertahankan kebijakan hawkish-nya. Pernyataan tersebut membuka potensi untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut dengan tetap mengacu pada "tambahan kebijakan tingkat pengetatan untuk mengembalikan inflasi ke 2% seiring waktu." FOMC juga memperbarui perkiraannya, saat ini masih diproyeksikan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) pada tahun ini, selanjutnya dua kali penurunan suku bunga masing-masing 25 bps di tahun depan. Dengan demikian, para pejabat memperkirakan suku bunga acuan akan tetap tinggi selama beberapa tahun ke mendatang untuk menekan inflasi, dengan tingkat suku bunga acuan berada pada level 5.00-5.25%, 3.75-4.00%, dan 2.75-3.00% pada akhir 2024, 2025, dan 2026.
Kedua, ekonomi AS secara mengejutkan tetap tangguh dengan kenaikan suku bunga The Fed yang agresif, sehingga mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun. Indikator dari New York Fed yang melacak pertumbuhan GDP AS setiap minggu, menunjukkan bahwa pertumbuhan GDP AS telah melambat pada tahun ini. Namun, ekonomi AS mungkin tidak akan terkontraksi pada tahun 2023. Sebelumnya kami memperkirakan kenaikan suku bunga The Fed akan menyebabkan resesi pada paruh kedua tahun ini. Namun, kami telah memperbarui perkiraan pertumbuhan untuk tahun 2023 menjadi sama dengan tahun 2022 sekitar 2% dari GDP - sebagaimana ditunjukkan oleh tabel outlook pertumbuhan GDP. Rakyat AS kembali membelanjakan tabungan pandemi mereka, sementara pemerintah AS saat ini mengalami defisit anggaran yang mencapai lebih dari 5% dari GDP dan sebagian besar rumah tangga serta perusahaan masih diuntungkan dengan tingkat suku bunga pinjaman yang rendah pada saat pandemi lalu.
Ketiga, kenaikan tajam pada harga minyak yang mencapai US$ 100 per barel, meningkatkan kekhawatiran pada kenaikan biaya energi yang selanjutnya mendorong inflasi dan imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun akan tetap tinggi.
Keempat, potensi government shutdown AS dan kebuntuan pagu hutang AS tahun ini telah menyebabkan lembaga pemeringkat utama menurunkan peringkat hutang AS (dalam kasus ini Fitch) atau memberi peringatan tentang outlook obligasi pemerintah AS (seperti yang dilakukan Moody's).
Terakhir, keputusan BOJ dan ECB untuk melakukan pengetatan kebijakan moneter juga turut mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah. Selama beberapa bulan ke depan, imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun akan tetap fluktuatif. Kami tidak memperkirakan bahwa The Fed akan menaikan suku bunga acuannya lebih lanjut dari 5.25-5.50% pada tahun 2023. Namun, risiko dari kenaikan suku bunga lebih lanjut akan membuat imbal hasil tetap tinggi dalam jangka pendek. Imbal hasil masih tetap tinggi hingga ekonomi AS melambat.
Kami menaikan proyeksi imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun untuk 3 dan 6 bulan ke depan, dari 3.70% ke 4.25% dan 3.50% ke 3.75%. Dengan demikian, kami melihat bahwa jatuhnya AS kedalam jurang resesi akan tetap terjadi meskipun tertunda. Pada kuartal Q4-2023, pertumbuhan GDP AS diperkirakan akan melambat dengan adanya potensi government shutdown di bulan November, aksi demonstrasi dari pekerja tiga produsen mobil utama di AS, dan berakhirnya pertangguhan pembayaran pinjaman mahasiswa.
Sepanjang H1-2024, kami memperkirakan perlambatan pertumbuhan ekonomi akan mengarah pada penurunan signifikan, seiring dengan berkurangnya jumlah tabungan masyarakat yang diterima saat pandemi, defisit anggaran pemerintah yang mulai berkurang, dan ketatnya kebijakan keuangan akibat kenaikan suku bunga acuan yang agresif untuk membatasi pinjaman. Maka, kami tetap mempertahankan perkiraan kami untuk 12 bulan ke depan bahwa imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun akan kembali mengarah ke level terendah tahun ini di 3.25%.
Yang mendasari pandangan kami adalah asumsi bahwa The Fed, sama halnya ECB dan Bank of England (BOE), telah selesai menaikan suku bunga saat ini untuk menekan inflasi. Suku bunga acuan The Fed saat ini sebesar 5.25-5.50% adalah yang tertinggi sejak tahun 2001. Kami memperkirakan saat ini bank sentral tidak perlu menaikkan suku bunga lebih lanjut, karena inflasi melandai menuju target 2%. Target The Fed yaitu penurunan inflasi PCE inti, suatu indikator inflasi yang lebih luas dibandingkan dengan inflasi CPI AS, dimana inflasi PCE inti telah mencapai puncaknya tahun lalu di 5.5% dan saat ini di bawah 4.0% yaitu pada 3.9% untuk Agustus 2023. Selama beberapa kuartal ke depan, kami memperikaran inflasi PCE inti akan terus melandai seiring dengan melambatnya ekonomi AS dan meningkatnya risiko resesi. Dengan demikian, The Fed dapat menghindari kenaikan suku bunga lebih lanjut. Dengan begitu, jika suku bunga acuan AS tetap pada level saat ini di 5.25-5.50% dan inflasi PCE inti turun di bawah 3% pada musim panas mendatang, maka kami memperkirakan bank sentral secara perlahan dapat menurunkan suku bunga mulai Juni 2024 sebesar 25 bps per kuartal, terlebih jika ekonomi AS telah jatuh ke dalam resesi saat itu.
Investor harus waspada mengingat outlook ekonomi yang masih belum pasti. Dalam waktu dekat, imbal hasil UST akan tetap fluktuatif. Namun dalam 12 bulan ke depan, risiko resesi AS dan inflasi yang lebih rendah akan memungkinkan The Fed secara perlahan mulai melonggarkan kebijakan agresifnya yang dimulai pada tahun 2022-2023 lalu, dan memungkinkan imbal hasil turun secara signifikan selama tahun 2024. Oleh karena itu, kami tetap mengunggulkan UST dan obligasi Investment Grade (IG) dari negara berkembang sebagai lindung nilai dari risiko resesi dari outlook ekonomi yang belum stabil. Sebab, perekonomian AS masih bertahan. Pada kuartal kedua 2023, GDP tumbuh pada tingkat tahunan 2.1%. Penjualan ritel yang lebih kuat di bulan Juli dan kenaikan upah di bulan Agustus menambah harapan bahwa the Fed dapat mengurangi inflasi ke target 2% tanpa menyebabkan resesi.
Source: Bank of Singapore
Dibebani oleh kenaikan imbal hasil obligasi
Melonjaknya imbal hasil obligasi dan penurunan pasar saham, menunjukan adanya konsolidasi risiko jangka pendek, sejalan dengan evaluasi pasar terhadap ketidakpastian gambaran makro – Eli Lee
AS – Menghadapi ketidakpastian yang signifikan di masa depan
Pandangan hawkish The Fed belakangan ini, dan melonjaknya imbal hasil obligasi pemerintah AS, telah membebani indeks S&P 500, karena investor mulai mengantisipasi kemungkinan suku bunga akan tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama.
Pada saat yang sama, ketidakpastian pertumbuhan semakin meningkat, dengan rilisan survey Conference Board terbaru yang memperlihatkan penurunan tingkat kepercayaan konsumen terkait perbaikan ekonomi, ditengah melonjaknya harga minyak dunia.
Eropa – Rasio imbal hasil dan risiko yang kurang menarik
Hampir disepanjang tahun ini, indeks MSCI Eropa diperdagangkan dalam rentang area yang terbatas dan saat ini berada di level perdagangan bulan Februari. Data ekonomi yang keluar dari Zona Eropa masih lemah dan terjadi peningkatan risiko stagflasi. Kekhawatiran terhadap kondisi makro China juga turut membebani kinerja Zona Eropa.
Jepang – Fokus investor tertuju pada arah kebijakan moneter
Bank of Japan (BOJ) mempertahankan kebijakan suku bunga di -0,1% pada September 2023, dan fokus dari Gubernur Ueda baru-baru ini adalah arah kebijakan moneter BOJ yang akan bergantung pada faktor pendorong inflasi karena pertumbuhan upah dan kuatnya konsumsi, bukan dari kenaikan harga akibat tingginya biaya impor.
Saat ini, BOJ masih ragu terhadap potensi kenaikan pada pertumbuhan upah, sementara masih ada kekhawatiran terkait perlambatan ekonomi China. Salah satu faktor pendorong bagi pasar saham Jepang berasal dari reformasi tata kelola perusahaan yang dipimpin oleh Bursa Efek Tokyo (Tokyo Stock Exchange – TSE).
Asia ex -Jepang – Fokus pada musim rilis laporan keuangan yang akan datang
Optimisme terhadap pelonggaran kebijakan di China tampaknya mulai pudar, karena indeks MSCI Asia ex Japan kembali membukukan penurunan pada bulan September.
Salah satu penyebab lesunya kinerja pasar adalah pertemuan The Fed yang masih bernada hawkish. Hasil pertemuan FOMC sesuai dengan ekspektasi, The Fed mempertahankan suku bunga, namun para anggota komite mengindikasikan potensi kenaikan suku bunga lanjutan pada tahun 2023. Penguatan Dollar AS dan melonjaknya harga minyak baru-baru ini dapat menekan kinerja pasar saham regional Asia.
Investor kini menantikan rilis laporan keuangan di bulan Oktober, kami mencatat survey yang dilakukan sampai dengan saat ini (YTD) bahwa Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand mengalami penurunan EPS terbesar di kawasan Asia ex Jepang. Di sisi lain, Singapura, Filipina, dan Indonesia mencatatkan revisi EPS paling positif. Kami lebih Netral di India (dari sebelumnya Overweight) dan Taiwan (dari Underweight).
China/ HK – Berfokus pada efektivitas stimulus
Indeks Hang Seng dan indeks MSCI China melemah dikisaran 5% dalam sebulan terakhir, sedangkan A-shares (Indeks CSI 300) mengalami sedikit penurunan sekitar 2%, berdasarkan harga pada 28 September 2023. Serangkaian stimulus telah diumumkan sejak akhir Agustus. Baru-baru ini, Guangzhou melonggarkan pembatasan pembelian rumah, menjadikannya kota pertama di antara kota di Tingkat 1 yang melakukan langkah tersebut.
Kami memperkirakan pergerakan pasar saham akan lebih terbatas dalam waktu dekat karena pasar lebih mencermati efektivitas dari sejumlah stimulus yang telah diumumkan sejauh ini. Ke depannya, nada kebijakan dari hasil pertemuan Politburo bulan Oktober akan menjadi fokus utama lainnya.
Sektor global
Sektor energi global mengalami kinerja terbaik di bulan September seiring dengan kenaikan harga minyak mentah. Saat ini kenaikan harga minyak mentah Brent didorong oleh faktor pasokan, maka saham-saham sektor energi pada bursa AS dan Eropa juga mendapat dukungan. Kami mempertahankan peringkat netral untuk sektor energi global seiring dengan ketidakpastian terkait resesi global dikemudian hari.
Pada sektor teknologi informasi dan layanan komunikasi global, kami juga mempertahankan peringkat netral. Imbal hasil yang lebih tinggi dan siklus hambatan yang lebih besar dapat menciptakan tantangan di sektor teknologi dalam waktu dekat. Dalam hal subsektor, kami lebih memilih internet, perangkat lunak, dan semikonduktor.
Suku bunga tinggi menarik perhatian pasar
Di pasar obligasi, kami menyukai obligasi Investment Grade (IG) negara maju (DM) yang juga merupakan aset lindung nilai jika terjadi resesi. Kami underweight obligasi DM High Yield (HY) seiring dengan rasio risk vs reward dan valuasi di level saat ini yang kurang menarik, ditengah ketidakpastian ekonomi yang masih tinggi – Vasu Menon.
Beberapa rilisan data ekonomi yang lebih tinggi dari ekspektasi di bulan September menjadi pemicu kekhawatiran pasar dan akhirnya mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Bank sentral AS menahan suku bunga acuan di level 5.25% - 5.50% pada pertemuan di bulan September namun menyatakan bahwa suku bunga akan bertahan di level yang tinggi untuk waktu yang lebih lama. Pernyataan tersebut merevisi proyeksi penurunan suku bunga acuan tahun depan, hanya sebesar 50 basis poin (bps). Proyeksi tersebut direspon negatif oleh para pelaku pasar, terlihat dari kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun di atas 4.6% sedangkan tenor 30 tahun berada di atas 4.7% - merupakan level tertinggi sejak tahun 2007 dan 2011. Kami pun masih menilai kenaikan suku bunga acuan yang agresif oleh The Fed akan memicu resesi tahun depan.
Kami merekomendasikan strategi barbel dari sisi durasi – dimana obligasi bertenor pendek memberikan pendapatan yang menarik, sementara tenor yang cenderung lebih panjang berpotensi memberikan peluang kenaikan harga yang lebih besar seiring dengan volatilitas yang juga lebih tinggi.
Selisih obligasi yang bervariatif
Selisih obligasi DM IG cukup terjaga, dengan US IG hanya mencatatkan penurunan 4-5bps dan IG Eropa hanya 2-3bps. Obligasi DM HY lebih terdampak, dengan US HY melebar 10bps dan HY Eropa 15bps. Selisih obligasi EM HY turun 9bps, sementara EM IG sebesar 5bps.
Tetap tinggi untuk jangka waktu lebih lama
Hal utama dari pertemuan FOMC di bulan September lalu adalah keputusan The Fed untuk menahan suku bunga acuan, pernyataan terkait potensi kenaikan lebih lanjut, dan juga kepercayaan bahwa suku bunga harus berada di level yang tinggi untuk waktu lebih lama agar inflasi turun ke target 2%. Sementara itu, The Fed pun masih terdengar hawkish, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini yang naik dari 1.0% ke 2.1%, tingkat pengangguran turun dari 4.1% ke 3.8%, dan suku bunga acuan untuk berada di level 5.125% di akhir 2024 (naik 50bps dari proyeksi di bulan Juni).
Underweight obligasi DM HY
Dengan sikap The Fed yang masih hawkish, pertumbuhan ekonomi cenderung terbatas dan berpotensi resesi di semester pertama 2024 sehingga menjadi katalis negatif bagi obligasi DM HY. Suku bunga acuan tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama dapat memicu potensi gagal bayar pada obligasi DM HY.
Tetap netral pada obligasi EM
Kami tetap Netral terhadap obligasi korporasi EM. Mayoritas negara-negara EM saat ini lebih unggul dari sisi siklus suku bunga acuan dibandingkan negara-negara DM, sehingga pemangkasan pun dapat dimulai dalam beberapa bulan ke depan bagi negara-negara berkembang ini.
Underweight obligasi EM Asia
Kami juga masih underweight di obligasi EM Asia seiring dengan ketidakpastian yang tinggi terhadap China, akibat hilangnya momentum pertumbuhan ekonomi dan sektor properti yang masih sangat tertekan. Dalam kategori ini, selisih obligasi IG melebar 3bps dan HY sebanyak 9bps.
Persediaan yang lebih rendah saat ini, namun berpotensi meningkat
Pasar produk penyulingan yang kuat dan ketatnya pasokan dapat mendorong kenaikan harga minyak mentah. Minyak mentah Brent berpotensi menyentuh atau bahkan melebihi US$ 100/barrel pada kuartal ini, yang mana dapat menghambat periode disinflasi. – Vasu Menon
Gold
Kenaikan imbal hasil riil pada obligasi pemerintah AS mengurangi daya tarik investasi pada aset yang tidak memberikan imbal hasil untuk jangka panjang seperti emas. Suku bunga tinggi dan kekhawatiran akan stagflasi yang disebabkan oleh melonjaknya harga minyak telah meningkatkan permintaan terhadap safe-haven Dollar AS, sehingga berkontribusi terhadap penurunan harga emas. Investor telah mengantisipasi bahwa The Fed kemungkinan tidak melakukan pelonggaran kebijakan moneter dengan cepat pada tahun depan. Kenaikan imbal hasil juga membebani aliran dana yang diperdagangkan di bursa emas (ETF).
Emas berpotensi tetap melemah untuk jangka pendek. Tetapi kami tetap positif pada harga emas dan perak dalam jangka waktu 12 bulan meskipun ekspektasi kenaikan harga diperkirakan akan terjadi pada akhir H1-2024. Kami memperkirakan tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi AS akan semakin terlihat, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran mengenai risiko pertumbuhan. Imbal hasil obligasi pemerintah AS diproyeksikan bergerak lebih rendah dari level saat ini sebagai antisipasi dari siklus penurunan suku bunga The Fed yang akan mendukung pergerakan harga emas.
Oil
Pasar produk penyulingan yang kuat dan ketatnya pasokan seharusnya dapat mendorong kenaikan harga minyak mentah. Hal ini mencerminkan adanya permintaan yang kuat untuk bahan bakar transportasi utama seperti bensin, diesel, dan bahan bakar pesawat. Ketatnya pasokan juga terlihat setelah beberapa kali pengurangan produksi OPEC+ dan tanda-tanda bahwa Russia menepati janjinya untuk membatasi ekspor. Pemotongan sukarela Arab Saudi sebesar 1 juta barel per hari mengurangi stabilitas pergerakan harga minyak di bulan Juli dan mendorong kenaikan harga lebih dari 20 persen selama dua bulan terakhir. Keputusan untuk memperpanjang pemotongan tersebut hingga akhir tahun juga diluar ekspektasi pasar.
Pergerakan harga minyak mentah Brent dapat menyentuh atau bahkan melebihi US$ 100/barrel dalam kuartal ini. Namun penurunan harga minyak diproyeksikan terjadi pada tahun 2024, dengan potensi kembali ke level USD 80an/barrel dalam waktu satu tahun ke depan, seiring dengan permintaan minyak yang melambat dan juga OPEC+ menghentikan pengurangan produksi secara bertahap. Pertumbuhan ekonomi global pun ditetapkan menjadi moderate di 2024, terutama untuk pasar negara maju, pertumbuhan permintaan minyak global diperkirakan akan moderate.
Currency
Narasi pasar terhadap suku bunga tinggi yang bertahan untuk jangka waktu yang lebih lama terus memberikan dukungan terhadap Dollar AS. Retorika The Fed belakangan ini terlihat bervariatif tetapi yang konsisten terdengar adalah “tetap tinggi untuk jangka waktu lebih lama” dan pemangkasan suku bunga tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Kami mungkin harus lebih bersabar menghadapi perubahan Dollar AS, seiring ketidakpastian puncak kenaikan suku bunga, dan pemangkasan suku bunga tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Tetapi yang perlu untuk diyakinkan bahwa Ketua Fed Jerome Powell mengakui bahwa ke depannya tarif suku bunga perlu diturunkan untuk menjaga suku bunga rill pada level yang seharusnya. Akan tetapi, “ini sama sekali bukan sesuatu yang dipikirkan oleh The Fed saat ini.” Secara teknis, mengingat kenaikan tajam USD pada bulan September, kami tidak mengesampingkan kemungkinan terjadinya retracement pada bulan Oktober, terutama jika ada kejutan pada data ekonomi AS yang mengarah ke sisi penurunan.
Sementara tetap ada potensi terhadap kenaikan suku bunga Fed, meskipun kami percaya bahwa The Fed sepertinya telah selesai dalam melakukan pengetatan pada siklus saat ini, seiring dengan tekanan inflasi sudah mulai berkurang, sementara kebijakan moneter AS sudah dibatasi. Kami berpendapat bahwa potensi The Fed untuk kembali melanjutkan pengetatan bergantung pada rilisan data ekonomi selanjutnya, jika tren disinflasi yang semakin kuat dan kenaikan angka pengangguran dapat mendorong perubahan nada kebijakan dan menyebabkan Dolar AS melemah
Pertumbuhan belum Merata
Pertumbuhan ekonomi utama global cukup bervariatif di pertengahan tahun ini. Pertumbuhan di AS dan Jepang terlihat kuat, sementara di sisi lain Eropa berpotensi jatuh kedalam jurang resesi dan pembukaan kembali ekonomi China paska-pandemi sejauh ini dibawah ekspektasi. AS sendiri berhasil mencatatkan pertumbuhan yang melebihi ekspektasi di 2.4% pada kuartal dua lalu dan diproyeksi masih akan mencatatkan pertumbuhan yang memuaskan kuartal ini ditengah suku bunga acuan yang berada di level tertingginya sejak 2001. Sentimen suku bunga acuan untuk berada di level yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama yang sebelumnya sangat membebani pasar, kini terlihat mulai memudar seiring dengan rilisan data ketenagakerjaan yang mulai melunak, seperti contohnya kenaikan tingkat pengangguran yang signifikan dari 3.5% ke 3.8%. Kini, semakin banyak investor dan analis yang percaya bahwa the Fed akan memulai pemangkasan suku bunga acuan di kuartal kedua tahun depan. Pada pertemuan Jackson Hole bulan lalu, Jerome Powell mengatakan bahwa suku bunga masih dapat bergerak naik, namun bank sentral harus lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan. Pernyataan tersebut dinilai pasar lebih dovish dibandingkan beberapa pernyataan Powell sebelumnya. Dari segi aset risiko, pasar saham global mengalami pelemahan di bulan Agustus akibat aksi profit taking investor.
Namun, situasi di Eropa terlihat cukup berbeda. Bank sentral Eropa (ECB) tidak mengadakan pertemuan bulan lalu, sementara bank sentral Inggris (BOE) melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps), setelah kenaikan 25 bps di bulan sebelumnya. Suku bunga acuan ECB dan BOE saat ini berada di level 4.25% dan 5.25%, level tertingginya sejak krisis finansial global 2008. Selain perkembangan kebijakan moneter, investor juga terus memonitor perkembangan seputar pasar komoditas, terutama kenaikan harga minyak yang signifikan pada pekan terakhir bulan lalu seiring dengan rencana pemangkasan produksi Arab Saudi dan Rusia. Harga minyak mentah WTI melonjak 6% dari level terendahnya ke kisaran level $83 - $84 di akhir bulan Agustus.
Di Asia, indeks MSCI Asia ex-Jepang mencatatkan penurunan yang signifikan sebesar 6.6%, dipimpin oleh pelemahan saham-saham A-shares dan H-shares akibat prospek pemulihan ekonomi China yang memburuk. Masalah di sektor properti dan real estate yang berkontribusi sekitar 30% dari total PDB China saat ini masih menjadi hambatan terbesar pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, pemerintah dan bank sentral China PBOC sudah berulang kali mengutarakan komitmennya untuk menopang ekonomi dan pasar modal yang terpuruk. Sejumlah upaya telah dilakukan seperti penurunan suku bunga acuan hingga pemangkasan pajak transaksi pasar saham. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Jepang berhasil mengejutkan pasar, tercatat sebesar 4.8% (annualized) setelah direvisi turun dari sebelumnya 6.0%.
Beralih ke Indonesia, data ekonomi di bulan Agustus masih terlihat kuat. PMI Manufaktur terus meningkat, saat ini di level 53.9 dan merupakan level tertingginya sejak November 2021. Dari segi inflasi, CPI YoY mencatatkan kenaikan dari 3.08% ke 3.27%; masih lebih rendah dibandingkan ekspektasi pasar. Positifnya, inflasi inti turun melebihi perkiraan, sehingga memberikan fleksibilitas bagi Bank Indonesia dari sisi kebijakan moneter kedepannya. Fokus para pelaku pasar saat ini semakin tertuju pada pemilu 2024 menjelang kuartal terakhir tahun ini, dimana ketidakpastian politik masih cukup tinggi. Namun demikian, optimisme dari sudut pandang rumah tangga dan dunia usaha sejauh ini semakin membaik, tercermin dari kenaikan indeks keyakinan konsumen dari 123.5 ke 125.2.
Equity
Di bulan Agustus, IHSG terlihat cukup resilient ditengah pelemahan mayoritas aset global, indeks berhasil naik 0.32% dan ditutup di level 6,965.25. Penguatan indeks dipimpin oleh sektor Bahan Baku dan Infrastruktur yang naik masing-masing 9.81% dan 6.24%. Namun, level psikologis 7,000 masih menjadi resistance kuat ditengah diperlukannya dukungan eksternal untuk mendorong indeks diperdagangkan di atas level tersebut dengan nyaman. Dari segi valuasi, IHSG saat ini diperdagangkan di kisaran rasio P/E 14.4x dan pertumbuhan EPS di 20% menurut Bloomberg Estimates. Investor asing mencatatkan penjualan bersih senilai $1.4 miliar di bulan Agustus, sehingga penguatan indeks sepenuhnya dikontribusi oleh investor domestik yang memang masih optimis dan mengakumulasi aset risiko.
Semakin mendekati pemilu, para pelaku pasar cenderung mengadopsi strategi yang lebih tactical dengan jangka waktu investasi yang lebih pendek. Memasuki kuartal empat ini, perkembangan seputar dunia politik dan pemilu secara keseluruhan berpotensi memiliki dampak yang lebih besar terhadap pasar modal domestik, ditengah ketidakpastian yang masih tinggi. Namun demikian, kami tetap optimis di kuartal empat mendatang dan memasuki tahun 2024 seiring dengan tingginya resiliency pasar saham domestik sejak awal tahun ini.
Bond
Berlawanan dengan aset risiko, pasar obligasi mengalami pelemahan di bulan Agustus walaupun tidak signifikan. Imbal hasil obligasi 10 tahun pemerintah naik dari 6.25% ke 6.38% pada akhir bulan lalu. Imbal hasil aset pendapatan tetap domestik bergerak sejalan dengan imbal hasil US Treasury di AS, yang dimana juga naik di atas batas level psikologis 4%. Antisipasi atas suku bunga yang akan bertahan di level tinggi untuk waktu yang lebih lama masih menjadi pendorong utama kenaikan imbal hasil. Tidak hanya itu, investor asing juga melakukan penjualan bersih di pasar obligasi, walaupun tidak sebanyak di pasar saham dengan nominal $540 juta bulan lalu. Pelemahan Rupiah terhadap dolar AS juga turut berkontribusi pada pelemahan aset pendapatan tetap. Namun dengan imbal hasil acuan yang saat ini berada di kisaran 6.6% pada pekan kedua September ini, potensi pelemahan lebih jauh seharusnya akan cukup terbatas. Dengan Real-Yield yang saat ini berada di kisaran 3.3% dan target penerbitan surat hutang yang lebih rendah oleh Kementrian Keuangan, seharusnya dapat menjadi penopang pasar obligasi kedepannya.
Currency
Rupiah melemah terhadap dolar AS di bulan Agustus, seiring dengan kenaikan indeks dollar (DXY) ke level 104, level tertingginya sejak awal Juni lalu. Mata uang USDIDR diperdagangkan di kisaran Rp 15,080 di awal bulan, namun di akhir bulan terlihat berada di kisaran Rp 15,230. Namun sama halnya dengan aset pendapatan tetap, kami pun melihat potensi pelemahan Rupiah sudah cukup terbatas. Dari sisi data, cadangan devisa dirilis stabil di $137.7 miliar. Pencapaian tersebut setidaknya sama dengan 6 bulan impor Indonesia, jauh di atas standar kecukupan internasional yang hanya 3 bulan impor.
Juky Mariska, Wealth Management Head, Bank OCBC NISP Tbk
GLOBAL OUTLOOK
Menguat, Melemah, dan Berhati-hati
Perekonomian negara maju di dunia mengalami perubahan selama musim panas ini. Pertumbuhan di AS dan Jepang secara mengejutkan mengalami penguatan. Sebaliknya, pembukaan kembali China dari pandemi kembali menunjukkan pelemahan dan Eropa kembali masuk ke dalam ancaman resesi. – Eli Lee
AS
Perekonomian AS menguat. Pada kuartal kedua 2023, PDB tahunan bertumbuh sebesar 2.1%. Meningkatnya penjualan ritel di bulan Juli dan kenaikan tingkat upah di bulan Agustus menambah harapan bahwa The Fed dapat menekan inflasi ke target 2% tanpa menyebabkan resesi.
Rilisan data ekonomi AS yang solid menyebabkan imbal hasil US Treasury 10 tahun (UST) mencapai level tertinggi dalam 17 tahun pada 4.36%. Kenaikan ini juga didorong oleh proyeksi penerbitan surat utang yang lebih besar dari Departemen Keuangan AS, penurunan peringkat utang pemerintah AS oleh lembaga pemeringkat Fitch, dan BOJ yang mengijinkan imbal hasil obligasi pemerintah Jepang 10 tahun untuk diperdagangkan dalam kisaran yang lebih tinggi.
Dalam waktu dekat, imbal hasil UST diperkirakan masih fluktuatif. Namun dalam jangka panjang, kami mengantisipasi imbal hasil UST 10 tahun akan kembali seperti bulan April sebesar 3.25% dalam 12 bulan ke depan. Perekonomian AS diperkirakan akan melambat seiring berkurangnya bantuan sosial dalam rangka pandemi.
Dampak kenaikan suku bunga Fed pada tahun 2022-2023 akan membebani pertumbuhan, bank sentral mungkin akan mempertahankan tingkat suku bunga pada 5.25-5.50% hingga akhir Juni 2024. Kami memperkirakan The Fed tidak akan menurunkan suku bunga hingga kuartal kedua 2024 - walaupun resesi terjadi sesuai dengan yang diantisipasi, karena para pejabat ingin mencapai target inflasi pada 2%.
Oleh karena itu, kami ragu jika The Fed akan menempuh kebijakan soft landing dengan menurunkan suku bunga lebih awal. Sebaliknya, kami berpendapat bahwa The Fed mendukung terjadinya resesi agar dapat menekan inflasi ke level 2% sesuai target. Tingkat pertumbuhan ekonomi saat ini terlihat mematahkan kemungkinan terjadinya resesi di tahun ini. Akan tetapi, pemotongan stimulus fiskal, suku bunga yang “lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama” dan target inflasi The Fed sebesar 2% menjadikan risiko resesi berpotensi dimulai pada awal kuartal IV – 2023 atau 2024 nanti.
Volatilitas pasar obligasi di musim panas ini berpotensi pada penurunan imbal hasil dalam 12 bulan ke depan. Dengan demikian kami tetap memilih obligasi UST dan obligasi investment grade negara maju (IG-DM) sebagai lindung nilai terhadap risiko resesi.
China
Kami berpendapat China, sebagai perekonomian terbesar kedua di dunia, saat ini berada pada situasi kritis. Pada kuartal pertama 2023, PDB melonjak sebesar 2.2% secara kuartalan, setelah negara ini dibuka kembali dari pandemi. Namun perekonomian hanya tumbuh 0.8% di kuartal II – 2023, akibat memudarnya kepercayaan terhadap pemulihan. Memasuki kuartal III - 2023, pertumbuhan masih lemah.
Meskipun pembukaan ekonomi terjadi cukup kuat di awal tahun, perekonomian China jelas tertekan karena kurangnya permintaan. Pada bulan Juli, indeks harga konsumen China masuk ke zona deflasi dengan harga 0.3% lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
Guncangan yang terjadi pada tahun 2020-2022 mulai dari karantina ketat, regulasi yang ketat, pelemahan di sektor properti, resesi di luar negeri dan risiko geopolitik – semua ini berdampak pada perlambatan pertumbuhan China tahun ini.
Sebagai contoh, sekarang ini konsumen lebih berhati-hati setelah momentum lonjakan belanja saat pembukaan ekonomi China pada akhir tahun lalu. Pada bulan Juli, penjualan ritel hanya 2.5% lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Padahal pada akhir tahun 2019, penjualan ritel meningkat sebesar 8.0% per tahun. Hal ini disebabkan adanya kekhawatiran PHK saat pandemi, bantuan sosial yang minim di tengah ketatnya lockdown, hingga jatuhnya harga properti.
Investasi juga lesu. Pada bulan Juli, pembentukan modal tetap atau fixed asset investment hanya tumbuh 3.4%, lebih rendah dibandingkan tahun lalu, laju pertumbuhan berkurang setengah dibandingkan awal pandemi pada tahun 2020 lalu.
Perubahan regulasi dan kontrol ekspor oleh AS semakin melemahkan investasi di sektor teknologi. Jatuhnya harga properti, proyek yang terbengkalai, dan gagal bayar dari developer menyebabkan banyak pembelian properti baru yang tertunda, sehingga investasi sektor properti melemah. Sejalan dengan terhentinya eforia pembukaan ekonomi kembali, lembaga pembiayaan pemerintah daerah yang lebih memilih membayar hutang daripada mengambil hutang untuk melaksanakan proyek baru.
Terakhir, sektor perdagangan sebagai salah satu komponen pertumbuhan ekonomi yang utama, juga berada dalam tekanan. Lemahnya permintaan luar negeri mengakibatkan ekspor Juli turun 14.5% jika dibandingkan dengan tahun lalu.
Menghadapi ekonomi yang melambat di luar ekspektasi, para pejabat mulai menetapkan kebijakan secara bertahap untuk menghidupkan kembali permintaan. Pada bulan Agustus, bank sentral China (PBoC) memangkas suku bunga 7 hari sebesar 10 bps menjadi 1.80%. Namun, untuk mencegah China jatuh ke deflasi yang berkepanjangan, para pejabat perlu mengambil tindakan terpadu pada tiga bidang: pelonggaran fiskal masif, upaya untuk menstabilkan sektor properti, dan penurunan suku bunga secara cepat. Saat ini, kami memperkirakan PDB China akan meningkat sebesar 5.4% pada tahun 2023, dibandingkan pertumbuhan tahun 2022 yang hanya sebesar 3.0% seiring dibukanya kembali perekonomian.
Namun, jika para pejabat tetap menahan pemberian stimulus untuk mendorong kembali permintaan, maka pertumbuhan PDB China kemungkinan akan gagal mencapai target pemerintah sebesar 5% pada tahun 2023. Dalam hal ini, risiko deflasi yang berkepanjangan akan meningkat.
Outlook China yang belum stabil membuat kami mempertahankan pandangan netral terhadap pasar saham China.
Eropa
Kami juga berhati-hati terhadap outlook Eropa. Berbeda dengan The Fed, BOJ, dan PBoC, kami memperkirakan Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of England (BoE) akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 4.00% dan 5.50% pada September mendatang dikarenakan inflasi yang masih tinggi. Namun pada saat yang sama, indikator pembelian (PMI) bulan Agustus menunjukkan pelemahan pada kuartal III - 2023 baik di Inggris maupun zona Eropa. Dengan demikian, kami mempertahankan pandangan kami bagi investor untuk tetap melakukan underweight pada pasar saham Eropa.
Jepang
Kami memperkirakan optimisme investor terhadap Jepang cukup beralasan. Data PDB Jepang pada kuartal II - 2023 menunjukkan perekonomian Jepang akhirnya mulai meninggalkan periode deflasi dalam tiga dekade sejak tahun 1990.
Pada kuartal II - 2023, PDB meningkat pesat sebesar 1.5% secara kuartalan. Angka ini tumbuh dua kali lipat dari estimasi investor. PDB kuartal I - 2023 juga direvisi naik, dengan pertumbuhan yang kuat sebesar 0.9% secara kuartalan. Kami memperkirakan pertumbuhan Jepang akan tetap kuat pada paruh kedua tahun ini dan kami merevisi perkiraan setahun penuh dari 1.4% menjadi 2.1%. Angka ini melebihi perkiraan kami untuk pertumbuhan di AS, Zona Euro, dan Inggris pada tahun 2023.
Lebih penting lagi, indikator perekonomian Jepang seperti nominal PDB, inflasi dan pertumbuhannya mencapai titik tertinggi sepanjang masa mendekati JPY 600 triliun pada kuartal II - 2023, setelah mengalami stagnasi selama tiga dekade.
Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi Jepang saat ini akan tetap meningkat. Pertama, inflasi inti telah mencapai angka tertinggi dalam empat dekade terakhir, di atas 4% akibat guncangan pandemi dan perang Ukraina. Sehingga, perekonomian akhirnya kembali tumbuh secara nominal. Kedua, pelonggaran Bank of Japan (BoJ) dengan menjaga suku bunga depositonya di bawah nol agar inflasi tetap berada di sekitar target 2%.
Dengan demikian, kami merekomendasikan investor agar tetap overweight pada ekuitas Jepang. Kenaikan inflasi dan pertumbuhan nominal PDB untuk pertama kalinya setelah lebih dari 30 tahun akan mendorong laba dan pendapatan perusahaan domestik.
Sumber: Bank of Singapore
EQUITY
Berharap lebih banyak dari China
Mengingat bahwa pegerakan pasar modal sangat dipengaruhi oleh imbal hasil Treasury AS sebagai bentuk instrumen yang risk-free, kenaikan imbal hasil yang tinggi dalam waktu dekat dapat memicu volatilitas pasar jangka pendek, terutama jika imbal hasil 10Y terus menguji level tertinggi baru.- Eli Lee
AS – Berburu peluang dengan lebih berhati-hati
Sebagai pemimpin di industry kecerdasan buatan (AI), laporan keuangan Nvidia tidak mengecewakan, namun demikian perusahaan teknologi sejenis melaporkan belanja modal yang lebih rendah, sementara tingkat persediaan semikonduktor yang tinggi mendorong kekhawatiran. Kami percaya bahwa prospek penguatan jangka pendek lebih terbatas, mengingat kondisi kredit dan likuiditas yang lebih ketat, ekspektasi yang terlalu optimis, dan dampak kenaikan suku bunga yang tertunda menjadi penghambat untuk penguatan lebih lanjut.
Untuk pasar AS, kami memilih sektor i) perbankan dengan kapitalisasi besar, dibandingkan bank regional, ii) internet, perangkat lunak, dan semikonduktor, iii) teknologi dan jasa kesehatan, iv) sektor-sektor yang diuntungkan dari perubahan tren pada industri, v) produk konsumsi primer.
Eropa – Lemahnya indikator ekonomi
Data indikator pembelian (Flash PMI) di zona Eropa masih turun 1.6 persen poin menjadi 47.0, angka tersebut di bawah ekspektasi konsensus, akibat perlambatan tajam di sektor jasa.
Kebijakan fiskal ekspansif dapat menjadi alasan utama mengapa ekonomi tetap bertahan ditengah kebijakan moneter yang lebih ketat. Namun demikian secara jangka panjang, efek positif tersebut kemungkinan akan memudar, dan dampak negatif dari kenaikan suku bunga akan mulai terlihat.
Jepang – Pertumbuhan kuat dari PDB dan pendapatan perusahaan Jepang kuartal II - 2023 semakin memperkuat pandangan optimis
Pertumbuhan PDB Jepang pada kuartal II - 2023 berada di atas ekspektasi, dengan membukukan pertumbuhan sebesar 6.0% secara kuartalan, yang disetahunkan. Pendapatan perusahaan untuk kuartal April hingga Juni 2023 juga relatif kuat, dengan penjualan tumbuh 7.1% dan laba bersih tumbuh 21.4% (YoY) untuk indeks TOPIX. Kontributor positif pertumbuhan pendapatan berasal dari sektor otomotif, perbankan, industri, makanan dan utilitas. Pasar saham Jepang juga tampaknya mencerna perubahan kontrol pada kurva imbal hasil (YCC) dengan positif, walaupun sempat terjadi penurunan di bulan Agustus, namun kembali pulih ke level yang terlihat di awal bulan. Kami tetap positif pada sektor keuangan, konsumsi, industri dan jasa kesehatan yang akan mendapat manfaat dari beberapa faktor, seperti kebijakan moneter yang longgar, pertumbuhan konsumsi dan pariwisata domestik yang kuat serta pemulihan produksi otomotif.
Asia ex-Japan – Membaiknya sentimen seiring naiknya harapan terhadap pelonggaran kebijakan
Indeks MSCI Asia ex-Japan mencatat imbal hasil negatif pada bulan Agustus, akan tetapi kinerja menjelang akhir bulan membaik karena meningkatnya harapan pelonggaran kebijakan di China yang mendukung sentimen bagi pasar saham regional.
Kami percaya salah satu alasan kinerja pasar yang lemah secara keseluruhan pada bulan Agustus adalah karena musim laporan pendapatan perusahaan kuartal II – 2023 (semester awal) yang dirilis lebih rendah. India, Indonesia dan Filipina adalah tiga pasar teratas yang berada di atas ekspektasi pasar. Di sisi lain, Malaysia, Hong Kong dan Thailand terlihat tertinggal dan berpotensi melaporkan pemangkasan konsensus yang lebih besar atas pendapatan perusahaan ke depannya.
Seiring dengan berakhirnya musim laporan pendapatan, fokus investor kemungkinan akan beralih pada kebijakan lebih lanjut dari China, terutama di pasar properti, keputusan suku bunga Federal Reserve (Fed) di bulan September dan data ekonomi lainnya.
China/ HK – Nada pro kebijakan
Pasar saham Hong Kong dan China melemah 7-8% pada bulan Agustus, seiring dengan penurunan di pasar saham regional Asia ex-Japan. Kebijakan terbaru, seperti pemotongan suku bunga dasar kredit (SBDK), relaksasi sektor properti, dan serangkaian kebijakan yang ditargetkan untuk mendukung pasar A-share, termasuk memotong bea materai transaksi pasar saham, akan mendorong kenaikan perdagangan saham dalam waktu dekat. Beberapa minggu ke depan merupakan masa penantian kebijakan. Oleh karena itu, pasar saham untuk sementara ini akan bergerak sideways, karena membutuhkan waktu untuk menerapkan kebijakan baru pada sistem.
Sektor Global
Pada akhir Agustus 2023, MSCI ACWI Financials Index telah memberikan kinerja yang stagnan sejak awal tahun, dan kami mempertahankan sikap netral untuk sektor ini. Dalam hal preferensi, kami lebih menyukai nama-nama dengan kapitalisasi besar dan berkualitas tinggi seperti Wells Fargo, Bank of America dan Citigroup daripada bank-bank regional. Pada sektor teknologi informasi dan layanan komunikasi global, kami juga mempertahankan peringkat netral. Sementara fundamental tetap kuat, kami melihat pandangan netral dalam waktu dekat karena valuasi yang relatif mahal, terutama untuk produsen semikonduktor dan perangkat lunak.
Pada sektor konsumsi, meskipun kami lebih memilih sektor konsumsi primer dibanding sekunder, akibat adanya potensi perlambatan pertumbuhan ke depan, kami melihat adanya dinamika yang berbeda pada setiap sub-sektor.
BOND
Strategi Barbel
Di pasar obligasi, kami tetap overweight terhadap obligasi investment grade (IG) negara maju (DM) yang merupakan aset lindung nilai terhadap resesi. Kami merekomendasikan strategi barbel dari sisi durasi – dimana obligasi bertenor pendek memberikan pendapatan yang menarik, sementara tenor yang cenderung lebih panjang berpotensi memberikan peluang kenaikan harga yang lebih besar seiring dengan volatilitas yang juga lebih tinggi. – Vasu Menon
Setelah mencatatkan kinerja yang cemerlang sejak awal tahun, performa dari obligasi DM IG dan high yield (HY) di bulan Agustus mencatatkan penurunan di tengah tingginya volatilitas pasar. Di bulan Agustus, obligasi DM IG & HY mencatatkan pelemahan masing-masing sebesar 0.9% dan 0.31%. Spread pada obligasi DM IG ditutup pada level 137 basis poin (bps), sementara DM HY di 382 bps.
Sehingga, kami mempertahankan pandangan overweight terhadap obligasi DM IG dan underweight terhadap DM HY.
Powell terus membuat pasar menebak
Setelah menyentuh level tertingginya dalam 17 tahun terakhir di 4.36%, imbal hasil US Treasury 10Y (UST) turun ke kisaran 4.11%. Sementara itu, imbal hasil US Treasury 2Y sempat menyentuh 5.1%, sebelum turun ke 4.89%.
Walaupun saat ini kami menilai kenaikan suku bunga The Fed telah mencapai puncaknya, perubahan kebijakan masih dapat terjadi, tergantung pada rilisan data ekonomi dalam beberapa minggu ke depan. Data yang dirilis lebih buruk dari perkiraan belakangan ini telah memicu ekspektasi pasar bahwa The Fed akan menahan suku bunga acuan. Antisipasi kami saat ini adalah ekonomi AS menuju resesi di kuartal IV - 2023 atau di tahun depan. Kami melihat durasi dari aset pendapatan tetap yang sebelumnya menjadi suatu hal yang ditakuti, dapat menjadi faktor pendorong kenaikan. Kami memperkirakan bahwa imbal hasil UST 10Y akan turun ke kisaran level 3.25% dalam satu tahun ke depan.
Maka dari itu, kami mempertahankan rekomendasi strategi barbel dari sisi durasi. Obligasi tenor pendek saat ini masih terlihat memberikan imbal hasil yang paling menarik, apalagi dengan potensi pemangkasan suku bunga acuan yang dapat dimulai dalam waktu dekat, terutama jika fokus bank sentral berubah dari pengendalian inflasi ke pertumbuhan ekonomi.
Underweight obligasi DM HY
Menahan kenaikan suku bunga acuan secara terbatas di tengah rendahnya tingkat pertumbuhan dan resesi dapat menjadi katalis negatif bagi obligasi DM HY. Level suku bunga yang berada di level yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama, dapat membuat pembiayaan korporasi melalui penerbitan obligasi semakin mahal dan dapat memicu gagal bayar.
Tetap netral terhadap obligasi korporasi negara berkembang (EM)
Kami tetap netral terhadap obligasi korporasi EM, dimana mayoritas negara-negara EM saat ini lebih unggul dari sisi siklus kenaikan suku bunga acuan dibandingkan negara-negara DM. Pemangkasan pun dapat dimulai dalam beberapa bulan ke depan bagi negara- negara berkembang ini.
Underweight Asia
Di kategori EM IG dan HY, kami berubah menjadi underweight di Asia seiring dengan meningkatnya kehati-hatian kami terhadap China yang saat ini terus menunjukkan potensi perlambatan ekonomi dan juga krisis sektor properti yang semakin mendalam. Kami khawatir atas fundamental jangka panjang sektor properti di China dan potensi dampaknya terhadap sektor keuangan; sehingga kami merekomendasikan untuk memanfaatkan momentum kenaikan pasar untuk mengurangi eksposur pada sektor properti di China.
Lebih menyukai obligasi IG Asia di dalam kategori EM IG
Kami terus lebih menyukai obligasi IG dibandingkan HY di Asia. Pada kategori IG Asia, preferensi kami tetap berada pada beberapa seri obligasi korporasi dari India dan Indonesia yang memiliki neraca keuangan yang kuat dan yang mendapatkan dukungan dari kebijakan pemerintah. Kami juga tetap selektif di kategori HY dan cenderung menyukai beberapa nama perusahaan energi terbarukan dari India, seiring dengan terus meningkatnya fokus pasar terhadap ESG dan fundamental yang bersifat sustainable.
FX & COMMODITIES
Permintaan Yang Kuat dan Pasokan Terbatas
Pasar produk penyulingan yang kuat dan ketatnya pasokan dapat mendorong harga minyak mentah menguat. Kami berekspektasi pasar minyak mentah tetap defisit di semester II - 2023. Tetapi pasar minyak dapat kembali mengalami kelebihan pasokan yang moderat pada awal 2024 seiring dengan permintaan minyak yang melambat dan juga OPEC+ menghentikan pengurangan produksi secara bertahap. – Vasu Menon
Gold
Solidnya ekonomi AS mendorong kenaikan imbal hasil UST jangka panjang, dan mengangkat nilai tukar Dolar AS. Hal ini telah mengurangi daya tarik emas dalam waktu dekat. Arus modal keluar untuk ETF emas telah stabil, dan investor pasar aset berjangka (futures) telah mengurangi risiko. Permintaan terhadap investasi menurun, seiring para investor menunggu The Fed mengakhiri siklus pengetatannya. Kami mempertahankan pandangan bahwa The Fed tidak perlu untuk menaikkan suku bunga lagi.
Tantangan dari penguatan Dolar AS dan imbal hasil riil obligasi UST yang lebih tinggi berpotensi mereda ketika data AS akhir-akhir ini menunjukkan tanda perlambatan ekonomi yang bertahap. Kami tetap positif terhadap emas untuk jangka menengah. Tidak seperti sektor komoditas lainnya yang akan mengalami kesulitan dengan skenario perlambatan pertumbuhan ekonomi AS, emas justru diuntungkan, seiring dengan perlambatan AS yang akan membawa siklus pemangkasan suku bunga The Fed. Risiko dari resesi AS belum sepenuhnya hilang, yang mana hal ini akan memberikan daya tarik aliran dana safe haven ke dalam emas pada 2024. Sementara pembelian emas oleh bank sentral pada semester I - 2023 melambat, dorongan permintaan sepertinya akan tetap positif, sehingga akan mendukung harga emas dan mengurangi volatilitas.
Oil
Pasar produk penyulingan yang kuat dan ketatnya pasokan dapat mendorong harga minyak mentah menguat. Pasar produk penyulingan yang kuat didukung oleh permintaan dari bahan bakar transportasi utama seperti bensin, diesel dan bahan bakar pesawat. Permintaan bahan bakar pesawat berkontribusi penting bagi permintaan minyak secara umum, seiring kembali meningkatnya perjalanan udara ke level tertinggi sebelum pandemi. Ketatnya pasokan juga terlihat setelah beberapa kali pemangkasan produksi oleh OPEC+ dan tanda-tanda bahwa Rusia menepati janjinya untuk membatasi ekspor. Hal ini dapat ditambah oleh kenaikan harga minyak mentah Rusia di atas batas harga yang ditetapkan oleh G7 dan mendekati harga minyak Brent. Menurunnya keuntungan yang diperoleh pembeli minyak Rusia dari Asia kemungkinan akan meningkatkan persaingan terhadap harga minyak Brent.
Penarikan persediaan baru-baru ini dilakukan dengan cara yang meyakinkan, dan kami berekspektasi bahwa pasar minyak mentah tetap defisit di semester II -2023. Tetapi pasar minyak dapat kembali pada keadaan kelebihan pasokan yang moderat pada awal 2024 seiring dengan permintaan minyak yang melambat dan juga OPEC+ menghentikan pengurangan produksi secara bertahap. Dengan persediaan yang masih rendah, kami berharap Brent tetap berada di level US$ 85/barel dalam waktu satu tahun ke depan.
Currency
Narasi pasar terhadap suku bunga tinggi yang bertahan untuk jangka waktu yang lebih lama terus memberikan dukungan terhadap Dolar AS. Retorika The Fed belakangan ini terlihat bervariatif tetapi yang konsisten terdengar adalah “tetap tinggi untuk jangka waktu lebih lama” dan pemangkasan suku bunga tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Perkataan ketua The Fed Powell di Jackson Hole pada tanggal 25 Agustus sebagian besar merupakan pengulangan narasi bahwa suku bunga “tetap tinggi untuk jangka waktu lebih lama” dengan sedikit deviasi dari komunikasi sebelumnya. Jerome Powell mengambil kesempatan tersebut untuk meyakinkan dalam penerapan strategi manajemen risiko, dilakukan secara berhati-hati seiring dengan keputusan pejabat The Fed apakah akan melakukan pengetatan lebih lanjut atau menahan suku bunga tetap dan menunggu data.
Secara keseluruhan, kami kembali mempertahankan pandangan kami terhadap USD yang moderat hingga melemah seiring dengan The Fed yang berpotensi berada di akhir siklus pengetatan ini. Akan tetapi, dengan suku bunga yang masih tetap tinggi untuk jangka waktu lama, potensi penurunan Dolar AS dalam waktu dekat menjadi terbatas, seiring the Fed yang belum segera menahan suku bunga. Titik perubahan Dolar AS akan terjadi ketika narasi pasar beralih ekspektasi untuk “pemangkasan suku bunga lebih lanjut di 2024” dan hal ini sangat bergantung pada bagaimana rilisan data ekonomi selanjutnya. Tren disinflasi yang semakin kuat dan kenaikan angka pengangguran dapat mendorong perubahan nada kebijakan dan menyebabkan Dolar AS melemah. Untuk saat ini, Dolar AS masih diuntungkan dengan tingkat imbal hasil UST yang tinggi dan masih merupakan aset safe-haven untuk batas tertentu. Dengan demikian, masih ada ruang untuk penguatan Dolar AS terutama jika momentum pertumbuhan global dan China tetap lemah.
Opportunities Amid Uncertainties
Bursa saham Amerika Serikat rata-rata ditutup menguat di bulan Juli dengan indeks saham Dow Jones, S&P 500 dan Nasdaq ditutup menguat masing-masing sebesar +3.11%, +2.99% dan +4.04%. Kenaikan ini didorong oleh rilisan data pertumbuhan ekonomi AS yang cukup mengejutkan. Perekonomian AS bertumbuh 2.4% di kuartal II – 2023 atau 2.6% y-o-y. Hal ini menghapus kekhawatiran pelaku pasar akan potensi resesi AS di tengah laju kenaikan suku bunga ke level tertinggi selama 22 tahun terakhir. Pasar ketenagakerjaan masih cukup kuat di tengah pengetatan kebijakan Fed. Angka pengangguran dirilis turun ke 3.5%, lebih rendah daripada bulan sebelumnya di 3.6%. Rilisan data yang cukup kuat dapat mempengaruhi arah kebijakan suku bunga Fed, yang diperkirakan akan segera mencapai akhir dari siklus kenaikan. Ekspektasi bahwa suku bunga akan tetap bertahan tinggi (higher for longer) mendorong volatilitas pasar serta kinerja aset berisiko.
Sementara itu, di Eropa, kenaikan suku bunga acuan masih berlanjut pada bulan Juli lalu dengan ECB menaikkan suku bunga acuan sebesar 25bps ke level 4.25% dan BOE sebesar 25bps ke level 5.50%. Kenaikan suku bunga acuan pada zona Eropa telah diantisipasi oleh pelaku pasar, mengingat rilisan data tingkat inflasi zona Eropa bulan Juli 2023 dilaporkan pada 5.3%, lebih rendah dari periode sebelumnya pada 5.5% dan tingkat inflasi Inggris dilaporkan pada 7.9%, lebih rendah dari periode sebelumnya pada 8.7%. Meskipun penurunan tingkat inflasi telah terjadi namun level tersebut masih tergolong tinggi, terutama bagi negara maju. Pelaku pasar hingga kini mengantisipasi suku bunga acuan di Inggris yang masih akan kembali mengalami kenaikan dan mencapai rentang 6.5% hingga 7.0% di akhir tahun ini.
Dari bagian timur, pasar saham Asia pada bulan Juli lalu ditutup menguat secara keseluruhan kecuali bursa Jepang pada bulan Juli mengalami pelemahan. Pada awal bulan, bursa saham Jepang mengalami penguatan, namun kemudian mengalami penurunan yang salah satunya disebabkan dari aksi profit taking yang dilakukan pelaku pasar. Penyesuaikan kebijakan Yield Curve Control atau pengaturan batas atas imbal hasil obligasi yang dilakukan oleh Bank of Japan, dari 0.5% menjadi 1% diharapkan akan mendorong inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi Jepang.
Sementara itu, dari dalam negeri, beberapa rilisan data ekonomi dinilai cukup optimis. Inflasi bulan Juli turun ke 3.08% y-o-y, semakin mendekati target inflasi pemerintah di 3 ± 1%, sehingga Bank Indonesia juga mempertahankan suku bunga 7-day Reverse Repo Rate di 5.75%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat bertumbuh kuat di 5.17% y-o-y pada kuartal II. Prestasi ini didukung oleh terus berlangsungnya pemulihan ekonomi paska pandemi, kembalinya mobilitas dan tingkat konsumsi masyarakat serta penerusan proyek pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah.
Equity
IHSG berhasil mencatatkan penguatan sebesar +4.05% di bulan Juli dengan sektor Energi dan Material Dasar memimpin penguatan masing-masing sebesar +10.71% dan +10.19%. Para pelaku pasar cenderung masih bersifat wait & see terhadap aset berisiko ditengah ketidakpastian global seperti penurunan credit rating AS hingga tensi geopolitik di Eropa dan Asia, baik investor lokal maupun asing lebih berhati – hati di pasar saham.
Masa pemilihan umum berpotensi menjadi katalis bagi bursa saham domestik dan diprediksi dapat menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi pada penghujung tahun 2023 hingga tahun depan. Secara keseluruhan, saham – saham negara berkembang termasuk Indonesia memiliki potensi penguatan yang cukup signifikan di semester kedua ini seiring dengan valuasi yang lebih atraktif dibandingkan negara maju.
Bond
Yield pasar obligasi pada bulan Juli mengalami penurunan, yang menandakan ada nya penguatan dari sisi harga. Hal ini tercermin dari penurunan imbal hasil obligasi pemerintah RI tenor 10 tahun sebesar -0.16% ke level 6.25%.
Salah satu pendukung penurunan imbal hasil adalah Rating and Investment Information, Inc (R&I) yang meningkatkan outlook Indonesia menjadi positif dari sebelumnya stabil. Lembaga pemeringkat terbesar di Jepang itu juga mempertahankan peringkat Indonesia pada BBB+, dua level di atas tingkat terendah Investment Grade.
Kemudian, rilisan angka inflasi Indonesia bulan Juli yang kembali menurun, semakin memberikan ruang pelonggaran kebijakan moneter oleh Bank Indonesia. Dari perspektif investor asing, meredanya inflasi akan membuat real yield menjadi lebih menarik dibandingkan rata-rata obligasi Investment Grade lainnya.
Currency
Dari mata uang, Rupiah pada bulan Juli cenderung stabil dan mengalami pelemahan tipis terhadap Dollar AS sebesar +0.1% dan diperdagangkan di kisaran level Rp 15,085 per dollar AS pada akhir bulan Juli. Kestabilan mata uang Rupiah sendiri didorong oleh surplus neraca dagang yang meningkat pada bulan Juni 2023 sebesar US$ 3.46 Miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya sebesar US$ 0.43 Miliar. Kemudian juga cadangan devisa Bank Indonesia tercatat US$ 137.7 miliar, setara dengan pembiayaan 6.2 bulan impor, jumlah yang jauh di atas standar kecukupan internasional yaitu 3 bulan impor. Data – data tersebut seharusnya akan dapat menopang pergerakan Rupiah kedepannya.
Juky Mariska, Wealth Management Head, Bank OCBC NISP Tbk
Pelemahan yang tertunda
Meskipun perekonomian global memiliki ketahanan lebih baik dibanding perkiraan di tahun 2023, dampak lanjutan dari pengetatan moneter masih dapat membebani pertumbuhan. Perlambatan ekonomi AS masih akan berlanjut hingga inflasi mencapai target Fed sebesar 2%. – Eli Lee
Pasar keuangan berharap untuk mencapai target inflasi 2% dengan perlambatan ekonomi atau soft landing, tanpa menyebabkan resesi. Pertumbuhan PDB AS kuartal II - 2023 yang baik dan penurunan level inflasi, mendorong keyakinan bahwa Fed dan bank sentral lainnya akan beralih dari kenaikan suku bunga menjadi penurunan suku bunga pada akhir tahun ini. Namun kami masih tetap waspada. Terdapat kemungkinan bahwa resesi masih diperlukan di AS untuk menurunkan inflasi ke level 2%. Para bank sentral di Eropa bersiap untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut meskipun pertumbuhan masih lemah dan pembukaan kembali ekonomi China yang tidak sesuai ekspektasi. Sebaliknya, hanya Jepang yang tetap memiliki outlook positif. Oleh karena itu, kami tetap waspada terhadap faktor risiko pada perekonomian negara maju.
AS
Perekonomian AS jauh lebih baik dari perkirakan kami meskipun Fed telah menaikkan suku bunga sepanjang tahun ini. Untuk terjadinya sebuah resesi, PDB perlu mengalami pertumbuhan negatif setidaknya dua kuartal berturut-turut. Namun, data pada kuartal II - 2023 menunjukkan bahwa pertumbuhan AS semakin cepat. Oleh karena itu, kami telah merevisi estimasi PDB AS untuk tahun 2023 dari pertumbuhan 1.2% menjadi 1.8%. Selain itu, data bulan Juni menunjukkan tingkat inflasi telah mencapai puncaknya, meningkatkan harapan The Fed untuk mencapai soft landing. Namun, saat ini kami lebih berhati-hati terhadap outlook ekonomi dari pada konsensus.
Awalnya, kami memperkirakan bahwa kenaikan suku bunga The Fed sebesar 25 bps menjadi 5.25% - 5.50% bulan lalu menjadi yang terakhir karena inflasi telah mereda. Namun, kami memprediksi bahwa bank sentral akan tetap mempertahankan kebijakan ketat untuk menurunkan inflasi kembali ke target 2%.
Meskipun pertumbuhan PDB kuartal II melebihi estimasi, tingkat konsumsi masih mengalami perlambatan dari sebelumnya di 4.2% secara tahunan pada kuartal I - 2023 menjadi 1.6% pada kuartal II - 2023. Kami mengantisipasi ekonomi AS akan melambat lebih lanjut karena dampak penuh dari kenaikan suku bunga yang agresif akan melemahkan aktivitas ekonomi untuk beberapa kuartal ke depan. Kami mempertahankan pandangan bahwa PDB AS akan mengalami kontraksi selama dua kuartal mulai kuartal IV – 2023.
Lebih lanjut, The Fed tetap berkomitmen untuk mengembalikan tingkat inflasi pada 2%, sehingga penurunan tingkat suku bunga sebelum kuartal II - 2024 jauh dari perkiraan kami. Sebaliknya, para pejabat The Fed kemungkinan akan menunggu inflasi PCE inti turun dari tingkat saat ini pada 4.1% pada bulan Juni lalu menjadi di bawah 3.0% sebelum mempertimbangkan untuk menurunkan suku bunga.
Seperti yang ditunjukkan pada tabel estimasi suku bunga, kami memperkirakan yield US Treasury akan turun selama 12 bulan ke depan karena pelemahan pertumbuhan dampak kenaikan suku bunga Fed sebelumnya.
Eropa
Di belahan dunia yang lain, European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BOE) berpotensi untu melanjutkan kenaikan suku bunga tahun ini untuk mengatasi inflasi meskipun pertumbuhan ekonomi di Zona Eropa dan Inggris masih lemah.
Inflasi zona Eropa bulan Juli berada pada 5.3%, jauh di atas target ECB pada 2% sementara tingkat inflasi inti dilaporkan lebih tinggi pada 5.5% meskipun bank sentral kembali menaikkan suku bunga sebesar 25bps menjadi 3.75% pada bulan lalu.
Demikian pula, inflasi di Inggris bulan Juni lalu dilaporkan pada 7.9% (6.9% apabila tidak termasuk harga makanan dan energi), masih jauh di atas target BOE pada 2%. Oleh karena itu, kami memperkirakan ECB akan menaikkan suku bunga acuan lagi sebesar 25 bps menjadi 4.00% pada bulan September dan BOE akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 bps pada bulan Agustus dan 25 bps lebih lanjut untuk mencapai puncaknya pada bulan September sebesar 5.75%.
Kedua bank sentral ini diperkirakan akan melanjutkan kebijakan pengetatan meskipun terjadi pelemahan pada pertumbuhan ekonomi di Eropa menyusul krisis energi tahun lalu akibat invasi Rusia ke Ukraina. Kami memperkirakan Zona Eropa hanya tumbuh sebesar 0.6% pada tahun 2023 setelah mengalami resesi pada pergantian tahun dan ekonomi Inggris diperkirakan tidak bertumbuh.
China
Pembukaan kembali China masih mengecewakan pelaku pasar. Pada kuartal I - 2023, aktivitas ekonomi melambung kuat karena konsumen kembali aktif. Namun pada kuartal II - 2023, pemulihan paska pandemi China melambat tajam karena konsumen kembali waspada, perusahaan kurang percaya diri, sektor properti masih lemah, dan ekspor mengalami kontraksi.
Kurangnya momentum nampaknya masih akan terbawa pada kuartal III - 2023. Purchasing Manager Indices (PMI) bulan Juli yang mana merupakan tolok ukur dari sentimen bisnis menunjukkan bahwa manufaktur terus menunjukkan sinyal kontraksi sementara keyakinan pada sektor jasa China kian meredup.
Jepang
Sebaliknya, hanya outlook ekonomi Jepang yang tetap positif, dimana Jepang sebagai perekonomian terbesar ketiga di dunia berada pada posisi yang strategis saat membuka ekonomi kembali paska pandemi, inflasi kembali setelah hilang selama tiga dekade, Yen tetap lemah dan Bank of Japan (BOJ) masih bersikap dovish.
Baru-baru ini, BOJ mengubah batas atas pada yield obligasi pemerintah Jepang 10 tahun. BOJ mengatakan masih akan menargetkan yield obligasi pemerintah Jepang 10 tahun berfluktuasi dalam kisaran ±50 bps sekitar 0.0%, tetapi sekarang target tersebut hanya merupakan acuan dan hanya akan membatasi yield obligasi pemerintah Jepang 10 tahun apabila yield berada pada 1.0%. Tetapi para pejabat diminta tetap mempertahankan suku bunga simpanan bank sentral di bawah nol pada -0.1% tahun ini untuk memastikan target inflasi bertahan pada target 2.0%.
Kebijakan dovish BOJ sangat kontras dengan The Fed, ECB, dan bank sentral lainnya, namun kebijakan ini menguntungkan pasar ekuitas Jepang.
Peluang besar di Jepang
Kami masih melihat peluang pada pasar saham Asia, didorong dari kebijakan moneter yang akomodatif, pertumbuhan yang kuat, dan valuasi yang menarik. Di antara negara maju global, Jepang memiliki outlook paling cerah dengan dukungan kebijakan longgar dan dan diperkirakan tetap memiliki ketahanan yang baik. – Eli Lee
AS – Rilis laporan keuangan Perusahaan AS yang beragam
Sejauh ini, secara umum fundamental dari perusahaan terlihat baik, namun valuasi yang tinggi, ekspektasi besar dari investor di seluruh pasar, dan mulai turunnya konsumsi kelas atas membuat kami lebih berhati-hati terhadap prospek ke depan. Kecerdasan buatan generatif (AI) terus menjadi area dengan potensi monetisasi jangka panjang, namun dalam jangka pendek tidak cukup untuk mengimbangi beberapa hambatan yang dihadapi oleh sejumlah perusahaan teknologi terpilih. Kenaikan pasar saham tak hanya terjadi pada emiten besar, namun keuntungan indeks masih didorong oleh beberapa saham tertentu saja. Kami melihat untuk saat ini lebih baik tetap defensif, dan tetap di sektor pilihan seperti utilitas, konsumsi bahan pokok, dan kesehatan.
Eropa - Waspada terhadap kinerja keuangan Perusahaan
Berdasarkan laporan keuangan kuartal II - 2023 per akhir Juli, laporan keuangan yang dilaporkan sesuai dengan ekpektasi pasar, namun yang menjadi perhatian adalah rendahnya angka kinerja keuangan yang positif; hanya 30% perusahaan mengalahkan estimasi analis lebih dari 2% - jauh dibawah rata – rata historis di 40%.
Dalam jangka panjang, ECB masih cukup hawkish di antara bank sentral negara maju lainnya, yang merupakan hambatan untuk pergerakan pasar modal, dan data ekonomi yang lebih lemah baru-baru ini di Eropa mengkonfirmasi momentum pertumbuhan yang mulai lemah di tengah siklus kredit yang melambat.
Jepang – relatif lebih baik dibandingkan negara maju lainnya
Sementara perlambatan ekonomi global mengancam lingkungan eksternal Jepang, pertumbuhan ekspor terlihat lebih baik daripada ekspektasi. Ekonomi dalam negeri terus memperlihatkan pemulihan bertahap, dengan aktivitas kredit dan pariwisata yang tumbuh kuat. Pada pertemuan terakhir, BOJ mengambil langkah yang sedikit lebih hawkish dengan mempertahanan kebijakan pembatasan kurva imbal hasil (YCC) dibatasi pada level 0.5%, dan mengungkapkan bahwa level tersebut merupakan acuan, bukan batas tetap, sehingga memberi ruang bagi BOJ untuk menaikkan batas diatas 0.5% jika diperlukan. Hal ini dapat mendorong volatilitas pasar saham dalam jangka pendek. Namun demikian kebijakan moneter Jepang masih jauh lebih longgar dibandingkan bank sentral secara global.
Asia ex-Japan – Melemah untuk mulai menghasilkan (Asia Selatan)
Indeks MSCI Asia ex-Japan unggul di bulan Juli, didukung oleh pasar China dan India. Dari sisi kebijakan, investor fokus kepada hasil dari pertemuan Politburo China dan kebijakan ekonomi yang dikeluarkan terutama bagi sektor properti.
Di awal kuartal II - 2023, laporan keuangan korporasi relatif lebih lemah. Sekitar 13% dari kapitalisasi pasar di indeks MSCI Asia ex-Japan telah merilis laporan keuangan, dimana laba tahunan dilaporkan turun sebesar -26%. Berdasarkan konsensus, laba kuartalan diperkirakan akan turun 9% YoY, pelemahan utama berasal dari Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand.
China/HK – Kebijakan yang lebih suportif
Kinerja pasar saham China dan Hongkong mengungguli pasar saham Asia ex-Japan di bulan Juli, dilatarbelakangi kebijakan yang lebih dovish dan hasil pertemuan Politburo. Para pengambil kebijakan menyadari kondisi makro yang lebih menantang, dan berkomitmen untuk menerapkan kebijakan yang lebih efektif untuk mencapai target tahun ini.
Sektor Global
Kami melihat potensi yang cukup baik pada sektor kesehatan, konsumsi bahan pokok dan utilitas, yang saat ini diperdagangkan pada valuasi yang menarik, dan berdasarkan historis relatif lebih kuat terhadap kondisi resesi, dan tidak sensitif terhadap siklus ekonomi.
Pada sektor kesehatan, kami melihat peluang pada produsen obat, penyedia jasa kesehatan, serta perusahaan riset dan diagnosa. Sebaliknya, kami melihat beberapa perusahaan distribusi alat kesehatan memiliki valuasi yang rendah.
Untuk sektor teknologi dan jasa komunikasi, kami positif pada software dan internet sebagai penerima manfaat dari permintaan yang digerakkan oleh AI dalam jangka panjang. Namun, dalam jangka pendek, kami mengkhawatirkan ekspektasi yang melambung dari dampak teknologi kecerdasan buatan (AI) pada laporan keuangan perusahaan. Meskipun pendapatan untuk kuartal II - 2023 tercapai, namun valuasi yang mahal dan aksi sell – off baru-baru ini pada penerima manfaat AI seperti Microsoft dan ServiceNow menjadi risiko jangka pendek di segmen tersebut. Kami cenderung memilih Perusahaan internet dibandingkan perusahaan penyedia software di sektor ini.
Strategi Barbel
Di pasar obligasi, kami tetap overweight terhadap obligasi Investment Grade (IG) negara maju (DM) yang merupakan aset lindung nilai terhadap resesi. Dari sisi durasi, kami merekomendasikan penerapan strategi barbel – dimana kami percaya bahwa tenor pendek saat ini memberikan imbal hasil yang lebih menarik, sementara tenor panjang berpotensi memberikan keuntungan dari kenaikan harga dalam jangka panjang seiring dengan volatilitas yang lebih tinggi. – Vasu Menon
Kami masih melihat potensi terjadinya resesi dalam satu tahun ke depan akibat tingginya suku bunga acuan. Maka dari itu, pengelolaan portofolio akan lebih besar dari sisi durasi dibandingkan kualitas kredit.
Tingginya suku bunga untuk waktu yang lebih lama
Sesuai ekspektasi, The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25bps pada pertemuan di bulan Juli lalu, membawa naik suku bunga acuan ke level 5.25% - 5.50%. Laju kenaikan suku bunga acuan the Fed sejauh ini dilakukan secara bertahap dan saat ini sudah berada di level yang cukup tinggi, namun pelonggaran dapat dilakukan apabila inflasi terus menunjukkan penurunan yang memuaskan.
Data ekonomi yang positif dari AS, baik dari sisi ketenagakerjaan, konsumsi hingga pertumbuhan ekonomi masih mendukung suku bunga acuan yang tinggi. Terlebih lagi, perkembangan kebijakan global semakin lama semakin memiliki pengaruh terhadap pergerakan pasar obligasi AS.
Tetap netral terhadap obligasi korporasi negara berkembang
Kami mempertahankan pandangan netral terhadap obligasi korporasi negara berkembang (EM). Dari sisi kebijakan suku bunga, banyak negara berkembang saat ini lebih unggul dibandingkan negara maju, sehingga memicu ekspektasi dimulainya siklus pemangkasan suku bunga oleh negara – negara berkembang tersebut dalam beberapa bulan ke depan. Terlebih lagi, beberapa faktor teknikal seperti supply & demand pun seharusnya akan mendapatkan dukungan seiring dengan rendahnya penerbitan surat hutang di musim panas. Kami juga mempertahankan preferensi kami terhadap obligasi IG dibandingkan High yield (HY) di tengah ketidakpastian global saat ini.
Tetap underweight obligasi DM HY
Menahan suku bunga secara ketat ditengah pertumbuhan ekonomi yang terbatas dapat menjadi katalis dominan terhadap obligasi HY negara maju. Suku bunga yang akan berada di level tinggi untuk waktu yang lebih lama dapat semakin membuat obligasi sebagai instrumen pembiayaan menjadi mahal dan memicu gagal bayar di dalam kategori HY. Lembaga pemeringkat AS Moody’s menyatakan bahwa mereka melihat default rate akan terus meningkat hingga 5% pada April 2024. Maka dari itu, kami masih underweight terhadap obligasi DM HY seiring dengan spread secara keseluruhan yang kami nilai masih belum memperhitungkan potensi terjadinya resesi dalam 12 bulan ke depan.
Lebih menyukai Asia IG didalam kategori EM IG
Kami juga mempertahankan preferensi kami untuk obligasi Asia IG di dalam kategori EM IG. Kami juga mempertahankan preferensi untuk obligasi IG Asia dalam kategori IG negara berkembang. Untuk obligasi IG Asia sendiri, secara valuasi ada beberapa obligasi dengan peringkat “BBB” yang menarik, terutama di Indonesia dan India, sementara beberapa kredit “AA” pun terlihat mulai menarik. Di Asia, kami juga masih terus menyukai obligasi IG dan lebih selektif terhadap obligasi HY, dengan beberapa nama di Indonesia dan India yang secara fundamental mendukung.
Tetap Positif Terhadap Emas
Kami tetap positif terhadap emas untuk jangka menengah. Tidak seperti industri komoditas lainnya (minyak atau tembaga) yang lebih berpotensi mengalami kesulitan dengan skenario perlambatan pertumbuhan ekonomi AS, yang pada akhirnya mendorong The Fed melakukan pelonggaran, emas akan lebih diuntungkan. – Vasu Menon
Emas
The Fed menyampaikan potensi berakhirnya siklus kenaikan suku bunga di bulan Juli di tengah tren disinflasi. Tetapi dengan latar belakang pertumbuhan AS yang tangguh membuat kemungkinan akan adanya tambahan kenaikan suku bunga The Fed. Untuk jangka waktu yang panjang, aset zero coupon seperti emas, biaya kepemilikan yang cukup tinggi kecuali jika The Fed melakukan pelonggaran kebijakan lebih cepat, hal ini akan menahan kenaikan emas untuk jangka pendek setelah pulih dari harga di bawah US$ 1,900/oz akhir-akhir ini.
Minyak
Minyak Brent kembali diperdagangkan di atas US$ 80/barrel, menandai perubahan pada rentan harga US$ 70 – 75/barrel beberapa bulan belakangan, ketika terjadi masalah di sektor perbankan regional AS dan ketakutan terhadap resesi yang turut menekan pergerakan harga minyak. Harga minyak akan tetap terjaga. Tetapi, kekhawatiran makro dan prospek kenaikan bertahap di persediaan akan membatasi kenaikan harga minyak.
Currency
Indeks US Dolar terlihat mengarah untuk kembali melemah pada bulan Juli. Data ketenagakerjaan AS yang lebih rendah daripada estmasi dan data inflasi AS yang mengecewakan sejauh ini merupakan pemicu utama untuk penurunan yang lebih tajam terhadap US Dolar. Perubahan narasi pasar dari “lebih tinggi untuk waktu yang lama” menjadi “segera berakhir” atau “puncak suku bunga” dan “penurunan suku bunga di 2024” sepertinya telah dimulai.
Fed Futures mulai mengantisipasi adanya empat kali pemotongan suku bunga untuk 2024, naik dari kisaran dua hingga tiga kali pemotongan yang telah diperkirakan pada awal Juli. Naiknya perubahan terhadap proyeksi pemotongan tarif, seharusnya memperlihatkan penurunan imbal hasil US Treasury. Dalam skenario tersebut, US Dolar akan memiliki potensi untuk melemah. Beberapa penerima manfaat akan menikmati penguatan yang berkelanjutan, termasuk mata uang di Asia ex-Japan, Yen (JPY) dan bahkan emas.
Musim laporan keuangan korporasi kuartal I - 2023, yang dimulai di minggu kedua bulan April, menjadi acuan kondisi ekonomi secara global, baik di negara maju maupun negara berkembang. Berdasarkan data FactSet pada akhir bulan April 2023, sebanyak 79% perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 melaporkan laba per saham yang positif, dan 74% lainnya melaporkan laba di atas ekspektasi. Rilisan laporan keuaVolatilitas pergerakan pasar saham AS cukup tinggi sepanjang bulan Mei lalu. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti konflik Rusia dan Ukraina yang belum menemukan penyelesaian sampai dengan saat ini, angka inflasi global yang relatif masih cukup tinggi, dan tarik ulur kesepakatan politik terkait “debt ceiling” AS yang pada akhirnya telah disepakati menjelang batas waktu akhir. Selain itu juga, beberapa rilisan data ekonomi AS yang penting masih belum menunjukan kepastian akan kestabilan perekonomian AS seperti angka pengangguran yang meningkat dari level 3.4% ke level 3.7% dan juga data ISM Manufacturing PMI yang kembali terkontraksi di level 46.9, tentunya akan kembali memberikan tekanan terhadap pasar modal AS. Saat ini, perhatian tertuju pada kebijakan suku bunga AS pada bulan Juni ini dengan suku bunga sepertinya sudah mencapai puncaknya dengan perkiraan bahwa The Fed akan kembali tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 5.25% dan membuka kemungkinan penurunan suku bunga di akhir tahun.
Sementara untuk Asia, perekonomian China terlihat masih belum menunjukan kestabilan, terlihat dari angka ekspor China untuk bulan Mei yang mengalami kontraksi sebesar -7.5% dibandingkan periode sebelumnya di level ekspansi 8.5%. Dengan menurunnya angka ekspor ini, tentunya mempengaruhi rilisan data neraca perdagangan China yang mengalami penurunan signifikan ke level US$ 65.81 miliyar, sedangkan untuk periode sebelumnya berada di level US$ 90.21 miliyar. Namun demikian, pemerintah China melalui PBoC kembali menerapkan kebijakan yang akomodatif untuk menunjang perekonomian China, yaitu dengan menurunkan tingkat suku bunga deposito dan giro wajib minimum.
Beralih ke domestik, pertumbuhan ekonomi RI dipercaya masih akan bertumbuh positif sesuai dengan target pemerintah awal di kisaran level 5%. Hal ini ditandai dengan rilisan tingkat keyakinan konsumen Indonesia untuk bulan Mei yang mengalami kenaikan dari sebelumnya di level 126.1 ke level 128.3. Hal ini sejalan dengan meningkatnya intensitas kegiatan politik di Indonesia yang biasanya akan meningkatkan investasi dan konsumsi. Dari kebijakan moneter, rilisan angka inflasi Indonesia untuk bulan Mei yang kembali menurun dari level 4.33% ke level 4%, akan memberikan pertimbangan bagi Bank Indonesia untuk kemungkinan membuka opsi untuk menurunkan suku bunga acuan di tahun ini, walaupun terlihat beberapa analis berspekulasi bahwa suku bunga dalam pertemuan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di bulan Juni ini berpotensi tetap.
Bursa saham IHSG mencatatkan penurunan sebesar -4.08% sepanjang bulan Mei. Sektor energi dan material dasar memimpin penurunan terbesar masing – masing sebesar -18.39% dan -16.02%. Pelemahan pasar saham di bulan Mei juga disebabkan oleh salah satunya dari keluarnya aliran dana asing atau outflow sebesar US$ 13.9 juta.
Namun demikian, pemerintah tetap yakin dan optimis terhadap perekonomian Indonesia yang diperkirakan masih akan bertumbuh di kisaran 5.0 – 5.3% pada tahun 2023 ini. Kinerja pasar saham di 2023 diproyeksikan akan mendapat dukungan dari sektor seperti konsumsi, perbankan, telekomunikasi dan kesehatan, terutama dengan meningkatnya intensitas kegiatan politik di semester kedua tahun ini menjelang pemilihan umum tahun 2024 mendatang.
Pergerakan pasar obligasi di bulan Mei kembali melanjutkan penguatan, terlihat dari pergerakan imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun yang mengalami penurunan ke 6.33%. Penurunan imbal hasil ini antara lain juga didorong oleh investor asing yang melakukan pembelian bersih sehingga membuat kepemilikan investor asing di bulan Mei meningkat menjadi 15.26% atau setara dengan Rp 829.36 triliun. Kenaikan minat investor turut didukung oleh nada kebijakan bank sentral Fed mengindikasikan akan mengakhiri fase kenaikan suku bunga melihat tren kenaikan inflasi sudah mulai melandai dan adanya ancaman resesi.
Selain itu rilisan angka inflasi Indonesia bulan Mei yang kembali menurun ke level 4%, memberikan ruang pemangkasan suku bunga 7DRRR oleh Bank Indonesia terutama di semester II, sehingga hal ini akan menguntungkan pasar obligasi Rupiah. Dari perspektif investor asing, meredanya inflasi akan membuat real yield menjadi lebih menarik dibandingkan rata-rata obligasi investment grade lainnya.
Mata uang Rupiah bergerak melemah sepanjang bulan Mei, ke kisaran Rp 14.994 per Dolar AS. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian sikap Fed terhadap arah kebijakan suku bunga acuan yang mendorong Dolar AS menguat secara luas. Namun, seiring mendekatnya Fed pada akhir siklus kenaikan suku bunga, tentunya hal ini berpotensi mendorong Dolar AS untuk melemah.
Kestabilan mata uang Rupiah ini turut didukung oleh surplus neraca perdagangan, yang terus berlanjut bahkan meningkat pada bulan Mei 2023 sebesar US$ 3.94 miliar, serta terjaganya cadangan devisa Indonesia di level US$ 139.3 miliar, walaupun terjadi sedikit penurunan dari level sebelumnya, namun demikian posisi cadangan devisa ini setara dengan pembiayaan 6.1 bulan impor atau 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
“Proyeksi pertumbuhan ekonomi saat ini tidak dapat dipastikan, dan inflasi bertahan tinggi walaupun bank sentral telah menaikkan suku bunga secara agresif selama satu setengah tahun terakhir. Sehingga, investor sebaiknya tidak mengesampingkan potensi gejolak di pasar keuangan.” - Eli Lee
Di AS, tujuan Federal Reserve (Fed) untuk menjaga inflasi tampaknya akan menyebabkan resesi. Sementara itu di Eropa, tingkat inflasi yang tinggi mendorong bank sentral Eropa (ECB) dan Inggris (BOE) untuk terus menaikkan suku bunga di tengah perlambatan ekonomi. Dari Asia, pembukaan ekonomi China berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi namun di bawah ekspektasi. Di Jepang sendiri, deflasi yang telah terjadi selama beberapa dekade sepertinya akan segera berakhir, namun BOJ perlu menghentikan kebijakan pengaturan batas atas imbal hasil obligasi tanpa membuat pasar keuangan bergejolak. Investor sebaiknya mempertahankan posisi yang lebih berhati-hati setidaknya hingga ketidakpastian mulai berkurang.
Pertumbuhan ekonomi AS melemah. Pertumbuhan ekonomi (PDB) AS turun dari 2.6% YoY di kuartal IV - 2022 ke 1.3% di kuartal I - 2023, dan kami memperkirakan terjadinya resesi pada semester II - 2023. Investor tetap perlu waspada pada arah kebijakan Fed, sebab tingkat inflasi belum turun mencapai target 2%. Hingga saat ini, Fed belum mensinyalkan untuk mulai memangkas suku bunga di akhir tahun sekalipun AS berpotensi memasuki resesi sesuai estimasi.
Di saat yang sama, Fed sedang menyusutkan neraca keuangannya - quantitative tightening. Hal ini akan mengurangi likuiditas di pasar keuangan, yang berpotensi mengancam perbankan AS yang lebih kecil, untuk mempertahankan simpanan dan mengetatkan kredit. Fed memperingatkan kondisi kredit rumah tangga dan bisnis yang lebih sulit berpotensi melemahkan ekonomi, ketenagakerjaan dan tingkat inflasi.
Inflasi yang tinggi di Eropa menandakan bahwa bank sentral di kawasan ini kemungkinan akan terus menaikkan suku bunga. Di zona Eropa, kami memperkirakan ECB akan menaikkan suku bunga setidaknya dua kali 0.25% di bulan Juni dan Juli, sehingga suku bunga simpanan akan menjadi 3.75%.
Bank of England diperkirakan akan menempuh langkah serupa, dengan menaikkan suku bunga menjadi 5% setelah angka inflasi Inggris yang terus meningkat. Harga makanan dan bahan bakar energi menurunkan inflasi dari 10.1% menjadi 8.7%, namun inflasi inti bulan April naik ke 6.8% tertinggi sejak Maret 1992.
Inflasi di China bertahan rendah di tengah pembukaan ekonomi negaranya paska pandemi. Inflasi bulan April hanya naik 0.1% y-o-y. Sehingga, PBoC tidak perlu menahan pemulihan ekonomi dengan menaikkan suku bunga untuk menahan laju inflasi.
Setelah eforia pembukaan ekonomi China di kuartal I - 2023, katalis ini mulai mereda di kuartal II. Aktivitas ekonomi, pertumbuhan kredit, penjualan ritel, penanaman modal dalam negeri dan tingkat produksi industri di bulan April dirilis di bawah ekspektasi. Kami memperkirakan pertumbuhan GDP China akan tetap hampir dua kali lipat dari 3.0% menjadi 5.9% tahun ini
Jepang sedang menjadi perhatian seiring rekor baru indeks saham Nikkei 225 yang menembus level tertinggi dalam 33 tahun terakhir. Perekonomian Jepang akhirnya lepas dari jeratan deflasi dan perlambatan ekonomi selama bertahun-tahun, setelah mengalami resesi di awal 1990an.
Pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal I - 2023 meningkat ke 1.6% y-o-y, jauh melebihi ekspektasi karena konsumsi dan belanja modal yang lebih kuat. Kemudian tingkat inflasi inti Jepang, di luar makanan dan energi, telah mencapai level tertinggi selama empat dekade di atas 4%.
Pasar Jepang juga menarik bagi investor global karena Yen Jepang (JPY) diperdagangkan pada level yang sangat lemah. Kami melihat kombinasi pertumbuhan GDP Jepang yang kuat, inflasi yang tinggi, suku bunga negatif, dan JPY yang lemah akan terus menguntungkan pasar Jepang. BoJ kemungkinan akan menghentikan pembatasan imbal hasil obligasi 10 tahun pada tahun ini seiring meningkatnya inflasi. Hal ini berpotensi mengakibatkan volatilitas jangka pendek di pasar keuangan.
BoJ diperkirakan akan mempertahankan suku bunga deposito di -0.10% pada tahun 2023 untuk memastikan inflasi dipertahankan di sekitar target 2%. Kebijakan dovish ini akan mendorong kinerja aset berisiko di Jepang pada tahun ini.
“Mengingat prospek ekonomi Jepang yang kuat, kebijakan moneter longgar, dan dampak positif dari reformasi tata kelola perusahaan, kami meningkatkan pandangan terhadap pasar saham Jepang dari Netral menjadi Overweight. Sementara itu, karena meningkatnya ketidakpastian pertumbuhan di China, kami menurunkan peringkat China/Hong Kong menjadi Netra” - Eli Lee
Kekhawatiran seputar potensi gagal bayar utang AS telah mereda karena batas utang telah ditangguhkan hingga 1 Januari 2025. Namun demikian, Departemen Keuangan AS saat ini harus segera mengisi kembali saldo kasnya dengan menerbitkan lebih dari US$ 1 triliun obligasi US Treasury hingga akhir tahun 2023.
Hal ini dapat menghambat pasar saham, karena likuiditas akan berpindah dari sistem keuangan, bersamaan dengan pengetatan kuantitatif yang sedang dilakukan oleh Fed. Kami memilih untuk mengambil sikap Netral pada saat ini, karena kondisi kredit yang lebih ketat dan pelemahan ekonomi membuat indeks S&P 500 rentan terhadap koreksi jangka pendek.
Musim laporan keuangan kuartal I - 2023 telah berakhir dengan pendapatan perusahaan tetap kuat dan mendorong revisi pendapatan yang lebih tinggi. Sementara itu, siklus kenaikan Fed mungkin akan segera berakhir, tetapi Bank Sentral Eropa (ECB) terus memperketat kebijakan. Skenario tersebut dapat mengakibatkan pasar saham Eropa berkinerja lebih buruk dibandingkan AS.
Jepang melaporkan pertumbuhan PDB Q1 2023 sebesar 1.6% secara tahunan, berada di atas ekspektasi, didorong oleh konsumsi yang lebih kuat dan belanja modal. Sementara pertumbuhan sektor manufaktur tetap lemah, dipengaruhi oleh perlambatan permintaan global terhadap ekspor teknologi dan industri, data indeks manajer pembelian (PMI) menunjukkan bahwa segmen jasa masih bertumbuh positif, didorong oleh pemulihan belanja domestik pasca-Covid, pertumbuhan upah yang kuat, dan meningkatnya jumlah wisatawan. Kami memperkirakan BoJ akan menghapus pembatasan imbal hasil obligasi pemerintah Jepang di akhir tahun, walaupun kebijakan moneter akan tetap longgar. Oleh karena itu, kami meng-upgrade Jepang dari Netral ke Overweight.
Selain menurunkan peringkat China dan Hong Kong menjadi Netral, kami juga menurunkan peringkat Taiwan dari Netral menjadi Underweight karena meningkatnya ketegangan geopolitik dan valuasi yang mahal. Di sisi lain, kami telah meningkatkan India dari Netral menjadi Overweight, karena data ekonomi yang semakin positif, seperti penurunan inflasi dan peningkatan aktivitas jasa menjadi 62, level tertinggi sejak pertengahan 2010.
Kami menyesuaikan proyeksi laba per saham menjadi lebih renda, dan saat ini melihat Indeks MSCI Asia ex-Japan mencatat pertumbuhan laba per saham sebesar 1.5 % dan 18.0 % pada tahun 2023 dan 2024. Keduanya berada di bawah perkiraan konsensus, tetapi besarnya pertumbuhan masih akan sedikit di atas kawasan utama lainnya seperti AS dan Eropa.
Pasar saham China luar negeri (indeks MSCI China) dan dalam negeri (indeks CSI 300) melemah dalam sebulan terakhir, didorong oleh data aktivitas ekonomi yang lebih lemah dibandingkan ekspektasi dan kekhawatiran atas ketegangan AS-China. Kami menurunkan ekuitas China dan Hong Kong dari Overweight menjadi Netral.
Kabar baiknya adalah bahwa revisi estimasi pendapatan MSCI China Index telah stabil di +0.1% m-o-m. Secara keseluruhan pendapatan Q1 2023 naik sekitar 7% y-o-y, dengan sektor internet memiliki kinerja laba terkuat. Meskipun data makro lemah, momentum laba akan didukung oleh harga komoditas yang lebih rendah. Dalam jangka menengah, kami fokus pada tema investasi utama yang sejalan dengan prioritas kebijakan, yaitu meningkatkan konsumsi domestik, mempercepat teknologi dan inovasi, dan “China Digital”.
Selama sebulan terakhir, sektor global yang mencatatkan kinerja terbaik adalah Teknologi Informasi dan Jasa Komunikasi, sedangkan Energi mencatatkan kinerja terburuk. Di sisi lain, saham teknologi AS telah didukung oleh stabilisasi permintaan dan tema AI. Dalam waktu dekat, kami menilai belanja konsumen dapat terus bertahan karena kekhawatiran inflasi mereda. Untuk perusahaan internet China, kami tetap optimis terhadap sektor ini seiring meningkatnya laba perusahaan dan valuasi yang menarik.
Sementara itu, volatilitas masih terjadi di sektor perbankan AS, khususnya bank regional. Kami berhati-hati terhadap respon negatif, karena aliran keluar dana simpanan pada perbankan dan ketersediaan kredit yang lebih ketat dapat mengakibatkan kondisi kredit yang lebih ketat.
Eli Lee, Head of Investment Strategy, Bank Of Singapore
“Di pasar obligasi negara maju (DM), kami masih UnderweightOverweight terhadap obligasi IG dan terhadap obligasi high yield (HY) seiring dengan kepercayaan kami bahwa obligasi HY di AS saat ini masih belum sepenuhnya mengantisipasi potensi resesi di semester II tahun ini.”- Vasu Menon
Selain obligasi imbal hasil tinggi (high yield – HY) negara berkembang, pasar obligasi bergerak stabil menguat pada bulan Mei. Aset pendapatan tetap layak investasi (investment grade – IG) negara maju tidak banyak bergerak, sementara HY negara maju turun 9bps. Di negara berkembang (EM), imbal hasil obligasi IG turun sebesar 5bps, sementara obligasi HY naik 45bps.
Di level imbal hasil US Treasury saat ini, para pelaku pasar disarankan untuk mulai memperpanjang durasi aset pendapatan tetap untuk mengunci imbal hasil yang lebih tinggi seiring dengan mendekatnya akhir dari siklus kenaikan suku bunga Fed. Pada lima siklus kenaikan suku bunga sebelumnya, obligasi dengan tenor lebih panjang (diatas 10 tahun) menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan tenor pendek (1-5 tahun) dan tenor menengah (5-10 tahun) dalam periode 3, 6, hingga 12 bulan setelah akhir dari siklus kenaikan suku bunga secara historis.
Penyaluran kredit yang kini lebih ketat, dan penurunan pertumbuhan laba korporasi dapat membebani pasar obligasi, terutama bagi obligasi HY yang sudah berhasil mencatatkan penguatan sejak awal tahun. Kedua lembaga S&P dan Moody's memperkirakan bahwa probabilitas gagal bayar obligasi HY AS dapat mencapai 4% pada akhir tahun ini. Kami masih mempertahankan rekomendasi Underweight kami terhadap obligasi HY negara maju karena kami memperkirakan pergerakan obligasi HY negara maju belum mengantisipasi adanya risiko resesi di semester kedua tahun ini.
Kami masih mempertahankan peringkat Netral kami terhadap obligasi korporasi negara berkembang dengan ketahanan sektor riil saat ini. Pergerakan obligasi ini akan cukup positif karena penerbitan obligasi korporasi yang cukup agresif di beberapa tahun terakhir, membuat perusahaan tidak memerlukan penerbitan baru di tengah ketidakpastian pasar saat ini. Kami tetap mempertahankan kategori IG dibandingkan HY di tengah ketidakpastian global saat ini. Obligasi HY negara berkembang telah mencatatkan kinerja yang mengecewakan sebulan terakhir. Namun demikian, kami menilai bahwa masa terburuk sudah berlalu.
Kami tetap mempertahankan preferensi kami terhadap obligasi IG Asia di dalam kategori IG negara berkembang. Di tengah volatilitas pasar saat ini, obligasi IG Asia terlihat bergerak cukup baik, dengan total return di kisaran 3.0% sejak awal tahun (per 24 Mei 2023), berkinerja lebih baik dibandingkan segmen - segmen lainnya. Spread obligasi HY/IG memang melebar sebanyak 781bps di awal tahun ke 830bps per 24 Mei 2023. Akan tetapi, kami masih lebih menyukai obligasi IG, dan lebih selektif di kategori HY di Asia.
“Harga minyak Brent telah melemah di kisaran US$ 70/barrel akibat sinyal yang beragam. Pemangkasan tingkat produksi oleh OPEC dan pengisian Strategic Petroleum Reserve akan membatasi risiko penurunan harga minyak.” - Vasu Menon
Resolusi plafon utang AS dapat mendorong harga emas melemah dalam waktu dekat. Terdapat juga risiko batalnya pemangkasan suku bunga di 2023, dapat berdampak pada penguatan Dolar AS, sehingga mendorong harga emas melemah dalam jangka pendek, apalagi jika data ekonomi China dan Eropa dirilis mengecewakan.
Pandangan jangka menengah untuk emas adalah positif. Daya tarik emas akan meningkat bersamaan dengan pelemahan Dolar AS pada awal 2024, seiring potensi pelonggaran kebijakan Fed di tengah ancaman resesi dan meredanya inflasi AS.
Pembelian emas oleh bank sentral negara berkembang akan terus menjadi sumber permintaan yang penting di tengah tingginya tensi geopolitik yang meningkatkan risiko sanksi. Walaupun emas bukanlah instrumen pelindung yang sempurna terhadap risiko sanksi sampai berhasil disimpan di dalam negeri, emas masih memainkan peranan penting dalam memitigasi dampak dari sanksi.
Harga minyak Brent telah melemah di kisaran US$ 70/barrel akibat sinyal yang beragam. Kami memperkirakan harga minyak Brent akan bergerak sideways di kuartal ini meskipun kami melihat kenaikan di semester II - 2023 menuju US$ 92/barrel dalam waktu setahun - di atas harga forward saat ini. Fokus saat ini tertuju pada OPEC. Pemangkasan produksi sebesar 1.6 juta barel per hari baru berjalan satu bulan, tetapi pelemahan harga minyak belakangan ini mendorong prospek OPEC untuk mengurangi produksi lebih lanjut. Pasar juga semakin frustasi dengan janji Rusia yang juga akan mengurangi pasokan. Ekspor minyak mentah Rusia sedikit menurun namun belum sejalan dengan komitmen penurunan produksi minyak Rusia sebesar 0.5 juta barel per hari.
Dolar AS menguat lebih luas terhadap sebagian besar mata uang lainnya sesuai dengan tren musiman di bulan Mei. Penggerak utama dibalik penguatan tersebut memuat (i) kembalinya kekhawatiran pertumbuhan global setelah Jerman secara teknikal memasuki resesi serta memudarnya optimisme dari pembukaan kembali China seiring dirilisnya data ekonomi yang memburuk; (ii) Inflasi AS (aktual dan ekspektasi) secara tidak terduga menunjukan pemulihan; (iii) nada Fed yang lebih agresif; (iv) berkurangnya level pesimisme terhadap pertumbuhan ekonomi AS seiring dengan revisi pertumbuhan PDB kuartal I yang lebih tinggi; (v) perubahan drastis dari ekspektasi kebijakan Fed. Akan tetapi, dengan Fed yang semakin mendekati akhir dari siklus pengetatan, akan membatasi penguatan Dolar AS lebih lanjut. Data ketenagakerjaan yang melemah dan tren disinflasi akan mencegah Dolar AS untuk menguat.
Euro diperdagangkan melemah, yang juga didorong oleh penguatan Dolar AS. Kami berpendapat bahwa Fed lebih dekat pada titik pembalikan kebijakan dibandingkan ECB dan perbedaan arah kebijakan antara ECB dan Fed ini akan mendorong EUR untuk menguat. Pelaku pasar saat ini mengantisipasi adanya 2 kali kenaikan suku bunga di 2023, sehingga hal ini akan mendorong pemulihan Euro.
CNH melemah terhadap Dolar AS. Aktivitas ekonomi China yang mengecewakan, perlambatan penyaluran kredit, angka manufaktur yang turun serta tekanan inflasi yang rendah merupakan bukti bahwa optimisme pembukaan ekonomi China mulai kehilangan arah dan pelaku pasar mulai kehilangan kesabaran. Secara keseluruhan, kami melihat CNH berpotensi melanjutkan pelemahan, dengan adanya negative carry pada RMB, penundaan momentum optimisme ekonomi China dan keluarnya dana investor asing. Pemulihan pada CNH akan membutuhkan dorongan dari faktor sebagai berikut: (i) Fed menahan atau memangkas suku bunga; (ii) perbaikan prospek ekonomi global; (iii) kembalinya optimisme pembukaan ekonomi China; (iv) kembalinya dana investor asing.
Vasu Menon, Senior Investment Strategist, OCBC Bank
Musim laporan keuangan korporasi kuartal I - 2023, yang dimulai di minggu kedua bulan April, menjadi acuan kondisi ekonomi secara global, baik di negara maju maupun negara berkembang. Berdasarkan data FactSet pada akhir bulan April 2023, sebanyak 79% perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 melaporkan laba per saham yang positif, dan 74% lainnya melaporkan laba di atas ekspektasi. Rilisan laporan keuangan positif tersebut membuat sebagian besar indeks utama negara maju bergerak positif.
Namun di sisi lain, pasar keuangan global masih memiliki beberapa tantangan. Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung, ketegangan antara AS dan China yang masih terjadi, terutama terkait issue dengan Taiwan, serta ketidakpastian akan pagu anggaran pemerintah AS atau "debt ceiling" menjadi produk politik di AS, yang dapat menimbulkan kegagalan keberlangsungan pemerintahan. Menteri Keuangan AS, Janet Yellen memperingatkan pemerintah AS akan mengalami gagal bayar atas semua kewajiban, jika sampai dengan 1 Juni 2023 belum ada kesepakatan untuk menambah batas atas anggaran yang saat ini berada di kisaran USD 31 triliun.
Di Asia, perekonomian China terlihat masih belum stabil, terlihat dari angka pertumbuhan sektor manufaktur bulan April yang masuk pada zona kontraksi 49,2 dibandingkan periode sebelumnya di level 51,4. Belum pulihnya sektor manufaktur China berkorelasi dengan rendahnya permintaan pasar. Namun demikian, IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Kawasan Asia Pasifik untuk tahun 2023 menjadi 4,6% dari sebelumnya 4,3%. IMF melihat pemulihan ekonomi China dan India akan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik secara keseluruhan.
Beralih ke domestik, pertumbuhan ekonomi RI untuk kuartal I - 2023 dilaporkan sebesar 5,03%, lebih tinggi dibandingkan konsensus sebesar 4,97%. Kontribusi pertumbuhan ekonomi datang dari tingginya konsumsi masyarakat terutama pada sektor transportasi dan pergudangan. Selain itu, tingkat inflasi domestik tetap terjaga di level 4,33%, meskipun menurun jika dibandingkan periode sebelumnya di 4,97%, di tengah tekanan harga komoditas global yang menurun. Dari kebijakan moneter, Bank Indonesia memutuskan mempertahankan tingkat suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. BI menilai keputusan tersebut memadai untuk mengarahkan inflasi inti dan inflasi indeks harga konsumen (IHK) terkendali dalam kisaran 3,0±1% hingga akhir tahun 2023.
Bursa saham IHSG mencatatkan kenaikan sebesar 1,62% sepanjang bulan April. saham di sektor Properti dan Real Estate memimpin penguatan masing - masing sebesar 1,94% dan 1,83%. Penguatan pasar saham di bulan April didorong salah satunya dari aliran dana asing yang sepanjang 2022 telah masuk sebesar Rp 13,3 Triliun.
Di tengah kekhawatiran pelemahan ekonomi global terutama dari AS dan Eropa, ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan bertumbuh di 2023 di kisaran 5,0 - 5,3%. Kinerja pasar saham di 2023 diproyeksikan akan mendapat dukungan dari sektor seperti konsumsi, perbankan, telekomunikasi dan kesehatan, terutama dengan dimulainya tahun politik di semester kedua tahun ini.
Pergerakan pasar obligasi di bulan April cenderung menguat, terlihat dari pergerakan imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun yang mengalami penurunan sebanyak 4,17% menjadi 6,48% yang mensinyalkan kenaikan harga. Penurunan imbal hasil ini antara lain juga didorong oleh investor asing yang melakukan pembelian bersih senilai Rp 3,6 triliun sepanjang bulan April. Kenaikan minat investor turut didukung oleh nada kebijakan bank sentral Fed mengindikasikan akan mengakhiri fase kenaikan suku bunga melihat tren kenaikan inflasi sudah mulai melandai dan adanya ancaman resesi.
Dengan penurunan imbal hasil yang relatif cukup cepat dalam jangka waktu singkat, hal ini berpotensi memicu aksi profit taking oleh investor. Namun, dalam jangka waktu menengah, seiring meredanya laju inflasi maka selisih antara inflasi dan imbal hasil obligasi pemerintah RI atau real yield, akan tetap berada di level yang cukup menarik dibandingkan rata-rata obligasi investment grade lainnya. Hal ini akan menjadi daya tarik bagi investor asing untuk tetap masuk ke pasar obligasi domestik.
Mata uang Rupiah bergerak menguat sepanjang bulan April, terlihat dari pergerakannya yang bergerak turun sebanyak -2,48% sepanjang bulan April ke kisaran Rp 14.600 per dollar AS. Keputusan Bank sentral Fed yang akan menahan laju kenaikan suku bunga memberikan sentimen positif terhadap penguatan mata uang rupiah.
Selain itu dukungan penguatan juga berasal dari surplus neraca perdagangan, yang terus berlanjut pada Maret 2023 sebesar USD 2,9 miliyar, serta terjaganya cadangan devisa Indonesia di level USD 144 miliyar, atau setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
“Proyeksi ekonomi masih penuh tantangan dan investor sebaiknya tetap berhati-hati. Inflasi masih berada di atas target bank sentral di 2%, dan risiko terjadinya resesi di AS semakin meningkat seiring sektor perbankan yang menarik pinjaman. ” - Eli Lee
Proyeksi ekonomi berlanjut penuh tantangan pada semester pertama tahun 2023. Investor sebaiknya tetap berhati-hati, karena:
Pertama, inflasi telah berada di puncak ekonomi namun tetap berada diatas target bank sentral yaitu 2%. Inflasi AS berada di 5%, Inggris 10.1%, dan Zona Eropa 6.9%. Di Jepang, walaupun mengalami deflasi selama tiga dekade, angka inflasi pun mengalami kenaikan lebih dari 3%. Dampak pandemi, perang Rusia-Ukraina, dan tren populisme sejak Brexit dan pemilihan Donald Trump sebagai presiden AS; telah mengakibatkan inflasi jauh diatas target 2% dari Fed, ECB, BoJ dan BOE. Hanya negara China yang memiliki tingkat inflasi cukup rendah, di bawah 1% di awal pembukaan ekonominya paska pandemi.
Kedua, risiko resesi di AS meningkat, terutama dengan upaya bank yang lebih kecil untuk mendapatkan simpanan. Pertumbuhan ekonomi tetap lemah di Eropa. Hanya China, yang diperkirakan akan mengalami akselerasi pertumbuhan seiring dengan pembukaan ekonomi kembali.
Tahun lalu, perekonomian AS bertumbuh 2.1%, mendekati tingkat pertumbuhan ekonominya secara jangka panjang. Angka pengangguran turun di bawah 4% dan inflasi inti mencapai 5.4%. Tahun ini, kami menilai kemungkinan yang lebih kecil akan memanasnya ekonomi AS karena Fed telah menaikkan suku bunga secara agresif untuk menahan laju inflasi. Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan turun di bawah 2.1% untuk tahun ini. Idealnya, kenaikan suku bunga Fed akan mengakibatkan pelemahan ekonomi yang moderat dengan menurunkan inflasi inti di bawah 3% pada akhir tahun, dan akan mencapai target Fed 2% di 2024.
Di saat yang sama, jika angka pengangguran tetap berada di bawah 4%, maka dampak kenaikan suku bunga terhadap pertumbuhan akan lebih terbatas, sehingga akan menjaga sentimen investor dan kinerja aset berisiko. Meskipun demikian, angka inflasi inti diperkirakan masih akan berada di atas 3% di akhir tahun. Hal ini akan mencegah Fed untuk memangkas suku bunga, sekalipun angka pengangguran naik ke 4% di akhir tahun 2023.
Kenaikan tingkat pengangguran berpotensi mendorong ekonomi AS masuk ke jurang resesi di semester kedua tahun ini. Secara historis, semua resesi AS di masa lalu sejak Perang Dunia II selalu didahului dengan kenaikan tingkat pengangguran 0.5% selama rata-rata 3 bulan dari tingkat terendahnya dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Ini disebut dengan teori Sahm Rule, yang berasal dari nama ekonom Fed yang meneliti hubungan antara ketenagakerjaan dan risiko resesi. Sehingga, untuk 2023, maka angka pengangguran harus naik dari 3.4% di bulan Januari ke 4% di akhir tahun untuk memberikan sinyal resesi pada ekonomi.
Bank-bank lebih kecil di AS telah menderita akibat kenaikan kenaikan suku bunga Fed yang berimbas kenaikan imbal hasil, dan berdampak pada kepemilikan obligasi perbankan. Di saat yang sama, suku bunga yang tinggi mengakibatkan bank-bank kecil di AS untuk mempertahankan simpanan nasabah akibat imbal hasil yang lebih menarik pada pasar uang (obligasi dengan jatuh tempo kurang dari 1 tahun). Sehingga, para nasabah bank-bank ini beralih ke bank yang lebih besar demi keamanan, membuat bank-bank kecil kesulitan untuk mengucurkan pinjaman. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kenaikan risiko kredit macet dan masuknya AS ke jurang resesi.
Merespon kegagalan perbankan di bulan Maret, Fed mengadakan pendanaan Bank Term Funding Programme yang mengijinkan bank dengan kesulitan likuiditas untuk meminjam dengan jaminan nilai pokok dari obligasi pemerintah yang dimiliki. Namun, bank sentral akan tetap melanjutkan untuk menyusutkan neracanya melalui quantitative tightening untuk menahan inflasi. Hal ini akan menurunkan tingkat simpanan dan likuiditas di sektor keuangan AS, yang akan merugikan bank-bank lebih kecil.
Kami memperkirakan kenaikan suku bunga Fed sebesar 25 basis poin di bulan Mei menjadi 5.00-5.25% akan menjadi akhir dari siklus pengetatannya. Demikian pula, menurut kami suku bunga acuan ECB dan BOE akan mencapai puncak antara 4.00% dan 4.50% pada kuartal ini. Namun, kami tidak melihat adanya potensi bank sentral untuk memangkas suku bunga di akhir tahun, walaupun dilanda resesi dan inflasi tetap berada di atas target 2%. Oleh karena itu, investor harus tetap berhati-hati dan tidak terlalu berharap bank sentral untuk memangkas suku bunga awal pada semester kedua tahun ini.
“Pada pasar saham, kami mempertahankan bobot alokasi regional, dengan pandangan Netral di AS dan Jepang, underweight untuk pasar saham Eropa, dan overweight di Asia ex Japan.” – Eli Lee
Menyusul volatilitas di bulan Maret yang diakibatkan kegagalan bank AS dan Eropa, pasar saham bergerak lebih tenang di bulan April. Di AS, negosiasi debt ceiling (plafon utang) dapat menimbulkan volatilitas di seluruh aset berisiko. Sementara di Eropa, data ekonomi dan angka inflasi inti yang lebih kuat dari estimasi dapat menyebabkan pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut akhir tahun ini. Di Jepang, kami memperkirakan arah kebijakan moneter yang lebih ketat hingga akhir tahun ini, karena Bank of Japan (BOJ) bersiap untuk keluar dari kebijakan yield curve control (YCC).
Laporan keuangan korporasi terbaru menunjukkan kebijakan moneter yang lebih ketat mulai berdampak pada pendapatan perusahaan, walaupun masih dalam level yang sehat. Arus keluar simpanan di perbankan AS secara umum telah lebih stabil, tetapi tekanan terhadap pendapatan bersih dari bunga (NIM) terus meningkat karena kesehatan bank regional yang tetap menjadi perhatian. Terlepas dari meningkatnya kekhawatiran resesi, kekhawatiran tentang potensi gagal bayar utang AS dapat mulai menimbulkan volatilitas di seluruh aset berisiko.
Data pertumbuhan ekonomi Eropa mulai membaik, namun di saat yang sama hal ini dapat membuat Bank Sentral Eropa (ECB) untuk lebih hawkish. Saat ini, inflasi inti di Eropa tetap tinggi dan kami memperkirakan pengetatan kebijakan moneter akan berlanjut. Hal ini akan mengakibatkan kondisi kredit yang lebih ketat dan standar pinjaman yang lebih sulit, yang akan membebani pertumbuhan ekonomi dan laba perusahaan ke depannya.
Seperti indikator ekon AS baru-baru ini, terdapat perlambatan moderat pada pertumbuhan ekonomi Jepang dan sektor manufaktur. Kami memilih pendekatan selektif dengan strategi bottom-up kepada saham yang di sektor konsumer yang lebih defensif.
Indeks MSCI Asia ex-Japan melemah di bulan April, sebagian besar karena meningkatnya ketegangan geopolitik, dimulainya musim pendapatan kuartal I - 2023 yang tidak terlalu optimis, dan menurunnya aliran masuk dana investor asing
Kami membuat beberapa perubahan peringkat. Pertama, kami menurunkan peringkat MSCI Taiwan ke Netral karena kinerja YTD yang lebih tinggi dari perkiraan, ditambah dengan meningkatnya ketegangan geopolitik, serta prospek pertumbuhan tahun 2023 yang lebih lemah di sektor semikonduktor, yang memiliki bobot signifikan dalam Indeks MSCI Taiwan.
Kedua, kami meningkatkan proyeksi MSCI India ke Netral, karena performa yang buruk sejak awal tahun, sehingga membuat valuasi menjadi lebih menarik dibandingkan dengan rata-rata historisnya terhadap indeks MSCI All Country World Index (ACWI). Selain itu, penurunan tingkat inflasi India dan jeda kenaikan suku bunga oleh Reserve Bank of India akan mendukung minat investor.
Ketiga, kami meng-upgrade MSCI Filipina menjadi overweight karena valuasinya yang murah, dengan forward P/E (laba terhadap harga saham) yang mencapai lebih dari dua standar deviasi di bawah rata-rata historis 10 tahun.
Pasar saham China dan Hong Kong mengalami penurunan di bulan April. Namun demikian, data makro yang kuat akan mendukung stabilisasi dan pemulihan laba di semester kedua 2023. Konsumsi domestik diperkirakan akan semakin pulih. Pemesanan traveling untuk liburan Hari Buruh terlihat telah melampaui level 2019.
Meskipun demikian ketegangan geopolitik China AS masih akan menjadi perhatian, setelah adanya laporan bahwa Presiden AS Joe Biden akan menandatangani Perintah Eksekutif yang akan membatasi investasi langsung AS di bidang teknologi tertentu.
Selama sebulan terakhir, sektor yang defensif lebih unggul, seperti halnya sektor konsumer dasar, layanan kesehatan dan utilitas. Ketiga sektor tersebut juga termasuk dalam sektor yang saat ini kami nilai overweight. Di sisi lain, sektor real estat tetap underweight dan permasalahan lainnya akan muncul di sektor ini.
Eli Lee, Head of Investment Strategy, Bank Of Singapore
“Kami tetap overweight terhadap obligasi IG negara maju (DM) di tengah kekhawatiran resesi dan sebagai pelindung terhadap risiko - risiko seperti plafon utang AS, tensi geopolitik dan kekhawatiran atas sektor perbankan AS.”- Vasu Menon
Pasar obligasi global terlihat lebih stabil di bulan April, setelah melewati badai di bulan Maret. Credit spread sudah mulai menurun dan volatilitas pasar global juga mereda. Akan tetapi, ketidakpastian ekonomi masih membayangi, dan investor menantikan kejelasan dari arah kebijakan moneter dari Fed dan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS. Oleh karena itu, kami mempertahankan pilihan kami untuk obligasi layak investasi (IG) yang berkualitas dan tetap defensif untuk jenis obligasi high yield (HY). Di sisi makro, di tengah pelemahan data ekonomi AS, pasar ketenagakerjaan tetap kuat, dan inflasi bertahan tinggi.
Selain obligasi HY negara berkembang (EM), spread obligasi bergerak stabil menurun di bulan April. Per 27 April 2023, spread obligasi EM IG turun 5 basis poin (bps) ke 222 bps, sementara spread obligasi US IG dan HY turun 1 bps dan 4 bps ke 144 bps dan 451 bps. Di lain sisi, spread obligasi EM HY melebar sebanyak 21 bps ke 655 bps, terutama diakibatkan oleh kinerja obligasi HY China.
Isu seputar plafon utang pemerintah AS saat ini menjadi fokus pasar, dengan Menteri Keuangan AS, Janet Yellen yang menyatakan bahwa batas tersebut akan segera tercapai pada awal bulan Juni, sehingga meningkatkan kekhawatiran pasar. Kami masih overweight terhadap US Treasury dengan adanya risiko resesi dan juga sebagai pelindung terhadap risiko plafon utang, tensi geopolitik dan juga isu sektor perbankan
Spread obligasi negara maju layak investasi (DM IG) sudah jauh membaik setelah aksi jual yang cukup masif di bulan Maret, terlihat dari indeks obligasi JP Morgan US Liquid yang dimana spread berada di kisaran 154bps di akhir April. Ke depannya, kami melihat pasar obligasi masih akan menghadapi beberapa tantangan seperti inflasi, pengetatan kebijakan moneter yang lebih lama dan juga dampaknya terhadap perekonomian yang dapat memicu terjadinya resesi.
Kondisi perbankan yang lebih ketat, turunnya tingkat konsumsi dan keuntungan perusahan yang lebih rendah dapat menurunkan kualitas hutang dan memicu gagal bayar. Lembaga pemeringkat S&P melihat pasar obligasi US HY dapat mencapai tingkat gagal bayar sebesar 4% per bulan Desember 2023. Kami masih underweight terhadap obligasi US HY seiring dengan rendahnya spread, yang tampaknya belum mengantisipasi terjadinya risiko ini.
Kami tetap overweight terhadap obligasi HY Asia, terutama di Indonesia dan India. Kami masih terus menyukai obligasi HY non-China, namun lebih berhati - hati terhadap obligasi HY China. Seperti di kategori EM HY, kami juga overweight terhadap obligasi IG Asia, dengan penerapan strategi barbel pada obligasi “AA” Korea Selatan dan obligasi “BBB” di Indonesia dan India.
“Emas dapat melemah untuk jangka pendek seiring dengan berkurangnya antisipasi Fed untuk memangkas suku bunga di semester II - 2023. Akan tetapi, kami mempertahankan perkiraan harga emas dalam 6 – 12 bulan mendatang berada di level US$ 2,050/oz. Hal ini akan didukung oleh pelemahan Dolar AS dalam jangka menengah, meningkatnta risiko resesi dan ketegangan geopolitik.” - Vasu Menon
Meredanya tekanan terhadap sektor perbankan AS membuat harga emas melemah. Harga emas berada sedikit di bawah US$ 2,000/oz, seiring dengan meningkatnya ekspektasi pasar akan kenaikan suku bunga Fed, yang membatasi keuntungan dalam jangka waktu dekat. Kami memperkirakan pemangkasan suku bunga Fed setidaknya baru akan terjadi pada kuartal I - 2024, berlawanan dengan ekspektasi pasar akan pemotongan suku bunga di semester II - 2023. Secara teknikal, emas dapat melemah untuk jangka pendek ke level US$ 1,900 oz.
Kami menekankan proyeksi harga emas dalam 6 – 12 bulan mendatang di level US$ 2,050/oz, yang didukung oleh pelemahan Dolar AS dalam jangka waktu menengah. Meningkatnya risiko resesi dan ketegangan tensi geopolitik yang perlahan meningkat dapat memicu minat pada investasi emas. Bank-bank sentral diperkirakan akan terus menambah emas untuk cadangan mereka sebagai nilai lindung terhadap geopolitik dan resiko ekonomi.
Pasar minyak telah melemah meskipun ada dorongan awal dari pemangkasan produksi OPEC+ yang mengejutkan pada bulan lalu di tengah kekhawatiran akan permintaan. Kami memperkirakan harga minyak Brent bergerak sideways pada kuartal ini, namun kami melihat potensi kenaikan harga mulai semester II - 2023 dan mencapai US$ 92/barel dalam waktu satu tahun - di atas harga forward saat ini. Pembukaan kembali ekonomi China telah membawa kami untuk merevisi naik proyeksi pertumbuhan negara ini menjadi 5.9% dari perkiraan sebelumnya di 5.2%. Mayoritas pemulihan permintaan akan terjadi pada pasar bahan bakar pesawat, meskipun China masih bertahap untuk membuka kembali perbatasannya, sehingga akan membatasi jumlah penerbangan internasional.
Perhatian pasar akan tertuju pada upaya OPEC+ untuk menjaga tingkat persediaan. Perjanjian OPEC+ untuk memotong produksi 1,1 juta barel per hari - di atas pemotongan yang telah diumumkan oleh Rusia pada musim semi ini sebesar 500,000 barel per hari - secara resmi dimulai pada bulan ini.
Kami mempertahankan pandangan kami untuk pergerakan Dolar AS yang moderat melemah. Melemahnya data ekonomi AS termasuk penurunan akan tingkat keyakinan konsumen AS, penurunan permintaan pabrik, penurunan penjualan ritel, berlanjutnya aksi jual di bank-bank regional AS, dan meningkatnya kekhawatiran terhadap sektor real estat komersial AS menambah kekhawatiran akan resesi di AS. Data inflasi menunjukan bahwa tren disinflasi di AS tetap sberlanjut. Laju inflasi menurun lebih dari estimasi menjadi 5% secara tahunan di bulan Maret sementara harga inflasi dari sisi produsen terlihat menurun tajam menjadi -0.5% secara bulanan dan harga impor/ekspor menurun lebih dari yang ekspektasi.
Ke depannya, para pejabat Fed akan tetap mempertimbangkan data ekonomi untuk menentukan arah kebijakan. Pertemuan pejabat Fed berikutnya pada 13-14 Juni mendatang akan berisi serangkaian proyeksi ekonomi yang baru dan arah suku bunga. Namun sebelumnya, pelaku pasar perlu mempertimbangkan data lapangan pekerjaan dan inflasi. Dengan demikian, berbedanya pandangan antara pelaku pasar dan Fed pada timing dan besarnya pemangkasan, perlu diperhatikan lebih lanjut. Namun kami melihat ruang untuk kenaikan suku bunga menjadi terbatas, seiring Fed berhenti menaikkan suku bunga dan meningkatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga lanjutan setelah 2023.
Vasu Menon, Senior Investment Strategist, OCBC Bank
Reli penguatan terjadi pada pasar saham AS di bulan Maret, dipimpin oleh indeks teknologi NASDAQ yang naik sebesar 6.7% dan S&P500 sebesar 3.5%. Meningkatnya ekspektasi pasar atas siklus pengetatan kebijakan moneter yang akan berakhir dalam waktu dekat memicu penguatan pasar saham global. Para pelaku pasar kini mengantisipasi bahwa Gubernur Fed, Jerome Powell akan mulai memangkas suku bunga acuan mulai semester kedua nanti di tengah meningkatnya risiko resesi.
Di Eropa, mayoritas bursa saham juga mencatatkan penguatan mengikuti Wall Street. Namun bursa Inggris FTSE100 terlihat mencatatkan pelemahan, turun 3.1% pada bulan Maret. Investor di awal bulan ini dikejutkan oleh keputusan aliansi minyak OPEC+ untuk memangkas produksi minyak sebanyak 1.1 juta barel per hari, dipimpin oleh Arab Saudi yang akan menurunkan produksi sebanyak 500 ribu per hari. Para pelaku pasar khawatir apabila pemangkasan tersebut dapat memutarbalikkan normalisasi harga energi dan komoditas yang terjadi beberapa bulan terakhir. Minyak WTI telah naik signifikan dari level terendahnya di bulan Maret US$67 per barel hingga di atas USD$80 per barel saat ini. Meningkatnya harga minyak dan komoditas lainnya dikhawatirkan dapat membebani tren penurunan inflasi yang sedang terjadi.
Beralih ke Asia, sebagian besar bursa saham kawasan ini juga berhasil menguat bulan lalu, walaupun bursa China CSI300 tidak berhasil mencatatkan kinerja yang positif. Ekspektasi atas pemulihan ekonomi China setelah kembali dibukanya perekonomian masih kurang memuaskan, dan hal ini terlihat dari rilisan data PMI terakhir yang bervariatif. Caixin PMI Manufaktur turun dari 51.6 ke 50.0, sementara untuk PMI Jasa naik dari 55.0 ke 57.8. Data tersebut pun memicu kekhawatiran investor, karena meningkatnya aktivitas jasa di tengah penurunan aktivitas manufaktur sering kali mengindikasikan potensi terjadinya resesi.
Dari sisi domestik, secara fundamental investor cukup optimis setelah rilisan data inflasi yang mencatatkan penurunan melebihi perkiraan. Inflasi secara tahunan turun dari 5.47% ke 4.97%, sementara inflasi inti juga turun dari 3.09% ke 2.94%. Memasuki bulan suci Ramadhan, konsumsi domestik diprediksi akan meningkat seiring dengan kenaikan volume belanja masyarakat. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno memproyeksi dampak hari raya Idul Fitri dapat mencapai Rp 150 triliun terhadap ekonomi. Dari sisi data lainnya, cadangan devisa meningkat dari US$140.3 miliar ke US$145.2 miliar di tengah penguatan mata uang Rupiah. Aktivitas Manufaktur untuk periode Maret juga mencatatkan kenaikan ke level tertingginya dalam enam bulan terakhir dari 51.2 ke 51.9 yang mensinyalkan fase ekspansi bisnis.
Bursa saham IHSG melemah bulan lalu, turun 0.55% untuk menutup perdagangan kuartal pertama 2023 di level 6,805.28. Selain sektor energi, seluruh sektor lainnya mencatatkan penurunan dengan yang terdalam dicatatkan oleh sektor transportasi dan teknologi yang melemah -7.58% dan -5.29%. Investor asing mencatatkan pembelian bersih senilai US$336.8 juta bulan lalu di tengah gejolak sektor perbankan di AS dan Eropa. Dengan rasio Price to Earnings (P/E) saat ini yang berada di kisaran 13.7x, level terendahnya sejak Maret 2020, aset risiko domestik terlihat relatif murah. Sebagai net eksportir komoditas, Indonesia dapat dirugikan oleh normalisasi harga energi dan komoditas. Akan tetapi, dengan adanya keputusan aliansi minyak OPEC+ untuk memangkas produksi minyak sebanyak 1.1 juta barel per hari maka IHSG berpotensi mendapatkan dukungan dari kembali naiknya harga komoditas.
Seiring dengan laju pengetatan kebijakan moneter The Fed yang lebih longgar dan turunnya kekhawatiran investor atas industri perbankan, kami melihat masih adanya potensi penguatan bagi aset risiko domestik. Namun demikian, kami masih netral saat ini terhadap pasar saham dengan proyeksi pertumbuhan EPS di rentang 4% hingga 5% untuk tahun ini.
Pasar obligasi berhasil menguat di bulan Maret lalu, terlihat dari penurunan 10 basis poin pada imbal hasil acuan 10 tahun dari 6.9% ke 6.8%. Selain di pasar saham, investor asing juga terlihat mengakumulasi obligasi pemerintah domestik senilai US$1.12 triliun bulan lalu. Ekspektasi The Fed yang diprediksi lebih dovish ke depannya di tengah penurunan inflasi merupakan katalis positif bagi pasar obligasi global. Dari dalam negeri, Bank Indonesia diperkirakan akan tetap menahan suku bunga acuan di 5.75% seiring dengan penurunan inflasi yang memuaskan sejauh ini, walaupun kenaikan harga barang dapat mengalami peningkatan sementara di bulan suci Ramadhan.
Antisipasi atas kebijakan moneter yang lebih longgar oleh The Fed sangat membebani pergerakan mata uang USD, terlihat dari indeks dolar DXY yang turun dari 105.0 ke 102.5 di bulan Maret. Di waktu yang sama, mata uang Rupiah berhasil menguat terhadap dolar AS sebesar 1.7% dan saat ini diperdagangkan di bawah level psikologis Rp 15,000/USD. Rupiah masih diproyeksikan untuk menguat terhadap Dolar AS, setidaknya dalam jangka waktu pendek ke depan seiring dengan meningkatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan AS di semester kedua tahun ini.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
“Risiko resesi meningkat sebagai dampak dari kenaikan suku bunga di tahun lalu yang berimbas pada perekonomian tahun ini. Kami memproyeksikan ekonomi AS akan mengalami resesi di semester kedua tahun 2023.” - Eli Lee
Kuartal pertama tahun ini ditutup dengan kenaikan indeks saham S&P 500, penurunan imbal hasil, dan pelemahan mata uang USD, dengan harapan FED akan segera melakukan pivot suku bunga. Para investor memproyeksikan Fed akan memulai periode pemotongan suku bunga dan pengurangan neraca keuangan dengan tiga alasan.
Pertama, meningkatnya risiko resesi sebagai dampak dari kenaikan suku bunga di tahun lalu yang berimbas pada perekonomian tahun ini. Kami memproyeksikan ekonomi AS akan mengalami resesi di semester kedua tahun 2023, namun ekonomi masih bertumbuh meskipun terjadi perlambatan seperti yang diperlihatkan pada tabel di bawah.
Tidak hanya itu, tingkat pengangguran saat ini berpotensi untuk naik seiring dengan perlambatan ekonomi AS. Tingkat pengangguran AS per akhir bulan Februari lalu mencatatkan kenaikan dari level terendah nya dalam 53 tahun terakhir, dari 3.4% ke 3.6%. Walaupun tingkat pengangguran masih berada di kisaran level terendahnya dalam sejarah, namun secara historis apabila terjadi kenaikan 0.5% pada angka pengangguran dalam periode satu tahun ke depan, dapat mendorong perekonomian AS masuk ke jurang resesi,
Di pasar obligasi pemerintah AS, US Treasury juga sudah mulai menunjukkan sinyal resesi. Kurva imbal hasil sudah berada dalam posisi inversi selama sembilan bulan terakhir. Hal tersebut terlihat dari imbal hasil tenor 2 tahun, yang sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga berada diatas imbal hasil tenor 10 tahun, mengindikasikan potensi kontraksi perekonomian.
Kedua, adalah meningkatnya ekspektasi para pelaku pasar bahwa bank sentral segera mengakhiri siklus kenaikan suku bunga seiring inflasi yang memuncak. Ketiga, kegagalan beberapa bank kecil di AS akhir-akhir ini akan mengakibatkan pengetatan kondisi keuangan perbankan, sehingga mengurangi kebutuhan Fed untuk menaikkan suku bunga secara agresif.
Meresponi isu kegagalan beberapa bank di AS, The Fed telah mempersiapkan suatu solusi baru yaitu “Bank Term Funding Programme” yang akan memberikan opsi bagi perbankan untuk meminjam dana apabila diperlukan dengan jaminan surat hutang yang dimiliki. Program tersebut secara drastis telah meningkatkan neraca keuangan sektor perbankan di AS.
Dengan Fed yang lebih berhati-hati, saat ini kami memperkirakan bahwa Fed hanya akan menaikkan suku bunga satu kali lagi di bulan Mei menjadi 5.00 - 5.25%. Namun, akan cukup sulit bagi Fed untuk memangkas suku bunga di akhir tahun ini walaupun perekonomian AS memasuki resesi, karena tingkat inflasi yang tetap bertahan tinggi.
Kami mengantisipasi bahwa Fed akan mulai memangkas suku bunga di bulan Maret 2024, karena inflasi diperkirakan akan berada di kisaran 3.5% di akhir 2023, dan 2.5% pada 2024. Dengan demikian, investor perlu berhati-hati dan tidak mengekspektasikan adanya pemangkasan suku bunga tahun ini.
“Di pasar saham, kami memiliki posisi yang netral secara keseluruhan. Kami mempertahankan alokasi regional kami dengan rating netral, underweight di Eropa, dan overweight di Asia ex-Japan.” - Eli Lee
Bulan Maret masih merupakan bulan yang penuh ketidakpastian bagi pasar saham, dengan adanya sentimen negatif dari sektor perbankan. Kami masih mempertahankan alokasi regional dengan rating netral untuk pasar saham AS, underweight untuk pasar saham Eropa, dan overweight untuk pasar saham Asia ex-Japan. Dari segi alokasi sektoral, kami menaikkan sektor konsumsi bahan dasar dan utilitas ke overweight untuk menambah ketahanan dari portofolio kami. Kami juga masih menyukai beberapa nama besar yang memiliki eksposur terhadap perkembangan struktural perekonomian saat ini seperti energi terbarukan dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk jangka panjang.
Ketidakpastian di sektor perbankan AS dan Eropa beberapa bulan terakhir telah meningkatkan probabilitas terjadinya resesi, di tengah pengetatan yang sedang terjadi di beberapa industri seperti komersil, Industrial, dan kredit. Di China, kami masih melihat adanya ketahanan, terutama pada pasar saham China mainland A-shares (onshore). Dalam beberapa tahun kedepan, tema investasi struktural utama China adalah teknologi dan inovasi, kenaikan konsumsi domestik dan pencegahan risiko keuangan.
Sentimen negatif yang membebani kinerja pasar saham Eropa mengingatkan kita akan dampak dari kenaikan suku bunga. Perkembangan akhir-akhir seperti memburuknya kondisi kredit, pengetatan penyaluran kredit perbankan, serta menurunnya peredaran uang, menyadarkan kita bahwa sinyal kritis dapat muncul secara tak terduga dalam kondisi suku bunga tinggi. Namun demikian, bank sentral Eropa menyatakan bahwa pihaknya siap untuk bertindak demi menjaga stabilitas. Untuk pasar saham Eropa, seiring dengan ekspektasi perlambatan ekonomi, kenaikan premi risiko serta memburuknya ekspektasi laba korporasi, kami memilih untuk lebih defensif untuk pemilihan saham, seperti pada sektor konsumsi bahan dasar, kesehatan dan utilitas.
April merupakan lembaran baru bagi Jepang, memasuki tahun baru fiskal dan tim BOJ baru yang akan dipimpin oleh Ueda. Kami mengantisipasi bahwa fokus pasar akan tertuju pada laporan keuangan korporasi untuk tahun fiskal 2024, yang diproyeksi akan turun moderat ke +4.1% dari sebelumnya +6.5% tahun ini. Dengan pemimpin baru bank sentral Jepang, kami tidak melihat akan adanya perubahan mendadak dari sisi suku bunga acuan yang rendah akibat kepercayaan bahwa inflasi saat ini bersifat sementara.
Per 24 Maret 2023, sekitar 80 persen perusahaan yang terdaftar pada indeks MSCI Asia ex-Japan telah merilis kinerja keuangan kuartal IV-2022 dirilis di -26% dan sepanjang 2022 di -3%, yang berada di bawah ekspektasi pasar. Kinerja yang cukup mengecewakan ini datang antara lain dari pasar Hong Kong, Thailand dan Korea Selatan. Di sisi lain, pasar Singapura, Indonesia dan China merilis kinerja di atas ekspektasi.
Pasar saham A-shares (mainland onshore) terbukti memiliki ketahanan yang lebih baik dibandingkan Hong Kong dan pasar saham luar negeri China, di tengah meningkatnya volatilitas di semua kelas aset. Untuk pasar saham A-shares, kami lebih menyukai saham pada CSI 500 Index, karena memiliki alokasi lebih rendah pada sektor keuangan, dan alokasi lebih tinggi pada sektor konsumsi non-internet, industri serta teknologi, yang akan lebih diunggulkan dari arah kebijakan. Restrukturisasi dan pendirian berbagai lembaga pemerintah, ditargetkan untuk mendukung akselerasi di sektor teknologi dan inovasi, perkembangan “Digital China” dan pencegahan risiko keuangan. Menurut kami, keseluruhan faktor ini, bersama dengan konsumsi domestik, akan menjadi tema investasi utama di China hingga beberapa tahun ke depan.
Eli Lee, Head of Investment Strategy, Bank Of Singapore
“Untuk instrumen pendapatan tetap, kami overweight pada obligasi investment grade (IG) negara maju (DM) yang akan lebih stabil di saat terjadi resesi. Dalam 12 bulan ke depan, kami melihat potensi penurunan imbal hasil.” - Vasu Menon
Maret menjadi bulan yang paling fluktuatif bagi instrumen pendapatan tetap. Kondisi ini terlihat dari kejadian gagal bayar terbesar kedua pada perbankan AS, Silicon Valley Bank, kemudian diikuti dengan runtuhnya Signature Bank. Ketika Credit Suisse mengalami masalah kurang dari dua minggu setelahnya, muncul kekhawatiran tentang krisis perbankan besar-besaran dan dampaknya terhadap pertumbuhan global. Dilema antara inflasi yang meningkat dan kesulitan menjaga stabilitas keuangan, The Fed tetap menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) tetapi mengindikasikan bahwa siklus kenaikan suku bunga hampir selesai. Selisih bunga pinjaman meningkat secara global di tengah kekhawatiran bahwa standar pinjaman yang lebih ketat dapat merugikan pertumbuhan global dan kinerja keuangan perusahaan. Kondisi keuangan yang lebih ketat yang disebabkan oleh tekanan pada sistem perbankan semakin memberikan ruang yang lebih sempit bagi bagi Fed untuk menaikkan suku bunga. Hal ini mendorong munculnya ekspektasi resesi, yang ditandai oleh penurunan tajam imbal hasil US Treasury selama beberapa minggu terakhir.
Kami merekomendasikan overweight di obligasi DM IG (developed market investment grade), karena meningkatnya risiko ekonomi AS. Pendapatan tetap dan obligasi IG khususnya menawarkan risk-reward yang lebih menarik daripada obligasi HY (high yield) berdasarkan harga pasar saat ini dan kemungkinan skenario makro. Kelas aset DM IG akan menjadi aset flight-to-quality saat terjadi resesi, dan akan diunggulkan seandainya Fed memutuskan untuk memangkas suku bunga saat terjadi resesi pada semester 2 tahun ini. Valuasi yang kurang menarik pada obligasi DM HY, menyebabkan kami mempertahankan pandangan underweight.
Insiden pada sektor perbankan AS dan Credit Suisse telah menurunkan kinerja sektor keuangan. Obligasi bank global memiliki kinerja yang lebih baik seiring dengan adanya flight-to-quality. Bank global memiliki simpanan dan likuiditas yang lebih baik dibandingkan bank daerah di AS, yang umumnya memiliki simpanan yang lebih rendah. Kami merekomendasikan bagi investor untuk lebih defensif untuk obligasi DM di sektor perbankan.
Kami memprediksi bahwa investor akan meminta premi risiko yang lebih tinggi untuk obligasi bank Eropa jenis AT1, setelah kejadian pada Credit Suisse. Selain itu, kami juga melihat meningkatnya aksi jual obligasi AT1, karena akan cukup mahal bagi bank untuk mengakhiri dan menggantikan obligasi AT1. Obligasi AT1, yang cukup populer pasca krisis keuangan global, adalah jenis obligasi yang dapat menjadi cadangan modal bank, seandainya permodalan jatuh di bawah ambang batas, sehingga dapat dikonversi menjadi saham ataupun dihapuskan nilainya. Obligasi AT1 ini memberikan tingkat imbalan yang lebih tinggi, akibat risiko yang lebih tinggi.
Kami mempertahankan pandangan overweight di Asia, terutama di Indonesia, India, dan obligasi Asia lainnya. Sebelumnya, kami menilai valuasi pasar obligasi yang lebih mahal dibandingkan fundamentalnya, dan pelemahan yang baru-baru ini terjadi mengkonfirmasi pandangan tersebut. Serupa dengan EM HY, kami juga mempertahankan overweight pada obligasi IG di Asia.
Pasar obligasi di Asia terlihat memiliki ketahanan yang baik di tengah kekhawatiran sektor keuangan AS dan Eropa, namun perlu diingat bahwa segmen ini tidak sepenuhnya kebal terhadap gejolak pasar global.
Untuk jenis obligasi Asia IG, obligasi dengan durasi panjang dan volatilitas yang lebih rendah berkinerja lebih unggul, termasuk Hong Kong, Singapura, Thailand dan Indonesia. Dalam obligasi Asia HY, kerugian pada obligasi China HY diimbangi oleh keuntungan pada obligasi Indonesia HY.
Sektor keuangan di Asia memiliki volatilitas yang lebih rendah dibandingkan negara maju, walaupun terdapat sedikit kelemahan pada obligasi AT1 di Hong Kong dan perusahaan manajemen aset. Paska Credit Suisse, kami menilai obligasi AT1 Asia memiliki keunggulan dibandingkan Eropa, mengingat adanya potensi bail out dari pemerintah baik secara langsung ataupun tidak langsung, mengingat obligasi AT1 di Asia memiliki risiko jatuh tempo lebih cepat, yang lebih rendah.
“Kami telah menaikkan target harga minyak dalam 12 bulan ke depan sebesar US$ 2 menjadi US$ 92 per barel mengingat jalur produksi OPEC yang dipangkas. Kami juga tetap optimis terhadap emas, terlebih dengan adanya potensi penurunan di kelas aset berisiko, sebagai nilai lindung mengantisipasi risiko resesi AS.” - Vasu Menon
Optimisme kami pada emas membuahkan hasil lebih cepat dibandingkan ekspektasi. Kami tetap konstruktif pada logam mulia. Ke depannya, kami menilai emas berpotensi untuk sedikit melemah di kuartal II – 2023, seiring meredanya risiko sektor perbankan. Kami memprediksi adanya pelemahan di penyaluran kredit perbankan dalam beberapa bulan ke depan, namun belum cukup untuk memicu Fed memangkas suku bunga tahun ini. Kami memperkirakan adanya kenaikan suku bunga 25 bps di bulan Mei, dan Fed akan menahan suku bunga stabil di 5.00% - 5.25% untuk sepanjang tahun. Emas akan bergerak naik di semester II seiring meningkatnya risiko resesi. Kami meningkatkan estimasi harga 6 dan 12 bulan kami untuk emas di harga US$ 2,050 per oz. Bank sentral diperkirakan akan terus menambah emas sebagai cadangan devisa untuk melindungi terhadap risiko ekonomi dan geopolitik.
Pelaku pasar mengharapkan kebijakan yang lebih luas dari pemerintah China. Harga minyak cukup bergejolak pada bulan lalu, seiring meningkatnya kekhawatiran bahwa tekanan sektor perbankan dapat memicu resesi besar-besaran. Kebijakan AS untuk menahan pengisian cadangan minyak, pada saat harga minyak berada di kisaran US$ 67 hingga 72 per barel, turut mendorong pelemahan harga.
Kami menilai harga minyak mentah akan mulai pulih dari kekhawatiran mengenai perbankan, seiring munculnya kembali risiko persediaan minyak, dan perbaikan proyeksi permintaan. Aliansi negara penghasil minyak OPEC, mengejutkan pasar dengan memangkas produksi minyak sebesar 1.1 juta barel per hari. Arab Saudi memimpin pemangkasan ini dengan penurunan 500 ribu barep per hari, Irak dengan 211 ribu barel per hari. Kami meningkatkan estimasi harga minyak Brent untuk 12 bulan ke US$ 92 dengan adanya penurunan produksi minyak OPEC ini.
Sepanjang kuartal I, US Dollar Index (DXY) melemah hampir 1 persen, sementara secara bulanan, DXY melemah 2.28 persen. Kejutan pasar di bulan Maret yang datang dari kebangkrutan mendadak dari 3 bank di AS dalam waktu satu minggu, kembali mengingatkan bahwa kebijakan moneter Fed yang lebih ketat dapat mengakibatkan kondisi keuangan bank kecil hingga menengah di AS berada dalam posisi yang cukup rentan. Secara keseluruhan, kami mempertahankan pandangan moderat hingga melemah untuk Dolar AS, seiring hampir masuknya Fed di akhir pengetatan kebijakan. Tren tingkat inflasi yang lebih rendah juga akan mendukung pandangan ini, dan mengakibatkan Dolar AS melemah.
Dengan asumsi bahwa risiko penularan di sektor perbankan adalah terbatas, maka pelemahan ekonomi global akan cukup mendorong pergerakan mata uang pro-cyclical termasuk mata uang di Asia ex-Japan dan Dolar Australia, sementara pergerakan mata uang counter-cyclical akan tetap stabil.
Mata uang Euro turut bergejolak di bulan Maret, sebelum akhirnya menguat 2.5 persen terhadap Dolar AS. Masalah di sektor perbankan AS dan Switzerland telah memicu kekhawatiran mengenai sektor perbankan Eropa. Akan tetapi, tanpa melihat adanya koreksi pasar global dan dengan asumsi bahwa perbankan Eropa masih bertahan, maka pelemahan Euro dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk membeli di level yang cukup rendah, dengan harapan bank sentral Eropa tetap agresif di tengah kenaikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang masih terjadi di kawasan Eropa.
Poundsterling (GBP) menguat 2.6% terhadap Dolar AS di bulan Maret. Gubernur BOE tetap bernada hawkish atau agresif dalam pernyataannya baru-baru ini. Secara keseluruhan, dengan pergerakan Dolar AS yang lebih moderat dan melemah, adanya perbaikan pada proyeksi pertumbuhan Inggris serta memudarnya kekhawatiran seputar Brexit, akan mendukung GBP untuk pulih, walaupun masih terdapat beberapa risiko domestik seperti stagflasi, turunnya konsumsi, serta potensi kebijakan BOE yang berubah melunak.
Dolar AS melemah 1.2% terhadap Renminbi (CNH) di bulan Maret. Angka aktivitas ekonomi PMI China di bulan Maret yang lebih kuat daripada ekspektasi mendukung momentum dan sentimen positif. Di akhir bulan Maret, terdapat beberapa perkembangan yang cukup positif dari China, seperti: 1. Pecahnya Alibaba menjadi 6 unit bisnis; 2. Kembalinya Jack Ma ke China menjadi sinyal berakhirnya campur tangan pemerintah di sektor swasta; 3. Tiga perusahaan teknologi terbesar - Baidu, Alibaba, Tencent - merilis laba korporasi yang lebih baik daripada ekspektasi. Rilisan data ekonomi yang lebih baik akan terus mendukung aliran modal kembali ke pasar modal China, dan hal ini akan menguntungkan bagi Renminbi. Salah satu risiko yang patut diperhatikan adalah ketegangan geopolitik antara AS dan China yang masih berlangsung, yang dapat berdampak buruk bagi Renminbi.
Dolar AS melemah sebesar 1.3% terhadap Dolar Singapura (SGD) di bulan Maret, saat pelaku pasar mengantisipasi kebijakan Fed yang berpotensi melunak di tengah krisis perbankan di AS. Sementara itu, pasar juga masih mengekspektasikan adanya pengetatan kebijakan dari Monetary Authority of Singapore (MAS). Akan tetapi, angka inflasi saat ini berada di 6.3%, dan masih berada dalam kisaran batas atas MAS di 5.5 hingga 6.5%. Sehingga, kami menilai akan terlalu cepat bagi MAS untuk mulai menghentikan siklus pengetatannya. Dalam jangka waktu lebih panjang, kami mempertahankan pandangan sedikit lebih optimis untuk SGD seiring ketahanan makro fundamental yang baik dan optimisme akan pembukaan ekonomi China.
Vasu Menon, Senior Investment Strategist, OCBC Bank
Pertumbuhan lapangan ketenagakerjaan AS yang tetap kuat, mensinyalkan bahwa pendapatan korporasi AS masih cukup kondusif, dan momentum pertumbuhan ekonomi masih kuat. Hal ini turut menjadi pertimbangan Presiden Biden yang mewacanakan kenaikan pajak penghasilan bagi korporasi dan individu, sehingga mendorong bursa saham AS melanjutkan pelemahan yang telah terjadi di bulan Februari akibat nada kebijakan Fed yang lebih agresif. Tak hanya itu, memasuki minggu kedua bulan Maret, para pelaku pasar dikejutkan oleh berita kebangkrutan bank terbesar ke-16 di AS, Silicon Valley Bank (SVB). Aksi penarikan dana tunai atau bank run besar-besaran terhadap SVB telah mengakibatkan bank ini kekurangan likuiditas. Bank sentral AS dengan sigap menyatakan komitmen backstop dengan menyediakan Bank Term Funding Program yang memberikan pinjaman likuiditas untuk jangka waktu satu tahun, dengan jaminan obligasi pemerintah yang dimiliki oleh SVB. Lembaga Penjamin Simpanan AS (FDIC) pun menjamin pengembalian dana nasabah baik yang terasuransikan atau tidak. Akan tetapi, risiko domino effect masih membayangi industri perbankan AS, sehingga saham sektor perbankan AS melemah dengan tajam.
Adanya potensi risiko sistemik atau kegagalan sistem keuangan akibat SVB, membuat para pelaku pasar mengantisipasi nada kebijakan Fed yang dapat berubah arah menjadi lebih longgar. Para analis Bloomberg memperkirakan puncak suku bunga tahun ini hanyalah berada di kisaran 5 persen, dibandingkan seminggu sebelumnya yang meningkat di 5.5 hingga 5.75 persen. Imbal hasil obligasi AS UST 10 tahun, sebagai safe-haven asset, turun tajam, dari 4 persen menjadi 3.6 persen.
Beralih ke kawasan Asia, pasar saham Asia terlihat membukukan pelemahan seiring dengan isu ketegangan antara China dan AS kembali muncul ke permukaan setelah insiden penembakan balon udara yang diduga merupakan alat mata-mata China.
Dari ekonomi domestik, perekonomian Indonesia terus menunjukkan pemulihan yang suportif. Inflasi bulan Februari meningkat 0.16 persen secara bulanan, atau 5.47 secara tahunan, sedikit mengalami kenaikan dibandingkan bulan Januari di 5.28 persen. Angka inflasi diperkirakan akan mengalami kenaikan secara musiman, seiring masuknya Indonesia ke bulan suci Ramadhan di bulan Maret. Namun demikian, Bank Indonesia diperkirakan tetap menahan suku bunga 7D reverse repo rate di 5.75 persen seiring dengan potensi segera terhentinya laju kenaikan suku bunga Fed, pasca Silicon Valley Bank. Bank Indonesia perlu menjaga keseimbangan antara mempertahankan nilai tukar Rupiah dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik, di tengah ancaman resesi global di tahun ini.
Di bulan Februari, IHSG mampu bertahan di tengah pelemahan bursa saham AS dan China. Indeks terlihat bergerak sideways, mencatatkan penguatan tipis sebesar 0.06 persen. Hal ini menunjukkan bahwa optimisme pelaku pasar terhadap pasar saham Indonesia masih cukup positif. Secara sektoral, sektor transportasi dan logistik memimpin penguatan bursa, dengan kenaikan 10.26 persen, disusul sektor konsumsi siklikal yang membukukan kenaikan 2.93 persen. Penguatan ini ditopang oleh investor asing yang melakukan bulan lalu pembelian bersih senilai US$ 23.40 juta sehingga sejak awal tahun investor asing sudah membukukan pembelian bersih sebesar US$ 196.6 juta. Akan tetapi, memasuki bulan Maret, sejumlah risiko pelemahan yang datang dari eksternal seperti risiko penularan dari kasus Silicon Valley Bank, dapat memberatkan pergerakan IHSG. Akan tetapi, memasuki tahun politik di semester kedua nanti, maka likuiditas dan konsumsi diperkirakan akan membaik. Pertumbuhan laba korporasi di 2023, walaupun lebih rendah dibandingkan 2022, akan bertumbuh di kisaran 4 hingga 5 persen. Sehingga, pelemahan yang terjadi saat ini dapat dimanfaatkan sebagai strategi untuk mengakumulasi aset saham dengan level yang lebih menarik.
Nada kebijakan Fed yang lebih agresif mendorong imbal hasil obligasi pemerintahIndonesia 10 tahun bergerak naik ke 7 persen di akhir Februari hingga awal bulan Maret. Sepanjang Februari, investor asing membukukan penjualan bersih senilai US$ 497.5 juta. Akan tetapi, kasus Silicon Valley Bank yang muncul di minggu kedua bulan Maret, segera mendorong imbal hasil turun ke kisaran 6.7 persen sebagai antisipasi terhadap potensi kebijakan Fed yang lebih longgar, seiring meningkatnya potensi risiko sistemik pada sistem perbankan AS. Ke depannya, kami melihat pasar obligasi Indonesia akan memiliki ketahanan yang cukup baik seiring dengan potensi melunaknya suku bunga Fed, suplai obligasi yang lebih terbatas, serta inflasi dalam negeri yang relatif cukup stabil.
Mata uang Rupiah terlihat mengalami pelemahan terhadap Dolar AS selama bulan Februari lalu, melemah dari level Rp 15,000/USD ke level Rp 15,244/USD. Ekspektasi atas perubahan sikap The Fed yang lebih hawkish mengakibatkan Dolar AS menguat terhadap mata uang lain, walaupun cukup terbatas. Akan tetapi, kejadian Silicon Valley Bank telah mendorong indeks Dolar AS (DXY) melemah, seiring dengan ekspektasi kebijakan yang lebih longgar. Dengan ketahanan perekonomian Indonesia dan kebijakan akomodatif Bank Indonesia, diharapkan pergerakan mata uang Rupiah akan lebih stabil ke depannya.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
“Harapan akan adanya pertumbuhan ekonomi moderat dan inflasi yang mulaimereda, perlu dikaji ulang. Hal ini disebabkan oleh inflasi yang masih tinggi dan fundamental ekonomi yang solid, sehingga mendorong prospek kenaikan suku bunga Fed yang lebih agresif” - Eli Lee
Pasar Kenaikan aset di pasar keuangan pada awal tahun ini, terhambat oleh rilisan inflasi yang masih cukup tinggi di sejumlah negara maju, seperti AS, Zona Eropa, Jepang, dan Australia. Indeks saham S&P 500 menjauhi level tertinggi dalam 6 bulan terakhir ke level 4,195 di akhir bulan Februari. Imbal hasil obligasi Pemerintah AS (UST) mengalami kenaikan signifikan dari level 3.3 persen di bulan Januari, bergerak hingga hampir menyentuh level 4 persen di awal bulan Maret. Dolar AS yang dipandang sebagai aset paling aman (safe-haven asset) menguat seiring dengan menurunnya minat risiko investor.
Inflasi masih bertahan tinggi, karena rata-rata perekonomian negara maju masih cukup solid, walaupun bank sentral sudah menaikkan suku bunga dengan laju tercepat sejak tahun 1980an. Sebagai contoh, semua data ekonomi AS di bulan Januari dirilis lebih kuat dibandingkan ekspektasi. Jumlah lapangan pekerjaan naik lebih dari 500 ribu pekerjaan. Angka pengangguran turun ke level terendah dalam 53 tahun terakhir di 3.4 persen. Inflasi inti hanya sedikit melemah dari 5.7 persen ke 5.6 persen. Di sisi lain, inflasi di sisi produsen bertahan di 5.4 persen. Angka penjualan ritel masih melonjak 3 persen.
Dalam jangka waktu 12 bulan ke depan, kami memperkirakan imbal hasil obligasi UST 10 tahun akan turun dari 4 ke 3.5 persen. Inflasi dan suku bunga AS yang akan bertahan tinggi berpotensi untuk mendorong ekonomi AS melemah di semester kedua tahun ini. Prioritas utama Fed untuk menahan laju inflasi dibandingkan mendorong pertumbuhan ekonomi, akan mendorong imbal hasil UST tenor panjang 10 dan 30 tahun untuk turun di 2023 karena perhatian investor akan beralih dari risiko inflasi jangka pendek ke kekhawatiran perlambatan ekonomi dalam jangka waktu lebih panjang.
Sebaliknya, akhir dari kebijakan zero-Covid telah meningkatkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China di 2023. Survei dari sentimen bisnis seperti Purchasing Manager Index (PMI) untuk sektor jasa dan manufaktur telah meningkat. Kami memperkirakan PDB China untuk bertumbuh 5.2 persen tahun ini, dibandingkan 3 persen di 2022. Hal ini sekaligus menjadikan China sebagai satu-satunya negara dengan pertumbuhan tercepat di 2023 dibandingkan 2022. Sehingga, kami mempertahankan pandangan optimis atau overweight di pasar saham China, dengan fundamental ekonomi yang membaik.
“Secara keseluruhan, kami Netral terhadap pasar saham, dengan posisi Overweight di Asia ex-Japan sementara posisi Underweight di Eropa.“– Eli Lee
Kami mempertahankan alokasi saham regional dengan rating Netral di AS, Underweight untuk Eropa, dan Overweight untuk Asia ex-Japan. Di Asia ex-Japan, kami lebih menyukai pasar saham Hong Kong/China, Singapura, dan Taiwan.
Indeks saham S&P 500 melemah akibat kekhawatiran tingkat inflasi yang tetap tinggi, pasar ketenagakerjaan yang tetap kuat, dan arah kebijakan Fed yang diperkirakan tetap agresif. Pertumbuhan laba korporasi di 2023, diperkirakan akan melambat ke 0 persen. Secara historis, indeks S&P 500 berpotensi melemah jika proyeksi laba korporasi diturunkan dari positif menjadi negatif.
Prospek saham Eropa dikaji ulang dengan membaiknya sentimen di tengah penurunan harga gas alam yang berdampak pada penurunan inflasi dan menurunkan probabilitas resesi, bersamaan dengan pembukaan kembali ekonom China.
Namun, kami melihat bahwa risiko pengetatan yang berlebihan dapat tetap terjadi, dan kuatnya pasar ketenagakerjaan bersamaan dengan aksi pemogokan dan biaya gaji yang lebih tinggi, akan menekan laba perusahaan.
Ekspektasi untuk perubahan kebijakan Bank of Japan (BOJ) telah meningkat, termasuk penghapusan batas atas pada imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun, menyusul penyesuaian kurva imbal hasil (YCC) yang mengejutkan pada 20 Desember 2022 dan pelantikan gubernur baru pada April 2023. Pemerintah Jepang telah mengusulkan Kazuo Ueda sebagai gubernur Bank of Japan (BoJ) berikutnya untuk menggantikan Haruhiko Kuroda mulai 9 April 2023. Pasar saham diperdagangkan menguat bulan lalu didukung oleh harapan kebijakan dovish di bawah kepemimpinan gubernur baru.
Indeks saham MSCI Asia ex-Japan melemah di bulan Februari awal yang solid di bulan Januari 2023. Penurunan ini diakibatkan oleh meningkatnya ketegangan geopolitik, kenaikan imbal hasil obligasi UST 10 tahun dan revisi pendapatan yang menurun. Berdasarkan konsensus Refinitiv per 21 Februari 2023, pertumbuhan laba korporasi untuk emiten di indeks MSCI Asia ex-Japan diproyeksikan meningkat sebesar 0.9 persen, dibandingkan dengan 6.3 persen pada awal tahun 2023. Namun, konsensus ini juga menunjukkan peningkatan laba korporasi di 2024 sebesar 18.5 persen.
Pasar saham Hong Kong dan China melemah pada bulan Februari, akibat ekspektasi kenaikan suku bunga Fed yang agresif, munculnya kembali ketegangan AS-China dan kekhawatiran tentang meningkatnya persaingan di sektor teknologi. Kami menilai pasar saham Hong Kong dan China berpotensi melemah di bulan Maret, mengingat adanya periode kekosongan kebijakan sebelum kongres NPC, rilisan laporan laba korporasi yang masih perlu divalidasi dengan proyeksi pertumbuhan ke depannya, serta perlunya pengkajian ulang akan ekspektasi kenaikan suku bunga Fed.
Untuk industri secara global, kami meningkatkan bobot dari Netral menjadi Overweight seiring dengan rencana belanja terkait transisi energi dan upaya kembali ke negara asal. Kami mengubah bobot untuk sektor finansial global, seiring membaiknya sektor perbankan di Eropa dan China/ Hong Kong. Untuk perbankan Singapura, pasca pengumuman anggaran nasional, kami melihat akan adanya tekanan pada pertumbuhan sektor properti dan kredit sektor perumahan di semester 1 – 2023, walaupun hal ini dapat termitigasi oleh permintaan properti yang masih cukup kuat dari segmen kelas menengah.
Di sektor teknologi, walaupun rilisan pendapatan kuartal IV - 2022 sesuai ekspektasi, kami melihat investor masih perlu berhati-hati mengingat adanya tantangan terhadap belanja konsumen dan korporasi secara fundamental. Untuk sektor ini, kami lebih menyukai negara China. Rilisan awal laba korporasi menunjukkan sentimen yang lebih optimis di 2023. Pelemahan yang terjadi akhir-akhir ini di China, justru memberikan kesempatan investasi dengan valuasi yang lebih menarik.
Eli Lee, Head of Investment Strategy, Bank Of Singapore
“Di pasar obligasi, kami masih Overweight terhadap obligasi Investment Grade (IG) Negara Maju (DM), yang seharusnya akan menjadi aset pilihan apabila terjadinya resesi.” - Vasu Menon
Volatilitas pasar obligasi tahun ini akan tetap tinggi, setidaknya dalam jangka pendek. Para pelaku pasar harus tetap disiplin dan selektif terhadap aset pilihan. Kami mempertahankan pandangan Overweight terhadap obligasi DM IG untuk mendapatkan perlindungan terhadap risiko resesi, terutama di negara maju.
Pandangan terhadap obligasi negara berkembang tahun ini jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu. Pembukaan kembali ekonomi China telah berhasil menjadi katalis positif bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Terlebih lagi, hal tersebut juga memiliki dampak positif yang besar secara global, baik dari sisi permintaan atas energi dan komoditas hingga pariwisata di Asia Tenggara. Hal - hal positif lain yang berpotensi mendukung obligasi negara berkembang adalah pelemahan Dolar AS, semakin membaiknya fundamental di tengah aliran dana asing yang masuk. Sebaliknya, setelah reli penguatan beberapa bulan terakhir, kini valuasi mulai terlihat kurang menarik.
Kami masih mempertahankan rekomendasi Overweight terhadap obligasi layak investasi negara maju (developed market investment grade- DM IG). Dengan durasi terpanjang di antara kategori - kategori aset pendapatan tetap, kelas aset ini akan menjadi yang paling diminati apabila terjadi resesi yang berpotensi terjadi di semester 2 - 2023. Kami mempertahankan pandangan Underweight terhadap obligasi korporasi negara maju (developed market high yield – DM HY). Valuasi saat ini terlihat sedikit mahal dari segi risk-reward dengan rentang kredit imbal hasil yang tipis dibandingkan saat periode krisis Eropa di 2011 dan kehancuran sektor komoditas di tahun 2015-2016.
Kami memutuskan untuk Overweight di Asia, pada obligasi korporasi negara berkembang (emerging markets high yield - EM HY) seiring dengan dibukanya perekonomian China. Akan tetapi, setelah reli beberapa bulan terakhir kami melihat valuasi saat ini kurang menarik dan mulai tidak sebanding dengan fundamental sektor properti China. Maka dari itu, kami cenderung lebih menyukai beberapa perusahaan di Indonesia dan India di wilayah Asia. Kami juga Overweight di obligasi Asia layak investasi (investment grade – IG), didorong oleh strategi barbel yang mengombinasikan obligasi Korea Selatan dengan rating “AA” dan beberapa obligasi “BBB” dari Indonesia dan India.
“Pasar minyak dunia secara perlahan mengalami kenaikan dengan latar belakang pemulihan permintaan dari China, dan kami mempertahankan harga minyak Brent yang lebih tinggi sebesar USD90 per barel untuk jangka waktu 12 bulan.” - Vasu Menon
Data ekonomi AS dirilis lebih baik dibandingkan ekspektasi selama bulan Januari - Februari, dan tetap mensinyalkan pesan yang sama seperti dengan aktivitas yang tetap kuat, inflasi yang tinggi, dan pasar ketenagakerjaan yang tetap kuat. Hal ini meningkatkan ekspektasi bahwa Fed akan meneruskan kebijakan moneter yang lebih ketat dibandingkan ekspektasi sebelumnya, sehingga mendorong Dolar AS untuk menguat dan melemahkan harga emas. Pasar fisik emas masih melemah seiring lesunya permintaan dari China dan India, akan tetapi pembelian dari bank sentral masih tetap tinggi. Kami memperkirakan harga emas untuk 6-12 bulan ke depan akan berada di harga USD 1,970/oz seiring hambatan yang berkurang dari kenaikan suku bunga yang lebih moderat dalam jangka menengah. Kami tetap mempertahankan proyeksi imbal hasil obligasi AS UST 10 tahun berada di 3.5 persen di akhir tahun, sesuai pergerakan historis saat Fed menahan suku bunga.
Harga minyak Brent bergerak stabil, seiring kenaikan ekspor yang lebih tinggi dibandingkan ekspektasi untuk minyak mentah dan produk minyak Rusia, yang mengimbangi kenaikan permintaan dari China. Minyak Rusia mendapat dukungan dari permintaan di Asia, akan tetapi masih akan menghadapi risiko pasokan, dengan adanya sanksi dari Eropa untuk ekspor minyak Rusia.
Pasar minyak dunia, secara perlahan mengalami kenaikan didukung pemulihan permintaan pasar China, dan kami terus menargetkan estimasi harga minyak Brent yang cukup tinggi di USD90 per barel dalam waktu 12 bulan ke depan. Sektor pariwisata sejauh ini tampaknya menjadi penerima manfaat utama dari pembukaan ekonomi China. Kemacetan lalu lintas meningkat di Asia, khususnya di China, sementara jadwal penerbangan yang padat telah memperkuat prospek permintaan minyak avtur. Investor mengharapkan adanya kebijakan yang lebih longgar dari pemerintah China.
Indeks Dolar AS (USD) mencatat kenaikan bulanan pertamanya di bulan Februari sejak September 2022. Nada kebijakan Fed yang lebih hawkish adalah katalis utama setelah data ekonomi AS yang lebih baik dari perkiraan, sementara ketidakpastian geopolitik juga membebani sentimen investor. Kekhawatiran akan kenaikan suku bunga Fed yang lebih agresif mendorong penguatan Dolar AS dalam jangka pendek, tetapi sebaliknya jika terjadi penundaan pada kenaikan suku bunga, maka akan mendorong Dolar AS melemah.
Mata uang Euro melemah sebesar 2.6 persen terhadap Dolar AS di bulan Februari, namun pelemahan ini relatif terbatas dibandingkan periode penurunan sebelumnya di 2022. Hal ini diakibatkan oleh nada kebijakan ECB yang hawkish, perbaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Eropa dan penurunan tajam harga gas, yang membatasi penurunan Euro lebih lanjut. Secara keseluruhan, kami tetap konstruktif netral terhadap pergerakan Euro ke depannya.
Sementara itu Pound Inggris atau GBP melemah tipis 2.4 persen terhadap Dolar AS di bulan yang sama. Ketahanan GBP kali ini dikontribusi dari memudarnya pesimisme terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris, serta merespons persetujuan antara EU dan Inggris mengenai protokol Irlandia Utara. Mayoritas bank sentral dunia termasuk Fed, ECB, RBNZ dan RBA menegaskan kembali komitmen mereka untuk melawan inflasi di negaranya. RBNZ
Di sisi lain, USDCNH menguat 2.8 persen di bulan Februari. Hal ini diakibatkan oleh pembatalan pembukaan perdagangan China, nada kebijakan Fed yang lebih agresif, dan kembalinya ketegangan geopolitik.
Dolar AS juga menguat terhadap Dolar Singapura (SGD) dalam beberapa minggu terakhir, di tengah kenaikan Dolar AS sebagai dampak nada kebijakan Fed yang agresif. Data inflasi Singapura yang lebih rendah di bulan Januari turut mendorong SGD melemah.
Vasu Menon, Senior Investment Strategist, OCBC Bank
Staying the Course
Mengawali 2023, pergerakan pasar banyak dipengaruhi oleh ekspektasi para investor dari melunaknya kebijakan Fed, sehingga mendorong kenaikan pada aset risiko global. Indeks saham AS, Dow Jones, membukukan penguatan sebesar 3 persen, indeks S&P500 sebesar 8.5 persen, dan indeks teknologi NASDAQ lebih dari 15 persen, didorong oleh penguatan saham sektor teknologi yang signifikan. Pada pertemuan di bulan Januari, Presiden The Fed, Jerome Powell, menyatakan bahwa upaya bank sentral sejauh ini dinilai sukses dalam menekan tingkat inflasi dan terbukti dari rilisan data terakhir yang menunjukkan penurunan dari 7.1 ke 6.5 persen YoY di bulan Desember 2022. Para pelaku pasar kini melihat bank sentral AS hanya akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi di bulan Maret dan Mei, masing-masing sebesar 25 bps. Selain itu, rilisan data pertumbuhan ekonomi di kuartal empat 2022 juga dirilis di atas ekspektasi di level 2.9 persen, menambah sentimen positif pasar di awal tahun 2023. Dari sisi laporan keuangan korporasi, pada minggu pertama Februari, 69 persen dari perusahaan yang terdaftar di indeks acuan S&P500 telah melaporkan laba diatas ekspektasi, namun masih berada di bawah level pencapaian rata-rata lima tahun terakhir di 77 persen. Mayoritas perusahaan yang telah melaporkan juga mengatakan bahwa tahun 2023 ini menjadi tahun yang lebih menantang bagi dunia usaha. Namun, inflasi yang mulai melandai, pembukaan kembali ekonomi China hingga menurunnya probabilitas resesi global turut mendorong penguatan pasar saham global di awal tahun ini.
Beralih ke kawasan Eropa, yang juga mencatatkan penguatan cukup signifikan di bulan Januari lalu, ditengah aksi bargain hunting investor. Sentimen di Eropa juga didukung oleh normalisasi harga energi, yang dimana sebelumnya merupakan salah satu kekhawatiran utama investor. Perang antara Rusia dan Ukraina masih berlanjut, namun dampaknya terhadap pasar keuangan terlihat semakin rendah. Dari sisi kebijakan moneter, bank sentral Eropa dan Inggris sepakat untuk kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan lalu, dimana kedua bank sentral ini kembali menyampaikan komitmen untuk meredam kenaikan inflasi.
Sementara itu, pasar saham Asia, seperti yang terlihat dari indeks MSCI Asia Pacific juga mencatatkan penguatan yang signifikan bulan lalu, tercatat kenaikan sebesar 7.8 persen. Pembukaan kembali ekonomi China menjadi penyokong utama bagi aset berisiko di kawasan Asia, sebagai ekonomi nomor dua terbesar di dunia yang mulai meninggalkan kebijakan Zero-Covid. Hong Kong, sebagai pusat keuangan terkemuka di Asia turut melonggarkan kebijakan karantina dan pembatasan perjalanan per bulan lalu, sehingga menjadikan jalur Hong Kong – China lebih mudah diakses setelah terisolasi selama tiga tahun terakhir.
Secara fundamental, Indonesia terus menunjukkan pemulihan yang baik, bahkan beberapa data mencatatkan perkembangan yang lebih baik dari ekspektasi. Data inflasi yang terakhir dirilis menunjukkan penurunan dari angka 5.51 ke 5.28 persen YoY, di bawah ekspektasi 5.40 persen. Sementara itu, inflasi inti pun juga turun dari 3.36 ke 3.27 persen. Rilisan tersebut berhasil meningkatkan optimisme pelaku pasar terhadap kondisi perekonomian Indonesia, walaupun belum tercermin pada pergerakan pasar saham. Aktivitas manufaktur yang diukur melalui PMI Manufacture mencatatkan kenaikan dari 50.9 ke 51.3. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi kuartal empat 2022 juga dirilis di atas ekspektasi di 5.01% vs 4.92%. Secara keseluruhan, ketahanan ekonomi Indonesia terlihat cukup baik di awal tahun 2023, dengan proyeksi pemerintah untuk pertumbuhan tahun 2023 berada di rentang 4.9% - 5.3% (Sumber: Bank Indonesia).
Equity
Di bulan Januari, IHSG tidak berhasil mengikuti jejak penguatan bursa saham lainnya. Indeks terlihat bergerak sideways, mencatatkan pelemahan tipis sebesar 0.16 persen di tengah penguatan aset berisiko global. Namun, hal ini tidak terlalu mengejutkan mengingat pasar saham Indonesia masih berhasil mencatatkan penguatan sepanjang tahun 2022, tidak seperti bursa saham global lainnya. Secara sektoral, sektor teknologi dan konsumsi siklikal memimpin pelemahan bursa, turun 4.75 persen dan 3.49 persen. Investor asing melanjutkan aksi jualnya bulan lalu, mencatatkan penjualan bersih senilai US$182.11 juta. Investor masih berekspektasi pasar saham domestik untuk dapat mencatatkan penguatan tahun ini, didorong oleh peningkatan konsumsi dan sentimen tahun politik yang akan dimulai di semester kedua nanti. Namun, patut diingat bahwa sektor komoditas, yang sebelumnya merupakan salah satu penopang utama pasar saham di 2022, diperkirakan akan mulai kehilangan daya tariknya di tengah normalisasi harga komoditas. Maka dari itu, kami melihat IHSG akan diperdagangkan di rentang 6,900 – 7,300 pada paruh pertama tahun ini.
Bond
Kinerja pasar saham yang kurang mendukung bulan lalu membuat pasar obligasi lebih menarik di awal tahun 2023 ini. Imbal hasil acuan 10 tahun turun ke level 6.7 persen di akhir bulan. Reli yang terjadi pada US Treasury, diakibatkan oleh proyeksi The Fed yang lebih melunak. Sehingga, hal ini menjadi katalis bagi pasar obligasi domestik. Terlebih lagi, penguatan mata uang Rupiah hingga di bawah Rp 15,000/USD juga menjadi salah satu faktor utama yang membuat aset pendapatan tetap Indonesia menjadi atraktif. Investor asing juga berkontribusi pada penguatan pasar obligasi, mencatatkan pembelian bersih senilai USD$4.125 miliar sepanjang bulan Januari. Kami melihat prospek pasar obligasi tahun ini akan lebih baik, seiring dengan berhentinya siklus kenaikan suku bunga, inflasi yang lebih rendah, stabilitas Rupiah, dan imbal hasil yang tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya.
Currency
Mata uang Rupiah berhasil menguat signifikan terhadap Dolar AS, dari Rp 15,600/USD ke Rp 15,000/USD di akhir bulan Januari. Ekspektasi atas akhir dari siklus kenaikan suku bunga The Fed tahun ini mengakibatkan Dolar AS melemah terhadap mata uang lain. Hal tersebut juga tercermin dari pergerakan indeks Dollar DXY yang mencatatkan penurunan dari level 104.5 ke 102.1. Dengan tren pelemahan USD saat ini, mata uang Rupiah kini dapat diperdagangkan di level yang lebih stabil oleh investor.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Bank Sentral tetap menjadi perhatian
Kami memperkirakan The Fed dan ECB akan mempertahankan suku bunga tinggi di beberapa wilayah tertentu untuk menahan inflasi, yang berpotensi memicu terjadinya resesi. - Eli Lee Pasar keuangan memulai tahun ini dengan cukup kuat. Tiga kunci utama perkembangan global telah meningkatkan kepercayaan investor.
Pertama, inflasi terlihat menyentuh puncak di sejumlah negara di dunia. Di akhir tahun 2022, kenaikan inflasi mulai melandai hingga ke level 6.5 persen, jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Selain itu, inflasi Zona Eropa dan Inggris tampak sudah memuncak setelah mencapai level tertinggi empat dekade tahun lalu. Maka itu, investor menjadi lebih optimis bahwa bank sentral sudah selesai menaikkan suku bunga tahun ini dan mampu menurunkan inflasi tanpa menyebabkan resesi.
Kedua, musim dingin yang lebih ringan membuat Eropa terhindar dari krisis energi yang parah di tengah perang di Ukraina. Kami masih memperkirakan AS, Zona Euro, dan Inggris akan mengalami perlambatan ekonomi pada tahun 2023, dimana kenaikan suku bunga dan inflasi yang masih cukup tinggi akan melemahkan konsumsi dan pertumbuhan tahun ini. Namun, perlambatan ekonomi Eropa kemungkinan akan jauh lebih ringan dari yang dikhawatirkan sebelumnya karena cuaca yang baik telah membantu kawasan tersebut menekan kebutuhan energi, setelah Rusia memutus ekspor gas ke Uni Eropa pada tahun 2022.
Yang terakhir, pembukaan kembali ekonomi China dari pandemi setelah tiga tahun terisolasi secara global. Kami memperkirakan dengan berakhirnya kebijakan Zero-Covid secara signifikan akan meningkatkan prospek China untuk tahun 2023.
Secara signifikan, kami memperkirakan The Fed dan ECB masih akan agresif di paruh pertama tahun 2023, dengan tujuan untuk mengembalikan inflasi ke target 2 persen mereka. Dengan demikian, kami memproyeksikan The Fed dan ECB akan terus menaikkan suku bunga hingga setidaknya musim panas ini.
Terlepas dari laju kenaikan suku bunga Fed yang lebih lambat, kami memperkirakan bank sentral akan melakukan setidaknya dua kenaikan suku bunga 25 bps lagi pada bulan Maret dan Mei, membuat suku bunga The Fed ke level 5.00-5.25 persen.
Secara singkat, kebijakan moneter The Fed akan terus menekan inflasi AS dalam beberapa kuartal ke depan dan memastikan inflasi dapat kembali ke target 2 persen pada pertengahan dekade ini. Hal tersebut kemungkinan akan menjaga imbal hasil 10Y US Treasury lebih tinggi dari tahun lalu di sekitar 3.50 persen untuk tahun 2023.
Sebaliknya, pasar keuangan mengantisipasi kedua bank sentral akan mulai memangkas suku bunga sebelum akhir 2023 karena perlambatan pertumbuhan dan risiko resesi meningkat. Bagaimana pun, kami cenderung lebih negatif pada beberapa prospek: kami memperkirakan AS dan Zona Euro akan menghadapi resesi atau pertumbuhan stagnan di tahun ini, sementara para pembuat kebijakan tidak dapat memangkas suku bunga untuk mendukung ekonomi mereka karena inflasi kemungkinan masih akan berada di atas target Fed dan ECB 2 persen pada tahun 2023.
Sedikit berhati-hati
Meskipun awal yang cerah untuk pasar global pada Januari 2023, kami menyarankan sedikit berhati-hati di pasar. – Eli Lee
Pasar berbalik menguat di bulan Januari, dengan kinerja yang lebih baik didorong oleh Asia selain Jepang, khususnya pasar China dan Hong Kong.
Karena tekanan inflasi sedikit mereda akhir-akhir ini, hal ini telah memperbaiki sentimen. Namun, kami yakin pasar tidak sepenuhnya mengantisipasi potensi pertumbuhan pendapatan negatif yang akan datang, yang akan lebih tercermin di musim laporan keuangan mendatang.
AS – Pasar terlalu optimis
Musim pelaporan keuangan AS saat ini sedang berlangsung. Secara umum, kami mengamati bahwa konsumsi secara keseluruhan masih bertahan, tetapi sinyal pelemahan mulai terlihat. Secara year-to-date, Indeks S&P 500 telah menunjukkan kinerja yang kuat. Kami pikir ini disebabkan karena meningkatnya ekspektasi bahwa ekonomi akan mengalami perlambatan yang lebih moderat, dan Federal Reserve (The Fed) akan menurunkan suku bunga pada paruh kedua tahun ini. Kami percaya ini terlalu optimis, mengingat pasar tenaga kerja yang ketat dan pertumbuhan upah yang konsisten. Kami memperkirakan akan terjadi volatilitas yang rendah di semester satu, diikuti oleh pemulihan yang lebih berkelanjutan di semester dua di 2023.
Eropa – Berita yang lebih baik untuk memulai tahun ini
Harga gas alam Eropa telah turun drastis, dibantu oleh (i) musim dingin yang lebih ringan, (ii) permintaan gas yang lebih rendah, dan (iii) meningkatnya impor gas alam cair (LNG) sehingga persediaan melimpah.
Kami telah merevisi perkiraan PDB Zona Euro 2023 dari -0.8 persen menjadi -0.1 persen, didorong oleh rilisan data ekonomi dibandingkan ekspektasi serta pembukaan kembali ekonomi China. Namun, risiko pelemahan ekonomi masih cukup tinggi ke depannya, dengan adanya potensi kebijakan yang jauh lebih ketat dari bank sentral Eropa.
Jepang – Meningkatnya harapan untuk perubahan kebijakan lebih lanjut
Sentimen investor di Jepang masih dipengaruhi oleh meningkatnya ekspektasi untuk perubahan kebijakan lebih lanjut dari Bank of Japan (BoJ), termasuk penghapusan batas atas imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun, menyusul penyesuaian kurva imbal hasil (YCC) yang mengejutkan pada 20 Desember 2022 dan pelantikan gubernur baru mulai April 2023.
Asia Ex- Jepang – Didukung oleh pembukaan kembali China yang lebih cepat dari perkiraan
Indeks MSCI Asia ex-Japan, mengawali tahun 2023 dengan kinerja yang memuaskan, mengungguli pasar utama lainnya disebabkan karena pembukaan kembali China yang lebih cepat dari perkiraan. Selain pasar China dan Hong Kong, kinerja pasar saham Korea dan Taiwan juga meriah, didukung oleh aliran masuk investor asing yang kuat.
China – Tetap konstruktif
Pada bulan Januari, Indeks Hang Seng (HSI), Indeks MSCI China dan Indeks CSI 300 menunjukkan kinerja yang kuat. Sementara penguatan tajam di pasar saham Hong Kong dan China sejak November-22 dapat mendorong aksi profit taking dan konsolidasi pasar dalam waktu dekat. Kami tetap konstruktif di pasar saham China dan memperkirakan saham A-shares untuk menyusul kenaikan.
Pandangan secara Sektoral
Tahun lalu kami mengadopsi sikap defensif dalam menghadapi volatilitas pasar, tetapi mengawali tahun 2023, kami telah memilih profil yang lebih seimbang dengan menaikkan bobot pada sektor konsumsi kebutuhan sekunder, bahan dasar (material), dan menaikan pandangan netral terhadap sektor industrial.
Kami berharap bahwa perusahaan yang terkena dampak pembukaan kembali China akan terus didukung oleh momentum positif, termasuk perusahaan yang berkaitan dengan bidang perhotelan, pariwisata, dan konsumsi.
Sementara itu, untuk sektor teknologi, kami menyukai perusahan internet China, perusahaan semikonduktor global, perangkat lunak AS, dan internet AS. Pandangan ini didasarkan pada estimasi di mana menurut kami sub-sektor tersebut berada dalam siklus pasar sekarang, dan proyeksi pertumbuhan ke depannya.
Overweight pada obligasi layak investasi negara maju
Kami mempertahankan pandangan overweight untuk obligasi layak investasi negara maju seiring dengan meningkatnya potensi terjadinya resesi, terutama di negara maju di paruh kedua tahun ini. – Vasu Menon.
Dalam tiga bulan terakhir, imbal hasil pendapatan tetap menurun cukup signifikan. Obligasi korporasi negara berkembang (emerging markets high yield) memimpin dengan penurunan imbal hasil sebanyak 300 bps, sementara obligasi layak investasi negara berkembang turun 70 bps. Di pasar obligasi negara maju, obligasi korporasi turun 44 bps dan IG sebesar 20 bps.
Netral pada obligasi korporasi negara berkembang
Pandangan dari pasar obligasi negara berkembang sudah membaik dibandingkan tahun 2022. Pembukaan kembali ekonomi China berhasil menjadi katalis positif bagi pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, dampak lanjutan terhadap ekonomi global pun akan terasa, dari kenaikan permintaan untuk energi dan komoditas di Afrika dan Amerika Latin hingga peningkatan pariwisata di Asia Tenggara.
Overweight pada obligasi layak investasi negara maju dan underweight obligasi korporasi negara maju
Kami masih mempertahankan pandangan overweight terhadap obligasi layak investasi negara maju (developed market investment grade). Dengan durasi terpanjang dalam kategori obligasi global, kelas aset ini akan menjadi tujuan utama investor saat terjadi resesi dan berpotensi menjadi yang paling diuntungkan apabila The Fed mulai memangkas suku bunga di semester kedua tahun ini. Kami mempertahankan pandangan underweight kami terhadap obligasi korporasi negara maju.
Performa Asia yang Baik
Di luar skandal Adani, pasar obligasi di Asia cukup didukung oleh pembukaan kembali ekonomi China. Kinerja yang baik berlanjut sepanjang bulan Januari 2023, didorong oleh obligasi korporasi (high yield) sektor properti China.
Melihat ke depan, proyeksi sektor properti masih belum menentu. Dari sisi yang lebih positif, beberapa perubahan kebijakan dan pelonggaran yang dilakukan telah mengurangi risiko penurunan lebih lanjut dari sektor tersebut, yang memperbaiki fundamental dan valuasi sektor.
Overweight Asia
Kami overweight obligasi korporasi di negara berkembang (Emerging Markets High Yield) Asia, terutama akibat pembukaan ekonomi China. Namun, setelah reli belakangan yang cukup ekstrim bagi obligasi sektor properti China, kami memilih overweight terhadap beberapa nama–nama besar di Indonesia dan India.
Kami juga overweight di obligasi layak investasi di negara berkembang (Emerging Markets Investment Grade) di Asia, dengan implementasi strategi barbel yang berisikan obligasi “AA” dari Korea dan beberapa “BBB” dari Indonesia dan India.
Emas Turun Sementara
Data pekerjaan AS yang kuat adalah hambatan jangka pendek untuk harga emas. Namun, kami melihat proyeksi jangka menengah emas akan cukup baik, didukung oleh penghentian siklus kenaikan suku bunga Fed di semester kedua, risiko resesi yang meningkat, pelemahan Dolar AS lebih lanjut, dan akumulasi emas oleh bank sentral dunia. – Vasu Menon
Emas
Emas menguat tajam di awal tahun, namun segera melemah bersamaan dengan pelemahan Dolar AS. Kami menilai pergerakan emas akan banyak dipengaruhi oleh rilisan data ekonomi AS. Data ketenagakerjaan dirilis menguat, di tengah kenaikan suku bunga yang agresif, mendorong Fed untuk tetap agresif dan menunda suku bunga ke depannya, setidaknya hingga inflasi mencapai kisaran target. Faktor-faktor ini menjadi penghambat untuk pergerakan emas dalam jangka pendek.
Kami mempertahankan target harga emas untuk 6-12 bulan di US$ 1,970/oz dalam jangka menengah dengan alasan berikut:
Minyak
Perlambatan signifikan dalam aktivitas manufaktur global yang didorong oleh kenaikan suku bunga bank sentral untuk melawan inflasi, mengakibatkan penurunan harga minyak di semester kedua di 2022. Namun, pasar minyak diperkirakan akan mengalami kenaikan seiring dengan adanya permintaan yang datang dari pembukaan ekonomi China. Pemulihan ekonomi China telah mendorong kenaikan harga akhir-akhir ini, dan masih berlanjut terutama dengan adanya kenaikan permintaan di sektor penerbangan sipil. Kami merevisi estimasi harga minyak Brent untuk kontrak berjangka 12 bulan ke US$ 90 per barel, dari sebelumnya di US$85 per barel, dengan potensi ekonomi global terhindar dari krisis seiring dengan pembukaan ekonomi China yang lebih cepat, serta terhindarnya Eropa dari krisis energi.
Currency
Jika indeks Dolar AS (DXY) telah melemah cukup signifikan dalam beberapa bulan terakhir, kini muncul tanda-tanda Dolar AS berbalik arah, setelah berada di posisi terendah selama hampir 10 bulan. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan ekspektasi dari bank sentral AS menjadi lebih agresif setelah laporan ketenagakerjaan AS dan aktivitas sektor jasa yang kuat pada bulan Januari. Hal ini sesuai pandangan kami bahwa penurunan Dolar AS tidak akan terjadi secara garis lurus. Akan tetap terjadi naik-turun sepanjang jalan, karena posisi Dolar AS yang masih diuntungkan dari imbal hasil dan bagaimanapun Fed masih menaikkan suku bunga (walaupun dengan laju yang lebih lambat). Pergerakan mata uang akan banyak bergantung arah rilisan data inflasi AS dalam beberapa bulan ke depan. Jika tren perlambatan laju kenaikan inflasi AS (disinflasi) mulai mereda sementara, maka akan mendorong adanya sentimen negatif di pasar dan Dolar AS berpotensi menguat. Akan tetapi, jika disinflasi ini terus berlanjut, dan rilisan data inflasi lebih rendah dibandingkan ekspektasi, maka Dolar AS dapat kembali melemah.
Selanjutnya, kami terus menekankan bahwa rilisan data ekonomi AS akan semakin menjadi penentu arah pergerakan Dolar AS, terutama saat kenaikan suku bunga mulai terbatas. Namun, di luar kenaikan Dolar AS akhir-akhir ini, kami mempertahankan pandangan bahwa kenaikan Dolar AS akan cukup terbatas seiring melambatnya laju kenaikan suku bunga Fed. Tren disinflasi dan sinyal dari aktivitas ekonomi yang melambat, mendorong Fed untuk memperlambat laju kenaikan suku bunga dengan potensi jeda di semester kedua 2023. Sehingga, kami melihat adanya pergerakan Dolar AS yang lebih moderat dengan kecenderungan melemah ke depannya.
Tahun 2022 memang merupakan tahun yang sulit bagi perekonomian global dan juga pasar modal nya. The Fed sendiri telah menaikkan suku bunga acuan secara agresif, naik dari rentang 0.00% - 0.25% ke 3.75% - 4.00% hanya dalam 9 bulan. Perang antara Rusia dan Ukraina masih terus berlanjut, memicu kenaikan inflasi yang terutama didorong oleh lonjakan harga energi. Terlebih lagi, China masih mempertahankan kebijakan Zero-Covid nya dan hanya berhasil mencatatkan pertumbuhan di kisaran 3% tahun ini, jauh dibawah target awal pemerintah 5%. Positifnya, di akhir tahun ini China dikabarkan akan memulai pelonggaran kebijakan Zero-Covid akibat banyaknya aksi unjuk rasa masyarakat.
Dari segi inflasi, penurunan terjadi pada November di AS, turun dari 8.2% ke 7.7% secara tahunan dan diperkirakan masih akan bergerak turun memasuki tahun 2023. Para ekonom dan investor global kini melihat potensi berhenti nya siklus kenaikan suku bunga oleh The Fed pada kuartal pertama 2023 apabila data ekonomi mendukung. Di Eropa, tensi geopolitik masih jauh dari titik damai dan krisis energi yang masih terjadi masih merupakan salah satu kekhawatiran investor. Inflasi sendiri bagi Zona Eropa dan Inggris masih berada diatas batas level 10%. Di sisi lain, harga minyak mentah WTI mencatatkan penurunan yang signifikan bulan lalu, dari kisaran USD$90/b ke USD$80/b, dan diawal bulan Desember ini berada di kisaran USD$70/b.
Di Indonesia, terjadi lonjakan kasus harian COVID-19 di awal bulan November akibat varian baru XBB. Namun, di awal bulan Desember terlihat sudah cukup terjaga sehingga potensi penerapan pembatasan sosial seperti PPKM pun seharusnya tidak terjadi. Secara fundamental, inflasi kembali bergerak turun bulan lalu dari 5.71% ke 5.42% seiring dengan inflasi inti. Dengan suku bunga Bank Indonesia saat ini berada di 5.25%, konsumsi pun terlihat cukup terjaga. Akan tetapi, data PMI Manufaktur yang dirilis bulan lalu mencatatkan penurunan dari 51.8 ke 50.3. Selain itu, indeks keyakinan konsumen (IKK) juga turun dari 120.3 ke 119.1
Tinggi nya harga komoditas berhasil memberikan imunitas bagi Indonesia terhadap probabilitas terjadi nya resesi tahun ini. Namun, potensi penguatan USD dan kenaikan impor seiring dengan meningkatnya permintaan domestik; kedua hal tersebut dapat membebani pertumbuhan ekonomi in kuartal pertama 2023. Di lain sisi, mengingat fokus tahun depan akan tertuju pada politik memasuki pemilu 2024, ekonomi dapat mendapatkan support dari meningkatnya konsumsi seperti yang terjadi di kesempatan – kesempatan sebelumnya.
Di bulan November, indeks IHSG cenderung bergerak kesamping, hanya mencatatkan penurunan tipis sebesar 0.23%. Pasar saham tidak berhasil bergerak menguat akibat beberapa hal, namun terutama akibat faktor - faktor eksternal seperti potensi resesi global hingga tensi geopolitik.
Di awal bulan Desember, pasar saham dibebani oleh penurunan sektor teknologi yang terutama diakibatkan oleh saham GoTo. Merger antara perusahaan Gojek dan Tokopedia merupakan salah satu aksi korporasi yang paling menarik perhatian di awal tahun ini, namun setelah berakhirnya periode lockup bagi para investor awal, terlihat aksi jual yang sangat masif terhadap saham tersebut. Ditambah lagi, hasil laporan keuangan korporasi untuk kuartal tiga lalu menunjukkan bahwa kerugian perusahaan meningkat sebesar 75.5% secara tahunan, semakin meningkatkan pesimisme investor. Walaupun volatilitas masih akan tinggi bagi pasar saham, kami melihat masih ada nya potensi Window Dressing secara terbatas di penghujung tahun 2022, dengan IHSG diperkirakan dapat menutup tahun di rentang 6,800 – 7,100.
Di pasar obligasi, imbal hasil acuan 10 - tahun mencatatkan penurunan bulanan terbesarnya di kisaran 8%, sehingga menutup bulan November di level 6.94%. Penurunan hampir 50 basis poin tersebut ditopang oleh optimisme investor, pelemahan dolar AS, dan juga kebijakan moneter Bank Indonesia yang direspon dengan baik oleh pasar. Bank Indonesia telah menyatakan bahwa siklus kenaikan suku bunga akan bersifat front-loaded, dan hal ini terbukti dari kembali naiknya suku bunga acuan 7-day reverse repo rate sebesar 50 basis poin pada pertemuan bulan lalu. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa kenaikan suku bunga acuan diawal merupakan langkah yang diharuskan untuk mengendalikan inflasi, dan secara praktek pun terlihat efektif. Kenaikan suku bunga juga telah berhasil memberikan dukungan bagi Rupiah terhadap dolar AS bulan lalu.
Kedepan, imbal hasil masih berpotensi untuk melanjutkan kenaikan. Maka dari itu, investor masih harus tetap selektif dan berhati-hati saat memilih investasi aset pendapatan tetap di akhir tahun ini.
Mata uang USDIDR bergerak cukup sideways sepanjang bulan November, mencatatkan sedikit kenaikan dari kisaran 15,600/USD ke 15,730/USD. Kenaikan suku bunga acuan sebesar 0.5% oleh Bank Indonesia tidak berhasil menjadi katalis penguat Rupiah terhadap dolar AS. Mata uang domestik masih diprediksi akan cukup tertekan memasuki tahun 2023, seiring dengan The Fed yang masih akan menaikkan suku bunga acuan di AS. Apabila The Fed dapat berubah lebih dovish di awal tahun depan, maka tekanan bagi Rupiah sendiri akan lebih berkurang.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Tantangan yang berkurang
Semester pertama di tahun 2023 kemungkinan masih menantang karena Eropa yang mengalami penurunan dan AS yang menghadapi resesi. Namun, seiring dengan berjalannya tahun 2023, bank sentral kemungkinan akan menghentikan kenaikan suku bunga dan Beijing akan memperlonggar kebijakan mengenai COVID-19. – Eli Lee
Prospek ekonomi sangat menantang di tahun 2022. Risiko penurunan yang berkepanjangan di Eropa, perang di Ukraina dan ancaman resesi ringan di AS merupakan faktor-fakor yang akan diperhatikan investor di tahun yang baru. Namun di 2023, prospek ekonomi seharusnya akan lebih menguntungkan seiring dengan 2 kunci perubahan utama.
Kami memperkirakan inflasi PCE inti akan berada di bawah 5% di akhir tahun 2022, sebelum turun lebih jauh menjadi sekitar 3.0-3.5% pada akhir tahun 2023 dan dibawah 2.5% pada akhir tahun 2024. Disinflasi yang lambat ini kemungkinan akan membuat The Fed untuk menyelesaikan kenaikan suku bunga pada awal tahun depan. Menyusul kenaikan suku bunga 75 bps pada empat pertemuan terakhirnya, kami memperkirakan The Fed akan memperlambat kenaikan suku bunga menjadi 50 bps pada bulan Desember dan Februari, sebelum mengakhiri siklus pengetatan saat ini, dengan suku bunga The Fed memuncak pada level 4.75-5.00%.
Tetapi akhir dari kenaikan suku bunga agresif The Fed akan sangat penting bagi pasar keuangan. Dalam tabel perkiraan kami, kami mengantisipasi imbal hasil 10Y US Treasury akan memuncak sekitar 4% dan turun menjadi 3.50% selama tahun 2023.
Demikian pula, kami memperkirakan Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank Sentral Inggris (BoE) juga akan menyelesaikan kenaikan suku bunga di awal tahun depan masing-masing sebesar 2.25% dan 4.00%. Meskipun inflasi jauh di atas target 2% masing-masing bank sentral, para pejabat kemungkinan akan memperkirakan tekanan inflasi akan turun karena Zona Euro dan Inggris menghadapi resesi berkepanjangan selama tahun 2023.
Dengan kondisi pelonggaran People's Bank of China (PBoC) untuk mendukung pertumbuhan di China dan Bank of Japan (BoJ) di bawah Gubernur Kuroda memperkirakan inflasi hanya bersifat sementara di Jepang, oleh karena itu bank sentral utama akan berhenti memperketat kebijakan moneter pada paruh pertama tahun 2023.
Kami memperkirakan pihak berwenang akan bergerak secara signifikan untuk melonggarkan kebijakan Zero-Covid China sejalan dengan seluruh dunia pada tahun 2023. Tetapi pada musim semi 2023, Beijing akan mulai melonggarkan penguncian ketat untuk mendukung pertumbuhan yang lebih kuat.
Dengan demikian, kami memperkirakan pertumbuhan PDB China akan tetap rendah di 3.0% pada tahun 2022 setelah rebound 8.1% yang kuat tahun lalu dari pandemi. Namun pada tahun 2023, kami memproyeksikan tingkat pertumbuhan PDB yang lebih kuat sebesar 4.5%.
Selama tahun depan, kami memperkirakan imbal hasil US Treasury yang lebih stabil karena bank sentral menyelesaikan kenaikan suku bunga dan pertumbuhan yang lebih kuat di China untuk memberikan peluang baru bagi investor.
Walaupun risiko resesi akan meningkat tahun depan, puncak imbal hasil obligasi pemerintah global akan memungkinkan US Treasury dan obligasi negara maju Investment Grade untuk bertindak sebagai safe haven hedges terhadap pertumbuhan global yang lemah.
Selain itu, kemungkinan pergeseran dari sikap Zero-Covid China yang ketat akan membantu meredam pertumbuhan di Asia termasuk Jepang dari penurunan berkepanjangan Eropa pada tahun 2023 dan kemungkinan resesi AS yang ringan - untuk keuntungan aset berisiko di kawasan tersebut.
Source: Bank of Singapore
2023: Tahun yang akan terbagi
2023 siap untuk menjadi tahun dua bagian dengan saham global yang akan mengalami proses bottoming yang fluktuatif di semester awal sebelum terjadi pemulihan di semester kedua. Kami yakin pasar saham global cenderung menunjukkan pembalikan arah yang positif secara tahunan pada akhir 2023. – Eli Lee
Menjelang tahun 2023, prospek saham global akan tetap sangat berfluktuatif dengan ketidakpastian yang tinggi, disebbabkan oleh inflasi yang tinggi, pandangan bank sentral yang hawkish, dan potensi resesi AS.
Kami melihat tahun 2023 menjadi tahun dua bagian dan memperkirakan saham global akan secara luas mengalami proses bottoming yang fluktuatif di 1H23, sebelum terjadi pemulihan di 2H23 dengan sebagian besar kenaikan positif secara tahunan.
View terhadap sektoral
Kami telah mengadopsi sikap defensif dalam menghadapi volatilitas pasar, tetapi melihat ke depan pada tahun 2023, kami mencari profil yang sedikit lebih seimbang dan meningkatkan Diskresi Konsumen, Material, dan Industri dari underweight menjadi netral.
Lembaran baru
Kami mengatisipasi ada nya potensi penguatan pasar obligasi global di tahun 2023, sehingga kami meningkatkan seluruh proyeksi pertumbuhan kredit terkecuali bagi obligasi negara maju High Yield. Obligasi negara maju Investment Grade masih menjadi pilihan utama kami dengan pandangan overweight saat ini. – Vasu Menon
Kami menganggap rilisan data inflasi AS yang terakhir dapat menjadi titik yang monumental bagi pasar obligasi. Walaupun data inflasi yang dirilis lebih rendah dari ekspektasi tidak akan mengubah sikap hawkish The Fed sepenuhnya, namun laju kenaikan suku bunga seharusnya akan lebih moderat oleh bank sentral; dari sebelumnya 75bps ke 50bps di bulan Desember. Lebih penting lagi, fokus pasar dapat berubah dari tinggi nya inflasi ke pertumbuhan ekonomi, dengan antisipasi kenaikan suku bunga terakhir oleh The Fed di bulan Februari 2023 dan reli penguatan US Treasury menjelang akhir tahun. Dalam situasi seperti ini, kami melihat potensi penguatan menyeluruh bagi pasar obligasi di tahun 2023, sehingga meningkatkan seluruh proyeksi pasar kredit terkecuali bagi obligasi negara maju (DM) High Yileld (HY). Kami menilai obligasi DM Investment Grade (IG) dengan durasi terpanjang saat ini masih berada dalam posisi yang baik, sehingga menjadi pilihan utama kami dengan peningkatan ke overweight.
Pelebaran spread yang signifikan tahun ini
Walaupun reli obligasi korporasi belakangan ini cukup tinggi, melebarnya spread di tahun 2022 yang signifikan sangat berdampak terhadap obligasi negara berkembang (EM). Obligasi EM HY melebar hampir 200bps sejak awal tahun sementara EM IG sebesar 56bps. Di sisi lain, obligasi DM HY melebar 105bps sementara IG hanya sebesar 38bps.
Naik ke netral untuk obligasi korporasi EM
Potensi performa bagi kredit EM untuk beberapa tahun kedepan terlihat cukup cerah akibat beberapa hal seperti: 1) Indikasi – indiasi pembukaan ekonomi China lewat pelonggaran kebijakan Zero-Covid dan pemulihan sektor properti China; 2) menurunnya tensi geopolitik global; 3) pelemahan mata uang USD (seiring dengan suku bunga).
Naik ke overweight untuk obligasi DM IG, namun masih underweight untuk DM HY
Kami meningkatkan rekomendasi kami untuk obligasi DM IG ke overweight. Dengan durasi terpanjang diantara kategori obligasi lainnya, kelas aset ini akan mendapatkan keuntungan paling signifikan disaat siklus pemangkasan suku bunga dimulai oleh para bank sentral.
Netral di obligasi Asia HY dan IG
Kami netral di obligasi Asia HY. Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya potensi resesi global akibat kenaikan suku bunga yang terlalu cepat, kami cenderung lebih menyukai sektor-sektor defensive di pasar seperti energi terbarukan, pangan dan agrikultur, telekomunikasi, dan utilitas yang memang akan lebih tahan dalam kondisi seperti ini akibat aliran kas perusahaan yang lebih stabil.
Emas kembali bersinar
Emas mungkin menghadapi tantangan dalam beberapa bulan ke depan karena The Fed memperketat kebijakan memasuki Q1 2023. Tetapi rebound menuju US$1.850/oz dalam 6-12 bulan berpotensi terjadi jika Fed berhenti pada pertengahan 2023 menyebabkan imbal hasil US Treasury turun lebih rendah dan mengambil penguatan Dolar AS. - Vasu Menon
Emas
Tahun 2022 merupakan tahun yang berat untuk emas seiring dengan hawkish nya The Fed yang telah mendorong kenaikan imbal hasil US Treasury dan Dolar AS (USD). Namun, potensi kenaikan emas mulai terlihat seiring dengan ekspektasi perlambatan kenaikan suku bunga The Fed di tahun 2023, bahkan Ketika Bitcoin tetap berada dibawah tekanan ditengah krisis crypto.
Kami tidak dapat mengesampingkan kenaikan untuk emas dalam beberapa bulan ke depan dengan Fed masih diperkirakan akan mengetatkan kebijakan moneter pada Q1 2023. Tetapi harga untuk emas dapat terlihat pada tahun 2023. Kami melihat harga emas akan rebound menuju USD1.850/ons dalam waktu 6-12 bulan karena Fed menahan kenaikan pada pertengahan 2023 dan imbal hasil US Treasury mulai turun lebih rendah, mengambil pelemahan dari USD. Fakta bahwa emas telah menanggapi harapan palsu kebijakan moneter akhir-akhir ini, meyakinkan kami bahwa emas akan bereaksi sebelum The Fed memberi sinyal kuat untuk mulai keluar dari arah pembatasan.
Minyak
Harga minyak turun secara bertahap setelah mencapai puncaknya di bulan Juni. Kekhawatiran atas permintaan yang lebih lemah menjadi latar belakang harga minyak yang lebih rendah. Pertama, bank sentral utama telah memperketat kebijakan moneter untuk melawan inflasi. Meningkatnya risiko resesi membebani harga minyak. Kedua, kebangkitan COVID-19 di China telah mengganggu mobilitas.
Banyak kota kembali memperketat kebijakan COVID-19. Perkiraan kami adalah penurunan harga minyak selama satu hingga dua kuartal berikutnya. Namun kami mempertahankan perkiraan minyak Brent 12 bulan stabil di US$ 85/barel. Harga minyak dapat menguat kembali pada paruh kedua tahun 2023 karena China membuka kembali atau jika krisis energi Eropa semakin meningkat dengan latar belakang musim dingin yang lebih dingin. Kondisi pasokan yang ketat juga akan membatasi risiko penurunan harga minyak. Kami melihat kebijakan bias OPEC sangat dipengaruhi pada disiplin produksi.
Currency
Pada satu titik di bulan September tahun ini, Indeks Dolar AS (USD) naik sebanyak 20%. Daya pikat suku bunga dan imbal hasil US Treasury yang lebih tinggi, serta permintaan safe-haven, merupakan faktor utama yang menopang kekuatan USD.
Namun, kenaikan tampaknya telah berbalik. Perdagangan USD yang telah menjadi perdagangan konsensus pada tahun 2022 terlihat tidak semudah dengan pembelian USD yang terburu-buru untuk keluar. Kami mengaitkan perubahan signifikan yang lebih rendah (sekitar 6% dari puncaknya di bulan November) terhadap dua pendorong utama: (1) laporan Inflasi Harga Konsumen (CPI) AS Oktober yang lebih lemah dari yang diharapkan dirilis pada awal November dan (2) risalah dovish dari Pertemuan kebijakan Fed (FOMC) pada bulan November.
Data ekonomi yang lebih lemah dari perkiraan juga telah menyebabkan ekspektasi untuk langkah penurunan laju kenaikan suku bunga Fed pada Desember 2022 atau bahkan Februari 2023 dan ini memberikan ruang bagi USD untuk bergerak lebih rendah. Meskipun demikian, kami tetap berhati-hati karena kalibrasi kebijakan tidak berarti bahwa Fed selesai dengan pengetatan. Tarif masih dinaikkan dan semakin tinggi, meskipun pada kecepatan yang berpotensi lebih lambat. Oleh karena itu, profil USD sedang hingga lebih lemah dari pada kemungkinan penurunan besar-besaran dalam USD.
Testing Time
Menjelang akhir tahun sejumlah kekhawatiran masih membayangi pergerakan pasar modal, seperti sentimen negatif yang datang dari potensi resesi serta siklus kenaikan suku bunga yang lebih agresif akibat dari inflasi yang bertahan tinggi. Sebagai akibatnya, Dolar AS terus menguat sehingga mengakibatkan kinerja beberapa kelas aset melemah di bulan Oktober. Akan tetapi, berita yang cukup melegakan datang dari AS di minggu kedua bulan November. Inflasi AS bulan Oktober mencatatkan penurunan ke 7.7% y-o-y, dibandingkan bulan sebelumnya di 8.2% y-o-y. Tak hanya itu, data PDB AS kuartal III juga dirilis cukup menggembirakan dengan kenaikan 2.6%, setelah mengalami kontraksi negatif di dua kuartal sebelumnya. Kenaikan suku bunga Fed yang cukup agresif mulai terlihat efektif untuk mengontrol laju inflasi tanpa mendorong ekonomi AS masuk ke jurang resesi lebih dalam.
Sementara itu, era kenaikan suku bunga masih berlanjut pada negara-negara maju lainnya, seperti Eropa dan Inggris. Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank Sentral Inggris (BoE) telah mengetatkan kebijakan moneternya sebesar 75 basis poin pada pertemuan kebijakan moneter terakhir, sejalan dengan The Fed. Inflasi pada kedua negara tersebut masih tinggi seiring dengan tagihan energi dan harga pangan yang melonjak. Risiko stagflasi hingga resesi masih mengancam Eropa dan Inggris, ditambah lagi dengan beberapa indikator yang menunjukkan bahwa perekonomian akan mengalami kontraksi hingga 2024 mendatang.
Memasuki kawasan Asia, tantangan ekonomi akibat Zero Covid Policy masih terjadi di China seiring dengan kenaikan jumlah kasus harian Covid-19. Sektor perdagangan China pun masih lemah, terlihat dari turunnya nilai ekspor, perlambatan dari sisi domestik, serta ancaman resesi global yang menghantam perdagangan internasional. Akan tetapi menjelang akhir tahun, pemerintah China terlihat mulai menunjukkan sinyal yang melunak terkait aturan karantina dan larangan penerbangan.
Beralih ke dalam negeri, berita baik datang dari ekonomi nasional, yang berhasil tumbuh pada kuartal III – 2022 sebesar 5.72% YoY, lebih tinggi jika dibandingkan dengan level sebelum pandemi COVID-19 di 2020. Di saat negara-negara jatuh masuk ke dalam resesi, pemulihan ekonomi yang berlanjut di Indonesia menjadi hal yang positif. Data ekonomi lain juga menunjukkan bahwa fundamental Indonesia masih solid.
Manufaktur Indonesia masih berada di zona ekspansi, walapun lebih rendah dari bulan September lalu. Level ini masih sangat baik ditengah menurunnya permintaan karena adanya pelemahan pada negara-negara maju. Secara tahunan (YoY), inflasi melandai ke 5.71% untuk periode Oktober 2022. Inflasi Indonesia cukup stabil dan sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia dan Pemerintah. Sementara cadangan devisa periode Oktober masih tetap tinggi sebesar USD 130.20 Miliar, dan masih tetap memadai seiring dengan stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga.
Equity
Di bulan Oktober, IHSG mencatatkan penguatan +0.83% ke level 7,098.89. Fundamental Indonesia yang masih solid menjadi katalis positif ditengah berbagai sentimen negatif global. Dari sisi laporan pendapatan perusahaan, mayoritas emiten melaporkan kinerja diatas ekspektasi untuk kuartal III – 2022. Tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara konsisten diharapkan menjadi daya tarik bagi investor untuk masuk ke pasar saham Indonesia ditengah ketidakpastian yang masih berlanjut. IHSG diperkirakan berada di rentang 7,200-7,500 hingga penutupan tahun 2022.
Bond
Di pasar obligasi, imbal hasil benchmark 10 tahun naik ke kisaran 7.537% di bulan Oktober, menandakan adanya pelemahan dari sisi harga. Pelemahan terjadi ditengah agresivitas The Fed dalam menaikkan fed funds rate, dan juga Bank Indonesia (BI) yang kembali menaikkan BI 7 days Reverse Repo Rate menjadi 4.75%. Ke depannya, supply yang lebih terbatas serta adanya kebijakan operation twist dari Bank Indonesia, diharapkan dapat meredam kenaikan imbal hasil obligasi seiring dengan berlanjutnya kenaikan suku bunga.
Rupiah
Dari sisi mata uang, Rupiah masih tertekan terhadap Dolar AS sebesar 2.44% ke level 15,598 /USD di akhir bulan Oktober lalu. Tren pelemahan sudah terjadi selama 3 bulan beruntun. Agresifnya The Fed membuat Indeks Dollar (DXY) terlihat kuat di level 111.52. Ke depan, cadangan devisa yang masih memadai serta naiknya suku bunga Bank Indonesia diharapkan dapat memperkuat stabilitas nilai tukar agar sejalan dengan nilai fundamental ditengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
GLOBAL OUTLOOK
Testing times
Menjelang akhir tahun 2022, prospek ekonomi masih akan menantang seiring dengan risiko dari inflasi, resesi, pandemi, dan juga kenaikan suku bunga lanjutan, dimana semua hal tersebut memberikan ketidakpastian bagi investor. - Eli Lee
The Federal Reserve (Fed) telah menaikkan suku bunga secara agresif sebesar 75 basis poin (bps) pada setiap pertemuan untuk mengekang inflasi. Perekonomian China masih tertahan seiring dengan sikap Pemerintah yang tegas terhadap kebijakan nol Covid. Zona Eropa dan Inggris sama-sama mendekati resesi karena guncangan energi yang disebabkan oleh perang Rusia di Ukraina, dan mata uang Jepang telah jatuh ke level terlemah sejak 1990. Oleh karena itu, investor harus tetap berhati-hati dalam waktu dekat, karena prospek ekonomi masih diuji oleh inflasi, resesi, dan risiko kenaikan suku bunga bank sentral lebih lanjut.
Kami memperkirakan The Fed akan terus menaikkan suku bunga hingga fed funds rate mencapai 4.75-5.00% pada awal 2023 untuk membantu menurunkan inflasi. Kenaikan suku bunga The Fed yang cepat telah mendorong imbal hasil US Treasury ke level tertinggi sejak krisis keuangan global 2008. Dalam waktu dekat, imbal hasil acuan 10Y mungkin tetap di sekitar 4.00%.
Risiko kedua terhadap prospek berasal dari ketidakpastian akan kebijakan nol covid di China yang ketat. Tantangan utama terhadap prospek investasi adalah kurangnya sinyal bahwa pendekatan ketat pemerintah terhadap Covid akan segera dilonggarkan. Tekanan lainnya berasal dari properti. Investasi properti China tetap lemah, turun 8.0% YoY. Tahun ini kami memperkirakan pertumbuhan PDB China secara keseluruhan akan tetap rendah sebesar 3.0% pada tahun 2022 setelah rebound sebesar 8.1% tahun lalu dari pandemi.
Risiko besar ketiga adalah ekonomi Eropa berpotensi jatuh ke dalam resesi sebelum akhir 2022. Ekonomi Eropa telah secara signifikan dipengaruhi oleh guncangan harga energi yang disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Bank Sentral Eropa (ECB) yang terus memperketat kebijakan moneter mendorong perekonomian masuk ke dalam resesi. Kami memperkirakan ECB hanya akan dapat menaikkan suku bunga lebih lanjut sebesar 50 bps pada bulan Desember, dan 25 bps pada bulan Februari sebelum resesi memaksa untuk berhenti dengan suku bunga deposito hanya 2.25%.
Demikian pula, kami memperkirakan BoE hanya mungkin menaikkan suku bunga bank sebesar 50 bps pada bulan Desember dan sekali lagi pada bulan Februari sebelum resesi di Inggris juga memaksanya untuk berhenti, dengan suku bunga banknya memuncak pada 4.00%, jauh di bawah suku bunga Fed. Risiko keempat datang dari Yen Jepang yang jatuh ke level terlemah sejak 1990 di level 152 terhadap Dolar AS (USD) karena Bank of Japan (BoJ) tetap dovish pada inflasi. Dengan demikian, kami tetap berhati-hati pada JPY karena sikap yang kontras antara BoJ yang dovish dan Fed yang hawkish, yang akan membuat mata uang Jepang untuk tetap lemah.
Mengingat semua risiko terhadap prospek ekonomi, investor harus tetap berhati-hati. Kami terus merekomendasikan untuk memiliki posisi underweight terhadap asset berisiko. Kami memperkirakan bahwa Fed dan bank sentral utama lainnya akan mengakhiri kenaikan suku bunga mereka awal tahun depan untuk kepentingan pasar keuangan. Sampai saat itu, keadaan akan terus menguji investor untuk sisa tahun ini.
Source: Bank of Singapore
EQUITY
Tetap Defensif
Seiring dengan bank sentral yang tetap hawkish dan kekhawatiran pada sektor keuangan terus naik, kami tetap defensif dan mempertahankan posisi underweight kami pada instrumen saham. -Eli Lee.
Kami menurunkan peringkat Keuangan Global dari overweight menjadi netral , dengan latar belakang perkiraan kami untuk resesi AS pada tahun 2023. Dengan ini, kami memiliki peringkat underweight di sebagian besar sektor siklikal termasuk Keuangan, Konsumen diskresionari, Industri, Material, dan Real Estate. Sementara Kami tetap overweight di Healthcare.
Kami melihat kondisi makro sebagian besar tidak berubah – bank sentral tetap hawkish, inflasi tetap tinggi, dan ketidakpastian makro meliputi.
Source: Bank of Singapore; Updated on 28 October 2022; Total returns are based on index’s locl currency terms
BONDS
Mengalami tekanan
Pasar obligasi terus mengalami tekanan dari tingginya inflasi global dan potensi terjadinya resesi di tahun 2023, seiring dengan aksi pengetatan kebijakan moneter oleh The Fed untuk menstabilisasikan harga. – Vasu Menon
Pasar obligasi global masih menghadapi dua katalis negatif yaitu:
Pasar masih melihat potensi kenaikan suku bunga acuan The Fed ke level yang lebih tinggi, dengan proyeksi di kisaran 5.0% saat ini untuk tahun 2023. Imbal hasil US Treasury juga terus bergerak naik, dengan yield 10 tahun kini mencatatkan kenaikan untuk minggu ke-13 berturut- turut: reli kenaikan terlama dalam empat puluh tahun. Volatilitas pasar obligasi pemerintah saat ini berada di level tertinggi nya dalam 15 tahun terakhir, walaupun likuiditas masih terbatas.
Kami mempertahankan pandangan netral kami terhadap obligasi negara maju (DM) Investment Grade (IG) ditengah potensi terjadinya resesi tahun depan. Selain itu, disaat pasar percaya siklus kenaikan suku bunga The Fed sudah memuncak, fokus akan tertuju pada perubahan nada dovish bank sentral yang akan mendukung.
Kami masih mempertahankan pandangan underweight kami terhadap obligasi DM High Yield (HY) ditengah spread saat ini yang kurang mendukung dan masih berada dalam fase buruk seperti di tahun 2011-2012 dan 2015-2016.
Underweight EM
Kami juga masih underweight terhadap obligasi negara berkembang (EM) HY dan EM IG, namun masih lebih menyukai yang kedua dibandingkan yang pertama. Dengan China saat ini terlihat masih terus menerapkan kebijakan Zero Covid Policy, kembali terpilih nya Presiden Xi untuk yang ketiga kalinya akan memicu volatilitas dan ketidakpastian jangka pendek.
Netral pada EM HY dan IG di Asia
Selain itu, kami juga mempertahankan pandangan netral terhadap obligasi EM HY di Asia. Akan tetapi, dengan tingginya potensi resesi saat ini, kami lebih menyukai sektor-sektor defensif seperti energi terbarukan, pangan dan agrikultur, telekomunikasi, dan utilitas yang memiliki likuiditas lebih tinggi dan kebal disaat-saat seperti ini.
Tetap defensif dan selektif di Asia
Kami lebih menyukai obligasi IG dibandingkan HY, dengan preferensi untuk tenor-tenor panjang. Untuk obligasi IG China, kami cenderung menyukai perusahaan-perusahaan BUMN yang secara sistemik penting untuk perekonomian.
FX & COMMODITIES
Perjalanan Yang Sulit
Perjalanan kemungkinan akan tetap sulit untuk aset dengan imbal hasil nol seperti emas untuk saat ini karena Federal Reserve yang hawkish meningkatkan imbal hasil AS dan Dolar AS. – Vasu Menon
Gold
Latar belakang untuk emas kemungkinan akan tetap sulit untuk sisa tahun ini karena inflasi inti AS yang sangat tinggi membuat Fed tetap hawkish. Pergantian positif untuk emas bisa terjadi pada pertengahan 2023 setelah kita melewati puncak inflasi dan resesi AS menjadi kenyataan.
Harga logam kuning bisa mencapai titik terendah pada awal 2023 dan melihat beberapa kenaikan dengan latar belakang meningkatnya risiko resesi dan prospek penundaan kenaikan suku bunga The Fed pada 2023. Secara keseluruhan, kami masih melihat harga emas di USD 1,700/oz dalam waktu tiga bulan sebelum rebound menuju USD 1,850/oz dalam 6 hingga 12 bulan karena The Fed menahan dan imbal hasil AS mulai turun lebih rendah, yang juga akan melemahkan USD.
Oil
OPEC+ setuju untuk memangkas kuota pasokan sebesar 2 juta barel per hari mulai November, pengurangan terbesar sejak respon terhadap COVID-19. Namun, OPEC+ akan menggunakan dasar produksi yang sudah ketinggalan untuk mengukur pembatasan. Hal itu bisa melihat penurunan produksi yang sebenarnya terbatas hanya setengah dari jumlah itu. Ada juga ketidakpastian yang signifikan mengenai jalur pasokan Rusia dengan penerapan sanksi UE, terutama mengingat keributan di sekitar potensi batas harga.
Tetapi dengan kekhawatiran permintaan, pengurangan pasokan OPEC+ mungkin hanya memberikan dukungan sementara untuk harga. Harga minyak mentah bisa turun lebih jauh karena memburuknya pertumbuhan ekonomi global meningkatkan kekhawatiran permintaan. Pengetatan moneter yang agresif untuk mengekang inflasi yang melonjak telah muncul di seluruh pasar mulai dari manufaktur hingga perlambatan properti. Permintaan minyak China tetap lemah karena penguncian intermiten dalam menanggapi wabah COVID-19. Kami terus menargetkan minyak Brent pada USD 85 per barel dalam waktu 12 bulan.
Currency
Indeks Dolar AS naik signifikan di bulan Oktober karena pertentangan antara harapan bahwa Federal Reserve AS (Fed) akan memperlambat laju kenaikan suku bunga atau kekhawatiran pengetatan lebih lanjut.
Meskipun mungkin terlalu dini pada titik ini untuk mengharapkan sikap dovish karena tekanan inflasi tetap tinggi, kami yakin kalibrasi potensial dalam laju pengetatan tidak boleh dikesampingkan dalam beberapa bulan mendatang, terutama jika tekanan inflasi memang menunjukkan tanda-tanda yang lebih meyakinkan akan perlambatan.
Beberapa pejabat Fed dan risalah kebijakan Fed baru-baru ini juga mulai mengisyaratkan bahwa Fed berpotensi mengkalibrasi laju pengetatannya di beberapa titik karena menilai kembali efek penyesuaian kebijakan kumulatif. Misalnya, Mary Daly, Presiden Fed San Francisco, adalah yang terbaru untuk mempertimbangkan, mengatakan sudah waktunya untuk mulai berbicara tentang memperlambat kenaikan suku bunga. Kalibrasi kebijakan menyiratkan bahwa laju penguatan Dolar AS (USD) harus moderat. Karena itu, kami tetap berhati-hati karena kalibrasi kebijakan tidak berarti Fed selesai dengan pengetatan. Tarif masih meningkat dan akan lebih tinggi, meskipun berpotensi pada kecepatan yang lebih lambat. Kami mencari moderasi dalam kekuatan USD ke depan.
Tide of volatility
Memasuki kuartal terakhir di 2022, kekhawatiran mengenai resesi global dan laju kenaikan suku bunga Fed, masih menjadi perhatian utama para pelaku pasar. Konflik Rusia – Ukraina yang sudah berlangsung sejak awal tahun, yang telah mendorong kenaikan sejumlah komoditas energi dan pangan, turut menambah kekhawatiran terhadap perkembangan perekonomian dunia. Kebijakan suku bunga yang agresif untuk menahan laju inflasi, tidak hanya datang dari bank sentral AS, namun juga Bank of England (BOE) yang menaikkan suku bunga menjadi 2.25 persen di bulan September. Inflasi yang tinggi juga terjadi di kawasan Eropa di 10% y-o-y pada bulan September. Survei dari analis Bloomberg, memprediksi bahwa kawasan Eropa memiliki probabilitas sebesar 75 persen untuk memasuki resesi.
Sementara itu di Asia, perhatian para pelaku pasar tertuju pada kongres nasional Partai Komunis China ke-20 yang akan dilangsungkan di bulan Oktober. Pertumbuhan ekonomi China dikhawatirkan akan sulit mencapai 5 persen di 2022. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan Zero Covid Policy yang menyebabkan terhambatnya aktivitas ekonomi. Kongres nasional China diperkirakan akan fokus pada exit strategy dari Zero Covid Policy serta kebijakan ekonomi yang lebih suportif untuk pertumbuhan ekonomi.
Dari dalam negeri, sejumlah indikator ekonomi Indonesia menunjukan hasil yang positif, dimana hal ini merujuk pada ketahanan ekonomi Indonesia yang baik. Aktivitas manufaktur Indonesia di bulan September masih bertahan di level ekspansi pada level 53.7. Kenaikan konsumsi domestik di tengah pemulihan ekonomi, serta kenaikan harga BBM subsidi di bulan September, mendorong inflasi naik ke 5.95% secara tahunan. Bank Indonesia pun menaikkan suku bunga acuan 7-day Reverse Repo Rate menjadi 4.25%. Di saat yang sama, untuk mengantisipasi potensi penurunan daya beli akibat kenaikan harga BBM tersebut, pemerintah juga memberikan santunan dalam bentuk bantuan langsung tunai kepada 20.65 juta masyarakat Indonesia dengan total besaran sebesar Rp 12.4 triliun. Kebijakan ini disambut positif oleh para pelaku pasar, mengingat program bantuan pemerintah ini dirasakan lebih tepat sasaran kepada masyarakat Indonesia yang terimbas dari kenaikan harga BBM. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2022 akan bertumbuh di kisaran 4.5 hingga 5.3 persen.
Equity
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan -1.92% sepanjang bulan September. Pelemahan terbesar dialami oleh sektor teknologi -10.9% dan sektor transportasi -10.76%. Konsolidasi saham sektor teknologi terjadi seiring dengan turunnya kinerja dan proyeksi pertumbuhan perusahaaan e-commerce akibat kenaikan laju inflasi. Inflasi yang tinggi berpotensi menurunkan daya beli serta meningkatkan biaya operasional perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang teknologi tersebut. Namun demikian, aliran dana investor asing pun masih masuk sebesar Rp32 Triliun selama bulan September, atau Rp69.47 Triliun sejak awal tahun. Negara penghasil komoditas seperti Indonesia cukup diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas yang cukup tajam di tahun ini, sehingga Indonesia masih mencatatkan surplus dari neraca perdagangan. Tak hanya itu, konsumsi domestik yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia diharapkan akan mengurangi potensi efek domino seandainya terjadi resesi global.
Obligasi
Imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia 10 tahun mengalami kenaikan di bulan September menjadi 7.37%. Hal ini disebabkan oleh kebijakan Fed yang kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps di bulan September. Langkah untuk menaikkan suku bunga juga diikuti oleh Bank Indonesia, yang juga kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps, lebih tinggi dari konsensus para analis, menjadi 4.25%. Pemerintah menargetkan sisa penerbitan SBN melalui lelang mingguan sebesar Rp75 Triliun di kuartal IV, turun dari jumlah lelang di kuartal III yang mencapai Rp166 Triliun. Dengan supply yang lebih terbatas serta adanya kebijakan operation twist dari Bank Indonesia, diharapkan akan meredam kenaikan imbal hasil obligasi yang diakibatkan dari potensi kenaikan suku bunga lanjutan.
Currency
Mata uang Rupiah bergerak melemah namun relatif stabil sepanjang bulan September, yang berada di kisaran Rp14,850 – 15,200 per Dolar AS. Keputusan Bank Indonesia yang kembali menaikan tingkat suku bunga 7DRRR juga memberikan dukungan atas stabilitas nilai tukar. Selain itu, surplus neraca perdagangan yang berlanjut lebih dari 20 bulan terakhir, bahkan posisi terakhir meningkat dibandingkan sebelumnya di level US$ 5.76 Miliar turut membuat posisi Rupiah relatif aman. Hal ini juga diperkuat oleh posisi cadangan devisa Indonesia yang berada di level US$ 130.8 Miliar, dimana angka tersebut setara dengan pembiayaan 5.9 bulan impor atau 5.7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Juky Mariska, Wealth Management Head, Bank OCBC NISP
Volatilitas Berlanjut
Volatilitas pada prospek ekonomi masih akan berlanjut ditengah beberapa sentimen negatif di tahun ini – Eli Lee
The Federal Reserve (Fed) memproyeksikan kenaikan suku bunga lebih lanjut untuk mengekang inflasi di AS
Proyeksi median atau rata-rata FOMC untuk puncak siklus pengetatan suku bunga Fed naik menjadi 4.50%-4.75% pada awal 2023. Kami memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga lagi sebesar 75 bps pada bulan November, 50 bps pada bulan Desember dan 25 bps pada bulan Februari untuk membawa suku bunga naik menjadi 4.50- 4.75%.
Dengan demikian, sikap hawkish The Fed berpotensi terus menekan aset berisiko tahun ini sampai siklus pengetatan Fed mendekati akhir di awal 2023. Tetapi kenaikan suku bunga akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menjadi fondasi dari pergerakan imbal hasil US Treasury kedepannya (kami melihat pertumbuhan PDB AS turun dari 1.6% tahun ini menjadi hanya 0.8% pada tahun 2023 dengan risiko resesi tahun depan sebesar 50%). Oleh karena itu, kami terus memperkirakan 10Y US treasury tahun AS menetap di sekitar 3.50% selama 12 bulan ke depan.
Pemotongan pajak pemerintah Inggris yang baru telah memicu krisis kepercayaan investor
Krisis Inggris akan terus berlanjut. Pemerintah saat ini telah membatalkan proposal yang paling kontroversial untuk menghapuskan tarif pajak penghasilan tertinggi (45%). Tetapi ini hanya akan menutup sekitar GBP 2-3 Miliar dari pendapatan yang hilang. Dengan demikian, pemerintah perlu mengurangi pemotongan pajak lebih lanjut dan mendanainya melalui pengurangan pengeluaran yang akan memperdalam kemungkinan resesi Inggris. Atau BoE harus menaikkan suku bunga, saat ini di 2.25%, dengan perkiraan kami ke level 4.00% pada awal 2023 untuk mengekang inflasi yang lebih tinggi yang disebabkan oleh penurunan GBP dan peningkatan pinjaman pemerintah. Oleh karena itu, kami sangat mewaspadai prospek Inggris selama beberapa bulan ke depan dengan ekonomi akan berkontraksi sebesar 0.8% pada tahun 2023.
Blokade penuh Rusia terhadap pasokan gas ke Eropa telah meningkatkan inflasi hingga 10.0% di Zona Euro, dan mendorong terjadinya resesi
Kami memperkirakan PDB zona euro akan terkontraksi sebesar 0.8% pada tahun 2023. Pada saat yang sama, Bank Sentral Eropa (ECB) kemungkinan akan menaikkan suku bunga sebesar 75 bps lagi pada bulan Oktober dan sebesar 50 bps lebih lanjut pada bulan Desember untuk menaikkan suku bunga deposito dari 0.75% saat ini menjadi 2.00% pada akhir 2022 untuk mengekang inflasi, meskipun Zona Euro kemungkinan memasuki resesi. Dengan demikian, prospek jangka pendek untuk aset berisiko Eropa tetap sangat menantang.
Kebijakan Zero Covid di China membuat pertumbuhan lemah
Kami memperkirakan PDB China hanya akan berkembang sebesar 3.0% tahun ini setelah pertumbuhan yang kuat sebesar 8.1% tahun lalu karena lockdown yang kembali diberlakukan menahan konsumsi.
Ketahanan ekonomi Jepang tidak mencegah Yen mencapai posisi terendah 24 tahun terhadap Dolar AS
Tahun ini, ekonomi Jepang terbukti lebih tangguh dibandingkan dengan perlambatan tajam di AS dan China serta meningkatnya risiko resesi di Eropa. Kami meningkatkan perkiraan PDB kami dari pertumbuhan 1.2% menjadi 1.6% pada tahun 2022, dan memproyeksikan pertumbuhan 0.9% pada tahun 2023 karena ekonomi akan menghindari resesi. Risiko BoJ yang kurang dovish dengan demikian membuat kami tetap netral pada prospek ekonomi Jepang meskipun ada ketahanan tahun ini.
Mengingat bahwa prospek global kemungkinan akan tetap bergejolak hingga akhir tahun 2022, investor harus tetap berhati-hati, tetap mempertahankan aset berisiko underweight. Hanya ketika The Fed dan bank sentral lainnya menurunkan suku bunga yang cepat, prospek ekonomi kemungkinan akan berubah menjadi menguntungkan lagi.
Source: Bank of Singapore
EQUITIES
Berhati-hati pada pasar ekuitas
Kami masih menyarankan sikap defensif secara keseluruhan, terlihat dari posisi underweight kami pada ekuitas. – Eli Lee.
Kami overweight pada sektor kesehatan, dan underweight pada sektor consumer discretionary, industrial, real estate dan material.
Dengan latar belakang kenaikan biaya modal, likuiditas yang lebih rendah dari neraca The Fed, dan potensi revisi pendapatan negatif selama beberapa bulan ke depan, secara teknis kami melihat risiko penurunan untuk Indeks S&P 500 kedepan.
Inggris telah menarik banyak perhatian setelah rencana fiskal pemerintah baru-baru ini. Keadaan di Inggris masih menjadi kekhawatiran, dan kami memperkirakan volatilitas pasar yang berkelanjutan seiring dengan meningkatnya risiko.
Di China, semua mata tertuju pada Kongres Partai ke-20, di mana implementasi kebijakan yang lebih baik dan kejelasan arah diantisipasi.
AS – Perkiraan EPS konsensus 2023 masih terlalu tinggi
Kami memperkirakan bahwa indeks S&P 500 menghadapi risiko jangka pendek. Dalam pandangan kami, perkiraan konsensus untuk FY2023 masih terlalu tinggi, dan dapat menurun menuju musim pendapatan Q3. Pada saat yang sama, premi risiko ekuitas (selisih antara imbal hasil forward earnings S&P 500 dan imbal hasil US Treasury 10-tahun) tetap berada dibawah rata-rata pasca krisis keuangan global, sehingga mengurangi daya tarik relatif ekuitas AS. Dengan latar belakang kenaikan biaya modal, likuiditas yang lebih rendah dari neraca Fed, dan potensi revisi pendapatan negatif selama beberapa bulan ke depan, secara teknis kami melihat risiko penurunan untuk indeks S&P 500.
Eropa – Tetap underweight
Euro dan Pound yang lemah dapat memiliki beberapa manfaat, terutama bagi perusahaan internasional yang lebih besar yang memiliki operasi bisnis luar negeri yang substansial. Pertama, pendapatan dan keuntungan yang dihasilkan dari segmen luar negeri, ketika dikonversi kembali ke mata uang negaranya. Kedua, daya saing biaya meningkat ketika perusahaan memproduksi di Eropa dan mengekspor ke AS dan pasar Dolar AS lainnya. Akibatnya, kami memperkirakan kinerja yang lebih baik dari FTSE 100 vs FTSE 250.
Jepang – Membuka kembali perbatasan
Perdana Menteri Kishida telah mengumumkan bahwa perbatasan akan terbuka untuk turis masuk mulai 11 Oktober 2022, menggarisbawahi perkiraan kami sebelumnya untuk pembukaan kembali dan penerima manfaat Yen yang lemah. Dengan Yen mendekati level terendah 24 tahun yang mendukung pariwisata masuk, prospek pertumbuhan untuk perjalanan (maskapai penerbangan, kereta api), perhotelan, dan penerima manfaat konsumsi terpilih (departmental store, makanan dan minuman) akan mendorong secara bertahap walaupun merupakan segmen utama wisatawan Mainland China.
Asia ex- Japan – Headwinds
Menurut pandangan kami, perkembangan terbaru dalam lingkungan ekonomi makro, seperti suku bunga yang lebih tinggi, prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, dan Dolar AS yang kuat menjamin ekspektasi yang lebih rendah untuk Indeks MSCI Asia ex-Japan. Kami memperhitungkan basis pendapatan yang lebih rendah karena Dolar AS yang kuat, yang biasanya berdampak negatif pada kinerja pasar Asia ex-Japan. Kongres Partai ke-20 China akan menjadi acara penting lainnya yang akan menjadi perhatian pasar.
Source: Bank of Singapore; Updated on 30 August 2022; Total returns are based on index’s locl currency terms
BONDS
Masih netral terhadap obligasi DM IG
Di negara maju, kami masih netral terhadap obligasi layak investasi (IG) akibat beberapa hal. – Vasu Menon
Pasar obligasi masih tertekan akibat sikap hawkish bank sentral AS The Fed yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin untuk yang ketiga kali nya tahun ini, membawa kenaikan suku bunga acuan sejak awal tahun sebesar 300bps.
The Fed menaikkan proyeksi suku bunga acuan nya ke level 4.6% untuk kuartal satu 2023 ditengah pernyataan Ketua Fed Jerome Powell bahwa pihaknya rela mengorbankan pertumbuhan ekonomi demi mengendalikan inflasi. Imbal hasil antara obligasi 2 tahun dan 10 tahun mencapai level inversi tertinggi nya dalam 15 tahun terakhir. Hal tersebut memicu premi risiko untuk pasar kredit global naik signifikan, mencerminkan potensi tekanan apabila terjadi nya resesi dengan obligasi High Yield (HY) yang akan lebih terdampak.
Underweight negara berkembang (EM)
Kami mempertahankan pandangan underweight terhadap obligasi IG dan HY negara berkembang, dengan preferensi yang lebih besar terhadap kategori IG. Pengetatan kebijakan moneter secara global, penguatan mata uang USD, dan juga beberapa tensi geopolitik yang kian meningkat masih menjadi beberapa risiko utama.
Masih netral terhadap IG dan underweight terhadap HY negara maju
Kami juga masih mempertahankan pandangan netral terhadap obligasi IG negara maju karena beberapa faktor seperti: 1) Seiring dengan perkiraan kami atas tinggi nya potensi untuk perlambatan ekonomi global atau bahkan resesi global di tahun 2023, kami masih netral terhadap obligasi-obligasi dengan volatilitas terendah, rating tertinggi dan yang memiliki durasi terpanjang. Kemudian juga 2) disaat pasar sudah melihat siklus kenaikan suku bunga acuan telah memuncak, fokus akan tertuju pada kapan perubahan sikap dovish oleh The Fed
Netral terhadap obligasi HY Asia
Kami masih mempertahankan pandangan netral terhadap obligasi HY Asia. Namun, seiring dengan meningkatnya potensi resesi akibat pengetatan kebijakan moneter yang terlalu agresif, maka kami cenderung lebih menyukai sektor-sektor industrial seperti energi terbarukan, pangan dan agrikultur, telekomunikasi, dan utilitas.
Di Asia, kami overweight terhadap obligasi IG China dan India, dan obligasi HY Indonesia
Di kategori IG, kami masih overweight terhadap China yang dimana pasar kredit didominasi oleh perusahaan-perusahaan BUMN dan yang penting secara sistemik terhadap perekonomian. Di India, kami menyukai obligasi dengan durasi panjang yang diterbitkan oleh sektor industrial yang lebih aman dari segi hutang dan tahan terhadap tekanan siklikal.
FX & COMMODITIES
Kenaikan suku bunga adalah tantangan untuk emas
Federal Reserve yang lebih hawkish di tengah inflasi inti AS yang sangat tinggi adalah tantangan untuk emas dalam jangka pendek – Vasu Menon
Emas
Fed yang lebih hawkish di tengah inflasi inti AS yang sangat tinggi dapat membuat harga emas menjadi lebih rendah dalam jangka pendek, namun harga emas dapat menjadi lebih tinggi nanti jika resesi menjadi kenyataan. Menyusul kenaikan tajam dalam imbal hasil 10Y US Treasury bergerak mendekati target 3 bulan kami sebesar 4%, kami yakin risiko penurunan emas dari imbal hasil AS yang lebih tinggi akan lebih terbatas. Namun kenaikan imbal hasil negara lainnya, terutama imbal hasil negara kawasan Eropa dan kekhawatiran atas intervensi mata uang lebih lanjut yang perlu diatur oleh beberapa penjualan aset USD, dapat terus menambah tekanan pada imbal hasil US Treasury – yang merugikan emas dalam waktu dekat.
Harga untuk emas dapat turun pada awal 2023 dan melihat beberapa kenaikan dengan latar belakang meningkatnya risiko resesi dan prospek The Fed mulai memperlambat laju pengetatan di akhir tahun. Perkembangan terakhir antara Rusia dan Ukraina, termasuk ancaman nuklir dari Putin, memperkuat emas sebagai lindung nilai risiko.
Minyak
Harga minyak terus menurun di tengah kekhawatiran permintaan yang lebih lemah dan penguatan dolar AS. Permintaan minyak global terganggu oleh lockdown China, sementara prospek ekonomi makro memburuk lebih cepat dari yang diharapkan di Eropa dan harga yang tinggi mengurangi permintaan AS. Tetapi permintaan bisa meningkat, karena harga gas Eropa yang tinggi mempercepat peralihan ke minyak.
Kami menargetkan minyak Brent pada USD 85/barel dalam waktu 12 bulan. Perkiraan dasar kami terus melihat perekonomian global yang menghindari “garden variety recession” - yaitu, skenario resesi dengan pengangguran yang meningkat pesat, dan kebangkrutan rumah tangga dan perusahaan. Namun jika terjadi penurunan global yang lebih dalam, harga minyak bisa dengan cepat jatuh ke USD 55-70/barel.
Currency
Dolar AS (USD) terus diuntungkan dari permintaan safe haven dan daya tarik suku bunga AS yang lebih tinggi dan imbal hasil obligasi. Dalam beberapa minggu terakhir kami telah melihat revisi substansial dalam ekspektasi Fed mengenai suku bunga acuan. Ditambah dengan pernyataan hawkish dari berbagai pejabat Fed menggarisbawahi tekad bank sentral AS untuk memperketat kebijakan dalam menghadapi inflasi, bahkan dengan mengorbankan pertumbuhan.
Sentimen risiko yang lemah karena kekhawatiran perlambatan pertumbuhan global yang tajam dan serangan ketegangan geopolitik, terus menopang permintaan USD. Meskipun demikian, kami masih mengharapkan perubahan dalam USD pada tahap tertentu, terutama ketika tekanan inflasi menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang lebih meyakinkan, yang dapat membuat Fed memberi sinyal perlambatan laju pengetatan.
Dalam waktu dekat, kami percaya otoritas regional terus mencermati pasar dan dengan demikian, dapat terus menerapkan langkah-langkah stabilisasi lebih lanjut jika volatilitas pasar meningkat. Dengan demikian, langkah-langkah stabilisasi ini dapat membantu memulihkan kepercayaan pasar dan bertindak sebagai penahan untuk memperlambat laju depresiasi mata uang lokal yang bergerak cepat. Namun, upaya ini mungkin hanya memberikan kestabilan sementara bagi pasar. Pada akhirnya, tren USD yang lebih kuat perlu mereda untuk pasar mata uang termasuk di Asia ex-Japan untuk menjaga kestabilan yang lebih berarti.
Kekhawatiran mengenai laju kenaikan suku bunga Fed untuk menahan inflasi, serta perlambatan perekonomian global masih menjadi perhatian utama dari para pelaku pasar. Sejumlah indikator aktivitas ekonomi AS selama bulan Agustus masih bersifat mixed, dengan kontraksi pada indeks survei S&P Global US Composite PMI ke 44.6. Namun, di saat yang sama angka Citi Economic Surprise Index, yang mengukur ekspektasi akan perbaikan ekonomi, di bulan Agustus menunjukkan adanya kenaikan dibandingkan bulan Juli lalu.
Kebijakan suku bunga yang lebih agresif juga terjadi di kawasan Eropa dengan bank sentral Eropa (ECB) yang memutuskan menaikkan suku bunga sebanyak 75 bps menjadi 1.25% pada pertemuan bulan September. Laju inflasi di kawasan ini juga masih meningkat dari 8.9% menjadi 9.1% yoy di bulan Agustus. Konflik Rusia – Ukraina yang masih berlanjut menjadi salah satu faktor utama kenaikan laju inflasi yang dikontribusi dari sektor energi.
Sementara itu, ekonomi terbesar di Asia, China, juga sedang berjuang mengatasi perlambatan ekonomi. Sejumlah stimulus dirilis oleh pemerintah China, mulai dari menurunkan suku bunga jangka pinjaman jangka pendek, merilis proyek mega infrastruktur senilai 1 triliun Yuan, hingga memberikan jaminan pemerintah atas obligasi korporasi yang diterbitkan oleh beberapa pengembang properti yang telah mengalami kesulitan pendanaan selama lebih dari setahun terakhir.
Dari dalam negeri, jika pertumbuhan ekonomi negara maju dan sejumlah negara di Asia mengindikasikan perlambatan, sebaliknya di Indonesia pemulihan ekonomi masih berlanjut. Pertumbuhan ekonomi RI untuk kuartal dua 2022 dirilis meningkat 5.44% yoy, lebih tinggi dibandingkan ekspektasi di 5.17%. Pulihnya konsumsi domestik akibat pelonggaran PPKM serta meningkatnya penerimaan negara dari kenaikan harga komoditas global mendorong perekonomian melanjutkan ekspansinya. Pulihnya perekonomian ini yang diimbangi dengan kenaikan laju inflasi, mendorong Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan 7-day Reverse Repo Rate menjadi 3.75% setelah mengetatkan likuiditas perbankan melalui kenaikan GWM bertahap, yang mencapai 9 persen di bulan September.
Adanya perbedaan kondisi ekonomi domestik dan global tentunya membuat pelaku pasar perlu lebih berhati-hati, mengingat inflasi yang mulai menanjak dari dalam negeri serta kekhawatiran akan terjadinya resesi global, dapat memicu keluarnya dana investor asing dari pasar modal untuk berbalik ke safe-haven assets.
EquityIndeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami kenaikan 3.27% sepanjang bulan Agustus, yang didorong oleh kenaikan di sektor infrastruktur dan teknologi. Sepanjang tahun 2022, IHSG tercatat menguat 9.07 persen hingga akhir Agustus 2022. Aliran dana investor asing pun telah masuk sebesar Rp 71 triliun. Di saat yang sama, kenaikan harga BBM diperkirakan akan mendorong kenaikan inflasi lebih cepat. Kenaikan BBM ini tidak terelakkan mengingat kenaikan harga minyak dunia yang cukup tinggi, mengakibatkan beban APBN senilai Rp 500 triliun. Untuk mengatasi penurunan daya beli masyarakat kecil akibat kebijakan ini, pemerintah merilis bantuan langsung tunai untuk mengkompensasi kenaikan BBM ini. Ke depannya, walaupun volatilitas pasar saham masih akan terjadi, namun IHSG masih berpeluang untuk menguji ke kisaran 7,500 hingga akhir tahun didukung oleh pemulihan ekonomi, serta kenaikan harga sektor komoditas telah mendorong adanya peningkatan laba emiten di tahun 2022.
ObligasiPergerakan pasar obligasi di bulan Agustus relatif stabil. Hal ini terlihat dari pergerakan imbal hasil acuan tenor 10 tahun yang tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan posisi awal bulan di level 7.128 %. Kenaikan suku bunga acuan di bulan Agustus sebesar 25 bps tidak mengakibatkan volatilitas harga yang signifikan. Investor asing yang mencatatkan pembelian bersih senilai Rp 5 triliun juga turut memberikan dukungan pada pasar obligasi. Selisih antara inflasi dan imbal hasil obligasi riil atau real yield sebesar 2.47, merupakan rentang yang lebih lebar jika dibandingkan dengan rata – rata negara berkembang lainnya, sehingga akan memberikan daya tarik bagi investor asing untuk masuk ke pasar obligasi domestik.
CurrencyMata uang Rupiah bergerak relatif stabil sepanjang bulan Agustus, terlihat dari pergerakannya yang tidak banyak berubah di kisaran Rp 14,800 – 14,900 per Dolar AS. Keputusan Bank Indonesia dengan menaikan tingkat suku bunga 7D RRR memberikan dukungan atas stabilitas nilai tukar.
Selain itu, surplus neraca perdagangan yang berlanjut lebih dari 20 bulan terakhir, serta terjaganya cadangan devisa Indonesia di level USD 132.20 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6.1 bulan impor atau 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Juky Mariska, Wealth Management Head, Bank OCBC NISPInvestor masih menghadapi tantangan di seluruh dunia karena tingkat inflasi mendekati 10%, yang memaksa bank sentral, terutama The Fed, untuk menaikkan suku bunga secara agresif. - Eli Lee
Ancaman gas Rusia yang sepenuhnya terputus sebelum musim dingin, sebagai pembalasan atas sanksi yang dijatuhkan setelah invasi Ukraina, menyebabkan harga energi melonjak di Eropa. Di China, penguncian baru untuk mencapai nol kasus Covid telah menghambat pembukaan kembali ekonomi. Investor dengan demikian harus tetap berhati-hati dalam waktu dekat dan tetap underweight pada ekuitas dan obligasi. Seperti pepatah "don’t fight The Fed", investor tetap harus berhati-hati karena bank sentral akan tetap hawkish sampai inflasi di AS menunjukkan tanda-tanda yang jelas untuk mereda.
Pada akhir Agustus, Ketua The Fed Powell memberikan pidatonya yang hawkish di simposium tahunan Jackson Hole, menunjukkan bahwa bank sentral tetap memiliki komitmen yang kuat untuk mengembalikan inflasi ke target 2%.
Setelah pidato Powell, kami memperkirakan peluang kenaikan suku bunga sebesar 75 bps di bulan ini dan kami akan memantau laporan inflasi indeks harga konsumen (IHK) Agustus sebelum The Fed bertemu pada 20-21 September. Kami juga memperkirakan suku bunga Fed akan mencapai 4.00% pada awal 2023 dan tetap berada di level tersebut sepanjang tahun depan.
Imbal hasil US Treasury juga kemungkinan akan meningkat lebih jauh lagi karena The Fed terus menaikkan suku bunga hingga 4.00%, seperti yang ditunjukkan oleh tabel perkiraan suku bunga kami.
Di Eropa, outlook juga terlihat sangat menantang. Kami memperkirakan Zona Euro dan Inggris akan memasuki resesi sebelum akhir tahun. Lonjakan harga gas - karena Rusia memangkas pasokan sebagai pembalasan atas sanksi perang Uni Eropa - akan mendorong inflasi menjadi dua digit di seluruh Eropa, yang secara tajam akan melukai konsumsi dan membuat Euro dan Pound terus melemah lemah terhadap Dolar AS.
Prospek yang menantang selanjutnya adalah China. Ekonomi yang melemah selama musim panas mendorong People's Bank of China (PBoC) untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 10 bps pada Agustus, sama dengan penurunan suku bunga pada Januari. Suku bunga reverse repo tujuh hari PBoC saati ini berada di 2.00%, dan suku bunga fasilitas pinjaman jangka menengah (MLF) 1Y-nya berada di 2.75%.
The Fed yang hawkish, meningkatnya risiko resesi di Eropa dan penguncian baru di China membuat kami tetap berhati-hati pada prospek jangka pendek untuk aset berisiko. Tetapi potensi jangka panjang tetap ada bagi investor tahun ini.
Secara keseluruhan, kami memperkirakan rebound jangka panjang dalam aset berisiko akan terjadi jika didorong oleh inflasi yang mulai mereda dan The Fed yang kurang hawkish. Secara historis di tahun 1994 - terakhir kali Fed menaikkan suku bunga dengan cepat dalam pergerakan 50 bps dan 75 bps - menunjukkan bahwa ketika bank sentral mendekati akhir siklus pengetatannya, pasar keuangan mulai rally kuat dari tahun 1995. Kami terus mencari perubahan jangka panjang yang serupa dan pemulihan aset berisiko, bahkan jika sekarang bukan waktunya untuk melawan Fed yang hawkish.
Source: Bank of Singapore
Secara umum kami tetap underweight instrumen saham, melihat pandangan hawkish bank sentral dan meningkatnya resiko resesi. Namun demikian beberapa peluang telah muncul, dan kami tetap konstruktif terhadap China. – Eli Lee
Mempertahankan posisi netral terhadap obligasi Investment Grade (IG) negara maju saat ini lebih disarankan seiring dengan rendahnya volatilitas, credit rating yang lebih baik dengan durasi yang lebih panjang. Kami masih underweight terhadap obligasi High Yield (HY) karena menurut kami harga pasar saat ini belum sepenuhnya memperhitungkan potensi terjadinya resesi – Vasu Menon.
Di pasar negara maju, kami mempertahankan pandangan netral terhadap obligasi IG seiring dengan masih banyaknya ketidakpastian pasar yang dapat memicu resesi di tahun 2023 mendatang. Dari segi portofolio, mempertahankan posisi netral terhadap obligasi dengan volatilitas terendah, rating dan durasi tertinggi lebih direkomendasikan. Sedangkan kami underweight terhadap obligasi HY karena harga pasar yang menurut kami belum mencerminkan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi atau bahkan resesi. Di pasar negara berkembang, kami underweight terhadap kedua kategori obligasi HY dan IG.
Dari sisi durasi, kami percaya bahwa komitmen The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan kearah 4.0% dan juga kebijakan pengetatan kuantitatif lainnya akan menopang kenaikan imbal hasil bagi obligasi bertenor pendek, semakin mendorong terjadinya inversi terhadap kurva imbal hasil US Treasury. Maka dari itu, strategi barbel yang sebelumnya menjadi preferensi kami akan lebih fokus terhadap obligasi dengan tenor-tenor diatas 10 tahun yang akan diuntungkan apabila terjadi kontraksi ekonomi.
Underweight negara berkembangKami mempertahankan pandangan underweight kami terhadap obligasi HY dan IG negara berkembang, dengan preferensi kategori IG apabila keduanya dibandingkan. Testimoni hawkish Ketua Fed Jerome Powell pada simposium Jackson Hole mengindikasikan bahwa The Fed akan mentoleransi perlambatan ekonomi untuk mengendalikan inflasi.
Masih Netral terhadap obligasi HY AsiaKami masih netral terhadap obligasi HY Asia. Akan tetapi, dengan potensi penguatan Dolar AS, siklus kenaikan suku bunga dan pertumbuhan ekonomi yang melambat, kami cenderung menyukai sektor-sektor defensive di pasar seperti minyak dan gas (migas), energi terbarukan, pangan dan agrikultur, telekomunikasi, dan utilitas.
Netral terhadap obligasi IG AsiaKami saat ini netral terhadap obligasi IG Asia. Sementara obligasi IG China didominasi oleh perusahaan-perusahaan BUMN yang secara sistemik penting bagi perekonomian.
Sektor properti China – Sentimen membaik, namun dibutuhkan waktu yang lebih untuk mengembalikan kepercayaan pasarObligasi sektor properti China terlihat mulai bangkit dari kisaran level terendahnya di bulan Agustus akibat beberapa kebijakan akomodatif yang berhasil diterapkan. Beberapa upaya seperti pemangkasan suku bunga loan prime rate untuk yang 5 tahun sebesar 15 basis poin untuk mendongkrak penyaluran kredit, program CNY200 miliar oleh pemerintah yang akan digunakan untuk mendanai proyek-proyek bermasalah, hingga dukungan likuiditas ke beberapa developer properti telah direspon positif oleh pasar.
FX & COMMODITIESKami telah menurunkan perkiraan minyak Brent 12 bulan dengan kumulatif USD 15/barel sampai USD 85/barel sejak awal Juli. Risiko kekurangan pasokan tetap tinggi dan dapat membatasi penurunan harga minyak. Tapi harga minyak dapat dengan cepat jatuh ke USD 55-70/barel jika resesi terhindarkan. – Vasu Menon
EmasSetelah naik hingga USD 1.800/oz selama dua minggu pertama bulan Agustus, kenaikan emas terhenti di tengah penguatan Dolar AS (USD), imbal hasil AS yang lebih tinggi dan pengetatan Federal Reserve yang lebih ketat. Ketua The Fed Powell menyampaikan pidato yang relatif hawkish di forum Jackson Hole, yang dapat membuat USD tetap didukung untuk saat ini – sehingga merugikan emas. Powell menekankan bahwa kebijakan akan berubah menjadi restriktif, dan kemudian tetap demikian untuk sementara waktu. Meskipun ada beberapa tanda bahwa inflasi AS mungkin telah mencapai puncaknya, dan Fed tidak dapat juga meyakinkan hal tersebut. Pengujian ulang support jangka menengah USD 1,685/oz dimungkinkan meskipun pandangan paling mendasar kami adalah emas terus bergerak dengan kisaran di atas level support.
MinyakPasar minyak telah melewati puncak harga yang tinggi karena meningkatnya risiko resesi sehingga terjadi penurunan permintaan minyak. Ada juga tanda-tanda bahwa harga yang tinggi melemahkan daya beli, mengurangi permintaan bensin. Musim mengemudi bensin AS tidak terlalu signifikan musim panas ini, dan harga eceran AS telah jatuh dari puncaknya USD 5 per galon pada pertengahan Juni. Kami telah menurunkan perkiraan minyak Brent 12 bulan dengan kumulatif USD 15/barel sampai USD 85/barel sejak awal Juli.
Risiko kekurangan pasokan tetap tinggi dan berpotensi membatasi penurunan harga minyak; sebagian besar rencana Uni Eropa untuk menghapus impor minyak mentah Rusia tidak terjadi sampai Q4-22. Keputusan Rusia untuk memotong aliran gas ke UE selama bulan-bulan musim panas juga semakin memperketat pasar gas Eropa, meningkatkan prospek permintaan tambahan dari peralihan gas ke minyak.
CurrencyIndeks Dolar AS (USD) (DXY) terapresiasi 2.6% pada bulan Agustus didukung oleh data ekonomi AS yang lebih baik, Federal Reserve AS (Fed) yang hawkish dan meningkatnya kekhawatiran akan resesi global. Pada Simposium Jackson Hole Fed pada akhir Agustus, Ketua Fed Jerome Powell mengatakan bahwa bank sentral AS akan menggunakan alat kebijakannya "secara paksa" untuk melawan inflasi dan mengarahkan suku bunga menjadi lebih tinggi, untuk "beberapa waktu". Meskipun demikian, kami terus mencari tanda-tanda perlambatan kenaikan USD dalam beberapa bulan mendatang.
Kami percaya beberapa faktor perlu terjadi untuk memperlambat penguatan USD:
Selective Opportunities Emerging
Lonjakan inflasi dan kekhawatiran resesi masih menjadi sentimen utama pasar global. Negara-negara maju seperti AS, Inggris, dan kawasan Eropa yang mengalami lonjakan inflasi telah membuat bank sentral di negara tersebut melakukan pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan, dimana hal tersebut memicu kekhawatiran resesi. Tekanan inflasi global terus terjadi ditengah tingginya harga komoditas akibat gangguan rantai pasokan yang semakin terganggu akibat perang yang terjadi antara Rusia-Ukraina. Sementara Bank Dunia juga telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global terbaru untuk tahun 2022 dari 4.1% menjadi 2%. Kekhawatiran resesi masih akan terus memberikan volatilitas pada pasar.
Bagaimanapun, data ketenagakerjaan AS periode Juli 2022 yang terlihat semakin solid memberikan sinyal bahwa inflasi yang tinggi masih akan tetap menjadi tantangan. Non-farm payrolls dilaporkan sebesar 528 ribu, dan tingkat pengangguran yang turun ke 3.5%. Hal tersebut kembali meningkatkan ekspektasi bahwa The Fed akan bertindak semakin agresif dalam kebijakan moneternya. Kini investor kembali mempertimbangkan seberapa besar kenaikan suku bunga pada pertemuan FOMC selanjutnya di bulan September.
Beralih ke dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Indonesia periode Juli 2022 yang meningkat 4.94% YoY, menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2015. Akan tetapi laju inflasi inti masih berada di 2.86% YoY. Jika dibandingkan dengan negara-negara G20, inflasi Indonesia relatif rendah dan terjaga. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia Q2 22 bertumbuh sebesar 5.44% YoY melebihi perkiraan analis. Rilisan tersebut menandakan bahwa Indonesia tidak masuk ke dalam jurang resesi seperti banyak negara lainnya. Naiknya harga komoditas dan meningkatnya konsumsi masyarakat selama bulan Idul Fitri menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang impresif. Di sisi lain, sektor manufaktur Indonesia masih berekspansi ke angka 51.3 ditengah gejolak yang terjadi pada perekonomian global.
Berbeda dengan bank sentral di negara maju, Bank Indonesia (BI) belum terburu-buru untuk menaikkan suku bunga acuan dikarenakan proyeksi inflasi inti yang masih terjaga. Kenaikan suku bunga yang terlalu cepat dikhawatirkan akan menghambat proses pemulihan ekonomi yang sedang terjadi. Di sisi lain, BI telah melakukan normalisasi likuiditas dengan menggerek Giro Wajib Minimum (GWM) secara bertahap, dimana sampai pertengahan Juli sudah menyerap Rp219 triliun. GWM perbankan yang saat ini telah meningkat ke 7.5%, akan kembali mengalami kenaikan di bulan September menjadi 9%.
Equity
Di bulan Juli, IHSG mencatatkan penguatan +0.57% ke level 7,070.56. Kenaikan ini didorong oleh sektor energi, industri, bahan dasar, serta keuangan dan infrastuktur. Akan tetapi, sejumlah sentimen negatif tetap membayangi pergerakan pasar saham seperti kekhawatiran resesi, tingginya inflasi global, serta agresivitas bank sentral negara-negara maju untuk menaikkan suku bunga acuan. Investor asing masih mencatatkan penjualan bersih selama bulan Juli sebesar USD 200 juta. Di bulan Agustus, sejumlah emiten akan merilis kinerja keuangan pada kuartal II – 2022. Kenaikan laba terlihat cukup dramatis pada sektor batubara dan pertambangan, otomotif serta perbankan. Proyeksi perbaikan laba emiten diperkirakan masih akan mendukung kinerja IHSG ke depannya, sehingga IHSG diperkirakan masih akan bergerak di kisaran 7,200 - 7,500 hingga akhir tahun.
Bond
Di pasar obligasi, imbal hasil acuan tenor 10 tahun turun ke kisaran 7.164% di bulan Juli, menandakan adanya penguatan dari sisi harga. Penguatan pasar obligasi ini didukung oleh akumulasi dari pelaku pasar dalam negeri seperti perbankan serta institusi. Akan tetapi, dengan adanya tren kenaikan imbal hasil obligasi US Treasury, yang akan berakibat pada berkurangnya selisih imbal hasil antara obligasi US Treasury dan obligasi negara berkembang, seperti Indonesia, hal ini dapat mendorong investor asing untuk melakukan penjualan terhadap obligasi pemerintah RI. Selama year-to-date bulan Juli 2022, investor asing telah melakukan penjualan bersih senilai Rp140 triliun terhadap obligasi pemerintah RI. Namun, kami tidak melihat pasar obligasi akan melemah secara signifikan, seiring dengan masih adanya dukungan burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia, serta peningkatan penerimaan negara dari sektor komoditas juga akan membantu membiayai APBN ke depan, sehingga jumlah penerbitan hutang akan lebih terbatas.
Rupiah
Dari sisi mata uang, Rupiah menguat tipis terhadap Dolar AS sebesar 0.13% ke level 14,834/USD di akhir bulan Juli lalu. Indeks Dollar (DXY) tercatat naik +0.76% ke level 106.56. Hawkish-nya The Fed telah menjadi katalis pergerakan mata uang USD dalam beberapa bulan terakhir. Bank Indonesia juga berupaya menjaga likuiditas Rupiah dengan melakukan penjualan obligasi melalui operasi pasar moneter terbuka, di tengah kenaikan harga obligasi. Tak hanya itu, posisi cadangan devisa yang memadai juga turut mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Dua tantangan utama bagi prospek ekonomi
Prospek ekonomi yang menantang terus mengancam pasar keuangan, dengan inflasi tetap menjadi masalah utama, sementara risiko resesi meningkat – Eli Lee Pertama, inflasi masih melonjak. Di AS, Inggris, dan Zona Euro, harga konsumen masing-masing meningkat sebesar 9.1%, 9.4% dan 8.9%. Gangguan rantai pasokan karena ekonomi dibuka kembali dari pandemi, pasar tenaga kerja yang ketat karena perusahaan mencari karyawan untuk meningkatkan output dan memenuhi permintaan yang kuat, energi yang meningkat dan harga yang baik yang disebabkan oleh perang di Ukraina, dan pelonggaran kuantitatif besar-besaran yang diterapkan selama penguncian beberapa tahun terakhir, semuanya telah mendorong inflasi ke tingkat yang terakhir terlihat pada 1980-an di AS dan Eropa.
Kedua, risiko resesi meningkat tajam. Inflasi yang lebih tinggi merugikan pendapatan dan konsumsi. Kenaikan suku bunga bank sentral memperketat kondisi keuangan. Dalam perkiraan pertumbuhan PDB terbaru kami, kami melihat pertumbuhan ekonomi dunia melambat tajam dari 6.2% tahun lalu menjadi 3.0% tahun ini dan hanya 2.4% tahun depan. Dalam beberapa perhitungan, AS sudah berada dalam resesi. Pada Q2-22, ekonomi Amerika secara tak terduga berkontraksi untuk kuartal kedua berturut-turut, memenuhi kriteria resesi "teknis". PDB turun 0.2% kuartal-ke-kuartal (QoQ) setelah turun 0.4% QoQ pada Q1-22, didorong oleh akumulasi persediaan yang lemah.
Kami memperkirakan pertumbuhan AS akan meningkat lagi pada paruh kedua tahun 2022 karena perusahaan membangun kembali persediaan. Tetapi data PDB Q2-22 menunjukkan tren yang mendasari ekonomi AS jelas melambat karena harga makanan dan energi yang lebih tinggi yang memukul konsumsi, dan kenaikan suku bunga yang mempengaruhi perumahan dan investasi.
Dengan demikian, kami memperkirakan probabilitas risiko AS mengalami resesi resmi yang nyata sebelum akhir tahun 2023 sebesar 50%, terutama jika pengangguran mulai meningkat dengan cepat.
Bank sentral masih akan menaikkan suku bunga secara agresif
Namun, di tengah meningkatnya risiko resesi, bank sentral akan tetap menaikkan suku bunga secara agresif mengingat inflasi berjalan jauh di atas target 2% mereka.
Keputusan The Fed diharapkan dan mengembalikan suku bunga Fed ke tingkat "netral" yang diyakini para pejabat tidak mengganggu atau membatasi ekonomi.
Dengan demikian kami memperkirakan Fed masih akan naik masing-masing sebesar 50 bps pada bulan September dan November sebelum beralih ke kenaikan 25 bps pada bulan Desember dan Januari. Oleh karena itu, kami melihat dana Fed mencapai 3.75-4.00% awal tahun depan, tingkat yang seharusnya "membatasi" aktivitas dan memperlambat inflasi.
Demikian pula, kami memperkirakan Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of England (BoE), akan meningkatkan suku bunga secara signifikan selama beberapa bulan ke depan. Dengan demikian, dalam beberapa bulan ke depan, pasar keuangan dan imbal hasil obligasi global akan tetap bergejolak sampai inflasi mereda. Oleh karena itu, kami berpikir investor harus tetap berhati-hati mengingat prospek ekonomi yang menantang. Namun demikian, begitu The Fed dapat beralih ke kenaikan suku bunga moderat menjelang akhir 2022, maka aset berisiko harus mencapai titik terendah dan mulai reli. Hal ini terjadi pada akhir tahun 1994 ketika siklus kenaikan suku bunga yang cepat tahun itu mendekati akhir, yang mengarah ke kenaikan besar dalam ekuitas dari tahun 1995 hingga 2000.
Tetap waspada
Sementara kami tetap underweight di instrumen saham, kami percaya pasar saham China saat ini telah memberikan imbalan risiko jangka panjang yang menarik. Secara global, kami tetap overweight di sektor kesehatan dan utilitas - Eli Lee
AS – Resesi teknis telah tiba
Musim laporan keuangan AS saat ini berjalan dengan baik, kinerja korporasi bervariatif namun rata – rata mencatatkan laba per saham diatas perkiraan. Perusahaan dipastikan akan menghadapi tantangan dari sisi makro, yang menggambarkan potensi pemangkasan belanja modal serta siklus penjualan yang lebih panjang. Perusahaan di berbagai sektor juga merasakan dampak dari penguatan mata uang USD.
Perekonomian AS juga telah memasuki fase resesi teknis di semester awal tahun 2022, walaupun ekonomi belum mengalami kontraksi aktivitas yang lebih luas dan berkelanjutan.
Eropa – Saatnya bertahan
Ancaman terhadap gangguan pasokan gas juga tetap signifikan, menguji Eropa untuk bertahan dan mendorong harga gas Eropa lebih jauh. Bersamaan dengan pengetatan kondisi keuangan, prospek Eropa tetap penuh dengan ketidakpastian.
Jepang – Fokus beralih ke musim pendapatan
Perhatian pasar beralih ke musim pendapatan yang sedang berlangsung, laju pemulihan ekonomi dan potensi perubahan pada kebijakan keamanan nasional. Pemerintah telah meningkatkan prospek ekonominya karena kegiatan normalisasi terus mendukung pemulihan bertahap, dengan perbaikan baru-baru ini dalam konsumsi swasta, lapangan kerja dan impor.
Asia ex-Japan – Pendapatan dan lintasan ekonomi menjadi fokus.
Indeks MSCI Asia ex-Jepang berkinerja buruk dibandingkan pasar utama lainnya di bulan Juli 2022, sebagian besar karena penurunan dari pasar saham China dan Hong Kong.
Berdasarkan laporan World Economic Outlook terbaru dari IMF yang diterbitkan akhir Juli 2022, memangkas proyeksi pertumbuhan PDB 2022 dan 2023 untuk ekonomi utama Asia, seperti China, India, dan Korea Selatan. Terlepas dari kekhawatiran atas pertumbuhan ekonomi, bank sentral di kawasan Asia eks-Jepang harus mempertahankan sikap kebijakan yang relatif hawkish untuk memerangi inflasi.
China.HK – Konstruktif pada prospek paruh kedua
Memasuki H2-22, kami mempertahankan sikap konstruktif kami pada pasar saham Tiongkok – bias kebijakan pelonggaran, surplus transaksi berjalan, pemulihan bertahap dan pembukaan kembali, dan valuasi yang murah akan mendukung kinerja pasar saham Tiongkok yang lebih baik.
Pandangan terhadap sektoral
Pada awal Juli, kami menurunkan energy dari overweight menjadi netral, dan meningkatkan kesehatan dan utilitas dari netral menjadi overweight.
Sektor kesehatan menyediakan perlindungan selama masa ketidakpastian karena pendapatan relatif lebih tangguh dengan kekuatan harga yang lebih kuat. Untuk utilitas, investor juga akan beralih ke sektor yang relatif defensif ini selama masa volatilitas.
Source: Bank of Singapore; Updated on 1 August 2022; Total returns are based on index’s locl currency terms
Naiknya peringkat obligasi IG negara maju
Kami baru saja menaikkan peringkat obligasi Investment Grade (IG) negara maju ke netral dari sebelumnya underweight seiring dengan meningkatnya potensi terjadi nya resesi akibat the Fed yang bersifat hawkish. – Vasu Menon
Inflasi masih terus menghantui aset pendapatan tetap. Sepanjang semester pertama, pasar obligasi terus menantikan solusi untuk tinggi nya inflasi seperti kenaikan suku bunga ditengah kinerja terburuk nya dalam satu abad terakhir. Akan tetapi, beberapa pekan terakhir pasar semakin mendalami kepecercayaan bahwa potensi terjadi nya resesi (dan bukan kenaikan suku bunga) adalah katalis utama yang menggerakan pasar. Indikator-indikator utama ekonomi seperti harga minyak dan tembaga yang telah turun banyak dari level tertingginya sementara USD yang merupakan mata uang safe-haven masih terus menguat. Di pasar keuangan, suku bunga telah meningkat signifikan, sementara spread antara obligasi 2-10 tahun yang biasa dijadikan acuan potensi terjadinya resesi berada di level paling negatif sejak tahun 2000. Pada pertemuan nya di bulan Juli, The Fed memutuskan untuk kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin ditengah komentar Ketua Fed Jerome Powell yang dinilai cenderung dovish.
Underweight negara berkembang
Kami mempertahankan pandangan underweight terhadap obligasi HY dan IG negara berkembang. Dalam beberapa pekan terakhir, seiring dengan meningkatnya probabilitas terjadi nya resesi akibat The Fed yang masih hawkish, kredit negara berkembang masih mengalami tekanan yang signifikan.
Upgrade obligasi IG negara maju ke netral
Kami baru saja meng-upgrade pandangan kami terhadap obligasi negara maju ke netral. Ada beberapa hal yang masuk dalam pertimbangan kami, namun yang paling utama adalah:
Masih netral terhadap obligasi HY Asia
Kami mempertahankan pandangan netral kami terhadap obligasi HY Asia. Namun, seiring dengan kuat nya USD, tren kenaikan suku bunga dan pertumbuhan ekonomi yang melambat, kami cenderung lebih menyukai sektor defensive seperti migas, energi terbarukan, pangan dan agrikultur, telekomunikasi, dan utilitas yang akan lebih kebal dalam situasi seperti ini.
Overweight terhadap obligasi IG Asia
Kami juga masih mempertahankan pandangan overweight kami terhadap obligasi IG Asia. Tidak seperti di kategori HY, obligasi IG China didominasi oleh perusahaan-perusahaan BUMN yang penting secara sistemik bagi perekonomian.
Pandangan Emas Meningkat
Harga emas dapat turun sebelum akhir tahun dan melihat beberapa kenaikan dengan latar belakang pertumbuhan yang melambat, meningkatnya risiko resesi, dan risiko The Fed mulai memperlambat laju pengetatan di akhir tahun. – Vasu Menon
Gold
Harga emas telah terbebani oleh Fed yang hawkish, imbal hasil riil yang lebih tinggi, Dolar AS (USD) yang kuat, dan risiko geopolitik Rusia-Ukraina. Tetapi, meningkatnya kekhawatiran resesi AS telah mulai menguntungkan emas sejak pertengahan Juli. Risiko The Fed memperlambat siklus kenaikan menjadi 50 bps pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) September mendatang telah meningkat, karena ekonomi AS masuk ke dalam resesi teknis di H1-22. Namun, kenaikan suku bunga 75 bps lagi tidak dapat dihindari, terutama jika rilisan inflasi menjelang rapat tetap tinggi. Meski demikian, harga emas dapat turun sebelum akhir tahun dan melihat beberapa kenaikan dengan latar belakang pertumbuhan yang melambat, meningkatnya risiko resesi, dan risiko The Fed mulai memperlambat laju pengetatan di akhir tahun. Peluang resesi AS yang meningkat akan terus membuat emas mengungguli logam dasar lainnya seperti tembaga.
Oil
Pasar minyak ketat, namun telah mereda. Harga minyak yang tinggi terus meningkatkan jumlah pengeboran di AS. Kami mengharapkan pertumbuhan produksi yang kuat kedepan. Kekhawatiran akan pertumbuhan meningkat karena bank sentral mempercepat pengetatan untuk menjinakan inflasi, dimana telah mengalihkan fokus dari masalah sisi penawaran ke sisi permintaan di pasar minyak. Kasus COVID-19 dapat terus mengganggu pemulihan aktivitas industri di China.
Tanda-tanda perlambatan pertumbuhan di AS dan Eropa dapat mendinginkan pasar minyak lebih lanjut. Kami telah menurunkan perkiraan harga minyak kami sebesar USD 5/barel karena perlambatan pertumbuhan global dapat membatasi permintaan minyak. Perkiraan harga 12 bulan kami untuk Brent berada di USD 85/barel sedangkan untuk WTI adalah USD 82/barel. Jika terjadi penurunan global yang parah, OPEC+ kemungkinan akan bertindak lagi untuk mendukung harga di sekitar level USD 60/barel.
Currency
Di bulan Juli, mata uang USD bergerak naik-turun, mencatatkan penguatan di paruh pertama sebelum akhirnya melemah di paruh kedua. Sentimen risiko yang tenang dan dinamika bank sentral – kesulitan untuk mengalahkan The Fed dalam waktu dekat memperpanjang kekuatan USD secara luas hingga awal Juli. Sejak pertengahan Juli, kekhawatiran resesi AS ditambah dengan meningkatnya sikap hawkish di BoE dan ECB telah mendorong indeks Dolar AS (DXY) lebih rendah. The Fed memang memberikan kenaikan 75 bps lagi pada bulan Juli, tetapi hasil FOMC dipandang dovish karena bank sentral AS menurunkan pandangannya ke depan, dan Powell menyebutkan laju pengetatan harus melambat di beberapa titik – meskipun ini tidak sepenuhnya tidak terduga. Kenaikan terbatas USD yang meluas datang lebih awal dari yang kami harapkan. Kami tidak melihat hasil FOMC sebagai dovish, dan kami terus memperkirakan tingkat target dana Fed akan naik menjadi 3.25-3.50% pada akhir tahun. Namun, dengan bank sentral lain yang mengejar, USD secara luas telah mulai menunjukkan beberapa tanda pelemahan karena kesenjangan kebijakan moneter mungkin tidak melebar lebih jauh.
The Fed goes back to 1994
Tahun 1994 adalah terakhir kali nya The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps), dimana pada tahun tersebut bank sentral AS menggandakan suku bunga acuan nya dari 3.0% ke 6.0% dalam upaya menahan pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat. Apa yang telah terjadi pada paruh pertama tahun ini mengingatkan para investor atas apa yang terjadi pada tahun 1994. Kedepannya, The Fed masih diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan ke rentang 3.25% hingga 3.75% tahun ini. Dengan inflasi yang telah terbukti akan berada di level yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama, probabilitas terjadinya resesi masih menjadi ketidakpastian utama. Pertumbuhan ekonomi global kini diprediksi berada dibawah level 3.0% tahun ini dan tahun depan. Tidak hanya di AS, Inggris dan Zona Eropa juga memiliki probabilitas yang tinggi untuk masuk ke jurang resesi di tahun ini ataupun tahun depan, seiring dengan terus berlanjutnya perang antara Rusia dan Ukraina.
Di Asia, China yang masih mempertahankan kebijakan “Zero-Covid” masih menjadi kekhawatiran utama investor. Walaupun pemerintah telah berulang kali menyampaikan komitmen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5.0% di tahun 2022 ini, di awal semester dua ini hal tersebut semakin terlihat tidak dapat tercapai. Di lain sisi, bank sentral lainnya seperti di Taiwan, Macau, Hong Kong, India, Korea Selatan, dan Singapore telah mulai menaikkan suku bunga acuan; dengan potensi Filipina dan Thailand untuk juga mulai mengikuti menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
Melihat Indonesia, kinerja manufaktur mencatatkan sedikit penurunan dari 50.8 ke 50.2 di bulan Juni, masih berhasil mencatatkan ekspansi tipis. Inflasi di bulan Juni naik signifikan ke level 4.35% YoY, diatas ekspektasi dan pencapaian sebelumnya di 3.55% YoY. Pada RDG BI bulan Juni, Bank Indonesia memutuskan untuk menahan suku bunga acuan 3.50%, masih mempertahankan kebijakan akomodatif nya guna menopang pemulihan ekonomi. Namun, hal ini dapat berubah pada pertemuan bulan Juli seiring dengan tinggi nya inflasi. Kekhawatiran atas tinggi nya inflasi dan juga potensi terjadi nya resesi global telah mendorong nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS menembus batas level 15,000 per USD di awal bulan Juli ini. Walaupun pemerintah dan bank sentral cenderung menyukai mata uang yang lebih lemah, demi menopang ekspor dan dagang, namun pelemahan terlalu dalam dapat berdampak negatif terhadap pasar modal secara keseluruhan.
Equity
Di bulan Juni, IHSG mencatatkan pelemahan sebesar 3.3% ke level 6,911.58; merupakan penurunan bulanan terbesar sepanjang tahun 2022. Faktor-faktor eksternal seperti tensi geopolitik di Eropa Barat dan siklus kenaikan suku bunga acuan oleh para bank sentral global untuk menahan kenaikan inflasi masih mendominasi pergerakan aset risiko. Investor asing mencatatkan jual bersih senilai USD 220.4 juta dari pasar saham domestik, seiring dengan aksi diversifikasi pelaku pasar terhadap aset risiko negara berkembang. Walaupun data-data ekonomi masih menunjukkan pemulihan yang stabil, kekhawatiran atas siklus kenaikan suku bunga secara global dan sikap para bank sentral yang semakin hawkish, masih akan menjadi sentimen negatif utama bagi aset risiko dalam jangka pendek kedepan.
Bond
Di pasar obligasi, imbal hasil benchmark 10 tahun naik 7.22% di bulan Juni, menandakan ada nya pelemahan dari segi harga. Investor asing mencatatkan jual bersih senilai USD 737.3 juta di bulan Juni. Di satu titik, imbal hasil sempat naik ke kisaran 7.5%, level tertingginya sejak Juni 2020. Namun, skema burden sharing antara Bank Indonesia dan pemerintah masih memberikan dukungan dari segi permintaan. Terlebih lagi, Kementrian Keuangan juga berkomitmen untuk menurunkan volume lelang yang diadakan setiap dua minggu sekali. Stabilitas harga aset pendapatan tetap yang didorong oleh pengaturan dari sisi supply dan demand seharusnya masih akan dapat menahan kenaikan imbal hasil yang diakibatkan oleh kenaikan suku bunga dan tinggi nya inflasi global.
Rupiah
Dari sisi mata uang, Rupiah melemah terhadap Dolar AS sebesar 2.23% ke level 14,903/USD di akhir bulan Juni lalu. Indeks Dollar (DXY) tercatat naik dari 101.7 menjadi 104.7 di waktu yang sama. Hawkish-nya The Fed telah menjadi katalis pendorong mata uang USD sejak bulan Maret lalu dan masih diprediksi akan terus menaikkan suku bunga acuan di semester dua ini. Batas nilai tukar 15,000/USD merupakan batas yang cukup diperhatikan para pelaku pasar karena merupakan level psikologis. Saat ini, investor mulai mengantisipasi ada nya kenaikan suku bunga acuan sebesar 25-bps oleh Bank Indonesia pada pertemuan RDG BI bulan ini seiring dengan lonjakan inflasi di bulan Juni dan untuk menopang mata uang Rupiah.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
The Fed kembali ke 1994
Kami mengekspektasi PDB AS akan mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut-turut – yang secara teknis merupakan definisi dari resesi – saat ini potensi mendekati 50% dalam 18 bulan kedepan. – Eli Lee
The Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps) untuk pertama kalinya sejak 1994, tahun yang menurut kami memberikan beberapa pandangan di 2022.
Di 1994, The Fed menggandakan Fed Funds Rate dari 3.00% menjadi 6.00% pada awal 1995, naik 50 bps pada setiap pertemuan, termasuk satu peningkatan 75 bps. Tahun ini, pengetatan Fed kemungkinan akan sama cepatnya, mengangkat Fed Funds Rate dari hampir 0.00% menjadi 4.00% pada awal 2023.
Pengetatan agresif The Fed untuk mengembalikan inflasi kembali ke target 2% selama beberapa tahun kedepan akan memperlambat ekonomi AS dengan tajam. Kami sekarang memperkirakan PDB AS akan berekspansi sebesar 1.8% pada tahun 2022 dan 1.4% pada tahun 2023, dibandingkan dengan 5.7% pada tahun 2021. Pertumbuhan global dengan demikian kemungkinan akan berada di bawah 3.0% tahun ini dan berikutnya sekarang.
Pertumbuhan yang lebih lemah meningkatkan risiko resesi. Kami berekspektasi peluang PDB AS mengalami dua kuartal kontraksi langsung berturut-turut - definisi teknis resesi - mendekati 50% dalam 18 bulan kedepan.
Namun, itu semua bukan berarti hal yang sangat mengkhawatirkan. 1994 memberi investor silver lining. Seperti pada tahun 1994, aset berisiko dapat rebound pada tahun 2022 ketika siklus kenaikan Fed memuncak. Pada tahun 1994 setelah menjadi jelas bahwa siklus kenaikan Fed berakhir pada akhir tahun 1994, imbal hasil 10Y US Treasury memuncak di atas 8% dan mulai turun. Selanjutnya, ekuitas AS mengalami kenaikan besar dari tahun 1995 hingga bubble pada saham internet meledak pada tahun 2000.
Oleh karena itu, pada tahun 2022, investor tidak seharusnya "menjual segalanya" karena aset berisiko dapat pulih setelah siklus pengetatan Fed memuncak. Tahun ini, puncak sikap hawkish The Fed saat ini dapat berlangsung hingga Q4 22. Hanya ketika bank sentral melihat bukti yang jelas inflasi AS mulai jatuh kembali ke target 2%, kemungkinan besar menjelang akhir tahun, maka pejabat Fed dapat memperlambat laju kenaikan suku bunga dari 50-75 bps selama musim panas dan musim gugur menjadi 25 bps bergerak selama musim dingin. Dengan demikian, kami berekspektasi masih terlalu dini untuk mulai memilih posisi terendah dalam ekuitas, treasuries, kredit, dan pasar negara berkembang.
Pada tahun 1994, siklus pengetatan Fed keras, tetapi itu berakhir dalam waktu satu tahun. Demikian pula, pada tahun 2022, siklus pengetatan Fed mungkin juga hanya berlangsung setahun, dimulai dari kenaikan pertama Fed pada Maret 2022. Kami memperkirakan suku bunga dana Fed akan mencapai puncaknya sekitar 4.00% pada awal 2023 dan untuk imbal hasil 10Y US Treasury mencapai 4.00% juga seperti yang ditunjukkan tabel.
Tetap waspada
Walaupun belum mencapai posisi terendahnya, namun, ada kemungkinan posisi saat ini sedang melewati kondisi kritis menuju penurunan signifikan. Kami mempertahankan posisi underweight kami di saham global. – Eli Lee
Dalam ekuitas, kami tetap underweight secara keseluruhan melalui posisi underweight kami di Eropa, yang sangat rentan terhadap dampak jangka pendek dan jangka panjang dari perang Rusia-Ukraina. Kami terus menyarankan agar tidak terlalu agresif mengingat berbagai potensi hasil perang, tanggapan kebijakan dari sekutu Ukraina, tindakan pembalasan dari Rusia, serta tekanan inflasi yang berkelanjutan di banyak ekonomi utama dan Fed yang hawkish.
Pada pasar saham negara maju, kami terus memilih value dibanding growth, kapitalisasi besar daripada kapitalisasi kecil, dan perusahaan dengan margin tangguh dan kekuatan harga dalam lingkungan inflasi.
Dalam ekuitas Asia ex-Japan, kami mempertahankan posisi overweight di China, Hong Kong, dan Singapura.
Bagaimana jika terjadi resesi?
Jika terjadi resesi, kami waspada bahwa penurunan pendapatan perusahaan dapat menyebabkan penurunan valuasi lebih lanjut untuk pasar saham global. Selain itu, secara historis pada tren penurunan, menunjukkan bahwa rata-rata penurunan pasar terjadi sekitar enam hingga sembilan bulan sebelum pendapatan perusahaan mulai naik lagi. Analisa ini menunjukan, bahwa kondisi sekarang belum berada di posisi terendah pada ekuitas jika resesi terjadi. Sehingga, pada level saat ini kami kemungkinan telah bekerja melalui bagian signifikan dari penurunan puncak ke dasar. Selain itu, dalam skenario resesi 2023, mengingat resesi tipikal berlangsung selama tiga hingga empat kuartal, kita dapat melihat ekuitas berada di posisi terbawah di H2 22 atau H1 23.
Amerika Serikat
Memasuki H2 22, kami percaya pasar semakin menimbang kemungkinan resesi mengingat suku bunga yang lebih tinggi dan kondisi keuangan yang lebih ketat. Tim ekonomi makro kami telah mengurangi perkiraan PDB AS kami dan sekarang melihat peluang 50-50 dari resesi pada tahun 2023. Meskipun demikian, terlepas dari berbagai kekhawatiran, kami mencatat bahwa AS tetap menjadi net eksporter energi dengan persediaan perumahan yang ada saat ini rendah dan bank-bank yang secara umum sehat. Kami mempertahankan posisi netral pada pasar ekuitas AS.
Eropa
Valuasi untuk MSCI Europe Index telah turun jauh, meskipun kami mencatat bahwa valuasi bahkan lebih rendah selama pandemi COVID-19 pada tahun 2020, krisis kawasan Eropa pada tahun 2011, dan Krisis Keuangan Global pada tahun 2008. Memang, Eropa masih terkena dampak guncangan.
Perang di Ukraina telah mendorong lonjakan inflasi yang sudah lebih besar dari yang diantisipasi, ancaman gangguan pasokan gas juga tetap signifikan. Terakhir, ada risiko bahwa lonjakan inflasi mengarah pada efek putaran kedua melalui ekspektasi upah dan inflasi, yang akan membutuhkan respons Bank Sentral Eropa (ECB) yang lebih agresif.
Jepang
Sementara tingkat pengembalian Indeks MSCI Jepang sedikit negatif tahun ini dalam hal JPY, yang menggarisbawahi sikap netral kami, pasar saham telah jatuh sejalan dengan MSCI All Country World Index dalam USD karena depresiasi JPY dipercepat menuju level terendah 24 tahun bulan lalu.
Asia ex-Japan
Secara keseluruhan, kami mempertahankan pandangan netral kami di Asia ex-Japan dan berhati-hati terhadap meningkatnya risiko resesi AS, suku bunga yang lebih tinggi, dan penguatan USD, tetapi mempertahankan posisi overweight di China, Hong Kong, dan Singapura di kawasan ini.
China
Kami mempertahankan preferensi kami untuk ekuitas A-share dan fokus pada industri yang kemungkinan akan menjadi penerima manfaat kebijakan seperti konstruksi dan yang terkait infrastruktur termasuk energi terbarukan.
Obligasi High Yield (HY) di downgrade
Kami telah menurunkan rating untuk obligasi HY negara berkembang dan maju menjadi underweight. Apabila pasar semakin meyakini prospek terjadinya resesi, maka spread kredit untuk obligasi HY dapat menjadi semakin lebar. – Vasu Menon
Inflasi menjadi tema yang mendominasi pasar aset pendapatan tetap di bulan Juni. Rilisan data inflasi yang meningkat telah menghapus harapan sebelumnya bahwa The Fed dapat menahan kenaikan harga barang, yang akhirnya mendorong kenaikan imbal hasil US Treasury. Di waktu yang sama, fokus pasar semakin tertuju pada pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif oleh The Fed dan potensi terjadinya resesi. Pandangan ini semakin terealisasi mendekati akhir bulan Juni dimana Ketua Fed Jerome Powell yang kembali menekankan komitmen bank sentral untuk menarik turun inflasi ke kisaran target 2%, walaupun adanya potensi resesi terjadi.
Spread semakin melebar seiring dengan meningkatnya kekhawatiran resesi
Spread obligasi HY dan Investment Grade (IG) negara berkembang melebar 104 dan 19 basis poin (bps) di bulan Juni. Obligasi HY negara maju melebar 143 bps sementara obligasi IG AS melebar 23 bps.
Underweight terhadap seluruh kelas aset pendapatan tetap global
Di pertengahan bulan Juni kami menurunkan peringkat obligasi HY negara berkembang dan maju ke underweight, mengikuti jejak obligasi IG. Inflasi yang telah terbukti lebih tetap dan gigih seharusnya akan mendorong The Fed untuk lebih hawkish kedepannya, yang akan menopang kenaikan imbal hasil US Treasury. Terlebih lagi, apabila pasar semakin yakin bahwa resesi akan terjadi, spread kredit HY berpotensi untuk semakin lebar. Untuk beberapa bulan kedepan, kami percaya risiko inflasi dan resesi masih akan menjadi faktor yang mendominasi pergerakan pasar obligasi secara keseluruhan.
Fokus terhadap sektor defensive di obligasi HY negara berkembang
Seiring dengan menguatnya dolar AS, siklus kenaikan suku bunga dan perlambatan pertubuhan ekonomi, kami cenderung lebih menyukai sektor – sektor defensive negara berkembang seperti contohnya minyak & gas, energi terbarukan, pangan & agrikultur, telekomunikasi, dan utilitas.
Overweight terhadap obligasi IG Asia
Kami masih mempertahankan pandangan overweight kami terhadap obligasi IG Asia. Tidak seperti di pasar HY, pasar obligasi IG China didominasi oleh kredit perusahaan – perusahaan BUMN yang penting secara sistemik bagi perekonomian. Namun secara keseluruhan, beberapa sektor lainnya di pasar IG Asia yang juga cukup baik akan sama dengan di pasar HY.
Kekhawatiran resesi mendukung harga emas
Kami mengubah perkiraan harga emas kami untuk mencerminkan pandangan yang lebih terbatas. Kenaikan awal suku bunga oleh beberapa bank sentral utama, terutama The Fed, dapat membatasi potensi emas untuk reli dalam jangka waktu 3 bulan sementara meningkatnya risiko resesi dan tidak berakhirnya perang Rusia-Ukraina dengan cepat dapat membatasi penurunan emas pada 6 hingga jangka waktu 12 bulan – Vasu Menon
Emas
Pengetatan moneter di awal, kenaikan imbal hasil riil, dan Dolar AS yang lebih kuat telah mengambil alih risiko geopolitik untuk menuntun harga emas lebih rendah. Dikatakan juga, emas terus menjalankan perannya sebagai diversifikasi portofolio, mengungguli saham dan obligasi tahun ini.
Kami mengubah perkiraan harga emas kami untuk mencerminkan pandangan yang lebih terbatas. Kenaikan awal suku bunga oleh beberapa bank sentral utama, terutama The Fed, dapat membatasi potensi emas untuk menguat dalam jangka waktu 3 bulan sementara meningkatnya risiko resesi dan tidak berakhirnya perang Rusia-Ukraina dengan cepat dapat membatasi penurunan emas pada 6- hingga jangka waktu 12 bulan
Minyak
Sementara perjuangan bank sentral melawan inflasi telah mendorong kerugian dalam ekuitas dan kredit, harga minyak tetap tinggi sampai saat ini karena pasokan yang terbatas.
Harga minyak telah naik lebih awal karena sanksi Eropa terhadap minyak Rusia akan memperketat pasar selama beberapa bulan mendatang. Sementara OPEC+ setuju untuk meningkatkan produksi pada tingkat yang lebih cepat, namun akan gagal menutup celah yang ditinggalkan oleh larangan Eropa terhadap minyak Rusia. Produsen minyak AS kemungkinan akan melanjutkan peningkatan produksi bertahap mereka.
Namun, meningkatnya kekhawatiran pertumbuhan karena bank sentral mempercepat pengetatan untuk meredam inflasi telah mengalihkan fokus dari masalah sisi penawaran ke permintaan di pasar minyak. Sementara permintaan dari China dapat pulih karena lockdown dilonggarkan, tanda-tanda perlambatan pertumbuhan di AS dan Eropa, dapat membuat pasar minyak semakin panas. Kami telah menurunkan perkiraan harga minyak karena perlambatan pertumbuhan global dapat membatasi permintaan minyak.
Currency
Indeks Dolar AS (DXY) rebound pada paruh pertama Juni sebelum berkonsolidasi setelahnya, karena The Fed berubah lebih hawkish sementara kekhawatiran pertumbuhan global meningkat. Tampaknya sulit bagi Bank Sentral Eropa (ECB) atau Bank of England (BoE) untuk mengungguli Federal Reserve (Fed) AS dalam hal kenaikan suku bunga jangka pendek, sementara Indeks Sentimen Risiko kami tetap sama yaitu keluar dari Zona Eropa. Latar belakang ini seharusnya mendukung perpanjangan kekuatan Dolar secara luas ke bagian awal Q3.
Pound (GBP) berada di bawah tekanan dan GBP/USD menyentuh level terendah baru-baru ini di 1.1934 pada bulan Juni, di tengah berita utama negatif Brexit dan kekhawatiran akan pertumbuhan ekonomi. EUR telah terbebani oleh risiko fragmentasi yang dirasakan, tetapi pasar telah mengantisipasi terhadap kenaikan suku bunga ECB yang telah berubah lebih hawkish seperti yang kami harapkan, memberikan beberapa dukungan untuk EUR. Sementara Presiden ECB Christine Lagarde telah mengisyaratkan dengan kuat pada kenaikan suku bunga 25 bps pada pertemuan kebijakan bulan Juli, keputusan itu bergantung pada data.
Akhir-akhir ini, CNH tampaknya telah stabil di sekitar 6,7000 terhadap USD, karena data terbaru mendukung gagasan bahwa pasar kemungkinan telah melewati puncak pesimisme untuk pertumbuhan China. Namun, China bertahan dengan kebijakan zero COVID yang dinamis yang berarti risiko penguncian skala kecil tetap ada. Secara seimbang, kami memperkirakan USD/CNH diperdagangkan di kisaran 6.6500-6.7500.
From inflation fears to recessions risks
Pada bulan Mei, perhatian dan fokus pelaku pasar masih tertuju terhadap beberapa kejadian yang memberikan sentimen negatif terhadap perekonomian global seperti konflik geopolitik Rusia – Ukraina yang masih berlangsung, kenaikan laju inflasi yang signifikan akibat kenaikan harga minyak dan sejumlah komoditas pangan, serta kebijakan zero covid policy di China yang mengakibatkan melambatnya aktivitas ekonomi China. Hal ini mendorong pelemahan sejumlah aset seperti obligasi dan pasar saham global. Tingginya angka inflasi global terutama di sejumlah negara maju, membuat kebijakan suku bunga bank sentral dunia, seperti Fed diperkirakan tetap hawkish dengan potensi kenaikan suku bunga sebanyak 5 kali hingga penghujung tahun ini. Kekhawatiran ini memberikan dampak kenaikan terhadap imbal hasil US Treasury yang berada di kisaran 2.9% - 3.1% saat ini. Tingginya angka inflasi, di tengah ekonomi yang mulai melambat, memicu adanya kekhawatiran stagflasi yang berkepanjangan, yang berpotensi mendorong perekonomian negara maju memasuki jurang resesi. Beralih ke dalam negeri, berbeda dengan negara maju yang sedang menghadapi risiko stagflasi dan resesi, perekonomian Indonesia justru tetap menunjukkan pemulihan yang optimis di tengah berbagai sentimen negatif global. Aktivitas manufaktur masih berekspansi pada bulan Mei ke level 50.8. Selain itu, neraca perdagangan Indonesia di bulan Mei menunjukan kenaikan surpluss ke level US$ 7.56 miliar, dari sebelumnya di level US$ 4.53 miliar. Sementara pada bulan Mei, terjadi kenaikan inflasi sebesar 3.55% secara y-o-y. Aktivitas sosial dan ekonomi semakin membaik seiring dengan penanganan pandemi yang semakin terkendali dan meningkatnya mobilitas.
Equity
Sejumlah faktor risiko eksternal membayangi pergerakan bursa saham domestik di bulan Mei, sehingga mengakibatkan tingginya volatilitas pasar saham. Tingginya risiko eksternal mengakibatkan aksi jual dari investor asing serta larangan ekspor kelapa sawit yang sempat diumumkan oleh pemerintah, semakin mendorong bursa melemah. Bagaimanapun, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia. Namun, larangan ini akhirnya dicabut. Sehingga, paska melemah di kisaran 6,597 di minggu kedua bulan Mei, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya berhasil menutup bulan Mei dengan pelemahan hanya sebesar 1.11 persen di 7,148. Ke depannya, sejumlah risiko eksternal masih dapat mendorong volatilitas di pasar saham. Namun dengan pemulihan ekonomi domestik dan minat investor asing yang masih cukup tinggi, maka IHSG diperkirakan akan berada di kisaran 7,200 – 7,500 hingga akhir tahun.
Bond
Selama bulan Mei, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berfluktuasi cukup signifikan. Imbal hasil tercatat meningkat dari awal bulan di level 6.99% ke kisaran level 7.41% di pertengahan bulan Mei, namun kembali di tutup di kisaran 7.04% pada akhir bulan lalu. Pergerakan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia akan mengikuti imbal hasil US Treasury. Walaupun potensi kenaikan lanjutan dari imbal hasil berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia khususnya investor asing, namun kepemilikan asing saat ini sudah underweight di mana saat ini berada pada level rendah di level 16.5%. Dengan berkurangnya ketergantungan pasar obligasi pada investor asing, tentunya ini akan mengurangi volatilitas yang diakibatkan oleh faktor eksternal. Dengan inflasi yang relatif cukup rendah, maka imbal hasil riil atau real yield berada di kisaran 3.4%. Imbal hasil yang cukup tinggi akan menarik investor untuk kembali masuk ke pasar obligasi, dan di saat yang sama dapat menjadi buffer atau mengurangi volatilitas.
Currency
Sementara itu, mata uang Rupiah melemah 0.53% sepanjang bulan Mei lalu, ditutup pada level 14,578 di akhir bulan. Rupiah diperkirakan masih akan menghadapi tantangan dari siklus kenaikan suku bunga Fed selanjutnya. Di sisi lain, Bank Indonesia tetap menahan suku bunga acuan 7-day reverse repo rate di 3.5 persen, namun mulai menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan, sebagai salah satu upaya untuk meredam laju inflasi dan mengurangi likuiditas, serta menstabilkan nilai tukar Rupiah.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Dari kekhawatiran inflasi hingga risiko resesi
Prospek ekonomi terus menjadi sangat menantang, dan risiko resesi telah menggantikan kekhawatiran inflasi sebagai perhatian utama investor. – Eli Lee
Tidak ada resesi di 2022
Kami tidak memperkirakan salah satu ekonomi utama dunia akan mengalami resesi – secara teknis didefinisikan sebagai PDB yang terkontraksi selama dua kuartal berturut-turut – pada tahun 2022 kecuali ada guncangan lain yang akan menghantam ekonomi global.
Skenario dasar kami tetap bahwa pertumbuhan global akan melambat tajam, namun tidak menyebabkan resesi di tahun ini.
Oleh karena itu, kami memperkirakan bank sentral utama akan terus menaikkan suku bunga dengan cepat sepanjang tahun 2022 untuk mengembalikan inflasi ke target 2% mereka selama beberapa tahun ke depan.
The Fed akan terus menaikkan suku bunga hingga awal 2023
Inflasi AS berada pada level tertinggi empat decade, bahkan tidak termasuk harga makanan dan energi. The Federal Reserve (Fed) telah dikagetkan oleh seberapa cepat inflasi telah melonjak tahun ini. Ketika pandemi mereda di AS, rantai pasokan secara global tetap terganggu dan perang di Ukraina menyebabkan lonjakan harga minyak.
Kami memperkirakan The Fed akan terus meningkatkan suku bunga acuan hingga mencapai 2.75-3.00% pada awal tahun depan.
Kenaikan suku bunga dari bank sentral lainnya
Demikian pula, kami memperkirakan Bank Sentral Eropa (ECB), yang dihadapkan dengan rekor inflasi Zona Euro, akan mulai meningkatkan suku bunga depositonya pada bulan Juli. Dengan demikian, kami mengantisipasi ECB meningkatkan suku bunga depositonya sebesar 25 bps pada pertemuan Juli dan September sehingga mencapai nol pada akhir Q3 22, dan kemudian terus dinaikkan setiap kuartal hingga mencapai 1.00% pada tahun 2023.
Bank of England (BoE) juga menghadapi inflasi tinggi selama beberapa dekade di Inggris. Dengan demikian, BoE telah meningkatkan suku bunga banknya menjadi 1.00% selama tahun 2022, dan kami memperkirakan setidaknya dua kenaikan suku bunga 25 bps lagi pada pertemuan mendatang pada bulan Juni dan Agustus.
Bank of Japan dan People's Bank of China adalah dua bank sentral yang menahan diri untuk tidak menaikkan suku bunga tahun ini mengingat kelemahan inflasi inti yang berkepanjangan di Jepang dan perlambatan ekonomi China saat ini.
Imbal hasil US Treasury 10Y tetap fluktuatif
Kenaikan suku bunga dari The Fed dan rekan-rekannya kemungkinan akan menjaga imbal hasil obligasi pemerintah tetap fluktuatif sehingga merugikan aset berisiko selama beberapa bulan ke depan.
Kami memperkirakan imbal hasil 10Y US Treasury akan tetap volatile. Tetapi jika kami terbukti benar dalam pandangan kami bahwa ekonomi AS tidak akan mengalami resesi tahun ini, maka imbal hasil 10Y US Treasury kemungkinan akan diperdagangkan naik menuju 3.00% lagi, lalu jatuh kembali ke level 2.00% yang dicapai oleh obligasi pemerintah AS acuan selama pandemi pada tahun 2020 dan 2021.
Prospek ekonomi dari inflasi yang tinggi, pertumbuhan global yang melambat tajam, kenaikan suku bunga yang disinkronkan oleh bank sentral di seluruh dunia, dan imbal hasil obligasi pemerintah yang volatile kemungkinan akan membuat investor menghindari risiko selama musim panas.
Source: Bank of Singapore
Tetap underweight saham
Setelah terjadi penguatan, untuk pandangan 12 bulan kedepan, kami melihat pelemahan yang terjadi sudah menyentuh puncaknya, meskipun sebagian besar penurunan kemungkinan telah diselesaikan pada level saat ini. – Eli Lee
Pasar semakin mengantisipasi skenario resesi di belakang beberapa tantangan global, termasuk fokus Federal Reserve (Fed) untuk secara tegas membatasi inflasi dan dampaknya terhadap pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan. Kami mempertahankan posisi underweight kami dalam saham global pada saat ini. Namun, kami terus mengharapkan kinerja jangka panjang yang lebih baik dari sektor energi, perusahaan yang diuntungkan dari tren pembukaan kembali, mereka yang menikmati kekuatan harga dalam lingkungan inflasi, dan menyukai saham value dibanding saham growth.
United States
Hasil pendapatan perusahaan Q1 22 sebagian besar terlihat kuat. Namun, kekhawatiran siklikal telah meningkat di antara investor menyusul laporan pendapatan dari pengecer besar, terutama terkait tekanan margin, permintaan konsumen kelas bawah, serta peningkatan persediaan yang berlebihan. Lingkungan makro juga tampaknya semakin menantang untuk nama-nama yang dimanfaatkan untuk iklan online. Meskipun risiko penurunan pasti meningkat, rumah tangga masih memiliki rasio pembayaran utang yang rendah dan tabungan yang meningkat, sementara perusahaan juga semakin mementingkan rasionalisasi biaya. Semua dipertimbangkan, kami mempertahankan pandangan netral kami pada pasar saham AS.
Europe
Latar belakang makro tetap sulit untuk saham mengingat kekhawatiran perlambatan pertumbuhan global dan pengetatan moneter. Pada saat yang sama, risiko geopolitik di Eropa tetap tinggi. Rasio risk vs reward MSCI Eropa tidak menarik, dengan pembatasan impor gas Rusia sebagai risiko utama, meskipun Uni Eropa tampaknya telah melunakkan pendiriannya dalam kebuntuannya dengan Moskow atas pasokan energi, yang memungkinkan perusahaan untuk menjaga aliran gas Rusia. Melihat kedepan, siklus penurunan peringkat laba per saham (EPS) dapat dimulai pada 2H22 karena tekanan margin mulai membebani.
Japan
Panduan perusahaan umumnya konservatif mengingat pertumbuhan global yang berkelanjutan dan hambatan inflasi yang diperkirakan. MSCI Jepang diperdagangkan mendekati -1 standar deviasi ke P/E rata-rata historis 10 tahun, mencerminkan ekspektasi moderat meskipun investor berbasis USD masih harus melakukan lindung nilai terhadap posisi mereka dalam mata uang Yen Jepang.
Asia ex-Japan
Kami melihat risiko penurunan pada perkiraan pendapatan di bawah konsensus kami untuk Asia selain Jepang, mengingat dampak kebangkitan COVID-19 yang lebih buruk dari perkiraan di China dan meningkatnya tekanan inflasi. Dengan demikian, kami memangkas “base case” perkiraan pertumbuhan EPS FY22 “ kami dari 7% menjadi 6%.
China
Data ekonomi April yang lebih lemah dari perkiraan menyoroti dampak penguncian di China. Sementara itu, diskusi dan pengumuman kebijakan stimulus telah meningkat belakangan ini. Perkembangan utama termasuk penurunan Suku Bunga Dasar Pinjaman 5 tahun, yang merupakan tolok ukur suku bunga KPR; dan 33 langkah stimulus komprehensif yang diumumkan oleh Dewan Negara.
Selama sebulan terakhir, ekuitas A-share (Indeks CSI 300) terus lebih tangguh dan mengungguli ekuitas Asia ex-Jepang. Kami terus memilih ekuitas A-share dalam negeri dan kami memperkirakan kinerja yang relatif lebih baik akan terus berlanjut hingga H2 22 ketika langkah-langkah pelonggaran meningkat dan aktivitas menjadi normal. Kami mempertahankan pandangan kami bahwa nilai saham akan mengungguli saham pertumbuhan di Q2. Kami terus memilih perusahaan dengan dividen defensif dan/atau dukungan pembelian kembali saham, pembukaan kembali Hong Kong, dan penerima kebijakan.
Views on sectors
Secara umum, sektor yang lebih defensif seperti utilitas dan perawatan kesehatan akan berkinerja relatif lebih baik dalam periode penghindaran risiko. Namun, kami menyoroti bahwa ada faktor lain yang perlu diingat seperti cakrawala waktu dan dinamika spesifik industri.
Masih underweight terhadap obligasi
Di pasar obligasi, kami masih melihat spread kredit untuk tetap tinggi, seiring dengan pasar yang masih fluktuatif dan juga akibat tinggi nya ketidakpastian di pasar saat ini ditengah potensi terjadinya resesi ataupun soft landing bagi perekonomian global. – Vasu Menon
Tingginya inflasi, tensi geopolitik Eropa, hingga pertumbuhan ekonomi China yang diprediksi melambat masih menjadi beberapa sentimen negatif pasar modal; sehingga menjadi katalis pemberat bagi pergerakan aset pendapatan tetap. Terlebih lagi, potensi pengetatan kebijakan oleh The Fed, baik dari segi suku bunga ataupun penyusutan neraca keuangan, semakin membebani aset berisiko. Pasar obligasi AS terlihat semakin volatile akibat beberapa skenario seperti hard landing ataupun softish landing yang saat ini menjadi ketidakpastian pasar. Kami melihat pasar masih akan fluktuatif beberapa pekan kedepan seiring dengan rendah nya arahan pasti bagi pasar modal.
Secara keseluruhan, kami masih underweight di pasar obligasi, dengan posisi underweight baik di obligasi Investment Grade (IG) negara maju (DM) dan berkembang (EM); netral bagi obligasi High Yield (HY) DM dan EM. Pemilihan aset pendapatan tetap harus lebih selektif disaat – saat seperti saat ini.
Masih netral terhadap EM HY
Walaupun ketidakpastian ekonomi masih tinggi saat ini akibat potensi terjadinya resesi atau kontraksi bagi ekonomi global, kami percaya pelemahan sejak awal tahun sudah cukup dalam bagi obligasi EM HY. Obligasi Rusia sudah dikeluarkan dari index JP Morgan CEMBI dan volume obligasi HY China saat ini hanya setengah nya dari tahun lalu, kedua hal tersebut membuat kredit korporasi EM saat ini lebih terdiversifikasi. Fundamental bottom-up saat ini juga masih terlihat supportif.
Mempertahankan posisi netral terhadap ketiga wilayah EM HY, dengan fokus ke sektor defensif
Kami mempertahankan pandangan netral terhadap Asia, Amerika Latin, dan CEEMEA (Eropa dan Africa). Namun, seiring dengan penguatan USD, kenaikan suku bunga dan harga komoditas, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi, kami masih lebih menyukai industri defensif seperti migas, makanan dan perkebunan, tambang, telekomunikasi, dan kebutuhan yang akan lebih diuntungkan dengan kondisi seperti sekarang.
Overweight obligasi IG Asia
Kami mempertahankan pandangan overweight kami terhadap obligasi IG Asia. Tidak seperti di pasar obligasi HY, obligasi IG China didominasi oleh mayoritas perusahaan BUMN yang penting secara sistemik terhadap perekonomian. Akan tetapi dalam konteks yang lebih besar, kami juga menyukai industri-industri yang sama dengan seperti di EM HY sebelumnya.
Arah pergerakan emas yang tidak pasti
Perkiraan pandangan emas 3 bulan kami juga mencerminkan kehati-hatian bahwa meningkatnya risiko geopolitik dapat meningkatkan permintaan emas sebagai aset safe haven. Tapi kami percaya pelemahan harga emas sampai level terendah pada akhirnya akan terjadi, karena The Fed berhasil meredam inflasi dan karena kekhawatiran seputar potensi resesi AS mereda. – Vasu Menon
Gold
Arah pergerakan emas terperangkap antara kekuatan bullish dan bearish. Aksi jual aset berisiko gagal menarik arus safe haven kepada emas. Pengetatan Fed dan tekadnya untuk menurunkan inflasi telah menciptakan hambatan, karena peluang keuntungan memegang emas meningkat di tengah imbal hasil riil yang lebih tinggi dan Dolar AS yang lebih kuat.
Prospek emas jangka pendek kemungkinan akan tetap volatile karena meningkatnya kekhawatiran atas pertumbuhan AS untuk sementara dapat membuat emas lebih didukung. Perkiraan emas 3 bulan kami juga mencerminkan kehati-hatian bahwa meningkatnya risiko geopolitik dapat meningkatkan permintaan emas sebagai aset safe haven. Kami percaya posisi harga terendah baru untuk harga emas pada akhirnya akan terjadi karena The Fed berhasil meredam inflasi dan karena kekhawatiran seputar potensi resesi AS mereda. Kami menurunkan perkiraan emas 12 bulan menjadi USD 1,750/oz (sebelumnya: USD 1,825/oz).
Oil
Prospek harga minyak yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama tetap menjadi skenario dasar kami. Pelepasan dari Cadangan Minyak Strategis (SPR) yang dikendalikan pemerintah hanya dapat memberikan banyak bantuan. Pasar minyak fisik mengalami penurunan selama April dan awal Mei, sebagian besar didorong oleh penguncian terkait COVID di China. Tetapi prospek permintaan minyak China membaik di tengah pelonggaran pembatasan perjalanan karena penguncian dicabut. Pasokan minyak Rusia dapat turun lebih jauh dan menambah pasar minyak global yang sudah ketat menyusul keputusan UE untuk melarang impor minyak Rusia melalui laut.
Currency
Dari sini, USD (DXY) secara luas kemungkinan akan menjalani periode konsolidasi selama beberapa minggu mendatang, daripada memulai tren turun yang stabil pada tahap ini. Pertama, pergeseran dinamika bank sentral terutama tercermin dalam retorika, bukan tindakan nyata selama ini. Kedua, DXY telah bergerak secara luas dengan ketidakpastian sentimen risiko secara keseluruhan.
Baik Euro (EUR) dan Pound (GBP) mengumpulkan dukungan dari prospek bank sentral yang semakin hawkish. Lagarde ECB pada dasarnya menetapkan total kenaikan suku bunga 50 bps pada pertemuan Juli dan September karena bank sentral bertujuan untuk membawa suku bunga keluar dari wilayah negatif pada akhir Q3. Harga pasar telah meningkat seperti yang kami harapkan, dengan total 115 bps dari kenaikan suku bunga pada akhir tahun.
Di antara mata uang komoditas, Dolar Kanada (CAD) bernasib lebih baik sesuai dengan ekspektasi kami, karena BoC tetap menjadi salah satu bank sentral yang paling hawkish. CAD diposisikan dengan baik untuk memanfaatkan pelemahan dan konsolidasi USD, dengan support berikutnya untuk USD/CAD di 1,2560. Di tempat lain, harga pasar dari tindakan RBA tetap terlalu hawkish. Tampaknya tidak ada dorongan untuk mendorong AUD/USD lebih tinggi dalam waktu dekat.
Trimming Exposure to Risk
Di awal Mei, bank sentral AS menaikkan suku bunga untuk kedua kalinya menjadi 1%. Kenaikan tersebut merupakan bagian dari rangkaian kenaikan Fed Funds Rate yang diperkirakan akan menyentuh 2.75-3.00% di awal tahun 2023. Tidak hanya menaikkan suku bunga acuan, The Fed juga merencanakan normalisasi neraca (balance sheet) dengan pengurangan USD 47.5 miliar per bulan mulai Juni, dan pengurangan USD 90 miliar per bulan mulai September. Langkah pengetatan kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi tingkat inflasi yang terus mengalami kenaikan. Inflasi yang terlalu tinggi dikhawatirkan akan mendorong ekonomi melambat atau justru masuk ke era stagflasi. Hal ini mendorong imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun menyentuh level tertinggi di kisaran 3.1%.
Selain kekhawatiran akan kenaikan suku bunga yang lebih agresif, pasar modal masih dibayangi oleh sejumlah risiko. Tren kenaikan suku bunga oleh beberapa negara maju untuk mengatasi tingginya inflasi, berlanjutnya ketegangan Rusia-Ukraina, sanksi kepada Rusia yang terus membuat harga minyak melonjak, serta semakin ketatnya lockdown di China masih mendominasi pergerakan pada pasar saham.
Dari dalam negeri, fundamental Indonesia semakin membaik di tengah berbagai sentimen negatif global. Aktivitas manufaktur masih berekspansi pada bulan April ke level 51.9, dari sebelumnya 51.3. Pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal I 2022 juga bertumbuh 5.01%, lebih baik dari estimasi. Sementara di bulan April, terjadi inflasi sebesar 3.47% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021. Aktivitas ekonomi terlihat semakin pulih seiring dengan COVID-19 yang terkendali dan herd immunity yang meningkat.
Equity
IHSG berhasil menguat +2.22% ke level 7,728 di bulan April. Penguatan tidak lepas dari derasnya aliran dana investor asing yang mencapai sekitar USD 2.783 miliar. Investor terlihat optimis akan prospek perekonomian Indonesia. Ke depan, sejumlah risiko masih membayangi pergerakan pasar saham seperti kenaikan inflasi yang terlalu cepat yang mempercepat laju kenaikan suku bunga. Namun, seiring dengan pulihnya permintaan domestik dan kenaikan harga komoditas, maka IHSG diperkirakan akan berada di kisaran 7,200 – 7,500 hingga akhir tahun.
Bond
Selama bulan April, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun mengalami kenaikan, dari awal bulan di level 6.728% ke 6.986%. Kenaikan mengikuti imbal hasil US Treasury seiring dengan kenaikan suku bunga The Fed. Walaupun potensi kenaikan lanjutan dari imbal hasil berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, namun kepemilikan asing saat ini sudah underweight di bawah 20%. Sehingga, saat terjadi kenaikan imbal hasil yang cukup signifikan di atas 7 persen, investor dapat mempertimbangkan untuk mengakumulasi kelas aset obligasi di level yang cukup menarik. Imbal hasil obligasi tenor 10 tahun diperkirakan akan berada di kisaran level 7.15% hingga akhir tahun.
Currency
Sementara itu, mata uang Rupiah melemah 0.83% sepanjang bulan lalu, ditutup pada level 14,482 di akhir bulan. Pelemahan Rupiah diperkirakan akan berlanjut ditengah penguatan Dolar AS akibat kebijakan moneter The Fed. Di sisi lain, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan dan memastikan berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Rupiah diperkirakan berada di kisaran 14,408 hingga akhir tahun.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Pandangan yang lebih kelam
Prospek ekonomi masih terus menjadi sangat menantang, Eropa menghadapi perang berbulan-bulan, inflasi AS berada pada level tertinggi dalam empat dekade dan China sedang berjuang untuk menahan COVID-19. – Eli Lee
Pasar keuangan dengan demikian cenderung tetap volatile pada bulan Mei.
Kekhawatiran Resesi Meningkat
Pertumbuhan global tampaknya akan melambat tajam tahun ini, yang juga memicu kekhawatiran resesi.
Untuk ekonomi global secara keseluruhan, risiko resesi pada tahun 2022 masih tampak terbatas. Pembukaan kembali ekonomi, high savings, permintaan, dan pasar tenaga kerja yang ketat berpotensi untuk mendukung pertumbuhan global tahun ini ditengah kebijakan moneter lebih ketat dan melonjaknya harga komoditas.
Namun, untuk tahun 2023, risiko ekonomi dunia mengalami resesi meningkat. Kenaikan suku bunga tahun ini kemungkinan akan dirasakan lebih pada tahun 2023 dan efek dari pembukaan kembali juga kemungkinan akan memudar pada tahun depan.
Bank sentral mempercepat kenaikan suku bunga untuk memastikan puncak inflasi pada tahun 2022
The Fed akan menaikkan suku bunga fed fund sebesar 50 basis poin (bps) pada bulan Juni dan Juli setelah 50 bps awal pada bulan Mei menjadi 0.75-1.00%. The Fed juga kemungkinan akan terus menaikkan suku bunga sampai fed funds rate mencapai 2.75-3.00% pada awal tahun depan. Dengan demikian, kenaikan suku bunga The Fed berpotensi membatasi pertumbuhan pada tahun 2023.
Demikian pula, BOE kemungkinan akan terus menaikkan suku bunga pada bulan Mei dan lagi baik pada bulan Juni atau Agustus sebesar 25 bps sampai suku bunga bank mencapai setidaknya 1.25%.
ECB juga kemungkinan akan mengajukan kenaikan suku bunga tahun ini mengingat inflasi Zona Euro berada pada rekor tertinggi. Kami memperkirakan ECB untuk mengakhiri pelonggaran kuantitatif selama musim panas dan mulai menaikkan suku bunga deposito dari -0.50% dengan peningkatan 25 bps setiap tiga bulan dari Juli.
Sebaliknya, kami memperkirakan BOJ akan mempertahankan suku bunga depositonya tidak berubah pada -0.10% karena inflasi, tidak termasuk biaya makanan dan energi, tetap jauh di bawah target 2% di Jepang. Sementara PBOC diperkirakan akan menahan diri dari kenaikan suku bunga karena pertumbuhan China menderita akibat lockdowns yang ketat.
Imbal hasil obligasi global akan meningkat lebih lanjut
Kami memperkirakan US Treasuries akan diperdagangkan dalam kisaran 2.70-3.00%, lebih tinggi dibandingkan dengan 1.50% untuk imbal hasil Treasury 10Y pada awal 2022. Jika inflasi mulai mencapai puncaknya dalam beberapa bulan ke depan, maka imbal hasil global akan berhenti melonjak.
Terakhir, safe-haven USD diperkirakan untuk tetap diminati, dimana Euro, Yen dan Renminbi semuanya melemah tajam terhadap greenback.
Kombinasi dari inflasi yang meningkat, perlambatan yang lebih tajam, kenaikan suku bunga yang dipercepat, kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah, dan USD yang lebih kuat mencerminkan prospek ekonomi global yang sangat menantang.
Mengurangi tingkat Risiko
Kami telah menurunkan peringkat pasar saham Asia ex-Japan dari overweight menjadi netral, sehingga posisi kami secara keseluruhan dalam ekuitas global dari netral menjadi underweight. Di tingkat sektor, kami terus mendukung energi dalam jangka panjang, didukung oleh perkembangan geopolitik yang sedang berlangsung dan dorongan untuk keamanan energi di antara negara-negara. – Eli Lee
Amerika Serikat
Perusahaan-perusahaan AS berada di musim pelaporan, dan sejauh ini sebagian besar perusahaan S&P500 telah melaporkan mengalahkan perkiraan EPS. Beberapa tim manajemen telah memberikan panduan yang lebih hati-hati, dan ini dapat menyebabkan revisi penurunan EPS 2H22.
Eropa
Ekuitas Eropa telah kehilangan beberapa kekuatan baru-baru ini bersama dengan indeks utama lainnya di tengah kekhawatiran perlambatan pertumbuhan global dan pengetatan moneter. Kedepan, pertumbuhan di kawasan Eropa dapat melemah selama beberapa bulan mendatang karena kejutan harga energi dan potensi memudarnya dorongan pembukaan kembali.
Risiko lebih mengarah ke sisi negatif, Namun, kamu juga memberikan beberapa highlight pada wilayah Eropa. Ekuitas Inggris, misalnya, dengan bobot yang relatif lebih tinggi di sektor-sektor seperti Energi, Komoditas, dan Keuangan menawarkan lindung nilai yang lebih baik.
Jepang
Pasar saham Jepang telah bertahan tahun ini, jatuh pada tingkat yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan pasar saham dunia dalam mata uang lokal. Namun demikian dalam dolar AS, pasar saham telah tertinggal dari ekuitas dunia secara signifikan karena depresiasi mata uang Yen yang tajam. Pada musim laporan keuangan saat ini, kami mengharapkan perusahaan untuk memandu lebih konservatif untuk tahun fiskal baru karena ketidakpastian eksternal yang sedang berlangsung dan kekhawatiran inflasi.
Asia ex-Japan
Indeks MSCI Asia ex-Jepang menutup bulan penuh tantangan lainnya di bulan April. Salah satu tren yang umum adalah meningkatnya tekanan inflasi di kawasan dan mengakibatkan pengetatan kebijakan moneter di beberapa negara. Mengingat kinerja Indonesia yang lebih baik sejak peningkatan kami baru-baru ini ke peringkat overweight, kami mengambil kesempatan untuk mengunci beberapa keuntungan dan menurunkan peringkat kami ke netral, karena valuasi juga meningkat mengikuti kinerjanya yang lebih baik.
China
Pemotongan rasio persyaratan cadangan (RRR) sederhana baru-baru ini dan tidak ada perubahan suku bunga kebijakan, sehingga meleset dari ekspektasi pasar. Melangkah ke 2Q22, kami mengharapkan peningkatan respons kebijakan. Untuk menstabilkan pertumbuhan, pembuat kebijakan dapat memprioritaskan kredit daripada penurunan suku bunga dan fokus pada langkah-langkah fiskal.
Kami tetap konstruktif pada ekuitas China dan melihat nilai investasi jangka panjang. Sementara kami terus memilih saham-A dalam negeri dalam ekuitas Tiongkok, kami memperkirakan kinerja yang relatif lebih baik akan berlanjut di 2H22 ketika langkah-langkah pelonggaran meningkat.
Pandangan terkait sektor
Kami menurunkan peringkat sektor Keuangan dan Industri kami dari overweight menjadi netral setelah di upgrade lebih dari setahun yang lalu. Sektor keuangan akan terpengaruh oleh meningkatnya kekhawatiran pertumbuhan global, dan sementara bank akan mendapat manfaat dari siklus kenaikan suku bunga baru. Untuk sektor Industri, masalah rantai pasokan dan logistik kemungkinan akan tetap ada untuk saat ini, terutama dengan situasi COVID-19 di China.
Sektor Energi tetap menjadi sektor dengan kinerja terbaik dari tahun ke tahun setelah berada di puncaknya tahun lalu juga. Kecuali perkembangan yang tidak terduga dalam perang Rusia-Ukraina, ada potensi perlambatan pertumbuhan permintaan dalam waktu dekat karena penguncian terkait COVID di Cina.
Namun, dalam jangka panjang, permintaan energi akan tetap kuat karena ekonomi pulih dari kedalaman pandemi. Studi JP Morgan baru-baru menyatakan bahwa pada tahun 2030, pertumbuhan permintaan energi akan melebihi pertumbuhan pasokan sekitar 20% berdasarkan tren saat ini, terutama didorong oleh negara berkembang dan upaya mereka untuk mengembangkan dan mengangkat warga keluar dari kemiskinan.
Underweight Obligasi
Di pasar obligasi, ekspektasi kami adalah untuk spread kredit masih akan tetap tinggi, sehingga kami masih underweight terhadap aset pendapatan tetap secara keseluruhan, dengan posisi underweight terhadap obligasi Investment Grade (IG) di negara maju (DM) dan negara berkembang (EM), dan netral terhadap obligasi High Yield (HY). Pemilihan obligasi harus lebih selektif dengan kondisi saat ini. – Vasu Menon
Pelaku pasar yang berharap kuartal dua ini akan memberikan angin segar bagi pasar obligasi akan sangat kecewa dengan kinerja yang semakin memburuk. Di kuartal pertama 2022, pergerakan pasar didominasi oleh perang Rusia-Ukraina dan kekhawatiran atas The Fed dan bank sentral lainnya yang berubah hawkish seiring dengan kenaikan inflasi global. Data inflasi AS yang dirilis bulan lalu terlihat naik signifikan ke level 8.5% ditengah lockdown China yang semakin membebani pertumbuhan ekonomi. Selain itu, The Fed yang semakin hawkish mendorong ekspektasi pasar untuk kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin.
Masih netral terhadap obligasi EM HY
Kredit negara berkembang sejauh ini masih sangat dibebani oleh beberapa hal seperti perang Rusia-Ukraina yang masih berlanjut hingga kenaikan inflasi yang signifikan akibat disrupsi rantai pasokan yang juga disebabkan oleh tensi geopolitik Eropa.
Sementara itu, China melihat ketidakpastian dari segi domestik maupun global. Sektor properti masih tertekan akibat rendah nya konsumsi, yang didorong oleh lockdown yang masih berlanjut. Hal tersebut memicu kekhawatiran potensi terjadinya hard landing bagi China.
Dan dibalik semua itu, masih adanya kekhawatiran atas The Fed yang semakin hawkish, dengan potensi kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif dan juga pemangkasan pembelian obligasi dalam waktu dekat. Namun, kami percaya bahwa dengan penurunan harga yang tajam sejak awal tahun, pasar sudah melakukan price in sebagian dari risiko yang ada di level saat ini.
Maka dari itu, kami mempertahankan pandangan netral kami terhadap obligasi EM HY. Terlebih lagi, dari segi valuasi, aset pendapatan tetap saat in terlihat paling atraktif. Spread kredit yang lebar saat ini seharusnya dapat memberikan sebagian perlindungan terhadap kenaikan suku bunga.
Untuk obligasi HY, kami mempertahankan preferensi terhadap kredit sektor defensive dan fokus terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki neraca keuangan yang sehat.
Masih overweight terhadap Asia IG
Kami mempertahankan pandangan overweight kami terhadap obligasi IG Asia. Tidak seperti pasar obligasi HY, obligasi IG China saat ini didominasi oleh perusahaan BUMN yang memiliki peran penting terhadap ekonomi. Akan tetapi, dalam konteks yang lebih besar kami juga masih lebih menyukai kredit sektor defensive dibandingkan EM HY.
Prospek volatilitas emas untuk jangka pendek
Risiko geopolitik belum hilang sementara inflasi tetap tinggi secara global. Tetapi emas berada di bawah tekanan karena antisipasi pasar dari peningkatan pengetatan Fed yang memberikan penguatan Dolar AS dan mendorong suku bunga riil AS 10-tahun ke wilayah positif. – Vasu Menon
Minyak
Melihat latar belakang yang terjadi menunjukkan gejolak pasar minyak untuk sementara mereda, dimoderasi oleh pelepasan 180 juta barel minyak dari cadangan strategis AS selama enam bulan ke depan dan pertumbuhan permintaan yang lebih lemah karena lockdown di China. Tarif kilang di China turun karena harga yang lebih tinggi membebani margin penyulingan dan pembatasan mobilitas yang memberikan pelemahan terhadap permintaan bensin.
Dengan Eropa yang akan menghentikan impor minyak Rusia pada akhir tahun, AS semakin bertindak sebagai pilihan terakhir untuk wilayah Atlantik yang berlomba untuk menemukan alternatif pengganti minyak mentah dan produk minyak Rusia. Latar belakang pasokan minyak yang ketat kemungkinan akan membuat harga minyak bergejolak dan lebih tinggi lebih lama. Dengan lingkungan harga saat ini yang cukup tinggi untuk menambah keuntungan produsen secara signifikan, produksi minyak AS akan meningkat secara bertahap.
Emas
Dalam jangka pendek, prospek emas kemungkinan akan tetap volatile. Lebih banyak sanksi oleh Uni Eropa terhadap energi Rusia atau ancaman Rusia yang memblokir pasokan energi ke lebih banyak negara Uni Eropa dapat memperburuk risiko stagflasi dan mendorong emas kembali naik dalam waktu dekat. Namun krisis geopolitik tidak berlangsung selamanya. Jika konflik Rusia-Ukraina mereda dan inflasi moderat secara global pada akhir tahun, safe-haven emas dan daya tarik lindung nilai inflasi kemungkinan akan berkurang dalam jangka menengah. Kecuali hard landing yang memaksa The Fed untuk membalikkan kenaikan suku bunganya, soft landing ekonomi AS, seperti yang kami harapkan, kemungkinan tidak memberikan banyak bantuan untuk emas.
Currency
Tema dinamika bank sentral tetap menjadi fokus, tetapi investor tampaknya lebih menekankan pada ketidakpastian mengenai prospek pertumbuhan. Dolar AS telah diuntungkan dan dapat terus melakukannya dari kombinasi akan pandangan kebijakan moneter hawkish dan kekhawatiran pertumbuhan.
Retorika ECB menjadi lebih hawkish selama beberapa minggu terakhir, sementara harga pasar dari kenaikan suku bunga juga meningkat. Ruang bagi ECB untuk lebih meningkatkan normalisasi kebijakannya akan memberikan beberapa dukungan kepada Euro. Namun, dukungan semacam itu atau bahkan peningkatan sedikit terhadap imbal hasil yang mendukung Euro kemungkinan akan berlangsung untuk sementara karena Fed lebih hawkish dari pada ECB.
Bank of England adalah salah satu bank sentral yang pertama bertindak tetapi mungkin juga yang pertama sadar mengingat data ekonomi yang tidak terlalu baik baru-baru ini. Untuk keseimbangan, kami mempertahankan pandangan Dolar AS yang kuat terhadap Yen, Euro, dan Pound. Mata uang komoditas belum mampu mempertahankan kenaikannya, karena beberapa harga komoditas telah melemah kembali karena kekhawatiran pertumbuhan, termasuk di China. Sementara lockdown di China dapat memperpanjang gangguan terhadap rantai pasokan, inflasi harga energi kemungkinan akan memberi jalan bagi kekhawatiran pertumbuhan ekonomi di kalangan investor dalam waktu dekat.
Inflation but no stagflation
Konflik geopolitik Rusia dan Ukraina terus mendorong kenaikan harga komoditas, terutama harga energi, yang sempat menyentuh kisaran USD 120 per barel. Sanksi embargo atau larangan impor minyak dari Rusia membuat berkurangnya persediaan minyak global, di tengah kenaikan permintaan seiring pembukaan kembali perekonomian. Risiko inflasi menjadi salah satu hal yang dicermati oleh para pelaku pasar. Inflasi tinggi yang berkepanjangan dikhawatirkan dapat mendorong ekonomi ke jurang stagflasi, yakni kondisi ekonomi dimana inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi rendah dan angka pengangguran tinggi.
Kenaikan inflasi ini meningkatkan kekhawatiran terjadinya resesi di masa depan. Kurva imbal hasil obligasi pemerintah AS 10 tahun, US Treasury mengalami inversi di awal April 2022, dimana imbal hasil obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang, yang mensinyalkan potensi perlambatan ekonomi di masa depan. Akan tetapi, adanya reopening economy diperkirakan akan menjaga tingkat permintaan tetap tinggi, sehingga dapat menghindarkan ekonomi dari potensi stagflasi ataupun resesi.
Dari dalam negeri, pemerintah menilai pemulihan ekonomi domestik mulai berjalan, walaupun pandemi COVID-19 belum selesai. Hal ini terlihat dari inflasi bulan Maret yang tercatat meningkat 2.64% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Indikator makro lainnya pun mencatatkan kinerja yang positif. Seperti halnya di sektor manufaktur yang hingga saat ini masih berada pada level 51.3, mencerminkan sektor manufaktur berjalan di level ekspansif. Demikian pula dengan neraca perdagangan internasional di bulan Maret mengalami surplus USD 3.8 miliar meningkat dibandingkan periode sebelumnya yang mengalami surplus USD 1.7 miliar.
Saham
Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mencatatkan kinerja positif sepanjang bulan Maret, atau menguat 2.66%, serta berhasil tembus level psikologis 7,000 di akhir bulan Maret 2022. Penguatan pasar saham sepanjang bulan Maret didorong aksi beli investor asing lebih dari Rp 10 triliun, seiring optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan kasus COVID-19 di tanah air juga diapresiasi oleh investor, setelah berhasil menekan hingga 90%, dari jumlah kasus harian tertinggi di pertengahan Februari lalu. Ke depannya potensi penguatan pasar saham masih sangat terbuka, dengan perkiraan pertumbuhan laba perusahaan dikisaran 15-20%, sehingga IHSG diperkirakan akan berada dikisaran 7,200 – 7,500 hingga akhir tahun 2022.
Obligasi
Pergerakan pasar obligasi melanjutkan fase pelemahannya di bulan Maret, tercermin dari kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun ke level 6.73% di akhir bulan Maret, dari sebelumnya di kisaran 6.51% di awal bulan. Adanya kenaikan imbal hasil ini berarti terjadi penurunan pada harga obligasi. Investor asing tercatat melakukan jual bersih sebanyak Rp 43 triliun sehingga kepemilikan asing turun menjadi 17.5% di akhir bulan Maret. Tekanan pada pasar obligasi domestik dipengaruhi dari kenaikan imbal hasil US Treasury, seiring rencana kenaikan suku bunga bank sentral Fed yang lebih agresif dalam rangka mengimbangi kenaikan inflasi ke level tertinggi dalam empat puluh tahun terakhir. Namun demikian, pasar obligasi domestik masih tetap menarik dengan rencana penerbitan obligasi yang lebih rendah, serta skema burden sharing dengan Bank Indonesia yang masih berlanjut hingga tahun 2022, sehingga akan menstabilkan supply obligasi di pasaran.
Mata Uang
Mata uang Rupiah relatif stabil diperdagangkan di kisaran Rp 14,300 sepanjang bulan Maret. Investor terlihat telah mengantisipasi rencana kenaikan tingkat suku bunga acuan Fed sebanyak 25 bps, sehingga tidak memberikan tekanan berarti terhadap pergerakan mata uang Rupiah. Bank Indonesia juga terus menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dengan menerapkan beberapa kebijakan, diantaranya kebijakan B20 untuk mengurangi ketergantungan impor minyak, menaikan tarif PPh Impor, sampai dengan mendorong jumlah wisatawan asing sehingga dapat menambah cadangan devisa. Nilai tukar Rupiah diperkirakan akan bergerak di kisaran 14,300 hingga 14,450 dalam jangka pendek.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Inflasi, namun bukan stagflasi
Prospek ekonomi masih menghadapi tantangan, tetapi kami memperkirakan tidak terjadi stagflasi tahun ini. Kelanjutan dari pembukaan kembali, permintaan dan pasar tenaga kerja yang kuat akan mendukung pertumbuhan meskipun ada risiko dari melonjaknya harga minyak, kenaikan Fed yang berpotensi lebih besar dan kurva imbal hasil AS yang mengarah inversi. – Eli Lee
Hambatan terbesar dari lonjakan harga minyak
Konflik antara Rusia dan Ukraina terus berlanjut. Negara-negara Barat akan menanggapi konflik tersebut dengan sanksi yang lebih besar, dan membuat harga energi tetap tinggi. Dampak yang dapat terjadi terhadap prospek ekonomi tahun ini:
Dengan demikian, prospek ekonomi tetap menghadapi tantangan. Terlebih lagi, kurva imbal hasil AS cenderung flat, bahkan beberapa terbalik. Hal tersebut terjadi seiring dengan investor yang khawatir bahwa The Fed dapat menaikkan suku bunga sebesar 50 bps pada pertemuan mendatang di bulan Mei dan Juni untuk melawan inflasi.
Secara historis, inversi yang terjadi pada kurva treasury 2Y-10Y telah memberi sinyal bahwa resesi AS akan datang. Kenaikan suku bunga The Fed mendorong imbal hasil 2Y jangka pendek. Sementara imbal hasil 10Y tertinggal karena pasar obligasi menandai prospek pertumbuhan di masa depan. Ketika imbal hasil 2Y melebihi imbal hasil 10Y dan kurva terbalik, investor khawatir The Fed telah menaikkan suku bunga ke titik di mana ekonomi akan berkontraksi.
Namun, bahkan jika The Fed mulai menaikkan suku bunga 50 bps tahun ini - dibandingkan dengan skenario dasar kami dari tujuh pergerakan 25 bps - kami memperkirakan ekonomi AS tidak akan mengalami resesi pada tahun 2022, kami juga tidak mengantisipasi ekonomi global akan menyerah pada stagflasi tahun ini.
Kami memperkirakan The Fed akan mulai mengurangi neraca dari Mei untuk melawan inflasi, disamping kenaikan suku bunga. Pengetatan kuantitatif semacam itu kemungkinan akan memberi tekanan pada imbal hasil yang lebih lama dan dengan demikian akan melawan kurva Treasury yang flat dan terbalik baru-baru ini.
Fundamental ekonomi terus mendukung pertumbuhan dengan kuat. Suku bunga riil negatif di beberapa major ekonomi, pasar tenaga kerja telah pulih dari pandemi, pembukaan kembali, permintaan dan savings yang tinggi adalah beberapa dorongan kuat lainnya untuk pertumbuhan global. Dengan demikian, kami melihat risiko stagflasi masih rendah tahun ini meskipun harga minyak melonjak, adanya potensi kenaikan suku bunga Fed sebesar 50bps dan terjadinya inversi pada kurva imbal hasil.
Kami mempertahankan posisi netral pada ekuitas dan memilih saham defensive dengan nilai kapitalisasi besar, terutama yang memiliki profit margin dan kekuatan harga yang solid. Kami menjaga posisi overweight di Asia ex – Japan, dan terus mendukung sektor energi, keuangan, dan industrial – Eli Lee.
Amerika Serikat
Efek positif dan potensi revisi pendapatan per saham untuk sektor energi kemungkinan akan diimbangi oleh tantangan yang dihadapi oleh sektor-sektor lain yang timbul dari perlambatan pengeluaran konsumsi dan tekanan margin dari biaya yang lebih tinggi untuk bahan baku, barang setengah jadi, tenaga kerja dan pembiayaan.
Eropa
Pasar saham Eropa berfluktuasi seiring dengan berita utama yang berkaitan dengan perang Rusia-Ukraina, telah mencapai titik terendah pada 8 Maret, namun berbalik menguat setelahnya. Meskipun semua wilayah akan terpengaruh oleh harga energi yang lebih tinggi, Eropa berada di depan kondisi bahaya bukan hanya karena perang yang terjadi di wilayah Eropa, tetapi juga karena ketergantungan Eropa yang besar pada energi Rusia untuk kebutuhan sehari-hari.
Japan
Ekuitas Jepang mengalami penguatan yang baik, dibandingkan dengan mata uang JPY di bulan Maret. Rotasi sektor bergejolak dengan kenaikan yang dipimpin oleh sektor siklis/nilai, sementara sektor bahan pokok konsumen dan diskresi tertinggal dengan meningkatnya kekhawatiran inflasi.
Asia ex-Japan
Indeks MSCI Asia ex-Jepang mengalami periode yang sangat berfluktuasi pada pergerakan harga saham, terutama untuk pasar China. Di tengah ketidakpastian makroekonomi, kami memperkirakan ASEAN akan tetap relatif tangguh, dan meningkatkan peringkat kami untuk Indonesia dari netral menjadi overweight.
China
Pasar saham Hong Kong dan China mengalami perjalanan roller coaster pada bulan Maret seiring dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan potensi dampak limpahan di China.
Komentar Wakil Perdana Menteri Liu, yang secara langsung menangani kekhawatiran pasar, mendorong rebound pada pasar saham. Indeks Hang Seng adalah pasar dengan kinerja terbaik berkat eksposurnya yang relatif tinggi terhadap sektor keuangan.
Sementara wabah Omicron terbaru di China dan lockdown di Shanghai telah membebani sentimen pasar, kami percaya lockdown yang singkat dan sporadis, akan memiliki dampak yang terbatas pada kegiatan manufaktur. Konon, ritel dan layanan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih. Kami mempertahankan pandangan kami bahwa pemulihan konsumsi akan mendapatkan lebih banyak daya tarik di 2H22.
Pandangan untuk sektor
Sektor global dengan posisi overweight kami adalah energi, industri, dan keuangan.
Meskipun kami memperkirakan pasar keuangan akan tetap bergejolak dalam waktu dekat, kami melihat peluang taktis untuk kinerja yang relatif lebih baik di sektor-sektor yang diposisikan lebih baik untuk mendapatkan keuntungan dari inflasi yang meluas, kenaikan suku bunga, dan kenaikan harga komoditas. Kami juga melihat peluang yang muncul dari perubahan kebijakan yang luas dan prioritas strategis baru, termasuk meningkatkan kemampuan pertahanan dan keamanan energi.
Adapun untuk sektor keuangan, kami tetap konstruktif di sektor ini dan mendukung bank, khususnya yang merupakan penerima manfaat langsung dari suku bunga dana Fed yang lebih tinggi. Kami memproyeksikan tujuh kenaikan suku bunga masing-masing 25 bps tahun ini, dibandingkan dengan lima sebelumnya.
Underweight Obligasi
Dengan tren kenaikan suku bunga, kami masih underweight terhadap obligasi Investment Grade (IG) negara maju maupun negara berkembang. Namun, kami netral terhadap obligasi High Yield (HY). – Vasu Menon
Kinerja aset pendapatan tetap di kuartal 1 tahun ini merupakan kinerja kuartalan terburuk sepanjang sejarah. Volatilitas pasar didorong oleh dua hal utama, yaitu gangguan rantai pasokan global dan tensi geopolitik antara Rusia – Ukraina. Dampak terbesar terlihat pada harga minyak dan komoditas lainnya, yang menopang kenaikan inflasi dunia. Maka dari itu, The Fed sendiri cenderung lebih hawkish, dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps untuk pertama kalinya sejak tahun 2018, serta memberikan indikasi potensi kenaikan 50 bps pada pertemuan berikutnya.
Menutup bulan yang fluktuatif sidways
Obligasi HY dan IG negara berkembang (EM) melebar masing-masing 110 bps dan 40 bps, sebelum akhirnya memulai reli penguatan untuk menutup bulan Maret 2022 di level yang tidak banyak berubah. Spread US HY sempat melebar sebanyak 50 bps, namun akhirnya berhasil menutup bulan lalu 35 bps lebih tipis. Sementara pergerakan US IG juga terlihat sama, ditutup 5 bps lebih tipis setelah sebelumnya sempat melebar sebanyak 25 bps.
Mempertahankan pandangan netral terhadap EM HY
Kredit negara berkembang saat ini cukup tertekan akibat perkembangan yang sedang terjadi secara global – seperti tensi geopolitik Rusia – Ukraina hingga tinggi nya inflasi global yang berawal akibat gangguan rantai pasokan akibat pandemi COVID-19.
Maka dari itu, kami mempertahankan pandangan netral terhadap EM HY. Terlebih lagi, kategori kelas aset tersebut merupakan yang paling menarik dari segi valuasi, dan memberikan perlindungan yang paling signifikan terhadap risiko kenaikan suku bunga. Durasi yang rata-rata lebih pendek juga akan melindungi kelas aset tersebut dari kenaikan suku bunga. Dan terakhir, fundamental bottom-up yang semakin membaik belakangan ini, seperti yang terlihat pada sektor properti China, potensi gagal bayar pun akan semakin rendah.
Lebih fokus terhadap sektor defensive
Kami juga mempertahankan pandangan netral terhadap obligasi HY Asia. Akan tetapi, dengan kombinasi antara tensi geopolitik, kenaikan suku bunga, dan kenaikan harga komoditas; kami memiliki kecenderungan untuk lebih menyukai sektor-sektor defensive seperti minyak & gas, makanan & agrikultur, besi/tambang, telekomunikasi, dan utilitas dipercaya akan memiliki prospek yang lebih baik saat ini.
Masih overweight terhadap obligasi IG Asia
Kami masih mempertahankan pandangan overweight kami terhadap obligasi IG Asia. Tidak seperti pasar obligasi HY, obligasi IG China masih didominasi oleh perusahaan BUMN dan beberapa korporasi yang penting secara sistemik. Namun, dalam konteks yang lebih luas, kami juga cenderung lebih menyukai industri dan perusahaan defensive bagi aset pendapatan tetap IG Asia.
Harga minyak tetap tinggi untuk jangka waktu lebih lama
Harga minyak berpotensi berfluktuatif dan lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama. Perkiraan kami untuk minyak Brent dalam 12 bulan kedepan tetap tidak berubah di USD100/barel. Namun, kami menurunkan target minyak Brent 3 bulan menjadi USD120/barel dari sebelumnya USD140/barel. Pelepasan cadangan minyak AS terbesar yang pernah ada dan penurunan permintaan minyak akibat lockdown di China, akan membantu menurunkan risiko lonjakan harga minyak dalam jangka pendek. – Vasu Menon
Minyak
Gedung Putih mengumumkan bahwa mereka berencana untuk melepaskan sebanyak 1 juta barel per hari dari cadangan minyak AS, dengan potensi sebanyak 180 juta barel selama beberapa bulan ke depan. Hal ini berbanding terbalik apa yang diumumkan pemerintah akhir-akhir ini, seperti 50 juta barel pada November dan 30 juta barel awal tahun ini.
Rilisan tersebut akan menjembatani hingga akhir tahun, ketika produksi domestik meningkat satu juta barel per hari tahun ini dan hampir 700,000 barel per hari pada 2023. Langkah Pemerintahan Biden untuk membatasi harga energi dari perang Rusia-Ukraina mencerminkan kekhawatiran atas inflasi di dalam negeri dan untuk menunjukkan dukungan untuk keamanan energi bersama dengan sekutu Amerika.
Emas
Status emas sebagai aset safe haven telah bersinar selama sebulan terakhir setelah invasi Rusia ke Ukraina. Emas harus terus mendapat manfaat dari kekhawatiran stagflasi yang dipicu oleh risiko kenaikan harga minyak yang lebih tinggi. Prospek ekonomi yang lebih tidak pasti dan potensi volatilitas yang lebih tinggi di seluruh obligasi dan ekuitas, juga menghadirkan emas sebagai aset alternatif yang layak untuk diversifikasi dan lindung nilai portofolio.
Namun krisis geopolitik tidak berlangsung selamanya. Meredanya kekhawatiran stagflasi di tengah persepsi kemajuan dalam pembicaraan damai Rusia-Ukraina dan Fed yang lebih hawkish dapat membatasi potensi kenaikan emas.
Currency
Guncangan awal yang disebabkan oleh geopolitik telah memudar. Jika konflik militer di Ukraina mereda, pasar diharapkan untuk kembali fokus pada tema-tema lain seperti hubungan pertumbuhan-inflasi, dinamika bank sentral, dan harga komoditas yang meningkat.
Dalam hal dinamika bank sentral, Fed yang hawkish menjadi fokus karena semakin banyak anggota FOMC yang tampaknya nyaman dengan kenaikan suku bunga 50 bps pada pertemuan FOMC mendatang di bulan Mei.
Namun, dalam waktu dekat mungkin ada fokus yang lebih besar pada ECB jika de-eskalasi yang signifikan di Ukraina menghilangkan hambatan bagi kebijakan hawkish ECB. Ini akan memungkinkan pasar untuk lebih percaya diri dalam memperkirakan ekspektasi kenaikan suku bunga ECB sejalan dengan kelompok anggota ECB yang mencari kenaikan suku bunga tahun 2022. Kami terus melihat pelemahan Yen Jepang (JPY) dan Pound pada jangka panjang, meskipun pergerakan ekstensif baru-baru ini dalam untuk USD (Dolar AS)-JPY yang secara teknis memerlukan penelusuran lebih lanjut.
Sementara BOJ melakukan pembelian obligasi tak terbatas pada akhir Maret untuk menjaga kurva imbal hasil sesuai target awal. Komentar terbaru dari BOE juga berfokus pada ketidakpastian ekonomi ke depan, menarik beberapa skeptisisme atas komitmen kenaikan suku bunganya.
Pada bulan Februari 2022, dunia dikejutkan dengan adanya konflik geopolitik antara Rusia dengan Ukraina yang diawali dengan invasi berskala besar yang dilakukan oleh Rusia untuk menaklukkan pemerintahan Ukraina. Beberapa sanksi ekonomi yang diberikan kepada Rusia, diperkirakan akan mendorong kenaikan inflasi lebih tinggi dalam beberapa bulan mendatang. Rusia cukup memegang peranan penting terhadap pasokan nikel dan minyak secara global. Selain itu, Ukraina juga berperan sebagai eksportir terbesar gandum dan biji matahari. Sehingga supply disruption ini diperkirakan akan mendorong terjadinya cost push inflation.
Sementara itu, beberapa negara di dunia secara bertahap terus membuka ekonomi dan perbatasan dalam upaya hidup berdampingan dengan pandemi COVID-19, walaupun tingkat pertumbuhan kasus masih cukup tinggi. China dan Hong Kong kembali menerapkan karantina wilayah dalam rangka zero covid policy. Selain itu juga, fokus para pelaku pasar juga tertuju pada pertemuan The Fed selanjutnya, dimana realisasi kenaikan suku bunga acuan AS akan terjadi pada bulan Maret 2022.
Dengan adanya faktor risiko dari konflik geopolitik Rusia – Ukraina, ekspektasi inflasi yang lebih tinggi dan potensi kenaikan suku bunga Fed, maka pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan lebih moderat di 2022 ini. Namun, Indonesia saat ini dengan tingkat inflasi yang relatif masih rendah di 2.06%, dan cadangan devisa yang berada di level tertinggi di US$141.30 miliar, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan akan berada di kisaran 5 hingga 5.5% di 2022.
Selama perdagangan di bulan Februari 2022, IHSG kembali melanjutkan kenaikan sebesar 3.87% ke level 6,888.17. Penguatan didukung oleh aliran dana asing yang membanjiri bursa saham domestik dan tercatat sebesar US$ 1.96 miliar selama bulan Februari lalu. Sementara itu, dalam menghadapi gelombang ketiga COVID-19, tingkat okupansi rumah sakit di seluruh Indonesia masih dalam keadaan terkendali. Vaksinasi terus dilakukan oleh pemerintah untuk mengejar herd immunity dan mengubah situasi pandemi menjadi endemi. Namun demikian, sentimen negatif konflik Rusia-Ukraina dapat menghambat proses pemulihan ekonomi dan dapat berdampak terhadap bursa saham secara global termasuk Indonesia.
Secara fundamental, pergerakan aset berisiko juga didukung oleh naiknya optimisme investor terhadap pemulihan ekonomi. Sektor infrastruktur membukukan kenaikan tertinggi sebesar 8.81% selama bulan Februari, seiring dengan rencana pemerintah untuk menormalisasi anggaran COVID-19 ke sektor infrastruktur. Kemudian disusul oleh sektor konsumsi yang berhasil membukukan kenaikan sebesar 6.17%. Dengan estimasi pertumbuhan laba perusahaan di kisaran level 15%, maka kami melihat bahwa IHSG dapat melanjutkan momentum pada rentang 7,200 hingga 7,500 di tahun 2022.
Pasar obligasi kembali mencatatkan penurunan di bulan Februari ini dengan imbal hasil 10 tahun ditutup meningkat sebesar 1.18% dari sebelumnya berada di level 6.44% ke level 6.52%. Kenaikan imbal hasil obligasi domestik ini dipengaruhi oleh naiknya imbal hasil obligasi pemerintah AS, US Treasury ke level tertinggi sejak pandemi, di atas 2 persen.
Namun, pada risalah pertemuan Fed terakhir, Fed terkesan tidak terlalu hawkish dan tidak menetapkan laju kecepatan kenaikan suku bunga pada tahun ini. Walaupun kenaikan suku bunga pertama akan terjadi di bulan Maret, namun hal ini sudah diantisipasi oleh para pelaku pasar. Dengan masih lebarnya rentang imbal hasil antara US Treasury dan obligasi pemerintah Indonesia, koreksi di pasar obligasi akan bersifat terbatas.
Selain itu, target penerbitan SBN yang lebih rendah di 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, akan mengurangi tekanan oversupply. Di saat yang sama, permintaan pasar akan terjaga melalui skema burden sharing antara Kemenkeu dan Bank Indonesia, yang masih berlanjut di 2022. Oleh karena itu, imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun diperkirakan akan bergerak di kisaran 6.6 hingga 6.9% pada semester satu tahun ini.
Untuk pasar mata uang, Rupiah melemah tipis terhadap Dolar AS di bulan Februari sebesar 0.1% ke level 14,382 per USD. Konflik ketegangan geopolitik antara Rusia-Ukraina telah menjadi katalis penguatan USD lebih lanjut, seperti yang dikonfirmasi oleh tren kenaikan indeks Dolar AS, DXY, saat ini. Walaupun masih ada ruang untuk pelemahan Rupiah lebih lanjut, potensi pelemahan akan cukup terbatas, didukung dari kebijakan Bank Indonesia yang akomodatif dan derasnya aliran dana asing yang masuk ke pasar saham, diharapkan memberikan stabilitas nilai tukar Rupiah. USD/IDR diperkirakan akan bergerak di rentang 14,200 – 14,500 pada semester satu tahun ini.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Ekonomi global akan menghadapi kejutan kenaikan harga minyak yang parah. Ini akan memiliki implikasi besar bagi prospek ekonomi makro tahun ini.
Eli Lee, Head of Investment Strategy, Bank of Singapore
Invasi Rusia ke Ukraina adalah ujian besar bagi ekonomi global. Volatilitas pasar keuangan telah melonjak karena investor bereaksi keras terhadap ketidakpastian. Rubel telah jatuh terhadap Dolar AS (USD). Saham Rusia telah kehilangan lebih dari setengah nilainya. Ekuitas global juga telah turun tajam sementara safe havens termasuk imbal hasil obligasi AS, USD, dan emas telah menguat. Harga energi melonjak karena investor khawatir ekspor minyak dan gas Rusia akan terganggu. Sebaliknya, mata uang Eropa termasuk EUR dan GBP telah melemah karena zona Euro dan Inggris menghadapi tekanan pada pasokan gas.
Menanggapi tindakan Rusia, AS, Uni Eropa (UE) dan sekutunya telah menjatuhkan sanksi keras yang menargetkan Bank Sentral Rusia, mengecualikan banyak bank Rusia dari sistem pembayaran global SWIFT dan membekukan aset para pemimpin dan pebisnis terkemuka Rusia. Dengan mengisolasi ekonomi Rusia, melemahkan mata uangnya, akan memacu inflasi dan menyebabkan perbankan mengalami kesulitan, yang oleh anggapan negara-negara Barat bertujuan untuk membuat biaya invasi begitu tinggi sehingga Moskow menghentikan permusuhan.
Situasi di Ukraina terus memburuk. Kemungkinan konflik yang lebih berlarut-larut, gangguan pada ekspor energi Rusia, dan arus besar pengungsi yang menyebabkan sekutu Ukraina mengambil sikap lebih keras terhadap agresi Rusia, semuanya menunjukkan dalam beberapa bulan ke depan, akan melihat ketidakpastian yang lebih besar, melonjaknya harga energi, dan bahkan sanksi yang lebih keras. Ekonomi global dengan demikian telah dipersiapkan untuk menghadapi kejutan minyak yang parah. Kami menurunkan perkiraan kami untuk pertumbuhan global menjadi 3,7% pada tahun 2022 dari 4,6% sebelumnya.
Pemulihan ekonomi dunia dari pandemi akan melambat tajam dari pertumbuhan tertinggi lima dekade tahun lalu sebesar 6,0% pada tahun 2021. Namun, pertumbuhan global masih akan ditopang oleh pembukaan kembali ekonomi tahun ini. Dengan demikian, perkiraan kami yang lebih rendah sebesar 3,7% masih di atas tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 3,0% yang dicapai oleh ekonomi dunia sejak tahun 1970-an. Oleh karena itu, kami tidak mengantisipasi ekonomi global secara keseluruhan untuk mengalami resesi pada tahun 2022.
Meskipun semua wilayah akan terpengaruh oleh harga energi yang lebih tinggi, Eropa berada di tengah badai dengan ketergantungannya yang besar pada energi Rusia – alasan utama mengapa UE enggan bergabung dengan AS dalam melarang impor energi dari Rusia.
Inflasi akan memburuk dengan kejutan harga minyak. Jadi, meskipun pertumbuhan melambat, kami memperkirakan The Fed dan BoE akan menaikkan suku bunga secara stabil tahun ini. Kami mengantisipasi lima kenaikan suku bunga oleh Fed dan empat oleh BoE pada tahun 2022, mengangkat suku bunga dana fed fund masing-masing menjadi 1,25-1,50% dan suku bunga bank menjadi 1,25% pada akhir tahun, karena masing-masing bank sentral bertujuan untuk membawa inflasi kembali ke arahnya. Target 2% selama beberapa tahun ke depan.
Singkatnya, meningkatnya ketidakpastian, melonjaknya harga energi dan bahkan sanksi lebih lanjut akan memperlambat pertumbuhan global lebih tajam tahun ini, meningkatkan inflasi, memaksa bank sentral – terutama The Fed – untuk menaikkan suku bunga di mana pertumbuhan masih kuat.
Source: Bank of Singapore
Kami mengambil sikap yang lebih defensif dalam strategi alokasi aset kami dengan menurunkan peringkat ekuitas Eropa dari posisi Netral ke Underweight. Hal ini mengurangi eksposur ekuitas kami secara keseluruhan ke posisi Netral.
Eli Lee, Head of Investment Strategy, Bank of Singapore
Sementara situasi geopolitik saat ini di Rusia-Ukraina adalah hambatan utama – namun demikian, melihat 16 peristiwa geopolitik yang signifikan sejak tahun 1960-an, kita melihat bahwa indeks S&P 500 relatif kuat dengan pelemahan maksimum rata-rata dalam 6 bulan berikutnya hanya di -4% karena pasar cenderung bereaksi terhadap ancaman peristiwa geopolitik daripada tindakan itu sendiri. Namun, ketegangan yang berkepanjangan dapat menyebabkan ketidakpastian bisnis secara umum, sementara lonjakan harga energi yang terus-menerus dan risiko dari Federal Reserve yang agresif yang berfokus pada inflasi dapat merusak sentimen dan pertumbuhan.
Harga minyak dan gas yang lebih tinggi akan berdampak lebih besar di Eropa, dan jika terjadi gangguan pasokan energi yang signifikan, guncangan ekonomi fundamental ke Eropa akan lebih besar dari pada kawasan lain.
Pasar Saham Jepang turun pada Februari seiring meningkatnya kehati-hatian investor akibat ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina. Dengan Federal Reserve yang siap untuk memulai siklus kenaikan suku bunga pada bulan Maret, pandangan kami adalah untuk kenaikan awal 25bps dan total lima (atau lebih) kenaikan tahun ini, meskipun situasi Rusia-Ukraina yang berkembang dan implikasi langsung terhadap global.
Indeks MSCI Asia ex-Jepang berakhir Februari dengan catatan yang bergejolak, dan ini terlihat di seluruh pasar ekuitas global karena invasi Rusia ke Ukraina. Di luar China, Bank of Korea memilih untuk mempertahankan suku bunga acuannya tidak berubah meskipun meningkatkan perkiraan inflasi untuk tahun ini. Negara-negara ASEAN seperti Indonesia dan Thailand sedang berupaya untuk secara bertahap membuka kembali perbatasan mereka untuk wisatawan asing, dan ini dapat memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi mereka tahun ini.
China lebih kuat terhadap guncangan karena tidak memiliki eksposur terhadap gas alam Eropa hingga Rusia, dan pasar tenaga kerja yang ketat di AS. Bank Rakyat China juga berada di jalur pelonggaran kebijakan, menyimpang dari lintasan kebijakan bank sentral di wilayah utama lainnya. Valuasi relatif murah dan kami mempertahankan overweight kami pada ekuitas Asia di luar Jepang dan China, meskipun kami memperingatkan bahwa meningkatnya kasus Covid-19 di China dan Hong Kong dapat mengurangi sentimen dalam waktu dekat.
Di pasar obligasi, kami memperkirakan spread kredit akan tetap lebar sehingga masih underweight secara keseluruhan terhadap aset kelas ini, namun netral terhadap obligasi high yield. Pemilihan obligasi yang lebih selektif akan menjadi kunci ditengah ketidakpastian ekonomi saat ini.
Vasu Menon, Executive Director, Investment Strategy, Wealth Management Singapore, OCBC Bank
Aset risiko global, termasuk kredit terlihat tertekan akibat upaya pengetatan kebijakan moneter para bank sentral global dan juga ketidakpastian geopolitik yang diakibatkan oleh perang Rusia dan Ukraina. Diawal bulan, imbal hasil US Treasury naik signifikan seiring dengan rilisan data inflasi yang mencapai 7.5% di bulan Januari, sehingga meningkatkan kekhawatiran pasar atas respon apa yang akan diambil oleh The Fed untuk mengendalikan kenaikan harga barang. Namun, kenaikan imbal hasil obligasi terlihat diseimbangi oleh aksi risk-off investor akibat invasi Rusia terhadap Ukraina, mendorong volatilitas pasar obligasi AS ke level ketiga tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Di pasar obligasi, kami memperkirakan spread kredit akan tetap lebar sehingga masih underweight secara keseluruhan, underweight terhadap obligasi Investment Grade (IG) baik untuk negara maju (DM) maupun negara berkembang (EM); dan netral terhadap obligasi high yield. Pemulihan obligasi yang selektif akan sangat penting di masa seperti saat ini.
Tekanan terhadap kredit global berlanjut di bulan Februari. Spread obligasi EM HY melebar sekitar 100 basis poin ke level terlebarnya sejak Juli 2020, sementara obligasi EM IG melebar sekitar 40 basis poin ke level terlebarnya sejak Oktober 2020.
Obligasi DM berkinerja lebih baik, dengan obligasi US HY hanya melebar 10 basis poin dan US IG 15 basis poin.
Beberapa hal yang membebani performa kelas aset pendapatan tetap saat ini – seperti pengetatan kebijakan moneter, tensi geopolitik yang meningkat akibat Rusia – Ukraina, hingga pengetatan kebijakan oleh pemerintah China akan sangat berpengaruh.
Bulan lalu, kami menurunkan rekomendasi overweight terhadap obligasi HY Asia ke netral seiring dengan pemulihan sektor properti China yang tidak secepat perkiraan kami sebelumnya.
Sepanjang bulan lalu, kami melihat adanya pemulihan permintaan di sektor properti China. Setelah pelonggaran yang dilakukan oleh kota Heze di Shandong China, semakin banyak kota – kota yang juga menurunkan rasio mortgage down-payment menjadi 20% untuk pembelian rumah pertama. Hal ini bukan lah sesuatu yang baru, pemerintah China telah merealisasikan kebijakan tersebut sejak tahun 2016 silam, namun memang masih banyak kota di China yang belum mengadopsi kebijakan tersebut akibat pengetatan kebijakan pemerintah.
Pada perspektif pasar yang lebih luas, saat ini kami lebih memilih Asia selain Jepang dari perspektif alokasi ekuitas regional, dibandingkan dengan AS, Eropa, dan Jepang. Sementara kami melihat lebih banyak peluang di Asia Ex-Jepang, kami juga akan menyoroti bahwa ada kantong peluang di wilayah lain.
Misalnya, harga energi tinggi yang berkelanjutan akan meningkatkan insentif bagi bisnis untuk lebih beralih ke energi terbarukan, yang menguntungkan perusahaan-perusahaan tertentu di sektor industri dan utilitas. Secara geografis, negara-negara yang lebih mandiri energinya dan memiliki cadangan yang lebih tinggi juga akan memiliki posisi yang lebih baik untuk keluar dari krisis energi.
Penargetan eksplisit ekspor energi Rusia oleh AS dan sekutunya dan situasi yang memburuk di Ukraina, berarti bahwa harga minyak akan diperdagangkan mendekati level rekor tertinggi. Kami sekarang memperkirakan harga minyak mentah Brent akan diperdagangkan dalam kisaran tinggi USD110-170/barel selama beberapa bulan ke depan.
Vasu Menon, Executive Director, Investment Strategy, Wealth Management Singapore, OCBC Bank
Ketika konflik Rusia-Ukraina meningkat, tanggapan dari sekutu Ukraina semakin meningkat. Perkembangannya pada saat ini telah bergerak melampaui pemogokan pembeliian terhadap minyak mentah Rusia akibat sanksi resmi yang dipublikasikan oleh AS dan Inggris terhadap ekspor energi Rusia. Sanksi serupa oleh negara Eropa mungkin tidak layak untuk saat ini, mengingat sanksi tersebut akan sangat mengganggu perekonomian Eropa.
AS telah melarang impor minyak dan gas Rusia, Inggris mengatakan akan menghapus impor minyaknya secara bertahap pada akhir tahun dan Uni Eropa mengumumkan rencana untuk mengurangi impor gasnya hingga dua pertiga dalam setahun tetapi tidak menghentikan larangan tersebut. Penargetan eksplisit ekspor energi Rusia dan situasi yang memburuk di Ukraina berarti bahwa dunia akan menghadapi kejutan kenaikan harga minyak yang parah.
Harga minyak akan diperdagangkan mendekati level rekor baru. Kami sekarang memperkirakan harga minyak mentah Brent akan diperdagangkan dalam kisaran tinggi USD 110-170/barel selama beberapa bulan ke depan dan perkiraan 3 bulan kami adalah USD 140/barel, jauh di atas level USD 80 yang terlihat pada awal tahun.
Emas adalah penerima manfaat dari kekhawatiran stagflasi yang dipicu oleh lonjakan harga energi. Kami pikir harga emas dapat menembus di atas level historis tertinggi karena meningkatnya risiko stagflasi hingga mencapai USD2,200/ons dalam waktu 3 bulan. Kami memiliki keyakinan rendah apakah emas dapat terus bertahan tinggi dalam waktu dekat. Kami menyesuaikan target emas 12 bulan kami menjadi USD1.900/ons (sebelumnya: USD1.700/ons) dengan asumsi penurunan global yang minim tetapi dapat meningkatkan perkiraan kami akan penurunan ekonomi lebih besar jika risiko resesi global meningkat.
Performa terbaik terhadap Dolar AS (USD) sejak ketegangan geopolitik mulai meningkat di Ukraina sekitar 11 Februari adalah Dolar Australia (AUD) dan Dolar Selandia Baru (NZD) karena harga komoditas yang lebih tinggi.
Kami memiliki sedikit preferensi untuk mata uang komoditas, tetapi kami memilih untuk tidak langsung mengejarnya terhadap USD. Kami memiliki pandangan negatif terhadap Euro (EUR) dan Pound (GBP). Dalam hal dampak terhadap pertumbuhan, konflik Rusia-Ukraina akan paling terasa di Eropa. GBP akan lebih bertahan terhadap ketegangan politik yang meningkat, tetapi dampak dari EUR bisa menjadi lebih jelas jika situasinya berlarut-larut. Kesimpulannya, untuk jangka pendek kami menunjukkan untuk menahan posisi beli USD-JPY yang ada dan mengharapkan penurunan untuk EUR dan GBP terhadap mata uang komoditas.
Selain itu juga, perkirakan untuk negara pemenang dan negara yang kalah di kawasan Asia akan ditentukan di sepanjang garis komoditas. Mata uang importir komoditas bersih seperti Thailand dan India seharusnya memiliki berkinerja lebih rendah dibandingkan dengan mata uang Malaysia dan Indonesia, di mana ekspor komoditas merupakan bagian yang lebih besar dari perekonomian.
Di awal tahun 2022 ini, sentimen pasar keuangan global cukup tertekan. Investor mengawali tahun baru dengan sikap yang lebih berhati – hati. Pelemahan yang dialami oleh pasar saham global sejalan dengan pasar obligasi, dimana imbal hasil US Treasury terlihat naik signifikan dari 1.5% ke level 1.78% di akhir bulan Januari. Keaikan tersebut terutama didorong oleh sikap The Fed yang semakin hawkish, dimana pasar saat ini memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps sebanyak empat hingga lima kali seiring dengan inflasi dan lapangan ketenagakerjaan yang semakin pulih. Bukan hanya The Fed, bank sentral Eropa juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan di semester kedua tahun ini.
Terkait COVID-19, bulan Januari melihat tingkat penyebaran yang meningkat secara global. Namun, investor terlihat lebih mengkhawatirkan potensi dimulai nya siklus kenaikan suku bunga yang lebih cepat. Semakin banyak negara, terutama di Eropa, kini memilih untuk hidup bersama dengan virus corona dan mengutamakan pembukaan masing – masing ekonomi. Sementara di Asia, sentimen aset berisiko masih dibebani oleh hal seperti ketidakpastian sektor properti China, tech crackdown oleh pemerintah China, hingga tingkat transmisi virus yang naik signifikan di beberapa negara. Positifnya, ekonomi dunia masih diperkirakan tumbuh moderat sebesar 4.7% tahun ini, turun dari lebih dari 6.0% tahun lalu.
Dari segi domestik, secara fundamental ekonomi Tanah Air terlihat semakin menunjukkan pemulihan yang kuat. Ekonomi tumbuh 5.02% secara tahunan di kuartal 4 2021, sehingga berhasil mencatatkan pertumbuhan penuh 3.69% tahun lalu; masih berada dalam target bank sentral dan pemerintah. Inflasi terlihat naik secara stabil, dari 1.87% ke 2.18% di bulan Januari, sementara PMI Manufaktur masih berada di level ekspansi di angka 53.7.
Setelah melalui bulan perdagangan yang fluktuatif, IHSG ditutup naik 0.75% di Januari ke level 6,631.15. Penguatan didukung oleh aliran dana asing yang tercatat sebesar USD$425 juta bulan lalu. Dari segi COVID-19, penyebaran domestik mulai meningkat pesat dari 500 per hari ke kisaran 10,000 per hari di akhir Januari. Pemerintah sebelumnya telah menyatakan komitmen nya untuk memproduksi lokal pengobatan COVID-19 di semester pertama 2022, dan memiliki target untuk mencapai 100% tingkat vaksinasi nasional di akhir kuartal 1 ini.
Secara fundamental, pergerakan aset berisiko juga didukung oleh naik nya optimisme investor terhadap pemulihan ekonomi. Setelah bertahun – tahun mencatatkan defisit ganda, selisih diantara nya semakin menipis. Terlebih lagi, transisi dana yang sebelumnya digunakan untuk penanganan pandemi COVID-19 dapat mulai kembali dipindahkan untuk pembangunan infrastruktur.
Apabila hal – hal tersebut benar dapat terjadi, seiring dengan pemulihan laba korporasi tahun ini, maka indeks IHSG dipercaya dapat diperdagangkan di rentang 7,000 – 7,500 di tahun 2022.
Di sisi lain, pasar obligasi mencatatkan penurunan di bulan Januari. Imbal hasil 10 tahun ditutup di level 6.44%, naik dari 6.38% di awal tahun. Kenaikan imbal hasil domestik mengikuti pergerakan imbal hasil US Treasury di Amerika Serikat.
Namun, dengan tinggi nya real yield yang diberikan obligasi Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya, maka aset pendapatan tetap masih akan diminati. Dengan The Fed yang terdengar semakin hawkish, kami melihat imbal hasil 10 tahun akan berada di rentang 6.4% hingga 6.8% tahun ini.
Di pasar mata uang, Rupiah melemah terhadap dollar AS di bulan Januari sebesar 0.75% ke level 14,368 per USD. Hawkish nya The Fed telah menjadi katalis penguatan USD, seperti yang dikonfirmasi oleh tren kenaikan indeks dollar DXY saat ini. Kedepan nya, walaupun masih ada ruang untuk pelemahan Rupiah, potensi pelemahan akan cukup terbatas. Seiring dengan semakin pulih nya inflasi di semester kedua 2022, Bank Indonesia dapat mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan demi menopang pergerakan mata uang domestik. USDIDR diperakan akan diperdagangkan di rentang 14,100 – 14,600 sepanjang tahun 2022.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPMeningkatnya ketidakpastian tetap akan membuat pasar finansial mengalami gejolak dalam jangka pendek. Namun pertumbuhan ekonomi global yang kuat di 2022 akan tetap memberikan dukungan reli paska pandemi untuk aset berisiko di masa depan – Eli Lee
Positifnya, ekonomi global terus pulih dengan kuat dari pandemi. Tahun lalu PDB dunia meningkat lebih dari 6,0% - laju tercepatnya dalam lima dekade - dan tahun ini kami memperkirakan pertumbuhan global akan tetap kuat di 4,7%. Dengan demikian, kegiatan ekonomi kemungkinan akan meningkat lebih cepat lagi pada tahun 2022 daripada rata-rata tingkat pertumbuhan 3% yang dicapai oleh ekonomi dunia setiap tahun sejak tahun 1970-an.
Pada kuartal pertama tahun ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan tertahan oleh varian Omicron yang lebih menular. Tetapi kehadirannya memiliki dampak yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan varian virus sebelumnya. Dengan demikian, kami telah menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB kami untuk tahun 2022 untuk AS, Inggris, dan Zona Euro masing-masing menjadi 4,2%, 4,7%, dan 4,2% dari 4,8%, 5,5%, dan 4,7%.
Kami juga mempertahankan perkiraan pertumbuhan PDB 2022 kami untuk China tidak berubah di 5,5%. Prospek China berubah lebih konstruktif tahun ini setelah ekonomi melambat tajam pada paruh kedua tahun 2021. Tingkat konsumsi cukup tertekan akibat kebijakan ketat zero-Covid yang mengarah ke pembatasan aktivitas yang ketat.
Risiko penurunan utama terhadap prospek ekonomi adalah kekhawatiran bahwa Beijing akan mempertahankan kebijakan ketat zero-Covid sampai setelah Kongres Partai Nasional China diadakan pada bulan November.
Namun, pada tahun 2022, kami berharap pelonggaran moneter dan fiskal akan membantu mendorong tingkat pertumbuhan PDB China kembali ke 5,5%, naik dari 4,0% YoY pada akhir tahun 2021.
Pertemuan FOMC Januari menandai dimulainya pengetatan kebijakan moneter The Fed karena bergeser dari mendukung pemulihan AS dari pandemi menjadi menahan tekanan inflasi.
Inflasi telah melonjak ke level tertinggi dalam beberapa dekade terakhir , jauh di atas target 2% The Fed. Dengan demikian, pada pertemuan Januari bank sentral mengkonfirmasi akan mengakhiri pelonggaran kuantitatif (QE) pada bulan Maret. The Fed juga dengan jelas mengisyaratkan akan mulai menaikkan suku bunga 0,00 - 0,25% pada pertemuan berikutnya di bulan Maret. Ini menguraikan rencana untuk mulai membalikkan QE pandemi dengan memangkas balance sheet ketika mulai menaikkan suku bunga. Pengetatan kuantitatif (QT) semacam itu membantu mengurangi tekanan inflasi, disamping kenaikan suku bunga.
Kami menilai prospek yang lebih tidak pasti akan memiliki implikasi berikut untuk pasar keuangan.
Pertama, meningkatnya ketidakpastian kemungkinan akan membuat pasar keuangan bergejolak dalam waktu dekat.
Kedua, pertumbuhan global yang kuat kemungkinan masih akan mendukung reli aset berisiko pasca pandemi tahun ini. Sedangkan prospek jangka panjang akan terus mendukung posisi overweight di pasar saham.
Ketiga, kombinasi dari kebijakan moneter Fed yang lebih ketat, kebijakan PBoC yang lebih longgar dan prospek pertumbuhan China yang lebih kuat dapat menguntungkan pasar saham Asia ex-Jepang dibandingkan dengan pasar saham AS sekarang.
Terakhir, risiko Fed melakukan lebih dari empat hingga lima kenaikan suku bunga 25bps yang sekarang diharapkan oleh pasar keuangan pada tahun 2022 dapat menyebabkan lebih banyak volatilitas di pasar obligasi secara global termasuk pasar negara berkembang.
Prospek yang lebih tidak pasti dengan demikian mungkin memiliki implikasi jangka pendek yang signifikan untuk pasar keuangan. Namun dalam jangka panjang, pertumbuhan global yang kuat tahun ini akan terus mendukung investasi dalam aset berisiko.
Secara keseluruhan kami percaya paska pandemi Covid 19, pasar saham masih dalam fase “bullish”. Kami tetap mempertahankan posisi “overweight” pada instrument saham, namun kami merubah posisi overweight ke pasar Asia ex – Jepang dari sebelumnya di Amerika Serikat, dengan pertimbangan valuasi berbanding risiko yang lebih menarik. – Eli Lee
Indeks S&P 500 mengawali tahun 2022 dengan volatilitas yang tinggi, dan kami melihat volatilitas masih akan bertahan untuk beberapa waktu kedepan. Sementara korporasi melaporkan kinerja yang lebih baik dari perkiraan, namun outlook kedepan masih bervariatif. Perusahaan produsen semikonduktor dan cloud terus mendapatkan permintaan yang meningkat, namun sebagian bisnis yang diuntungkan dengan adanya aktivitas “work from-home” mengalami perkembangan yang stagnan. Berdasarkan historis, kinerja S&P 500 akan mengalami tekanan disaat diberlakukan kebijakan yang lebih ketat akibat lonjakan inflasi. Untuk sementara kami memandang tingkat inflasi akan mencapai puncaknya di musim semi, oleh karena itu akan memberikan ruang bagi Fed untuk tetap memberlakukan kenaikan bunga di 2022.
Di 2022, pasar Eropa akan mengalami kembali tahun keuntungan yang lebih positif, tapi akan diiringi dengan volatilitas yang lebih tinggi, mengingat meningkatnya arus silang makro – pertumbuhan yang kuat namun mencapai puncaknya dengan latar belakang berkurangnya dukungan kebijakan.
Pada 2021, MSCI Jepang menghasilkan kenaikan +14% secara keuntungan total. Namun keuntungan dalam USD +2%, tertinggal dibandingkan keuntungan pasar saham global +23% meskipun melambung di 2H2021 karena harapan stimulus. Untuk tahun 2022, kami memiliki sikap konstruktif dengan prospek pendapatan yang menguat. Posisi investor asing yang rendah mengikuti kinerja pasar yang rendah, menunjukkan risiko penurunan yang relatif lebih terbatas dengan pemulihan ekonomi global yang berkelanjutan.
Sementara kami mempertahankan preferensi kami untuk pasar A - share, kami juga menyukai ekuitas Hong Kong karena eksposur yang relatif tinggi ke sektor Keuangan (menyumbang lebih dari sepertiga dari indeks Hang Seng) yang akan mendapat manfaat dari Fed AS siklus kenaikan suku bunga.
Dalam waktu dekat, MSCI China akan berada dikisaran saat ini karena liburan Tahun Baru Imlek dan pasar menunggu lebih banyak kebijakan yang mendukung pertumbuhan di Kongres Rakyat Nasional mendatang. Dalam jangka menengah, kami menjadi lebih konstruktif di MSCI China setelah musim hasil yang akan datang di bulan Maret karena tekanan penyesuaian ke bawah pendapatan moderat dan kebijakan dan langkah-langkah pendukung lebih lanjut terus diluncurkan.
Awal tahun 2022 terjadi rotasi tajam dalam kepemimpinan pasar ekuitas, saham dengan pertumbuhan berlipat ganda turun tajam dan sektor siklikal menikmati awal yang sehat untuk tahun baru. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sektor-sektor yang memiliki kinerja terbaik tahun lalu (Energi, Keuangan) saat ini memimpin.
Sementara kami mempertahankan value / siklikal kami dalam preferensi sektor, kami terus menyoroti perusahaan yang terkena tren struktural positif dalam jangka panjang.
Untuk obligasi, kami mengubah posisi terhadap Emerging Market High Yield (EM HY) dari overweight menjadi netral seiring dengan ekspektasi akan ada nya tekanan dari naik nya imbal hasil dan juga prospek sektor properti China yang masih tidak pasti. – Vasu Menon
Menurut kami, outlook pasar obligasi EM HY kini akan menjadi lebih challenging. Potensi kenaikan suku bunga acuan di AS dapat berdampak signifikan bagi obligasi EM HY, terutama dengan proyeksi yang lebih agresif saat ini dibandingkan sebelumnya. Outlook sektor properti China, yang memiliki eksposur terbesar di kategori EM HY, masih belum meyakinkan.
Pelonggaran kebijakan saat ini terlihat jelas sedang terjadi di China, seperti contoh nya penurunan suku bunga acuan dan juga giro wajib minimum. Namun, baik konsumen, para lembaga keuangan, dan investor domestik masih terlihat berhati – hati; aliran dana yang masuk ke sektor properti pun masih terbatas, sehingga risiko gagal bayar dan penundaan pembayaran obligasi pun masih terjadi.
Dengan proyeksi penjualan properti yang masih lemah, lebih dibutuhkan banyak pelonggaran kebijakan agar krisis likuiditas dapat terhindari, sebelum prospek sektor properti dapat pulih.
Selain itu, meningkatnya tensi geopolitik seperti yang sedang terjadi antara Russia dan Ukraina berpotensi untuk membebani pasar obligasi EM HY secara keseluruhan. Kami mempertahankan posisi market weight (netral) terhadap developed market (DM) HY dan underweight terhadap obligasi investment grade (IG) baik di DM maupun EM.
Diluar dari sektor properti, kami masih cukup optimis terhadap potensi pertumbuhan ekonomi China tahun ini. Pemangkasan suku bunga acuan oleh PBOC untuk yang pertama kali sejak April 2020 mengkonfirmasi niat bank sentral untuk lebih akomodatif kedepan nya.
Kami merevisi turun pandangan kami terhadap obligasi EM HY dari overweight kami ke market weight (netral). Ada beberapa hal yang mendukung revisi penurunan tersebut yaitu: 1) Siklus kenaikan suku bunga acuan yang lebih cepat dari sebeumnya diprediksi; 2) Pemulihan sektor properti China yang masih belum terealisasi; 3) Kurangnya dukungan pergerakan harga dari segi teknikal.
Untuk Asia yang memiliki rata – rata durasi paling pendek, kami cenderung overweight. Terlebih lagi, tidak seperti di HY, IG China lebih didominasi oleh perusahaan BUMN dan memiliki fungsi yang sangat penting.
Risiko pasokan, seperti potensi ketegangan Rusia-Ukraina memburuk, bersama dengan permintaan minyak yang tangguh dan persediaan yang rendah, dapat membuat harga minyak lebih tinggi dan tidak stabil dalam jangka pendek. Kami menaikkan perkiraan harga Brent 3 bulan menjadi USD95/barel – Vasu Menon
Harga minyak rebound meskipun adanya peningkatan persediaan minyak AS dalam beberapa pekan terakhir. Ini menunjukkan bahwa geopolitik, bukan dari pada fundamental, bahwa saat ini mendominasi pergerakan harga, yang kami yakini akan tetap fluktuatif. Ketegangan geopolitik di Ukraina menimbulkan risiko sanksi terhadap Rusia, meningkatkan kekhawatiran gangguan aliran minyak dari Rusia.
Mengingat gejolak pasar minyak untuk jangka pendek, kami meningkatkan perkiraan minyak Brent untuk 3 bulan menjadi USD95/barel (sebelumnya USD80/barel). Kami tidak dapat mengesampingkan kemungkinan harga jangka pendek bergerak lebih lanjut di atas USD100/barel jika ketegangan geopolitik memburuk. Tetapi risiko harga jangka menengah tetap turun karena pasar minyak akan dipasok dengan lebih baik pada semester 2 2022.
Tekanan dari Fed yang lebih hawkish mulai lebih membebani emas sebagai alat lindung nilai walaupun adanya dorongan tensi dari ketegangan geopolitik. Kami tetap cautious pada prospek emas.
Kombinasi dari meningkatnya ketegangan antara Rusia dan Ukraina, aksi risk-off yang dipimpin oleh pasar ekuitas dan koreksi harga yang signifikan di pasar crypto dapat menyebabkan emas bergerak berlawanan arah dengan kenaikan imbal hasil riil AS. Tetapi dengan Ketua Fed Powell membiarkan pintu terbuka untuk lebih dari empat kali kenaikan suku bunga pada tahun 2022, sinyal Fed yang hawkish memberikan signal terhadap valuasi emas yang sudah cukup mahal dan mulai mengikis ketahanan emas.
Peristiwa seputar keputusan dari pertemuan Januari Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) menunjukkan bahwa Federal Reserve AS (Fed) tetap menjadi permainan utama di kota. Dua pendorong Dolar AS (USD) yang biasa terjadi - Fed yang relatif lebih hawkish dan sentimen risk-off, telah mulai memberikan pengaruh yang lebih besar pada USD sejak akhir Januari, dan ini dapat meluas hingga Februari.
Ketua Fed Jerome Powell tidak berkomitmen dalam konferensi pers FOMC Januari yang ditafsirkan oleh pasar sebagai membuka kemungkinan kenaikan suku bunga Fed yang lebih tinggi pada tahun 2022. Hal ini memungkinkan USD terapresiasi terhadap Euro dan Yen, yang telah begitu resilient tahun ini.
Untuk mata uang Asia, lingkungan imbal hasil yang meningkat di pasar negara maju (DM) dan sentimen risiko yang mengkhawatirkan menyiratkan risiko penurunan yang lebih besar dalam waktu dekat untuk mata uang Asia. Secara khusus, lingkungan imbal hasil negara maju yang lebih tinggi mulai membebani negara dengan imbal hasil yang tinggi seperti Rupiah Indonesia (IDR). Di sisi lain, perkirakan Won Korea dan Baht Thailand lebih sensitif terhadap dinamika risk-off. Sedangkan Dolar Singapura kemungkinan melemah terhadap USD.
Perekonomian global terlihat mulai menunjukan perbaikan yang cukup kuat, khususnya beberapa negara yang mulai membuka perbatasan untuk kedatangan wisatawan internasional. Kebijakan The Fed juga tetap netral sesuai dengan rencana awal, yaitu akan tetap melakukan tapering sebesar USD 15 Miliar setiap bulannya. Selain itu, ketua The Fed, Jerome Powell, masih akan mempertimbangkan untuk rencana kenaikan suku bunga acuan, dengan melihat rilisan beberapa data ekonomi, khususnya data ketenagakerjaan terlebih dahulu. Adanya kekhawatiran awal bahwa varian baru COVID-19 Omicron dapat mengganggu proses pembukaan ekonomi secara penuh, tidak menyebabkan kepanikan dalam pada pasar global. Hal ini karena beberapa ahli berpendapat bahwa tingkat keparahan yang diderita akibat Omicron tidak setinggi yang diperkirakan sebelumnya.
Di pasar domestik, keadaan terlihat semakin membaik dengan rendahnya laju kasus harian COVID-19, percepatan vaksinasi, dan juga dari sisi data ekonomi Indonesia yang menunjukan akselerasi. Angka inflasi Indonesia dirilis di level 1.77% di bulan November lalu dan hal ini menunjukan bahwa konsumsi mulai bangkit secara perlahan di tengah proses pemulihan ekonomi yang terjadi. Indikator aktivitas manufaktur mengalami penurunan, dari 57.2 ke 53.9. Adanya kenaikan bahan baku produksi mendorong kenaikan harga, sehingga mengakibatkan penurunan permintaan. Selain itu pula, para pelaku pasar merespon positif terkait dengan rencana pemerintah yang membatalkan kebijakan PPKM level 3 menjelang liburan Natal dan Tahun Baru pada akhir tahun ini. Hal ini berarti, aktivitas ekonomi masih dapat berjalan meskipun terdapat beberapa pengetatan untuk menghindari lonjakan kasus seperti seperti pada bulan Juni – Juli lalu.
IHSG mengalami pelemahan sebesar -0.87% di bulan November 2021, yang mana pelemahan ini sudah diantisipasi oleh pelaku pasar mengingat secara historis, IHSG berpotensi untuk melemah di bulan November. Pelemahan yang terjadi juga disebabkan oleh aksi jual investor asing yang terihat keluar dari bursa saham domestik sebesar USD 73.7 Juta selama bulan November, seiring dengan sentimen negatif terkait Omicron yang telah menyebar ke beberapa negara. Namun demikian, pertumbuhan kasus harian dalam negeri tetap terkendali dan berada di level terendah di kisaran 200-300 kasus per hari. Redanya kekhawatiran Omicron akan mendorong investor untuk kembali risk-on dan IHSG berpotensi untuk melanjutkan kenaikan pada kisaran 6,700 – 6,800 seiring dengan siklus window dressing di akhir tahun.
Di tengah nada Fed yang lebih agresif dalam melakukan tapering, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia masih tetap terjaga di level 6.07% menutup bulan November. Kestabilan yang terjadi pada imbal hasil ini didukung oleh beberapa faktor seperti realisasi burden sharing Bank Indonesia serta telah berakhirnya lelang SUN untuk 2021. Selain itu pula, animo investor domestik yang masih antusias terhadap pasar obligasi domestik di tengah rendahnya suku bunga, turut mendorong kestabilan harga obligasi. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun dalam jangka pendek diperkirakan akan berada di kisaran 6.1 hingga 6.4 persen.
Di bulan November, Rupiah kembali mengalami pelemahan terhadap Dolar AS -1.5% ke level 14,335. Pelemahan Rupiah ini lebih disebabkan oleh nada kebijakan Fed yang lebih hawkish dengan wacana untuk melakukan tapering lebih cepat serta potensi kenaikan suku bunga lebih cepat pada tahun 2022 mendatang. Adanya kenaikan permintaan Dolar AS yang seringkali terjadi pada siklus akhir tahun, berpotensi untuk menekan pergerakan Rupiah. Namun demikian, dengan ekonomi yang kini berada pada fase pemulihan, maka pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan membaik di tahun ini. Dengan demikian, Rupiah akan diperdagangkan di kisaran di 14,300-14,550 hingga akhir tahun 2021.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPEkonomi dunia cenderung untuk berkembang dengan kuat seiring dengan negara-negara yang dibuka kembali, menyusul rekor rebound di tahun ini, meskipun outlook menghadapi risiko baru. – Eli Lee
Kami mengekspektasi pertumbuhan global secara keseluruhan akan mendekati 5% di tahun 2022. Dengan demikian, ekonomi dunia akan berkembang untuk tahun kedua berturut-turut, jauh lebih cepat dari rata-rata tahunan 3% yang tercatat sejak tahun 1970-an.
Bagaimanapun, prospek makroekonomi terus menghadapi risiko baru. Pertama, varian baru Omicron, yang awalnya diidentifikasi di Afrika Selatan, yang mungkin merupakan strain virus yang sangat menular, bahkan lebih dari Delta, dan terbukti lebih tahan terhadap vaksin yang tersedia saat ini.
Peneliti masih membutuhkan waktu sampai pertengahan Desember untuk menilai seberapa menular Omicron dibandingkan dengan varian lain.
Dengan demikian, aktivitas ekonomi di seluruh dunia dapat tertekan saat 2022 dimulai. Tetapi risiko terhadap pertumbuhan dari Omicron kemungkinan dapat diredakan oleh pengetahuan yang diperoleh pemerintah, bank sentral, perusahaan, karyawan, dan rumah tangga selama pandemi sejak awal 2020.
Risiko kedua terhadap prospek adalah inflasi. Harga konsumen naik lebih dari 6.0% YoY di AS dan lebih dari 4.0% YoY di Inggris dan Zona Euro. Melonjaknya permintaan karena perekonomian yang dibuka kembali dan gangguan pasokan mendorong kenaikan inflasi hingga tingkat yang terakhir terlihat tiga puluh tahun yang lalu pada ekonomi Barat. Sebaliknya, inflasi di seluruh Asia terlihat lebih tenang.
Kami akan memantau risiko ini saat 2022 dimulai. Tetapi aktivitas ekonomi tetap jauh lebih kuat dengan berakhirnya 2021 dibandingkan dengan 2020 ketika virus pertama kali muncul. Dan kami berharap bank sentral akan tetap dovish jika pemulihan global tertunda - dan hal tersebut akan terus mendukung aset berisiko.
Pusat prospek pada tahun 2022 adalah seberapa cepat Federal Reserve menarik kembali stimulus moneter besar yang diberikan pada tahun 2020 pada awal krisis.
Di depan Kongres tanggal 30 November, Ketua The Fed Powell mengisyaratkan dengan kuat bahwa The Fed dapat mempertimbangkan untuk mengurangi pelonggaran kuantitatifnya lebih cepat jika sesuai dengan target pada bulan Desember.
Tapering yang lebih cepat memberi The Fed pilihan untuk memulai kenaikan suku bunga lebih awal dari musim panas mendatang jika inflasi tetap tinggi. Tetapi para pejabat masih ingin melihat kemajuan tingkat pengangguran dan pandemi, dan akan menekankan bahwa syarat untuk memulai kenaikan suku bunga akan lebih tinggi dari untuk memulai tapering.
Dengan demikian, kami mempertahankan pandangan kami bahwa bank sentral dapat menunggu hingga 2023 sebelum menaikkan suku bunga sambil meninjau perkiraan kami setelah pertemuan Fed yang akan datang.
Oleh karena itu, kami melihat bank sentral utama terus mendukung aset berisiko pada tahun 2022. Kami memperkirakan pikir imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun akan naik dari waktu ke waktu tetapi hanya mencapai 1.90% selama tahun depan, mencerminkan pandangan kami bahwa biaya pinjaman secara keseluruhan akan tetap rendah ditengah lonjakan inflasi saat ini.
Kami tetap konstruktif pada pasar saham di tahun 2022, meskipun kami memperhatikan risiko yang mengikuti, seperti hambatan yang akan dihadapi pembukaan ekonomi, terkait varian Omicron COVID-19. – Eli Lee
Memasuki tahun 2022, kami tetap konstruktif pada pasar saham, terlihat dari posisi overweight kami di pasar AS. Amerika Serikat tetap menjadi tempat pilihan kami memasuki tahun 2022. Tekanan inflasi telah menjadi pusat perhatian, tetapi kami percaya bahwa pendorong inflasi termasuk permintaan konsumen yang kuat dan ekspansi dalam output yang didorong oleh tren pembukaan kembali yang luas yang masih utuh. The Fed akan memantau dengan cermat data yang masuk untuk menentukan seberapa cepat menghentikan pembelian asetnya; setiap penyesuaian pada kecepatan tapering dapat mengakibatkan volatilitas pasar lebih lanjut.
Di Eropa, kami melihat bahwa pemulihan ekonomi akan segera terjadi, meskipun data aktivitas di beberapa daerah menunjukkan tanda-tanda perlambatan di belakang faktor-faktor seperti kendala rantai pasokan dan harga energi yang tinggi. Dalam jangka panjang, pemulihan Eropa akan berlanjut, tetapi dengan kecepatan yang moderat.
Ke depan, kami mengharapkan politik yang lebih stabil mengingat mosi percaya yang dimenangkan oleh pemerintahan Kishida. Sementara musim pendapatan telah memberikan lebih banyak kejutan positif daripada negatif, proporsi perusahaan yang mengalahkan perkiraan dimoderasi.
Kami mempertahankan sikap netral kami pada MSCI China karena revisi penurunan pendapatan kemungkinan akan berlanjut (terutama untuk internet lepas pantai dan industri platform). Tetapi kami terus memantau potensi peningkatan dan memperhatikan nada kebijakan dan stabilisasi yang lebih pro-pertumbuhan di momentum penurunan laba. Dalam pasar saham China, kami memperkenalkan kembali preferensi relatif kami untuk A-shares karena valuasi yang menyempit terhadap MSCI China, korelasi yang relatif rendah dengan pasar lain, dan eksposur yang lebih besar ke sektor-sektor yang akan mendapat manfaat dari perubahan kebijakan.
Memasuki 2022, kami tetap nyaman dengan segmen value/cyclical yang telah kami moderasi dari pembobotan overweight sebelumnya. Namun, investor disarankan untuk lebih selektif dan mengadopsi pendekatan stock-picking pada level saat ini. Nama-nama tertentu di sektor yang terpapar tren struktural positif seperti teknologi dan perawatan kesehatan juga memerlukan tempat dalam portofolio, karena beberapa dapat menjadi compounder dalam jangka panjang.
Pandangan overweight kami terhadap obligasi EM HY di tahun 2022 akan ditopang oleh fundamental yang mendukung dan valuasi yang atraktif, setelah melewati tahun 2021 yang cukup berat. – Vasu Menon
Bulan November merupakan salah satu bulan yang paling monumental bagi pasar obligasi global. Di awal bulan, rencana tapering oleh The Fed akhirnya terdengar, diiringi oleh komentar yang dovish. Dari segi inflasi, secara tahunan di akhir bulan Oktober tercatat di level 6.2%, level tertinggi setidaknya dalam tiga dekade terakhir. Hal tersebut mendorong kenaikan tertinggi imbal obligasi AS sejak awal tahun 2020.
Untuk pasar obligasi, kami masih overweight terhadap obligasi EM HY, dimana valuasi masih terlihat atraktif. Kami masih underweight terhadap Developed Market (DM) dan EM Investment Grade (IG), seiring dengan potensi kenaikan suku bunga yang dapat lebih mempengaruhi kedua kategori tersebut.
Untuk obligasi EM HY, penguatan regional yang cukup merata sebelumnya terhapus oleh krisis likuiditas yang sedang dialami oleh sektor properti China; sejak awal tahun mencatatkan pelemahan sekitar -2.5%. Untuk IG, kenaikan suku bunga juga membebani pergerakan harga, mencatatkan pelemahan -0.4% sejak awal tahun. Untuk tahun 2022, kami melihat akan ada nya perbaikan untuk obligasi HY, didorong oleh tingkat likuiditas yang meningkat dan juga pendanaan yang lebih suportif bagi sektor properti China. Sementara obligasi IG akan didukung oleh kenaikan suku bunga yang lebih pelan.
Di tahun 2022, pertumbuhan ekonomi EM (proyeksi IMF di 5.1%) yang lebih merata akan menjadi katalis bagi investasi terhadap obligasi korporasi negara berkembang. Neraca keuangan korporasi akan menunjukkan pemulihan yang berkelanjutan, seiring dengan peningkatan laba yang sudah terlihat dalam beberapa kuartal terakhir.
Dibebani oleh kekhawatiran atas tingkat hutang sektor properti China, spread obligasi EM HY secara keseluruhan melebar sekitar 90 basis poin tahun ini. Namun, valuasi saat ini untuk EM HY masih terlihat atraktif baik dari segi historical maupun jika dibandingkan US HY.
Di kategori HY, kami menaikkan rekomendasi untuk Asia ke overweight. Peningkatan tersebut didasari oleh kepercayaan bahwa penyusutan spread pada obligasi sektor properti di China yang dimulai pada bulan November lalu akan berlanjut hingga tahun depan, seiring dengan pemerintah yang sedang dalam upaya untu merelaksasi regulasi dan memperbaik pendanaan dan likuiditas.
Pandangan overweight kami terhadap obligasi EM HY ditopang oleh fundamental top-down dan bottom-up yang mendukung dan valuasi yang lebih atraktif saat ini dibandingkan tahun 2021. Di kategori IG, walaupun risiko kenaikan suku bunga tidak akan terlalu besar tahun depan, kami masih cenderung lebih berhati – hati. Seiring dengan masih ada nya ketidaksepadanan dari segi valuasi, kami mempertahankan pandangan underweight kami terhadap EM IG.
Prospek untuk imbal hasil riil AS yang lebih tinggi dan greenback yang lebih kuat kemungkinan akan membebani emas pada tahun 2022, meskipun investor akan mempertahankan eksposur terhadap emas untuk diversifikasi. – Vasu Menon
Pemulihan harga minyak dari penurunan tajam baru-baru ini masih mungkin terjadi akibat dari kekhawatiran Omicron dan jika OPEC+ mengembalikan kembali lintasan produksinya di tengah ketidakpastian atas Omicron. Kami telah menurunkan perkiraan minyak Brent tiga bulan menjadi USD 80/barel, dengan sebelumnya USD 85/barel untuk memperhitungkan risiko yang lebih besar dari negara-negara yang memperlambat pembukaan kembali perbatasan mereka untuk mengulur waktu guna meningkatkan tingkat vaksinasi. Inflasi semakin memburuk oleh harga minyak yang tinggi, menjadi masalah politik di AS. AS dapat melakukan berbagai cara untuk membatasi kenaikan harga minyak di luar rilisian cadangan minyak baru-baru ini, dengan berkoordinasi dengan negara-negara konsumen minyak lainnya.
Prospek untuk imbal hasil riil AS yang lebih tinggi dan prospek Dolar AS yang lebih kuat kemungkinan akan membebani emas pada tahun 2022. Kami menargetkan harga emas turun ke USD 1.620/ounce pada akhir 2022. Investor akan tetap mempertahankan eksposur emas untuk diversifikasi. Tetapi alokasi cenderung lebih kecil dari sebelumnya. Kami mengharapkan The Fed untuk menjaga kredibilitas dalam kesediaan dan kemampuan untuk menghindari inflasi yang lebih tinggi. Ini harus membatasi daya pikat emas sebagai lindung nilai inflasi. Namun, harga emas bisa bertahan lebih tinggi lebih lama jika pembuat kebijakan moneter diminta untuk mengambil sikap yang lebih hati-hati terhadap pengetatan. Ini bisa terjadi jika varian Omicron terbukti menjadi tantangan material bagi pemulihan global.
Kami telah melihat kebangkitan akibat pandemi COVID-19, pertama melalui peningkatan signifikan dalam kasus di Eropa dan kemudian varian Omicron. Eropa telah memberlakukan kembali pembatasan, sehingga merugikan Euro dan wilayah Uni Eropa. Varian Omicron tidak mengubah pandangan makro kami, tetapi kemungkinan akan mendominasi perhatian pasar pada awal Desember. Buku pedoman jangka pendek kami bersifat defensif - tetap short pada AUD-USD dan USD-JPY sebagai lindung nilai risiko.
Lebih jauh lagi, kami tidak percaya bahwa perkembangan COVID-19 baru-baru ini akan mengubah landasan kebijakan moneter pada H1 2022. The Fed yang hawkish terus menjadi asumsi utama. Narasi Fed tampaknya beralih ke laju penurunan yang lebih cepat, yang kemudian dapat berkembang menjadi kemungkinan kenaikan suku bunga pada tahun 2022. Ini menyiratkan bahwa Fed dapat mengejar ekspektasi kenaikan suku bunga tersirat pasar dan seharusnya ini pada dasarnya memberikan fundamental Dolar AS (USD) yang positif.
Perekonomian global terlihat mulai menunjukan perbaikan yang cukup kuat, khususnya beberapa negara yang mulai membuka perbatasan untuk kedatangan wisatawan internasional. Kebijakan The Fed juga tetap netral sesuai dengan rencana awal, yaitu akan tetap melakukan tapering sebesar USD 15 Miliar setiap bulannya. Selain itu, ketua The Fed, Jerome Powell, masih akan mempertimbangkan untuk rencana kenaikan suku bunga acuan, dengan melihat rilisan beberapa data ekonomi, khususnya data ketenagakerjaan terlebih dahulu. Adanya kekhawatiran awal bahwa varian baru COVID-19 Omicron dapat mengganggu proses pembukaan ekonomi secara penuh, tidak menyebabkan kepanikan dalam pada pasar global. Hal ini karena beberapa ahli berpendapat bahwa tingkat keparahan yang diderita akibat Omicron tidak setinggi yang diperkirakan sebelumnya.
Di pasar domestik, keadaan terlihat semakin membaik dengan rendahnya laju kasus harian COVID-19, percepatan vaksinasi, dan juga dari sisi data ekonomi Indonesia yang menunjukan akselerasi. Angka inflasi Indonesia dirilis di level 1.77% di bulan November lalu dan hal ini menunjukan bahwa konsumsi mulai bangkit secara perlahan di tengah proses pemulihan ekonomi yang terjadi. Indikator aktivitas manufaktur mengalami penurunan, dari 57.2 ke 53.9. Adanya kenaikan bahan baku produksi mendorong kenaikan harga, sehingga mengakibatkan penurunan permintaan. Selain itu pula, para pelaku pasar merespon positif terkait dengan rencana pemerintah yang membatalkan kebijakan PPKM level 3 menjelang liburan Natal dan Tahun Baru pada akhir tahun ini. Hal ini berarti, aktivitas ekonomi masih dapat berjalan meskipun terdapat beberapa pengetatan untuk menghindari lonjakan kasus seperti seperti pada bulan Juni – Juli lalu.
IHSG mengalami pelemahan sebesar -0.87% di bulan November 2021, yang mana pelemahan ini sudah diantisipasi oleh pelaku pasar mengingat secara historis, IHSG berpotensi untuk melemah di bulan November. Pelemahan yang terjadi juga disebabkan oleh aksi jual investor asing yang terihat keluar dari bursa saham domestik sebesar USD 73.7 Juta selama bulan November, seiring dengan sentimen negatif terkait Omicron yang telah menyebar ke beberapa negara. Namun demikian, pertumbuhan kasus harian dalam negeri tetap terkendali dan berada di level terendah di kisaran 200-300 kasus per hari. Redanya kekhawatiran Omicron akan mendorong investor untuk kembali risk-on dan IHSG berpotensi untuk melanjutkan kenaikan pada kisaran 6,700 – 6,800 seiring dengan siklus window dressing di akhir tahun.
Di tengah nada Fed yang lebih agresif dalam melakukan tapering, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia masih tetap terjaga di level 6.07% menutup bulan November. Kestabilan yang terjadi pada imbal hasil ini didukung oleh beberapa faktor seperti realisasi burden sharing Bank Indonesia serta telah berakhirnya lelang SUN untuk 2021. Selain itu pula, animo investor domestik yang masih antusias terhadap pasar obligasi domestik di tengah rendahnya suku bunga, turut mendorong kestabilan harga obligasi. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun dalam jangka pendek diperkirakan akan berada di kisaran 6.1 hingga 6.4 persen.
Di bulan November, Rupiah kembali mengalami pelemahan terhadap Dolar AS -1.5% ke level 14,335. Pelemahan Rupiah ini lebih disebabkan oleh nada kebijakan Fed yang lebih hawkish dengan wacana untuk melakukan tapering lebih cepat serta potensi kenaikan suku bunga lebih cepat pada tahun 2022 mendatang. Adanya kenaikan permintaan Dolar AS yang seringkali terjadi pada siklus akhir tahun, berpotensi untuk menekan pergerakan Rupiah. Namun demikian, dengan ekonomi yang kini berada pada fase pemulihan, maka pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan membaik di tahun ini. Dengan demikian, Rupiah akan diperdagangkan di kisaran di 14,300-14,550 hingga akhir tahun 2021.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPEkonomi dunia cenderung untuk berkembang dengan kuat seiring dengan negara-negara yang dibuka kembali, menyusul rekor rebound di tahun ini, meskipun outlook menghadapi risiko baru. – Eli Lee
Kami mengekspektasi pertumbuhan global secara keseluruhan akan mendekati 5% di tahun 2022. Dengan demikian, ekonomi dunia akan berkembang untuk tahun kedua berturut-turut, jauh lebih cepat dari rata-rata tahunan 3% yang tercatat sejak tahun 1970-an.
Bagaimanapun, prospek makroekonomi terus menghadapi risiko baru. Pertama, varian baru Omicron, yang awalnya diidentifikasi di Afrika Selatan, yang mungkin merupakan strain virus yang sangat menular, bahkan lebih dari Delta, dan terbukti lebih tahan terhadap vaksin yang tersedia saat ini.
Peneliti masih membutuhkan waktu sampai pertengahan Desember untuk menilai seberapa menular Omicron dibandingkan dengan varian lain.
Dengan demikian, aktivitas ekonomi di seluruh dunia dapat tertekan saat 2022 dimulai. Tetapi risiko terhadap pertumbuhan dari Omicron kemungkinan dapat diredakan oleh pengetahuan yang diperoleh pemerintah, bank sentral, perusahaan, karyawan, dan rumah tangga selama pandemi sejak awal 2020.
Risiko kedua terhadap prospek adalah inflasi. Harga konsumen naik lebih dari 6.0% YoY di AS dan lebih dari 4.0% YoY di Inggris dan Zona Euro. Melonjaknya permintaan karena perekonomian yang dibuka kembali dan gangguan pasokan mendorong kenaikan inflasi hingga tingkat yang terakhir terlihat tiga puluh tahun yang lalu pada ekonomi Barat. Sebaliknya, inflasi di seluruh Asia terlihat lebih tenang.
Kami akan memantau risiko ini saat 2022 dimulai. Tetapi aktivitas ekonomi tetap jauh lebih kuat dengan berakhirnya 2021 dibandingkan dengan 2020 ketika virus pertama kali muncul. Dan kami berharap bank sentral akan tetap dovish jika pemulihan global tertunda - dan hal tersebut akan terus mendukung aset berisiko.
Pusat prospek pada tahun 2022 adalah seberapa cepat Federal Reserve menarik kembali stimulus moneter besar yang diberikan pada tahun 2020 pada awal krisis.
Di depan Kongres tanggal 30 November, Ketua The Fed Powell mengisyaratkan dengan kuat bahwa The Fed dapat mempertimbangkan untuk mengurangi pelonggaran kuantitatifnya lebih cepat jika sesuai dengan target pada bulan Desember.
Tapering yang lebih cepat memberi The Fed pilihan untuk memulai kenaikan suku bunga lebih awal dari musim panas mendatang jika inflasi tetap tinggi. Tetapi para pejabat masih ingin melihat kemajuan tingkat pengangguran dan pandemi, dan akan menekankan bahwa syarat untuk memulai kenaikan suku bunga akan lebih tinggi dari untuk memulai tapering.
Dengan demikian, kami mempertahankan pandangan kami bahwa bank sentral dapat menunggu hingga 2023 sebelum menaikkan suku bunga sambil meninjau perkiraan kami setelah pertemuan Fed yang akan datang.
Oleh karena itu, kami melihat bank sentral utama terus mendukung aset berisiko pada tahun 2022. Kami memperkirakan pikir imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun akan naik dari waktu ke waktu tetapi hanya mencapai 1.90% selama tahun depan, mencerminkan pandangan kami bahwa biaya pinjaman secara keseluruhan akan tetap rendah ditengah lonjakan inflasi saat ini.
Kami tetap konstruktif pada pasar saham di tahun 2022, meskipun kami memperhatikan risiko yang mengikuti, seperti hambatan yang akan dihadapi pembukaan ekonomi, terkait varian Omicron COVID-19. – Eli Lee
Memasuki tahun 2022, kami tetap konstruktif pada pasar saham, terlihat dari posisi overweight kami di pasar AS. Amerika Serikat tetap menjadi tempat pilihan kami memasuki tahun 2022. Tekanan inflasi telah menjadi pusat perhatian, tetapi kami percaya bahwa pendorong inflasi termasuk permintaan konsumen yang kuat dan ekspansi dalam output yang didorong oleh tren pembukaan kembali yang luas yang masih utuh. The Fed akan memantau dengan cermat data yang masuk untuk menentukan seberapa cepat menghentikan pembelian asetnya; setiap penyesuaian pada kecepatan tapering dapat mengakibatkan volatilitas pasar lebih lanjut.
Di Eropa, kami melihat bahwa pemulihan ekonomi akan segera terjadi, meskipun data aktivitas di beberapa daerah menunjukkan tanda-tanda perlambatan di belakang faktor-faktor seperti kendala rantai pasokan dan harga energi yang tinggi. Dalam jangka panjang, pemulihan Eropa akan berlanjut, tetapi dengan kecepatan yang moderat.
Ke depan, kami mengharapkan politik yang lebih stabil mengingat mosi percaya yang dimenangkan oleh pemerintahan Kishida. Sementara musim pendapatan telah memberikan lebih banyak kejutan positif daripada negatif, proporsi perusahaan yang mengalahkan perkiraan dimoderasi.
Kami mempertahankan sikap netral kami pada MSCI China karena revisi penurunan pendapatan kemungkinan akan berlanjut (terutama untuk internet lepas pantai dan industri platform). Tetapi kami terus memantau potensi peningkatan dan memperhatikan nada kebijakan dan stabilisasi yang lebih pro-pertumbuhan di momentum penurunan laba. Dalam pasar saham China, kami memperkenalkan kembali preferensi relatif kami untuk A-shares karena valuasi yang menyempit terhadap MSCI China, korelasi yang relatif rendah dengan pasar lain, dan eksposur yang lebih besar ke sektor-sektor yang akan mendapat manfaat dari perubahan kebijakan.
Memasuki 2022, kami tetap nyaman dengan segmen value/cyclical yang telah kami moderasi dari pembobotan overweight sebelumnya. Namun, investor disarankan untuk lebih selektif dan mengadopsi pendekatan stock-picking pada level saat ini. Nama-nama tertentu di sektor yang terpapar tren struktural positif seperti teknologi dan perawatan kesehatan juga memerlukan tempat dalam portofolio, karena beberapa dapat menjadi compounder dalam jangka panjang.
Pandangan overweight kami terhadap obligasi EM HY di tahun 2022 akan ditopang oleh fundamental yang mendukung dan valuasi yang atraktif, setelah melewati tahun 2021 yang cukup berat. – Vasu Menon
Bulan November merupakan salah satu bulan yang paling monumental bagi pasar obligasi global. Di awal bulan, rencana tapering oleh The Fed akhirnya terdengar, diiringi oleh komentar yang dovish. Dari segi inflasi, secara tahunan di akhir bulan Oktober tercatat di level 6.2%, level tertinggi setidaknya dalam tiga dekade terakhir. Hal tersebut mendorong kenaikan tertinggi imbal obligasi AS sejak awal tahun 2020.
Untuk pasar obligasi, kami masih overweight terhadap obligasi EM HY, dimana valuasi masih terlihat atraktif. Kami masih underweight terhadap Developed Market (DM) dan EM Investment Grade (IG), seiring dengan potensi kenaikan suku bunga yang dapat lebih mempengaruhi kedua kategori tersebut.
Untuk obligasi EM HY, penguatan regional yang cukup merata sebelumnya terhapus oleh krisis likuiditas yang sedang dialami oleh sektor properti China; sejak awal tahun mencatatkan pelemahan sekitar -2.5%. Untuk IG, kenaikan suku bunga juga membebani pergerakan harga, mencatatkan pelemahan -0.4% sejak awal tahun. Untuk tahun 2022, kami melihat akan ada nya perbaikan untuk obligasi HY, didorong oleh tingkat likuiditas yang meningkat dan juga pendanaan yang lebih suportif bagi sektor properti China. Sementara obligasi IG akan didukung oleh kenaikan suku bunga yang lebih pelan.
Di tahun 2022, pertumbuhan ekonomi EM (proyeksi IMF di 5.1%) yang lebih merata akan menjadi katalis bagi investasi terhadap obligasi korporasi negara berkembang. Neraca keuangan korporasi akan menunjukkan pemulihan yang berkelanjutan, seiring dengan peningkatan laba yang sudah terlihat dalam beberapa kuartal terakhir.
Dibebani oleh kekhawatiran atas tingkat hutang sektor properti China, spread obligasi EM HY secara keseluruhan melebar sekitar 90 basis poin tahun ini. Namun, valuasi saat ini untuk EM HY masih terlihat atraktif baik dari segi historical maupun jika dibandingkan US HY.
Di kategori HY, kami menaikkan rekomendasi untuk Asia ke overweight. Peningkatan tersebut didasari oleh kepercayaan bahwa penyusutan spread pada obligasi sektor properti di China yang dimulai pada bulan November lalu akan berlanjut hingga tahun depan, seiring dengan pemerintah yang sedang dalam upaya untu merelaksasi regulasi dan memperbaik pendanaan dan likuiditas.
Pandangan overweight kami terhadap obligasi EM HY ditopang oleh fundamental top-down dan bottom-up yang mendukung dan valuasi yang lebih atraktif saat ini dibandingkan tahun 2021. Di kategori IG, walaupun risiko kenaikan suku bunga tidak akan terlalu besar tahun depan, kami masih cenderung lebih berhati – hati. Seiring dengan masih ada nya ketidaksepadanan dari segi valuasi, kami mempertahankan pandangan underweight kami terhadap EM IG.
Prospek untuk imbal hasil riil AS yang lebih tinggi dan greenback yang lebih kuat kemungkinan akan membebani emas pada tahun 2022, meskipun investor akan mempertahankan eksposur terhadap emas untuk diversifikasi. – Vasu Menon
Pemulihan harga minyak dari penurunan tajam baru-baru ini masih mungkin terjadi akibat dari kekhawatiran Omicron dan jika OPEC+ mengembalikan kembali lintasan produksinya di tengah ketidakpastian atas Omicron. Kami telah menurunkan perkiraan minyak Brent tiga bulan menjadi USD 80/barel, dengan sebelumnya USD 85/barel untuk memperhitungkan risiko yang lebih besar dari negara-negara yang memperlambat pembukaan kembali perbatasan mereka untuk mengulur waktu guna meningkatkan tingkat vaksinasi. Inflasi semakin memburuk oleh harga minyak yang tinggi, menjadi masalah politik di AS. AS dapat melakukan berbagai cara untuk membatasi kenaikan harga minyak di luar rilisian cadangan minyak baru-baru ini, dengan berkoordinasi dengan negara-negara konsumen minyak lainnya.
Prospek untuk imbal hasil riil AS yang lebih tinggi dan prospek Dolar AS yang lebih kuat kemungkinan akan membebani emas pada tahun 2022. Kami menargetkan harga emas turun ke USD 1.620/ounce pada akhir 2022. Investor akan tetap mempertahankan eksposur emas untuk diversifikasi. Tetapi alokasi cenderung lebih kecil dari sebelumnya. Kami mengharapkan The Fed untuk menjaga kredibilitas dalam kesediaan dan kemampuan untuk menghindari inflasi yang lebih tinggi. Ini harus membatasi daya pikat emas sebagai lindung nilai inflasi. Namun, harga emas bisa bertahan lebih tinggi lebih lama jika pembuat kebijakan moneter diminta untuk mengambil sikap yang lebih hati-hati terhadap pengetatan. Ini bisa terjadi jika varian Omicron terbukti menjadi tantangan material bagi pemulihan global.
Kami telah melihat kebangkitan akibat pandemi COVID-19, pertama melalui peningkatan signifikan dalam kasus di Eropa dan kemudian varian Omicron. Eropa telah memberlakukan kembali pembatasan, sehingga merugikan Euro dan wilayah Uni Eropa. Varian Omicron tidak mengubah pandangan makro kami, tetapi kemungkinan akan mendominasi perhatian pasar pada awal Desember. Buku pedoman jangka pendek kami bersifat defensif - tetap short pada AUD-USD dan USD-JPY sebagai lindung nilai risiko.
Lebih jauh lagi, kami tidak percaya bahwa perkembangan COVID-19 baru-baru ini akan mengubah landasan kebijakan moneter pada H1 2022. The Fed yang hawkish terus menjadi asumsi utama. Narasi Fed tampaknya beralih ke laju penurunan yang lebih cepat, yang kemudian dapat berkembang menjadi kemungkinan kenaikan suku bunga pada tahun 2022. Ini menyiratkan bahwa Fed dapat mengejar ekspektasi kenaikan suku bunga tersirat pasar dan seharusnya ini pada dasarnya memberikan fundamental Dolar AS (USD) yang positif.
Laporan pendapatan perusahaan yang kuat di kuartal ketiga menjadi pendorong di Wall Street pada bulan Oktober ini. Sebagian besar memprediksikan bahwa sektor swasta sedang berada di trajektori yang naik. Inflasi yang naik biasa seiring dengan asset yang berisiko tinggi, namun tidak demikian untuk market obligasi. The Fed sebelumnya telah mengumuman bahwa dovish tapering akan dilaksanakan sebelum akhir November. Program pembelian obligasi dikurangi sebanyak USD15 Miliar, dari yang sebelumnya USD120 Miliar per bulan ke USD105 Miliar. Kabar baiknya adalah Ketua The Fed, Jerome Powell, mengatakan bahwa bank sentral tidak akan menaikkan suku bunga utama dalam waktu dekat, saat ini berada di 0.25% setidaknya sampai pasar tenaga kerja menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Sedangkan untuk pasar Asia bulan lalu, setelah terjadinya volatilitas penjualan, pasar ditutup sideways di level yang sama dengan saat awal bulan. Penghasilan korporasi di Asia tidak sebaik di negara maju, dan juga karena masih adanya sentimen negatif seperti naiknya angka COVID-19 di beberapa negara. Namun, kontributor terbesar terhadap saham-saham Asia yang di bawah rata-rata adalah kekhawatiran terhadap krisis hutang yang dilakukan sektor properti China.
Di pasar domestik, keadaan terlihat membaik dalam hal COVID-19 dan juga dari sisi pertumbuhan ekonomi. Ekonomi mencatat peningkatan sebesar 3.51% selama kuartal tiga, membuktikan bahwa ekonomi sudah dalam proses perbaikan. Mengenai perubahan peraturan, Pemerintah sekali lagi menurunkan larangan mobilitas dengan menurunkan PPKM ke level 2 di bulan Oktober untuk Jakarta. Ini berarti semakin banyak orang akan diperbolehkan untuk kembali ke kantor dan juga berkurangnya larangan operasi untuk bisnis.
IHSG naik 4.8% di bulan Oktober. Ini merupakan kenaikan per bulan terbesar kedua di tahun 2021. Sentimen pasar didukung oleh beberapa faktor. Katalis positif yang utama adalah angka COVID-19 per hari yang berada di level terendah, hanya 500 kasus per hari. Data ekonomi juga mengkonfirmasi bahwa kita sekarang sudah dalam fase pemulihan. Selain itu, kenaikan di pasar saham juga didukung oleh masuknya dana asing sebanyak USD918 Juta. Ditambah lagi, dengan memasuki earnings season, baik dalam pasar domestik maupun global, telah menjadi faktor pendukung untung IHSG.
Setelah rebound yang kuat bulan lalu, kami memperkirakan bahwa IHSG akan bergejolak bulan ini dengan adanya pelemahan. Namun demikian, kami melihat bahwa bulan Desember akan menjadi bulan untuk window dressing sehingga IHSG diperkirakan akan ditutup di 6,700 - 6,900.
Sebelum terjadinya tapering, pasar obligasi terus mengalami penguatan. Obligasi Pemerintah dengan tenor 10-tahun jatuh dari 6.26% ke 6.06% di bulan Oktober. Dukungan berkelanjutan dari bank sentral dengan skema pembagian beban, bersama dengan berkurangnya supply obligasi, telah menjadi katalis untuk pasar obligasi. Penguatan ini juga didukung dengan menguatnya Rupiah bulan lalu.
Pengumuman yang dibuat oleh the Fed untuk memulai mengurangi pembelian asset secara bertahap sebelum akhir November telah menjadi tekanan untuk pasar obligasi. Namun, pada awal November, Pemerintah mengumumkan untuk menghentikan pelelangan obligasi karena target 2021 telah tercapai. Sehingga kini kami dapat memperkirakan bahwa obligasi Pemerintah dengan tenor 10 tahun akan diperjualbelikan di level 6% - 6.3% sampai akhir tahun.
Rupiah menguat terhadap greenback di bulan Oktober, dari 14,313 ke 14,100 sesaat dan kemudian ditutup di 14,168 per USD pada akhir bulan. Dengan ekonomi yang kini berada pada fase pemulihan, prospek pertumbuhan ekonomi kini terlihat lebih jelas. Dengan demikian, kami memperkirakan USD/IDR akan diperjualbelikan di 14,150 - 14,450 selama sisa tahun 2021.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPPemulihan global dari pandemi menghadapi tantangan yang signifikan. Inflasi terbukti lebih persisten dari yang diperkirakan bank sentral, namun prospek keseluruhan masih mendukung aset berisiko – Eli Lee.
As 2021 draws to a close, the global recovery faces significant challenges and risks:
Kenaikan inflasi lebih persisten
Risiko pertama adalah inflasi. Harga konsumen telah rebound karena melonjaknya permintaan barang dan jasa didukung oleh ekonomi yang dibuka kembali. Inflasi indeks harga konsumen (IHK) telah melampaui 5% di Amerika, 4% di Zona Euro, dan 3% di Inggris. Kenaikan inflasi seiring dengan ekonomi yang dibuka kembali terbukti lebih kuat dari yang diperkirakan bank sentral.
Investor dengan demikian khawtir bahwa sikap dovish dari bank sentral utama, yang telah menjadi kunci aset berisiko yang mencapai tertinggi sepanjang masa tahun ini, akan ditinggalkan jika inflasi tidak mulai mereda selama beberapa bulan ke depan.
Melonjaknya harga energi
Risiko kedua saat ini adalah lonjakan harga minyak, gas alam dan batubara. Kenaikan harga energi dapat menyebabkan inflasi yang lebih luas jika perusahaan meneruskan biaya bahan bakar yang lebih tinggi kepada konsumen dengan menaikkan harga barang dan jasa.
Investor dengan demikian mencermati bagaimana bank sentral merespon dampak dari guncangan minyak. Jika pembuat kebijakan pada ekonomi pengimpor energi memutuskan untuk menaikkan suku bunga dengan cepat untuk mengurangi tekanan inflasi, maka aset berisiko cenderung tertekan.
Kasus baru kembali melonjak
Risiko ketiga adalah kasus baru yang terus muncul. Namun, dampak pandemi terhadap aktivitas ekonomi jauh lebih sedikit dibandingkan dua gelombang pertama tahun 2020 dan penyebaran varian delta selama musim panas 2021.
Perlambatan China berlanjut
Kasus virus baru mengakibatkan lockdown ketat yang menekan konsumsi. Sentimen juga kemungkinan telah dirusak oleh beberapa pengumuman peraturan baru-baru ini yang mencakup sektor-sektor yang beragam seperti uang sekolah, game, penyimpanan data dan pembayaran.
Namun, kami mengekspektasi tidak mungkin ekonomi China akan mengalami penurunan besar yang akan memukul aset berisiko secara global. Keberhasilan pihak berwenang dalam membatasi wabah virus baru telah mengakibatkan dicabutnya lockdown. PBoC kemungkinan akan menindaklanjuti pemangkasan di bulan Juli dalam rasio persyaratan cadangan bank (RRR) dengan langkah lebih lanjut untuk membebaskan likuiditas jika aktivitas di China terus melunak.
Selain perlambatan China, sikap The Fed tetap menjadi kunci apakah risiko inflasi, lonjakan harga energi dan gelombang virus musim dingin baru akan menggagalkan aset berisiko.
Kami berharap The Fed tetap dovish dan hanya akan berubah hawkish jika kemacetan pasokan dan inflasi tidak mereda dari musim semi 2022 (antara Maret dan Juni tahun depan).
Kami mempertahankan pandangan kami bahwa The Fed akan menunggu sampai 2023 - sementara pasar tenaga kerja terus pulih - sebelum menaikkan suku bunga.
Dalam strategi aset alokasi, kami mempertahankan sikap risk-on yang moderat, menjaga posisi overweight di ekuitas, terutama di pasar AS. – Eli Lee
Kami tetap mewaspadai meningkatnya kasus COVID-19 di sebagian besar Eropa, sementara kami menyoroti potensi risiko pasar yang tidak sepenuhnya memperhitungkan potensi penurunan peringkat pendapatan di China. Secara sektoral, kami mempertahankan preferensi kami untuk Energi, Keuangan, Industri, dan Real Estat.
Sebagian besar perusahaan S&P500 yang telah melaporkan pendapatan kuartal ketiga telah mengalahkan ekspektasi pendapatan. Sementara perusahaan tampaknya menghadapi tekanan biaya yang meningkat, namun demikian penjualan yang lebih tinggi dan efisiensi biaya operasional terlihat dapat mengurangi beberapa hambatan sejauh ini.
Meskipun tapering dimulai, pandangan kami adalah bahwa The Fed akan mempertahankan sikap dovish dan belum akan menaikkan suku pada tahun 2022. Selain itu, kami percaya bahwa kurangnya dukungan dari total 50 senator Demokrat untuk meningkatkan tarif pajak untuk badan hukum, dapat memberikan keringanan EPS pada tahun 2022.
Data ekonomi menunjukkan bahwa aktivitas melambat di lebih banyak bagian Eropa karena efek dari kendala rantai pasokan. Kondisi ini memberikan tekanan harga ke atas, diperburuk oleh biaya energi yang lebih tinggi yang memiliki efek luas di seluruh rantai nilai.
Meskipun fokus investor pada COVID-19 telah menurun karena pandemi menjadi lebih endemik, kami tetap waspada. Kasus COVID-19 meningkat lagi di sebagian besar Eropa dan di beberapa negara disertai dengan peningkatan rawat inap. Jika ada gelombang keempat COVID-19, gelombang tersebut juga kemungkinan tidak akan merata di seluruh Eropa.
Konsensus perkiraan pertumbuhan pendapatan perusahaan meningkat menjadi sekitar 33% untuk FY3/22. Secara keseluruhan, kami konstruktif mengingat kinerja pasar yang kurang baik tahun ini, yang menunjukkan posisi investor asing yang relatif ringan.
Indeks MSCI Asia ex-Jepang naik tipis untuk bulan Oktober setelah kinerja negatif di bulan September. Ke depan, kami yakin investor akan fokus pada sisa musim pendapatan 3Q21 dan arah kebijakan dari pleno keenam China pada bulan November.
Pasar saham China telah diselimuti oleh perubahan peraturan, kekhawatiran akan dampak lanjutan Evergrande dan dampak potensial dari pembatasan pada pendapatan perusahaan. Sementara kami percaya pasar seharusnya memperhitungkan dua masalah pertama, kami berharap revisi penurunan pendapatan perusahaan akan terus berlanjut.
Terlepas dari potensi risiko penurunan peringkat pendapatan, tema “green Economy”, yaitu perusahaan yang berfokus pada energi terbarukan dan kendaraan energi baru, terus mendapatkan daya tarik baru-baru ini. Kami mempertahankan pandangan kami bahwa energi terbaru akan menjadi tema investasi multi-tahun yang harus diwaspadai.
Minat terhadap tema transisi energi juga tinggi dengan kenaikan harga komoditas energi baru-baru ini. Setelah itu adalah keuangan, yang telah didukung oleh ekspektasi kenaikan imbal hasil dan pemulihan ekonomi global. Teknologi Informasi berada di peringkat ketiga, diikuti oleh real estate dan industri.
Seiring dengan pandangan kami atas potensi kenaikan suku bunga acuan dalam beberapa bulan kedepan, kami mempertahankan posisi overweight terhadap obligasi Emerging Market High Yield (EM HY), netral terhadap Developed Market High Yield (DM HY) dan underweight terhadap Investment Grade (IG). – Vasu Menon
Bulan oktober merupakan bulan yang fluktuatif bagi aset pendapatan tetap. Imbal hasil obligasi 10 tahun AS sempat naik 25 basis poin ke level tertinggi nya di bulan Oktober akibat kekhawatiran atas kenaikan inflasi, krisis energi, dan juga isu rantai pasokan yang ditakutkan dapat menunda pemulihan ekonomi global. Sementara di China, pemulihan ekonomi tertunda di kuartal 3 akibat krisis energi, sentimen negatif yang dipicu oleh sektor properti, dan juga pengetatan regulasi dunia usaha oleh pemerintah.
Spread hutang negara berkembang (EM) melebar di bulan Oktober. High Yield (HY) melebar 57 basis poin dipimpin oleh China, yang melebar 500 basis poin. Diluar China, spread obligasi HY mayoritas lebih sempit terkecuali bagi Brazil yang melebar 20 basis poin. Spread obligasi IG terlihat lebih stagnan, hanya melebar 5 basis poin sepanjang bulan Oktober.
Di bulan Oktober kami melihat selisih yang signifikan antara imbal hasil regional pasar obligasi. Centra Europe Middle East Africa (CEEMEA) terlihat stagnan, Amerika Latin turun -0.3% sementara Asia turun -7.5%. Kinerja Asia yang lebih buruk didorong oleh China yang mencatatkan pelemahan signifikan sebesar -13.3%. Negara utama Asian lainnya berkinerja baik, dengan Indonesia dan India mencatatkan penguatan sebesar 0.8%.
Kami melihat bahwa The Fed akan melakukan tapering yang lembut. Terlebih lagi, sikap pemerintah China yang mulai melunak seharusnya akan dapat menopang sektor properti seiring dengan upaya Presiden Xi Jinping untuk merestrukturisasi industri-industri inti ekonomi China dan mengurangi beban hutang yang dapat berdampak negatif terhadap sistem keuangan kedepan nya.
Lonjakan kasus COVID-19 di China dan Eropa belakangan ini kembali memperingatkan kita atas potensi dampak virus corona terhadap perekonomian. Hal ini dapat kembali membebani pertumbuhan ekonomi China ditengah reformasi kebijakan yang juga semakin terjadi.
Optimisme terhadap pasar obligasi China saat ini berada di kisaran level terendah nya, terutama bagi sektor HY. Krisis likuiditas perusahaan properti Evergrande yang mengakibatkan pihak perusahaan kesulitan membayar kupon – kupon obligasi yang diterbitkan ditakutkan dapat menyebar, memicu gagal bayarnya korporasi yang serupa.
Seiring dengan ekspektasi kami bahwa siklus kenaikan suku bunga akan dimulai dalam beberapa bulan kedepan, kami mempertahankan pandangan overweight terhadap obligasi HY dan merekomendasikan underweight terhadap obligasi IG akibat beberapa hal seperti:
Kami mempertahankan perkiraan minyak Brent 3 bulan di USD 85/barel sebagai basis kami, dengan mempertimbangkan risiko kenaikan singkat menjadi USD 90/barel sebelum meningkatnya hasil pasokan dalam penurunan harga setelah musim dingin. – Vasu Menon
Harga minyak mengalami kenaikan, didukung oleh kekurangan cadangan gas alam yang menyebabkan kenaikan demand untuk sumber energi lain. Kami mempertahankan prediksi 3-month Brent oil di USD 85/barel sebagai basis kami, dengan mempertimbangkan resiko kenaikan singkat ke USD90/barel sebelum kemudian harga dapat turun setelah musim dingin. Meskipun terdapat permintaan untuk menaikkan supply minyak, keengganan OPEC untuk menambah barel minyak akan menyebabkan kenaikan harga. Namun demikian, harga minyak terlihat hampir mencapai peak, ditandai dengan menurunnya harga batu bara China dan gas Eropa yang mensinyalkan meredanya krisis energi.
Emas mengalami comeback dengan adanya kekhawatiran stagflasi. Kenaikan sementara dapat terjadi jika kekhawatiran stagflasi memburuk. Namun, USD1,840/ons dapat dianggap sebagai soft cap.
Pertama, kekhawatiran akan stagflasi dapat mengakibatkan kombinasi perlambatan inflasi dan pertumbuhan yang cukup stabil dan kuat. Kedua, kecenderungan hawkish The Fed akan mempercepat transisi USD ke angka yang lebih kuat di jangka menengah.
Walaupun terdapat kekhawatiran terhadap harga emas, kami masih melihat bahwa investor masih akan menyimpan sebagian emas di dalam portfolio mereka. Hal ini dikarenakan kita sedang mengalami waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya di mana dunia perlahan-lahan keluar dari krisis yang belum pernah terjadi selama hampir 100 tahun terakhir.
Harga emas memang cenderung naik ketika bunga menurun sejalan dengan melemahnya ekonomi. Oleh karena itu, emas dapat digunakan sebagai hedge terhadap ketidakpastian ekonomi atau bahkan kemungkinan terjadinya resesi.
Di bulan Oktober, kami mengalami ekspektasi penetapan harga dari kenaikan tarif tercepat di dalam sejarah perbankan. Terlihat adanya usaha dari traders untuk mendorong bank sentral yang dovish, seperti ECB dan RBA, supaya dapat menjadi lebih hawkish. Ekspektasi terjadinya kenaikan tarif ini menyebabkan kekhawatiran tentang pertumbuhan dan melandainya yield curve.
Bank Sentral mana yang posisinya paling baik untuk menaikkan tarif tanpa pengaruh terhadap pertumbuhan yang signifikan? Dalam hal ini, USD masih berada di posisi paling atas, dengan Euro dan Japanese Yen berada di sisi lain dari spektrum.
Di Asia, latar belakang makro di China masih belum mengalami perbaikan. Namun, hal ini tidak mempengaruhi Renminbi selama perdagangan dan portfolio yang masuk tetap suportif. Dengan latar belakang seperti ini, USD-Asia performance dapat menyimpang, tergantung pada paparan masing-masing terhadap kompleksitas komoditi. Dengan itu, kami tetap condong memilih Ringgit Malaysia dan Rupiah Indonesia dibandingkan dengan Rupee India dan Won Korea.
Akhir-akhir ini, pergerakan pasar keuangan global diselimuti oleh berbagai sentimen. Dimulai dari rencana tapering The Fed akhir tahun ini, ketidakpastian seputar hambatan batas utang AS, krisis likuiditas perusahaan properti China, sampai krisis energi global yang telah mendorong harga minyak untuk naik ke level tertinggi sejak tahun 2014. Terlihat bahwa pemulihan sedang menghadapi berbagai tantangan baru.
Di AS, data ketenagakerjaan terbaru menunjukkan non-farm payrolls hanya bertambah 194 ribu pada bulan September. Sementara tingkat pengangguran AS turun ke level 4.8% dari 5.2% di bulan Agustus. Namun, peluang tapering di akhir tahun berpotensi tetap ada meskipun data ketenagakerjaan belum pulih, mengingat proyeksi suku bunga terbaru The Fed yang akan dinaikan lebih cepat dari proyeksi sebelumnya di tahun 2023. Ke depannya, pasar saham AS masih akan volatile di tengah sentimen yang ada. Musim laporan keuangan Q3 pun akan dimulai, dimana investor akan kembali mencermati permasalahan rantai pasokan global dan kekurangan tenaga kerja yang dialami perusahaan AS.
Dari dalam negeri, pelonggaran PPKM serta percepatan vaksinasi yang mencapai 2 juta dosis per hari berhasil mengendalikan pandemi di Indonesia. Penanganan yang baik turut mendukung aktivitas ekonomi di bulan September. Aktivitas pabrik di dalam negeri mulai ekspansif, dengan indeks PMI manufaktur yang naik ke angka 52.2. Sementara data inflasi juga tercatat naik 1.6% YoY. Bantuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) turut mendukung, yang mana 54.3% sudah berhasil tersalurkan per September 2021 dari total Rp 744.77 Triliun sepanjang tahun ini.
IHSG berhasil menguat +2.22% ke level 6,286 di bulan September. Umumnya, secara historis pergerakan bulan September dibayangi oleh penurunan. IHSG berhasil menguat didukung oleh aliran dana investor asing yang deras sejak bulan lalu. Investor asing sendiri mencatatkan net buy sebesar Rp 4.3 Triliun di bulan September. Sektor energi yang dianggap sebagai old economy memimpin penguatan dari segi sektoral, seiring dengan melonjaknya harga komoditas batu bara dan minyak. Kenaikan sektor energi dan pemulihan permintaan domestik dengan pelonggaran PPKM, diharapkan akan mendorong kenaikan IHSG ke kisaran 6,500 hingga 6,700 hingga akhir tahun.
Di akhir bulan September, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun mengalami kenaikan, dari awal bulan di level 6.06% ke 6.26%. Kenaikan mengikuti imbal hasil US Treasury seiring dengan kekhawatiran akan inflasi. Untuk pasar obligasi, kami melihat real yield yang masih tinggi dan supply risk yang semakin menurun akan terus menjadi katalis positif bagi pasar obligasi Indonesia. Faktor-faktor tersebut sangat menarik bagi investor, terutama investor asing, sehingga imbal hasil obligasi diperkirakan dapat berada di kisaran 5.8-6.3% hingga akhir tahun.
Sementara itu, mata uang Rupiah melemah 0.32% sepanjang bulan lalu, dan ditutup pada level 14,313 di akhir bulan September. Di penghujung bulan September, Rupiah melemah merespon rilisan data PMI manufaktur China yang mengalami penurunan selama enam bulan beruntun. Di sisi lain, Bank Indonesia melaporkan cadangan devisa di akhir September sebesar USD 146.9 Miliar, rekor tertinggi sepanjang sejarah. Hal tersebut diharapkan memberikan stabilitas pada nilai tukar Rupiah. Rupiah diperkirakan akan berada di kisaran 14,150 – 14,350 menutup tahun 2021.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPWalaupun ada risiko jangka pendek akan pertumbuhan di AS dan China, prospek ekonomi tetap menguntungkan. Hal ini didukung oleh pemulihan global yang berlangsung dari pandemi dan bank sentral yang dovish, yang menoleransi tingkat inflasi yang sedikit diatas target dan menjaga kebijakan moneter tetap akomodatif. – Eli Lee
Bagaimanapun, pemulihan global dari pandemi menghadapi tantangan baru.
Di AS, penyebaran varian delta, kekurangan tenaga kerja yang disebabkan oleh ketakutan pekerja untuk kembali bekerja selama pandemi, dan gangguan pasokan telah menghentikan pembukaan kembali ekonomi pada Q3 2021.
Begitu juga di China, aktivitas ekonomi juga terganggu selama Q3 oleh wabah regional varian delta yang mendorong pihak berwenang untuk memberlakukan penguncian ketat.
Amerika Serikat dan China merupakan dua ekonomi terbesar di dunia. Dengan menurunkan proyeksi mereka, kami juga menurunkan proyeksi pertumbuhan global kami dari 6.1% menjadi 5.8% untuk 2021 dan dari 5.0% menjadi 4.9% untuk 2022.
Meskipun adanya downgrades, kami masih melihat pertumbuhan global tetap sangat kuat tahun ini dan tahun depan. Dengan demikian, sementara prospek telah memoderasi aktivitas yang lebih lambat di AS dan China, laju pertumbuhan global pada 2021 dan 2022 kemungkinan masih mendukung aset berisiko.
Risiko utama lainnya terhadap pemulihan global berasal dari imbal hasil US Treasury yang mulai meningkat lagi.
Sejak pertengahan September, imbal hasil obligasi telah melonjak dengan imbal hasil US Treasury 10-tahun melebihi 1.5% untuk pertama kalinya sejak Juni.Imbal hasil meningkat karena The Fed sekarang bersiap untuk memulai tapering secepatnya pada awal pertemuan berikutnya bulan November. Dengan mengurangi pembelian obligasi untuk menghentikan ekonomi AS dari overheating, Bank Sentral akan menghapus tekanan pada imbal hasil.
Imbal hasil meningkat karena The Fed sekarang bersiap untuk memulai tapering secepatnya pada awal pertemuan berikutnya bulan November. Dengan mengurangi pembelian obligasi untuk menghentikan ekonomi AS dari overheating, Bank Sentral akan menghapus tekanan pada imbal hasil.
Imbal hasil US Treasury juga cenderung terus meningkat dalam waktu dekat karena kemacetan rantai pasokan, kekurangan tenaga kerja dan kenaikan harga energi – yang disebabkan oleh pasokan yang berjuang untuk memenuhi permintaan ketika ekonomi dibuka kembali – semuanya memberikan tekanan pada inflasi dalam jangka pendek.
Namun, kami tidak mengharapkan imbal hasil US Treasury 10 tahun melebihi 2% dalam waktu 12 bulan. Kami mengekspektasi The Fed tidak akan mulai meningkatkan suku bunga Fed fund dalam dua tahun lagi sampai semester kedua di 2023 ketika pasar tenaga kerja AS telah sepenuhnya mendapatkan kembali semua pekerjaan yang hilang selama pandemi. Oleh karena itu, kami mengekspektasi imbal hasil obligasi pemerintah untuk tetap diperdagangkan di level yang rendah, dan dapat memberikan keuntungan pada aset berisiko.
Dengan demikian, sementara pemulihan global menghadapi risiko jangka pendek terhadap pertumbuhan di AS dan China, dan penetapan kembali imbal hasil US Treasury saat ini dapat menyebabkan lebih banyak volatilitas di pasar keuangan selama beberapa minggu ke depan, prospek ekonomi secara keseluruhan terus mendukung aset berisiko.
Dengan kita memulai kuartal keempat, kami tetap positif pada instrumen saham secara keseluruhan dalam strategi alokasi aset kami, dengan preferensi untuk ekuitas AS, dimana prospek pendapatan tetap didukung dengan baik oleh momentum pertumbuhan ekonomi yang kuat. – Eli Lee
Pasah saham global mengalami tantangan di bulan September. Ketidakpastian atas Evergrande, developer terbesar kedua di China, menyebabkan memburuknya sentimen risiko secara global. Sementara kinerja pasar saham AS juga tertatih-tatih oleh kekhawatiran risiko fiskal dan kebijakan moneter. Meskipun demikian, kami terus mempertahankan posisi overweight kami di ekuitas dan melihat alasan untuk tetap optimis pada AS.
Dengan volatilitas akhir-akhir ini dalam indeks S&P 500, kami percaya bahwa beberapa investor semakin khawatir atas potensi hambatan pajak mulai tahun 2022, tekanan margin perusahaan, risiko penurunan dari kebijakan moneter yang hawkish, dan transisi melewati puncak pertumbuhan ekonomi.
Namun, kami juga melihat beberapa optimisme bahwa kami percaya tingkat penurunan dalam siklus persediaan dan belanja modal serta pemulihan pasar tenaga kerja yang berkelanjutan memberikan ruang untuk pertumbuhan lebih lanjut.
Indeks MSCI Eropa telah terkoreksi seiring dengan kawasan utama seperti AS dan Asia selain Jepang. Hal tersebut sangat berfokus pada kondisi internasional, dan bergerak seiring dengan anomaly ekonomi global. Oleh karena itu, mengingat sikap risk-on kami yang moderat untuk ekuitas global, kami telah memilih untuk menjaga kawasan ini tetap netral, mengingat kami sudah overweight pada ekuitas AS.
Pemilihan Partai Demokrat Liberal (LDP) dimenangkan oleh Fumio Kishida. Perhatian pasar akan fokus pada pembentukan kabinet baru dan paket stimulus potensial. Normalisasi lebih lanjut dari kegiatan ekonomi karena dorongan vaksinasi Jepang yang meningkat juga harus mendukung pendapatan perusahaan, meskipun ekonom kami telah menyoroti risiko jangka pendek dari infeksi varian Delta. Secara keseluruhan, kami mempertahankan strategi bottom-up.
Pasar saham China diselimuti oleh panduan peraturan, kekurangan listrik dan ketidakpastian Evergrande pada bulan September. Kami percaya pasar akan membutuhkan waktu untuk mencerna dampaknya dan re-rating valuasi tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat. Kami mempertahankan preferensi relatif kami untuk ekuitas A-share dan mempertahankan sikap hati-hati terhadap industri dengan hambatan kebijakan. Namun, industri yang selaras dengan prioritas kebijakan baru China, harus mendapat dukungan.
Untuk pasar obligasi, kami masih overweight terhadap obligasi Emerging Market High Yield (EM HY), dimana valuasi masih terlihat menarik. Namun, kami underweight terhadap obligasi Developed Market dan Emerging Market Investment Grade (IG) akibat potensi risiko terhadap kenaikan suku bunga acuan yang lebih besar. – Vasu Menon.
Bulan September merupakan salah satu bulan yang paling penuh dengan kejadian di tahun ini. Isu likuiditas Evergrande menimbulkan kekhawatiran pasar, dan ditakutkan dapat berdampak terhadap laju pemulihan ekonomi China. Tak hanya itu, mendekati akhir bulan imbal hasil US Treasury meningkat ke level yang sangat tinggi seiring dengan The Fed yang mentakan bahwa tapering dapat dilakukan secepat bulan November. Maka dari itu, kami masih overweight terhadap obligasi EM HY, didukung oleh fundamental yang membaik dan valuasi yang menarik.
Spread pada kredit EM melebar di bulan September, terutama di China, akibat kekhawatiran investor terhadap isu likuiditas Evergrande dan dampak potensi gagal bayar nya terhadap ekonomi China. Spread HY melebar 40 poin, dimana kawasan Asia sendiri melebar 60 poin. Secara bersamaan, spread IG hanya terlihat datar.
Setelah melewati bulan Agustus dimana penerbitan berada di level yang sangat rendah, penerbitan di bulan September meningkat jauh ditengah krisis Evergrande. Per 29 September, ada sebanyak USD 52.7 Miliar penerbitan obligasi korporasi, dimana 60% diantara nya datang dari Asia dan HY sendiri berkontribusi sebanyak 40%. Sepanjang tahun 2021, penerbitan telah mencapai USD 433 Miliar.
Walaupun komentar terbaru The Fed mengindikasikan bahwa bank sentral dapat memulai tapering dalam waktu dekat (di bulan November), kebijakan yang longgar seharusnya masih akan dapat mengakomodasi pengetatan yang akan dilakukan. Kami juga masih percaya bahwa para pembuat kebijakan di China masih berkomitmen untuk menjaga krisis Evergrande agar tidak semakin lepas kendali.
Seiring dengan perkiraan kami bahwa akan dimulai nya tren kenaikan suku bunga beberapa bulan kedepan, kami mempertahankan padangan overweight terhadap obligasi HY dan underweight terhadap obligasi IG akibat beberapa hal seperti:
Kami tetap skeptis bahwa kenaikan minyak saat ini adalah "siklus super". Kami memperkirakan kenaikan minyak akan berlanjut, meningkatkan perkiraan harga Brent untuk 3 bulan kami menjadi USD 85/barel tetapi penurunan kembali ke bawah USD 80 tetap mungkin terjadi dalam waktu satu tahun karena OPEC+ melepaskan pembatasan pasokannya dan produsen AS meningkatkan produksi. – Vasu Menon
Komoditas kembali menguat naik setelah kehilangan tenaga pada pertengahan 2021. Namun tidak mengalami kenaikan signifikan seperti awal tahun ini, kenaikan komoditas kemungkinan akan lebih terdiferensiasi. Kami tetap positif pada harga minyak untuk sisa tahun ini. Pertama, persediaan yang rendah menimbulkan risiko kenaikan yang signifikan untuk harga minyak dalam waktu dekat. Kedua, membaiknya COVID-19 dan latar belakang vaksinasi, baik di AS maupun global, memberikan ruang untuk optimisme baru atas pertumbuhan global. Ketiga, lonjakan harga gas alam, terutama di Eropa - sebagian karena berkurangnya pasokan gas Rusia - dapat memicu peralihan gas ke minyak bumi untuk pembangkit listrik dan menguntungkan harga minyak.
Emas masih memiliki tempat tersendiri dalam portofolio investor, tetapi alokasinya cenderung lebih kecil dari sebelumnya. Kekhawatiran akan emas meningkatkan ekspektasi pertumbuhan global dan Fed yang lebih hawkish. The Fed sebelumnya menjelaskan bahwa kemungkinan akan mulai melakukan tapering pada pertemuan November dan Powell memperkirakan pengurangan akan selesai sekitar pertengahan tahun depan. Ringkasan ini menunjukan proyeksi Ekonomi The Fed lebih hawkish, dengan dot plot menunjukkan peluang 50/50 dari kenaikan 2022 dan memproyeksikan kemungkinan kenaikan suku bunga yang lebih besar. Kami tetap berhati-hati pada emas di tengah ekspektasi peningkatan aktivitas ekonomi, pemulihan COVID, dan kenaikan imbal hasil AS. Penurunan harga emas tetap merupakan hasil yang paling mungkin terjadi selama 6 hingga 12 bulan ke depan. Kami menurunkan perkiraan emas 12 bulan kami menjadi USD 1620/oz dari USD 1675/oz sebelumnya.
Dolar AS (USD) tetap sebagai favorit di Q4 2021. Dua kaki kekuatan USD – laju pemulihan global yang melambat dan ekspektasi Fed yang hawkish – tetap utuh. Dalam hal pemulihan global, sementara kita tidak mengantisipasi resesi, tanda-tandanya sekarang jelas bahwa pemulihan puncak telah melewati kita. Ini adalah perkembangan normal di setiap jalur pemulihan tetapi tetap membebani sentimen risiko sejak akhir Q2. Peristiwa istimewa baru-baru ini, seperti Evergrande, juga merupakan pemicu jangka pendek untuk meredakan sentimen risiko ini. Ini mendukung status surga USD, terutama terhadap mata uang siklus seperti Dolar Australia (AUD).
Setelah menjadi topik bahasan utama para pelaku pasar selama beberapa bulan, hasil risalah pertemuan Bank Sentral AS atau Federal Reserve (Fed) mengindikasikan adanya usulan dari sebagian pejabat Fed untuk memulai tapering atau pengurangan pembelian aset obligasi di akhir tahun 2021. Pidato Gubernur Fed, Jerome Powell, pada simposium Jackson Hole di akhir bulan Agustus, turut mengkonfirmasi hal tersebut. Selain itu, suku bunga Fed masih akan tetap dipertahankan di level saat ini walaupun terdapat lonjakan inflasi karena dinilai bersifat sementara. Fed juga meyakini bahwa pemulihan sektor tenaga kerja telah berlangsung cukup baik, namun belum kembali ke level pra-pandemi. Akibatnya, pelaku pasar menilai bahwa pengetatan kebijakan atau tapering tidak akan terjadi secara agresif yang dapat mengakibatkan tantrum atau kepanikan pada pasar.
Dari dalam negeri, dengan tingkat vaksinasi pertama yang telah mencapai lebih dari 30% populasi, jumlah kasus positif COVID-19 pun berangsur turun paska lonjakan di bulan Juli lalu. Indikator aktivitas ekonomi atau PMI Manufacturing Index, walaupun masih mengalami kontraksi di angka 43.7, namun angka ini menunjukkan perbaikan dibandingkan bulan Juli yang hanya sebesar 40.1. Selain itu, inflasi bulan Agustus dilaporkan hanya sebesar 0.03% m-o-m namun meningkat secara tahunan di 1.59% jika dibandingkan bulan Juli yang sebesar 1.52%. Dengan adanya pelonggaran PPKM, akselerasi vaksinasi serta dukungan stimulus pemerintah diharapkan dapat mendorong pemulihan ekonomi lebih lanjut untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2021 di kisaran 3.7% hingga 4.5%.
Secara historis, bulan Agustus seringkali identik dengan bulan yang mana terjadi koreksi di pasar saham. Namun, kali ini di bulan Agustus IHSG tercatat menguat 1.32%. Pelonggaran PPKM di tengah menurunnya jumlah kasus harian COVID-19 serta ekspektasi tapering yang lebih bersahabat, turut menjadi sentimen positif bagi pasar saham. Investor asing mencatatkan pembelian bersih di kisaran Rp4 Triliun di bulan Agustus. Optimisme pemulihan ekonomi lebih lanjut diharapkan dapat mendorong IHSG untuk kembali bergerak ke kisaran 6,400 hingga 6,700 di akhir tahun.
Menutup bulan Agustus, imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun mengalami penurunan ke level 6.07%. Keputusan Bank Indonesia untuk memperpanjang kebijakan burden sharing dengan pemerintah menjadi salah satu sentimen yang mendorong penguatan pasar obligasi tanah air. Melalui skema ini, Bank Indonesia akan membeli SBN Pemerintah sebanyak Rp215 Triliun di 2021, dan Rp224 Triliun di 2022. Selain itu, di akhir bulan Agustus, pemerintah pun mengumumkan memangkas pajak obligasi atas kupon dan diskonto yang semula berada di 15% menjadi 10%. Hal ini dinilai akan menstabilkan pasar obligasi dan menjaga permintaan pada obligasi domestik sehingga imbal hasil obligasi diperkirakan dapat berada di kisaran 5.75 - 6.25 persen hingga akhir tahun.
Tidak hanya pasar saham dan obligasi yang menguat, Rupiah pun turut menguat 1.07% di bulan Agustus dan ditutup di kisaran 14,200. Tapering yang diperkirakan lebih mild mendorong penguatan mata uang Rupiah. Cadangan devisa bulan Agustus meningkat drastis ke US$144.8 Miliar, dibandingkan bulan Juli yang sebesar US$137.3 Miliar. Hal ini akan memberikan dukungan pada stabilitas nilai tukar Rupiah. Dengan demikian, Rupiah diperkirakan akan berada di kisaran 14,150 – 14,350 hingga akhir tahun.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPKami memperkirakan risiko dari pandemi tidak akan mengganggu pemulihan global, dengan bank sentral utama yang akan terus menetapkan suku bunga sangat rendah dan Pemerintah yang akan memberikan bantuan fiskal lebih lanjut untuk meningkatkan kegiatan ekonomi agar tetap rebound. – Eli Lee
Pada pertemuan tahunan The Fed di Jackson Hole pada bulan Agustus, Ketua The Fed Powell memperkuat pesan FOMC bahwa tapering pada pembelian obligasi Bank Sentral dapat dimulai tahun ini.
Untuk mengurangi risiko taper tantrum, kami memperkirakan The Fed akan menunggu sampai akhir November sebelum mengumumkan bahwa mereka akan mulai mengurangi laju pembelian obligasi senilai USD120 Miliar per bulan, dimulai dengan pemangkasarn USD15 Miliar pada bulan Desember.
Waktu yang bertahap untuk mengurangi quantitative easing akan menguntungkan aset berisiko karena The Fed masih akan mencetak uang hingga akhir 2022. Kami memperkirakan imbal hasil 10Y akan tetap pada tingkat yang sangat rendah di bawah 2% selama 12 bulan ke depan jika Fed hanya mengurangi pelonggaran kuantitatifnya secara perlahan. Imbal hasil yang rendah akan terus mendukung aset berisiko.
Strain virus baru ini sangat mengancam negara-negara berkembang di mana sistem perawatan kesehatan yang lebih lemah berjuang untuk menangani infeksi yang melonjak, serta tingkat vaksinasi yang tetap rendah, dan lockdowns menyebabkan pemulihan ekonomi terhenti lagi.
Tetapi ekonomi utama - dengan laju vaksinasi yang lebih cepat dan sumber daya anggaran yang lebih kuat - tampaknya lebih tahan terhadap varian delta.
Pelemahan di China pada kuartal III - 21 disebabkan oleh varian delta yang mendorong penguncian yang ketat. Tetapi kami mengharapkan vaksinasi dan peningkatan pinjaman pemerintah daerah untuk membiayai pengeluaran infrastruktur akan membantu aktivitas untuk rebound akhir tahun ini. Dengan demikian, kami terus memperkirakan pertumbuhan PDB yang kuat secara keseluruhan untuk China pada tahun 2021.
Kami mengekspektasi prospek ekonomi terus mendukung aset berisiko. Vaksinasi yang meningkat memungkinkan ekonomi untuk tetap dibuka. Bank-bank sentral utama akan mempertahankan suku bunga mendekati level nol untuk beberapa kuartal mendatang dan Pemerintah sedang mempersiapkan bantuan lebih lanjut. Pemerintah AS bekerja sama dengan Kongres untuk menyetujui pengeluaran baru senilai hingga USD3.5 Triliun.
Dana Pemulihan EUR750 Miliar Uni Eropa yang baru disepakati tahun lalu akan mulai dikucurkan pada paruh kedua tahun 2021. Pemerintah Jepang kemungkinan akan mengumumkan anggaran tambahan lainnya, dan pemerintah daerah di China masih memiliki kuota yang cukup besar tahun ini untuk menerbitkan obligasi untuk membiayai pengeluaran baru. Dengan demikian, kami mengharapkan pemulihan global untuk terus menentang risiko untuk mendukung pasar keuangan.
Dalam strategi alokasi aset, secara keseluruhan kami tetap positif pada instrumen saham terutama pasar saham AS. Tren harga perusahaan selama beberapa bulan ke depan akan menjaga sektor siklikal dan perusahaan yang menerima manfaat dari inflasi masih terbantu dalam jangka pendek. – Eli Lee
Pasar saham AS tetap positif didukung oleh sikap ramah risiko oleh Federal Reserve, sementara investor terus mencerna dampak tindakan pemerintah terhadap berbagai industri di China. Kami mempertahankan posisi overweight dalam ekuitas, terutama di pasar saham AS.
Musim pendapatan 2Q 2021 telah menjadi musim yang kuat. Selain itu, varian Delta tampaknya tidak memengaruhi mobilitas secara signifikan dibandingkan dengan wabah sebelumnya sebelum peluncuran vaksin.
Kami berpandangan bahwa The Fed hanya akan mengumumkan tapering pada November dan mulai mengurangi pembelian asetnya pada Desember. Dengan pengaturan tersebut, kami memandang dapat terus mendukung aset berisiko, sehingga kami tetap konstruktif pada pasar saham AS.
Ketika Eropa muncul dari kedalaman pandemi, perbandingan year-on-year saat ini ditarik terhadap dampak terburuk COVID-19 pada tahun 2020, membuat pemulihan perusahaan dan ekonomi tampak sangat kuat dari basis yang rendah.
Berbagai metrik menunjukkan rebound yang signifikan, seperti mobilitas, pendapatan perusahaan, dan kumpulan data inflasi. Namun, saat kita menuju akhir tahun, gambarannya kemungkinan akan menjadi lebih beragam dan bernuansa karena investor berusaha menghitung dampak penuh varian Delta pada pertumbuhan, yang tampaknya dapat dikelola untuk saat ini.
Pasar saham mengalami kenaikan moderat, pada bulan lalu. Dengan berakhirnya Olimpiade dengan sukses, acara domestik berikutnya adalah pemilihan umum presiden dan majelis rendah Partai Demokrat Liberal.
Menyusul serangkaian hasil pendapatan yang dirilis dengan mayoritas perusahaan mengalahkan prediksi, perkiraan pertumbuhan pendapatan telah sedikit dinaikkan menjadi sekitar 27% untuk tahun fiskal yang berakhir Maret 2022. Normalisasi lebih lanjut dari kegiatan ekonomi seiring akselerasi langkah vaksinasi akan terus mendukung pendapatan perusahaan.
Indeks MSCI Asia ex-Jepang kembali mengalami pelemahan pada Agustus mengingat berita lebih lanjut tentang pengetatan peraturan China, ditambah dengan kekhawatiran atas dampak varian Delta dan tapering Fed.
Seiring inisiatif rebalancing, kami mempertahankan pandangan kami bahwa hambatan regulasi kemungkinan akan bertahan di 2H21, dan peraturan sektoral kemungkinan akan terus diselaraskan dengan prioritas kebijakan yang lebih luas.
Mempertimbangkan volatilitas yang meningkat dan kinerja relatif yang signifikan dalam industri selektif, kami akan merekomendasikan investor untuk mengakumulasi penarikan.
Dengan kekhawatiran perlambatan pertumbuhan global karena varian Delta, serta faktor-faktor spesifik pada sektor, dimana pada bulan lalu kami melihat sektor-sektor seperti Material (yang kami turunkan ke netral bulan lalu) dan Consumer Discretionary mengalami ketertinggalan. Sektor keuangan bernasib baik di tengah berita positif seperti pengumuman Bank Sentral Eropa bahwa mereka tidak akan memperpanjang pembatasan dividen dan pembelian kembali saham setelah akhir September 2021.
Untuk pasar obligasi, kami masih optimis terhadap obligasi Emerging Market (EM) High Yield, dimana valuasi masih terlihat relatif lebih menarik dan dapat memberikan perlindungan nilai terhadap kenaikan suku bunga dibandingkan kategori obligasi lainnya. – Vasu Menon
Nada dan perilaku The Fed beberapa bulan terakhir, dan juga pada simposium Jackson Hole, berhasil memberikan ketenangan bagi para pelaku pasar dan kepercayaan bahwa tapering yang akan terjadi tidak akan terlalu mengejutkan pasar. Hal ini akan berdampak positif terhadap aset berisiko. Maka dari itu kami mempertahankan posisi overweight terhadap obligasi EM HY yang masih memiliki valuasi yang menarik. Akan tetapi, kami cenderung berhati-hati terhadap obligasi Developed Market (DM) dan EM Investment Grade (IG), yang secara historis lebih mahal dan memiliki risiko lebih tinggi. Kami netral terhadap obligasi DM HY.
Di bulan Agustus, penyebaran varian Delta yang kembali meningkat terus membebani pertumbuhan ekonomi AS. Namun, hal tersebut malah membuat berinvestasi terhadap pasar obligasi lebih menarik. Pertumbuhan ekonomi yang tertekan akibat varian Delta menurunkan risiko kenaikan inflasi, sehingga menjaga imbal hasil obligasi 10 tahun di kisaran 1.25%. Terlebih lagi, musim laporan keuangan Q2 dari negara berkembang (EM) mayoritas positif dan berada diatas konsensus.
Musim panas biasanya diikuti oleh turunnya penerbitan obligasi, terutama di bulan Agustus lalu dimana penerbitan hanya mencapai USD16.3 Miliar, terendahnya dalam satu tahun setengah terakhir, dan kurang dari setengah penerbitan di bulan Juli. Dengan musim laporan keuangan yang kuat dan The Fed yang cenderung dovish, kami melihat akan adanya akselerasi penerbitan obligasi setelah hari raya Labor Day di Amerika Serikat.
Sejak awal tahun, EM funds melihat aliran dana masuk sebesar USD26.4 Miliar, jauh diatas pencapaian tahun peuh 2020 yang hanya tercatat sebesar USD15.8 Miliar.
Walaupun kekhawatiran atas dampak varian Delta terhadap pemulihan ekonomi global saat ini mulai mereda, kami masih cenderung lebih konservatif akibat melihat gampangnya virus tersebut bermutasi. Terlebih agi, kami masih memonitor perkembangan ekonomi China, terutama dari segi perubahan-perubahan kebijakan oleh pemerintah yang dapat semakin mempengaruhi kinerja pasar modal.
Walaupun kami masih overweight terhadap HY, kami percaya bahwa masih diperlukannya memilih obligasi dengan cara yang lebih selektif untuk sisa tahun 2021. Volatilitas masih akan tinggi, sehingga pemilihan obligasi pun harus lebih selektif.
Sejak awla tahun hingga akhir bulan Agustus 2021, obligasi IG China memberikan imbal hasil 1%; sementara obligasi HY China -8.3%. Namun di bulan Agustus sendiri, obligasi HY China berkinerja positif sebesar +3.7%.
Kami melihat harga minyak Brent yang lebih tinggi sebesar USD 80/barel pada akhir 2021, karena varian Delta menurun tetapi tidak mengurangi permintaan minyak global. Harga minyak kemungkinan akan turun secara moderat ke USD 76/barel dalam waktu 12 bulan dengan latar belakang fundamental yang kurang mendukung yang dapat menyebabkan peningkatan penyimpanan. -Vasu Menon
Penyebaran varian Delta baru-baru ini, terutama di China, telah menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan pemulihan ekonomi global. Tetapi dampak negatif dari penyebaran virus yang dilemparkan oleh varian Delta terhadap pasar minyak akan hilang karena wabah COVID terkendali di China sementara mobilitas terus bertahan di Eropa dan AS. Penurunan lebih lanjut dalam persediaan minyak AS menunjukkan permintaan yang stabil ditengah penyebaran virus varian Delta. Hal ini pada gilirannya menambah prospek bahwa harga minyak bisa mendapatkan kembali kekuatan yang hilang. Kami masih melihat harga minyak Brent lebih tinggi dari USD 80/barel pada akhir 2021, karena varian Delta menyebar tetapi tidak mengurangi permintaan minyak global.
Emas masih memiliki tempat tersendiri dalam portofolio investor, tetapi alokasinya cenderung lebih kecil dari sebelumnya. Kami melihat tiga alasan untuk tetap berhati-hati pada prospek emas mengingat prospek kenaikan imbal hasil AS selama 6-12 bulan ke depan.
Penurunan harga emas tetap merupakan hasil yang paling kemungkinan terjadi, dengan pelemahan harga emas yang terjadi pada Dolar AS (USD) karena sentimen risiko global stabil. Kami terus menargetkan emas untuk turun secara bertahap di bawah USD 1,700/oz dalam waktu 6-12 bulan.
Nada dovish dari Ketua Fed Jerome Powell di Jackson Hole meningkatkan selera risiko lebih lanjut dan telah membuat USD di bawah tekanan. Momentum jangka pendek untuk USD adalah negatif mengingat sikap risk-on yang diperpanjang ini. Secara keseluruhan, kami melihat USD berada dalam fase bearish jangka pendek, ditengah tren kenaikan untuk jangka menengah. Kedepan, pendorong utama adalah kecepatan tapering. Ini kemudian akan berdampak pada waktu kenaikan suku bunga Fed pertama kali.
Tingginya tingkat vaksinasi lengkap di AS yang mencapai kisaran 50% populasi ini mendorong keyakinan akan pemulihan ekonomi lebih lanjut. Tingkat pertumbuhan PDB AS pada kuartal II dilaporkan mengalami ekspansi sebesar 6.5%. Tingkat konsumsi dilaporkan melonjak 11.8%, yang berkontribusi 69% terhadap PDB AS. Menuju akhir paruh kedua 2021, diperkirakan tingkat pertumbuhan akan melambat. Terutama, dengan stimulus bantuan sosial pengangguran yang akan berakhir di bulan September 2021. Di sisi lain, The Fed mempertahankan pandangan yang relatif lebih dovish dan memperkirakan kenaikan suku bunga dapat dimulai pada tahun 2023.
Dari dalam negeri, pertumbuhan ekonomi kuartal II meningkat 3.31% secara kuartalan atau 7.07% secara tahunan. Angka ini meningkat pesat dibandingkan kuartal I-2021 yang mengalami kontraksi -0.74% secara tahunan. PPKM dan penyebaran varian Delta yang berlangsung selama bulan Juli telah menekan aktivitas manufaktur. Angka Purchasing Manager Index (PMI) untuk manufaktur mengalami kontraksi ke 40.1. Angka inflasi bulan Juli tercatat meningkat tipis 0.08%, dengan sektor kesehatan mengalami kenaikan lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya.
Mengantisipasi imbas PPKM terhadap masyarakat, Kementerian Sosial menganggarkan Rp 2.3 Triliun dana bantuan sosial yang diharapkan dapat menopang tingkat konsumsi. Selain itu, turunnya bed occupancy rate dan jumlah kasus positif harian, diharapkan juga dapat mendorong dilonggarkannya PPKM sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya perlambatan ekonomi di kuartal III.
Pada bulan Juni, IHSG bergerak menguat di kisaran 5,985 – 6,070, menutup bulan dengan kenaikan 1.41%. Penguatan ini juga dibantu oleh aliran dana asing yang kembali masuk ke bursa saham domestik dan tercatat mencapai Rp 482.4 miliar. IPO Bukalapak pada awal pekan bulan Agustus juga menjadi fokus investor karena menjadi ujung tombak revolusi teknologi di Indonesia, mengawali transisi tatanan ekonomi lama ke ekonomi baru. Selain itu IPO GoTo yang diwacanakan di kuartal IV-2021 diperkirakan akan menjadi katalis bagi pasar saham domestik, sehingga IHSG diproyeksikan berada pada kisaran level 6,500 – 6,800 pada akhir tahun.
Pasar obligasi mencatat penguatan signifikan pada bulan Juli 2021 ini. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun turun 4.49% dan ditutup di level 6.294%. Lonjakan kasus positif akibat varian Delta serta rendahnya tingkat inflasi mendorong investor kembali mengakumulasi aset obligasi. Lelang SUN di awal bulan Agustus mencatatkan lonjakan permintaan tertinggi sejak awal tahun di Rp 107.7 Triliun, dengan serapan lelang hanya sebesar Rp 34 Triliun. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, berencana mengurangi penerbitan SUN di semester kedua tahun ini sebesar Rp 219.3 Triliun seiring dengan turunnya estimasi defisit anggaran tahun ini. Keterbatasan suplai obligasi, tingginya real yield, rendahnya tingkat inflasi, serta ekspektasi suku bunga yang ditahan tetap rendah, akan mendorong kinerja obligasi. Sehingga, imbal hasil obligasi diperkirakan akan stabil berada di kisaran 6.0 - 6.5% hingga akhir tahun.
Rupiah menguat sebanyak 0.26% terhadap USD pada bulan Juli. Dollar Index (DXY) mengalami penurunan dari level 92.43 menjadi 92.17 pada akhir bulan, seiring dengan pernyataan dari Jerome Powell yang belum akan melakukan tapering dalam waktu dekat serta kebijakan moneter yang masih sama membuat hal tersebut memberikan tekanan pada Dolar AS. Namun demikian, Rupiah diperkirakan akan berada di kisaran di kisaran 14,300 – 14,500 hingga akhir tahun.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPPemulihan global menghadapi risiko baru dari varian Delta, tindakan peraturan China dan meningkatnya inflasi saat ekonomi dibuka kembali. Tetapi kami memperkirakan prospek makroekonomi secara keseluruhan akan terus mendukung aset risiko tahun ini. – Eli Lee
Negara-negara rentan di Asia sedang menghadapi strain virus baru. Kami berharap hal tersebut hanya akan “menunda” dibandingkan “menggagalkan” rebound global. Kami juga melihat China masih tumbuh kokoh dan bank sentral tetap dovish.
Pertama, strain virus baru mengancam negara-negara rentan, terutama yang berada di pasar negara berkembang, dimana sistem perawatan kesehatan masih berjuang untuk mengatasi lonjakan kasus, tingkat vaksinasi tetap rendah, penguncian yang kembali diberlakukan dan anggaran fiskal yang ketat membatasi pengeluaran sosial.
Sebaliknya, kami memperkirakan varian Delta hanya dapat menunda daripada menggagalkan pemulihan di negara ekonomi utama, mengingat laju vaksinasi yang lebih cepat dan posisi fiskal yang lebih kuat untuk mendukung aktivitas domestik.
Oleh karena itu, kami perkiraan kami sebagian besar tidak berubah untuk AS, Inggris, Zona Euro, Cina dan Jepang serta untuk ekonomi regional maju di Asia termasuk Hong Kong, Singapura, Korea Selatan dan Taiwan.
Dengan demikian, kami melihat perekonomian global berkembang lebih dari 6% tahun ini, laju tercepatnya dalam lima dekade.
Tindakan regulasi China dalam beberapa bulan terakhir - dari teknologi hingga pendidikan - telah mengejutkan investor dan meningkatkan volatilitas di pasar ekuitas China. Namun rebound berbentuk V ekonomi tahun ini masih cenderung tetap utuh.
Pada bulan Juli, People's Bank of China memangkas rasio persyaratan cadangan bank komersial (RRR) untuk membebaskan likuiditas dan memastikan bank dapat meminjamkan lebih banyak pada paruh kedua 2021 setelah perlambatan pertumbuhan kredit yang signifikan pada paruh pertama tahun ini.
Kami menjaga perkiraan kami untuk PDB China untuk berekspansi sebesar 8.7% tahun ini berdasarkan permintaan eksternal yang kuat untuk ekspor China – dengan pembukaan kembali seluruh dunia – dan konsumsi yang meningkat, seiring dengan percepatan vaksinasi di China.
Rebound pada harga konsumen saat ekonomi dibuka kembali dari pandemi telah mendorong inflasi di atas target 2% bank sentral. Dengan demikian, bank sentral utama tetap dovish, menahan diri untuk tidak menaikkan suku bunga tahun ini dan akan terus mendukung aset risiko.
Oleh karena itu, kami melihat rebound global dari pandemi tetap utuh meskipun ada risiko segar terhadap pemulihan dari varian Delta, tindakan peraturan China, dan peningkatan inflasi. Dengan demikian, prospek perekonomian cenderung tetap mendukung aset risiko selama tahun 2021.
Sementara kami terus mempertahankan posisi overweight dalam ekuitas, kami mengubah China dan Hong Kong ke posisi netral, seiring dengan peraturan yang menggantung dan potensi penyesuaian pendapatan yang cenderung turun. – Eli Lee.
Dalam strategi alokasi aset kami, kami mempertahankan posisi overweight secara keseluruhan dalam ekuitas dengan preferensi untuk ekuitas AS.
Sementara kami percaya tekanan inflasi kemungkinan akan mulai mereda dari tingkat tinggi saat ini pada tahun 2022. Tren harga yang kuat selama beberapa bulan ke depan akan menjaga sektor cyclical.
Karena kekhawatiran atas varian Delta dan prospek pertumbuhan, kami melihat peluang selektif di perusahaan yang dijalankan dengan solid dan memiliki neraca yang kuat serta profil pendapatan yang sehat.
Mayoritas perusahaan dalam indeks S&P 500 yang melaporkan pendapatan kuartal kedua telah mengalahkan ekspektasi di atas dan bawah. Perusahaan teknologi mega-cap secara umum memberikan kartu skor yang kuat.
Meskipun ada kekhawatiran tentang meningkatnya jumlah kasus virus di AS (dan secara global) karena varian Delta, kami yakin ini akan menimbulkan risiko yang minim bagi pasar ekuitas AS, mengingat vaksinasi yang tersebar luas dan strategi yang berfokus pada penahanan.
Sementara di Eropa, yang lebih diperhatikan adalah data rawat inap, yang bisa menjadi faktor lebih besar dalam merespons pandemi. Jika tetap terkendali, kita tidak akan melihat kembali pembatasan signifikan yang menghambat bisnis, investor cenderung mengabaikan kenaikan jangka pendek dalam kasus karena vaksinasi terus berlanjut.
Ekuitas Jepang relatif stagnan bulan lalu, dengan keadaan darurat keempat diumumkan dari 12 Juli hingga 22 Agustus yang menyiratkan beberapa hambatan lebih lanjut pada konsumsi domestik dalam waktu dekat.
Indeks MSCI Asia ex-Jepang memiliki kinerja yang buruk untuk bulan Juli, dengan hambatan datang terutama dari China dan Hong Kong.
Pasar ekuitas luar negeri China telah dikejutkan secara negatif oleh gelombang panduan peraturan pada bulan Juli. Kami melihat hambatan regulasi akan berlanjut di 2H21 terutama mengingat langkah terbaru oleh pihak berwenang untuk membentuk satuan tugas khusus untuk mengatur sektor internet.
Kami menurunkan peringkat sektor material dari overweight ke netral, berdasarkan pandangan kami sendiri bahwa lonjakan inflasi baru-baru ini mungkin hanya sementara.
Industri teknologi pendidikan menghadapi jalan restrukturisasi yang sulit dan tidak pasti ke depan karena model bisnis akan terpengaruh secara substansial sebagai akibat dari arahan peraturan terbaru. Saat ini, kami tidak menyarankan mengambil posisi di sektor ini.
Di sektor teknologi, pelemahan juga terjadi pada nama-nama China karena kekhawatiran dari perkembangan di bidang teknologi pendidikan. Di pasar negara maju, kami tetap relatif optimis karena perusahaan teknologi besar secara luas telah menghasilkan hasil yang sehat. Yang terakhir, kami juga menyukai semikonduktor dengan dorongan berkelanjutan menuju peningkatan otomatisasi dan digitalisasi di seluruh dunia, serta dorongan China menuju swasembada.
Kami percaya bahwa tema reflasi masih akan nyata beberapa bulan kedepan, dengan imbal hasil US Treasury 10 tahun berpotensi untuk naik ke 1.75% di akhir tahun 2021. Jika hal tersebut terjadi, maka dari itu kami lebih menyukai obligasi korporasi Emerging Market High Yield (EM HY) – Vasu Menon.
Di bulan Juli, pasar terlihat tidak meresponi reflasi dengan baik. Kekhawatiran atas pelemahan dari segi pemulihan ekonomi didorong oleh 2 faktor yaitu: (1) Dampak dari penyebaran varian Delta dan (2) Perlambatan pertumbuhan dunia usaha China yang diakibatkan oleh pengetatan kebijakan pemerintah seputar undang – undang dan regulasi. Akibatnya, imbal hasil US Treasury 10 tahun jatuh dibawah 1.2% bulan lalu seiring dengan kurva yang terlihat semakin mendatar. Akan tetapi, kami masih percaya bahwa tema reflasi masih akan terjadi di beberapa bulan kedepan.
Maka dari itu, kami tetap overweight terhadap obligasi EM HY dimana valuasi masih terlihat lebih menarik, dan juga akan dapat memberikan perlindungan yang lebih apabila suku bunga mulai dinaikkan; dibandingkan aset pendapatan tetap lainnya. Kami masih underweight terhadap obligasi Developed Market (DM) dan Emerging Market Investment Grade (EM IG).
Setelah berhasil mencatatkan kenaikan sebesar 80 basis poin ke level 1.74% di akhir kuartal 1, imbal hasil US Treasury jatuh dibawah 1.2% di bulan Juli. Hal ini berhasil mendorong obligasi IG dengan durasi yang lebih panjang untuk menutupi pelemahan sejak awal tahun. Walaupun keduanya obligasi DM dan EM IG lebih dulu melemah dibandingkan kelas obligasi HY, obligasi HY masih mendapatkan perlindungan dari spread yang lebih tinggi.
Berdasarkan data dari JP Morgan, sejak awal tahun hingga 26 Juli, penerbitan mencapai USD$354.4 miliar, jauh diatas pencapaian tahun lalu. Penerbitan obligasi HY masih sangat tinggi, mencakup 36% dari total penerbitan di tahun 2021 jauh diatas tahun 2020 dimana angka tersebut hanya mencapai 27%. Akan tetapi, penerbitan di Asia hanya mencakup 57% dari total penerbitan di tahun 2021, lebih rendah dibandingkan tahun 2020 dan bahkan tahun – tahun sebelumnya dimana angka tersebut berada di rentang 60 - 65%.
Dengan pandangan kami bahwa suku bunga akan mulai naik mendekati akhir tahun 2021, kami mempertahankan pandangan overweight terhadap obligasi HY dan underweight terhadap obligasi IG akibat beberapa hal seperti:
Prospek percepatan pertumbuhan lapangan kerja AS dan penguatan keyakinan bahwa varian Delta bukanlah ancaman yang serius bagi pertumbuhan global, dapat mendorong imbal hasil riil AS kembali sehingga merugikan emas. – Vasu Menon
Fundamental tetap mendukung harga minyak yang lebih tinggi untuk semester II 2021. Rilisan data inventaris di AS menunjukkan bahwa kekhawatiran pertumbuhan ekonomi yang melemah tidak membebani permintaan minyak. Kami terus memperkirakan kenaikan Brent ke USD 80/barel dalam kurun waktu 6-12 bulan. Akibatnya, pemulihan ekonomi global yang berlangsung seharusnya akan terus memberikan keuntungan terhadap minyak.
Kami menyetujui penilaian optimis pasar obligasi AS tentang risiko inflasi. Namun, penurunan imbal hasil riil AS tampaknya terlalu berlebihan terkait dengan kekhawatiran akan pertumbuhan ekonomi. Prospek percepatan pertumbuhan pada pekerjaan AS pada bulan September dan seterusnya, dengan tunjangan pengangguran yang diperpanjang akan berakhir secara nasional, dapat mendorong imbal hasil riil AS kembali sebelumnya sehingga akan merugikan emas. Penurunan harga emas tetap merupakan perkiraan yang kemungkinan akan terjadi, dengan potensi penurunan terhadap mata uang USD setelah sentimen risiko bergerak stabil. Kami terus memperkirakan emas sebesar USD 1675/oz dalam waktu satu tahun. Jika The Fed kehilangan kendali inflasi dan USD melemah signifikan, hal tersebut akan menjadi bullish untuk emas.
Reaksi pasar mata uang terhadap pertemuan kebijakan The Fed pada bulan Juli (FOMC) yang dovish, membuat Dolar AS (USD) lebih rendah di sesi berikutnya. Ketidakpastian Ketua The Fed Jerome Powell untuk secara eksplisit berkomitmen pada tapering memberatkan pergerakan USD. Namun, selama wacana tapering masih di atas meja dalam enam bulan ke depan atau lebih, kami berharap The Fed menjadi salah satu bank sentral utama yang kurang dovish. Ini akan memberi beberapa dukungan pada USD. Sementara itu, USD dapat diperdagangkan sideways karena pasar menunggu tapering yang konkret dari Fed.
Federal Reserve AS (The Fed) mengejutkan pasar pada bulan Juni dengan membahas kapan harus melakukan program pelonggaran kuantitatifnya. Bank sentral juga memperkirakan bahwa kenaikan suku bunga dapat dimulai pada tahun 2023, lebih awal dari sebelumnya. Terlepas dari nada hawkish-nya, The Fed hanya cenderung keluar dari kebijakan dovish-nya secara bertahap - dimulai dengan memperlambat pembelian obligasinya dari awal 2022. Kehati-hatian The Fed seharusnya tetap menguntungkan aset risiko di sisa 2021 dengan mempertahankan tingkat dana The Fed mereka saat ini di 0.00% - 0.25% dan masih membeli obligasi senilai USD$ 120 miliar per bulan untuk mendukung ekonominya.
Di dalam negeri, adanya virus varian Delta COVID-19 menjadi perhatian di bulan Juni; dengan banyak ahli yang menyatakan bahwa suntikan vaksin ekstra harus dipertimbangkan untuk mendapatkan perlindungan lebih dari varian baru. Awal bulan ini, Pemerintah memperkenalkan langkah baru untuk menurunkan mobilitas domestik yang disebut "Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat" atau "PPKM", dengan status darurat yang akan diterapkan dari 3 Juli hingga tanggal 20 Juli untuk meredakan angka infeksi COVID-19.
Terkait data ekonomi yang menjadi perhatian adalah angka inflasi bulan Juni yang masih naik 1.33%, namun menurun dibandingkan bulan sebelumnya di 1.45%. PMI Manufaktur bulan Juni juga mencatat sedikit penurunan, dari 55.3 menjadi 53.5. Pada pertemuan Juni, Bank Indonesia 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3.50% sesuai ekspektasi. Namun, sejak pertemuan Juni, kasus baru harian telah melonjak hampir tiga kali lipat. Oleh karena itu, pertemuan Bank Indonesia pada bulan Juli sangat dinantikan karena investor ingin mengetahui lebih lanjut langkah apa yang akan diambil sehubungan dengan kebijakan moneter dalam beberapa bulan mendatang.
Pada bulan Juni, IHSG bergerak agak sideways di kisaran 5,950 – 6,100, menutup bulan hanya dengan kenaikan 0.64%. Ancaman terbesar saat ini bagi pasar saham adalah kemungkinan adanya lockdown secara penuh yang mana pemerintah berusaha keras untuk menghindari hal tersebut. Dengan lonjakan kasus baru harian bulan lalu, investor mengambil lebih banyak sikap wait & see daripada sikap panic selling. Kedepan, investor yang tenang dan oportunistik akan mencari saham pada sektor-sektor yang kurang baik pada bulan Juni seperti transportasi & logistik (-6.72%), properti & real estat (-5.54%), dan non-cyclicals konsumen (-3.39%).
IPO yang direncanakan untuk GoTo dan Bukalapak bulan depan juga akan menjadi fokus investor karena akan menjadi ujung tombak revolusi teknologi di Indonesia, membantu menggeser Ekonomi Lama ke Ekonomi Baru. Kami masih melihat adanya upside di pasar saham dengan proyeksi akhir tahun 6,400 – 6,800.
Pasar obligasi mencatat kerugian pada bulan Juni. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun naik 2.62% menjadi menutup bulan di level 6.59%, level terakhir yang terlihat pada April. Pergerakan tersebut didorong oleh berbagai faktor seperti varian Delta COVID-19 yang meredam sentimen, dan depresiasi Rupiah. Namun, investor asing masih mencatatkan inflow sebesar Rp 18.07 triliun pada Juni yang berarti sebagian besar aksi jual didominasi oleh investor domestik. Dengan penawaran Real-Yield yang relatif lebih tinggi oleh obligasi domestik, kami percaya bahwa pasar obligasi masih akan mendukung untuk sisa 2021. Kami masih mempertahankan proyeksi tahun sebelumnya dengan proyeksi akhir untuk yield obligasi pemerintah 10 tahun di kisaran 6.15% - 6.50%.
Rupiah melemah sebanyak 1.54% terhadap USD pada bulan lalu, dengan Dollar Index (DXY) yang naik dari 89.8 menjadi 92.4 pada akhir bulan. Seiring dengan meningkatnya inflasi dan kekhawatiran tapering di AS telah mendukung USD, sebaliknya hal tersebut memberikan tekanan pada Rupiah. Lebih lagi, situasi seputar COVID-19 di Indonesia saat ini juga menjadi perhatian investor karena akan menggagalkan jalur pemulihan ekonomi yang semula direncanakan. Oleh karena itu, volatilitas untuk USDIDR akan berlanjut dalam beberapa bulan mendatang. Kami memperkirakan USDIDR akan menutup 2021 di kisaran 14,300 – 14,500.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPTerlepas dari nada hawkish pada pertemuan kebijakan Juni, The Fed cenderung keluar dari kebijakan dovish secara bertahap - dimulai dengan memperlambat pembelian obligasinya dari awal 2022. – Eli Lee
Sejak pandemi pertama kali muncul pada awal 2020, pelonggaran moneter besar-besaran oleh The Fed dan bank sentral utama lainnya telah membantu ekonomi dunia untuk mulai pulih dari guncangan virus COVID-19.
Tetapi bank sentral sekarang secara bertahap mulai keluar dari kebijakan moneter mereka yang sangat longgar, seiring dengan vaksinasi yang memungkinkan dicabutnya lockdown dan dibukanya ekonomi.
Pada pertemuan bulan Juni, The Fed mengejutkan pasar keuangan dengan membuat nada hawkish pada sikap dovish-Nya.
FOMC menerbitkan perkiraan ekonomi baru yang menunjukkan bahwa median - atau rata-rata - anggota komite pengambilan keputusan The Fed memproyeksikan bank sentral untuk mulai meningkatkan suku bunga pada tahun 2023 sebesar dua kenaikan 25 bps - daripada menunggu setidaknya hingga 2024 sebelum mempertimbangkan peningkatan suku bunga.
Pasar ekuitas dan aset risiko lainnya bergerak lebih fluktuatif segera setelah pertemuan The Fed tersebut. Imbal hasil US Treasury 10Y dan 30Y turun masing-masing 1.45% dan 2.00% karena investor menurunkan prospek pertumbuhan kedepan.
Terlepas dari nada hawkish, kami berekspektasi kepemimpinan bank sentral tetap lebih dovish daripada perkiraan terbaru FOMC bulan lalu.
Menyusul reaksi pasar yang merugikan terhadap perubahan pertemuan Juni, Ketua Powell menekankan bahwa The Fed akan tetap bersabar sampai AS mencapai pemulihan penuh. Suku bunga tidak akan naik sebelum waktunya sampai The Fed berpikir bahwa lapangan kerja terlalu tinggi atau karena khawatir kemungkinan terjadinya inflasi.
Namun, perkiraan kami untuk imbal hasil 10Y masih di level 1.90%. Pemulihan AS yang kuat, aset risiko yang mendukung, The Fed tapering dan kenaikan inflasi saat Amerika dibuka kembali berpotensi untuk mendorong benchmark imbal hasil Treasury ke 2% selama 12 bulan ke depan.
Terlepas dari perubahan The Fed pada bulan Juni dan perkiraan suku bunga kami yang berubah, prospek makroekonomi tetap mendukung aset risiko tahun ini. Imbal hasil US Treasury ditetapkan untuk tetap rendah.
Namun, langkah The Fed telah meningkatkan ekspektasi bahwa bank sentral akan mulai keluar dari sikap ultra-longgar lebih cepat. Perubahan tersebut dengan demikian cenderung meningkatkan volatilitas aset risiko untuk sisa tahun 2021, bahkan jika The Fed tidak mulai melakukan tapering hingga awal 2022.
Saat pembuat kebijakan mulai mengurangi secara bertahap dari level rekor pemberian stimulus, kami percaya prospek pengembalian aset berisiko selama 12 bulan ke depan tetap positif tetapi lebih rendah dengan cakupan volatilitas yang lebih besar. - Eli Lee.
Pada paruh kedua tahun 2021, banyak investor bertanya apakah kita akan melihat kelanjutan tren penguatan pada aset berisiko atau beralih ke tren yang negatif. Kami percaya kenyataan kemungkinan akan jauh lebih bernuansa. Saat pembuat kebijakan mulai mengurangi secara bertahap dari level rekor pemberian stimulus, kami percaya prospek pengembalian aset berisiko selama 12 bulan ke depan tetap positif tetapi lebih rendah dengan cakupan yang lebih besar untuk volatilitas pasar.
Meskipun kekhawatiran ekonomi mendekati pertumbuhan puncak, kekuatan di sisi konsumen dan belanja modal membuat kami masih optimis dengan prospek ekuitas AS.
Meskipun kami telah menyebutkan bahwa gambaran untuk Eropa terus membaik, dengan kemajuan dalam peluncuran vaksin dan optimisme pembukaan kembali, kami akan memantau secara ketat untuk setiap peningkatan kasus COVID-19 yang mungkin diakibatkan oleh varian Delta.
Sementara sentimen investor telah terbebani oleh kecepatan rendah vaksinasi menjelang Olimpiade Musim Panas yang dimulai pada 23 Juli dan perpanjangan keadaan darurat untuk menahan COVID-19 hingga 20 Juni, kami percaya percepatan dalam kecepatan vaksinasi di bulan-bulan mendatang dapat membantu mempersempit kinerja ekuitas Jepang tahun ini dibandingkan dengan ekuitas dunia.
Revisi pendapatan untuk Asia ex-Japan tetap dalam tren naik, meskipun kami mencatat bahwa momentum telah berkurang. Menurut perkiraan konsensus Refinitiv, pertumbuhan laba per saham (EPS) untuk FY21 diproyeksikan sebesar 37.1% (per 23 Juni 2021), dibandingkan 35.4% pada akhir Mei tahun ini.
Sektor energi terus berkinerja dan memimpin kinerjanya dari tahun ke tahun. Didorong oleh harga minyak dan gas alam yang lebih tinggi, optimisme telah kembali namun terlalu banyak sentimen positif yang dapat dengan sendirinya merugikan diri sendiri jika pemasok marjinal didorong untuk mengaktifkan sumur lagi.
Sektor lain yang kami pandang positif adalah keuangan, dan ini adalah sektor dengan kinerja terbaik kedua tahun ini. Untuk sektor teknologi yang mana semuanya tentang inovasi dan disrupsi, kami melihat minat yang meningkat di berbagai segmen.
Untuk pasar obligasi, kami masih overweight terhadap obligasi Emerging Market High Yield dimana valuasi terlihat masih menarik dan akan dapat memberikan perlindungan terhadap potensi kenaikan suku bunga dibandingkan kategori obligasi lainnya. – Vasu Menon
Suku bunga saat ini masih berada di level yang normal ditengah para pelaku pasar yang saat ini sedang mempertimbangkan data ekonomi global yang positif, namun juga penyebaran COVID-19 varian Delta yang mengkhawatirkan. Suku bunga yang stabil akan dapat memberikan dukungan bagi pasar obligasi yang melihat spread semakin menipis. Melihat kedepan, kami berekspektasi bahwa pemulihan ekonomi yang positif akan mendominasi sentimen pasar; seiring dengan inflasi yang terjaga dan potensi kenaikan suku bunga yang perlahan – lahan.
Suku bunga masih menjadi pendorong utama kinerja pasar obligasi global. Berdasarkan data dari Bloomberg Barclays dan JP Morgan, obligasi Investment Grade Amerika Serikat yang memiliki durasi paling panjang sejak awal tahun berkinerja paling buruk di -1.9%, diikuti oleh Investment Grade negara berkembang.
Setelah naik sekitar 85 basis poin di kuartal pertama 2021, imbal hasil US Treasury melanjutkan kenaikannya sebesar 25 basis poin di kuartal kedua ditengah kekhawatiran pasar atas The Fed yang mulai terdengar hawkish. Namun, kami masih percaya bahwa era reflasi belum sepenuhnya selesai; kebijakan longgar bank sentral saat ini masih menjadi penyokong. Kami berekspektasi bahwa imbal hasil US Treasury akan berada di kisaran 1.75% di akhir tahun. Maka dari itu, kami menganjurkan untuk investor mempertahankan durasi portofolio dibawah rata – rata.
Seiring dengan pandangan kami bahwa suku bunga akan meningkat di penghujung 2021, kami mempertahankan pandangan overweight kami terhadap obligasi High Yield dan underweight terhadap Investment Grade akibat beberapa hal seperti:
Fundamental kemungkinan akan mendukung kenaikan harga minyak lebih lanjut di 2H21, meskipun kami tetap tidak yakin bahwa komoditas akan memasuki siklus yang baru. - Vasu Menon
Kami meningkatkan perkiraan harga minyak Brent untuk 6 dan 12 bulan menjadi USD 80/barel, yang sebagian besar karena kekuatan permintaan liburan yang masih belum terealisasi. Saat dunia keluar dari lockdown, 'membeli barang' untuk dapat 'melakukan sesuatu'. Permintaan yang belum terealisasi untuk perjalanan domestik di musim liburan musim panas di negara-negara Barat seharusnya meningkatkan permintaan minyak. Permintaan minyak yang lebih tinggi dan persediaan minyak yang dinormalisasi akan membutuhkan OPEC+ untuk meningkatkan produksi lebih lanjut untuk menghentikan pasar dengan permintaan yang sangat besar.
Ekspektasi kami bahwa emas akan sulit untuk mengesampingkan pembicaraan taper The Fed telah terbukti benar. Kami terus percaya bahwa siklus harga emas mencapai puncaknya pada tahun 2020 dan bahwa harga pasaran emas akan terbatas melampaui USD 2,000/ons dalam prospek saat ini. Berkurangnya permintaan lindung nilai portofolio untuk emas mungkin mencerminkan pemulihan makro yang lebih mendorong minat para pelaku pasar terhadap komoditas industri daripada emas.
Emas belum dapat mencatatkan kenaikan secara teknis setelah terjadi penurunan tajam akhir Juni yang disebabkan oleh kebijakan tak terduga The Fed yang hawkish. Tetapi risiko data pekerjaan/inflasi AS yang kuat yang diterjemahkan ke dalam imbal hasil riil AS yang lebih tinggi daripada titik normal, membuat kita berhati-hati pada prospek jangka menengah emas. Kami memangkas perkiraan harga emas dalam 12 bulan menjadi USD 1675/ons.
Melihat semester kedua tahun ini, vaksinasi dan pembukaan kembali akan semakin menjadi hal yang mendasar bagi perekonomian global. Bahkan bagi mereka yang masih berjuang melawan lonjakan baru dalam jumlah kasus, pengalaman yang mereka miliki dalam menangani wabah semacam itu, seharusnya menyiratkan bahwa dampak pasar akan lebih terkendali.
Kami melihat FOMC Juni sebagai titik balik utama yang akan mengatur bagaimana pergerakan pasar mata uang dilakukan di semester kedua. Khususnya, ekspektasi kenaikan suku bunga, seperti yang terlihat dari Eurodollar futures, tidak menunjukkan tanda-tanda untuk balik kembali ke level sebelum FOMC. Hal ini menunjukan bahwa hal tersebut telah diekspektasi oleh pasar.
Di Asia, pemulihan dalam USD telah mempengaruhi mata uang Asia melalui greenback. Namun demikian, mata uang USD-G10 adalah tempat persaingan utama, bukan mata uang USD-Asia.
Pemulihan global terlihat semakin kuat menjelang akhir Q2 tahun ini. Data ketenagakerjaan AS menunjukkan perbaikan setiap bulannya. Begitu juga dengan kenaikan inflasi AS yang masih menjadi fokus pasar, yang mana inflasi meningkat 4.2% YoY untuk periode April 2021. Sementara Personal Consumption Expenditure (PCE) yang merupakan acuan inflasi oleh The Fed, naik 3.6% YoY. Namun, The Fed melihat bahwa tingkat inflasi ini hanya bersifat sementara. Oleh sebab itu, tapering diperkirakan belum akan terjadi dalam waktu dekat. Hal tersebut akan tetap menjaga imbal hasil US Treasury dan mendukung aset berisiko.
Kembali ke domestik, beberapa sentimen turut mempengaruhi pasar keuangan Indonesia. Selain kekhawatiran inflasi AS yang meningkat, para pelaku pasar juga masih mencermati perkembangan seputar kasus COVID-19 yang melonjak di beberapa negara Asia. Di sisi lain, volatilitas pada mata uang crypto juga masih menjadi perhatian akhir-akhir ini.
Memasuki bulan Juni, terlihat rilisan data ekonomi yang semakin membaik dari dalam negeri. Yang pertama, data PMI manufaktur meningkat menjadi 55.3 untuk periode Mei, dari 54.6 di bulan April. Lalu, inflasi juga dilaporkan meningkat 1.68% YoY pada bulan Mei, dari bulan April yang hanya meningkat 1.42% YoY.
Kedepan, para investor tentunya menantikan data pertumbuhan ekonomi yang lebih baik untuk Q2 2021, dibandingkan pembacaan Q1 yang terkontraksi -0.74% YoY. Sejauh ini, pertumbuhan ekonomi masih menunjukkan tren positif dari -2.19% di Q4 2020. Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4.1-5.1% untuk tahun ini, dan 5.0-5.5% di tahun 2022. Pertumbuhan ekonomi tentunya akan didorong oleh program vaksinasi yang akan ditingkatkan, yang mana target 1 juta dosis per hari diperkirakan dapat tercapai pada pertengahan Juni. Selain itu, realisasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi telah mencapai 24.6% hingga pertengahan Mei 2021.
Sepanjang bulan Mei, IHSG membukukan pelemahan -0.80%, ditutup di level 5,947. IHSG masih belum mampu menguat diatas level psikologis 6,000. Para pelaku pasar selama bulan lalu terlihat wait and see akan kasus COVID-19 dari dalam negeri, terutama dampaknya setelah libur panjang lebaran. Kami melihat adanya potensi penguatan pada IHSG seiring dengan aktivitas ekonomi yang semakin membaik. Adanya penambahan sektor baru, yaitu health care dan technology pada indeks diharapkan akan mendorong kembalinya likuiditas pada IHSG. IHSG diperkirakan berada di rentang 5,900 – 6,300 dalam jangka pendek kedepan.
Berbeda dengan pasar saham, pasar obligasi diperdagangkan menguat pada bulan lalu. Imbal hasil obligasi 10 tahun pemerintah turun -0.60% ke level 6.422% di akhir bulan Mei. Suku bunga acuan yang rendah membuat pasar obligasi Indonesia kian menarik. Hal ini juga terlihat dari demand investor pada lelang pada akhir bulan Mei, yang mana incoming bid mencapai Rp 78 triliun, naik sangat signifikan dibandingkan lelang-lelang sebelumnya. Imbal hasil US Treasury yang melandai turut membuat inflow pada pasar obligasi membaik.
Mata uang Rupiah menguat terhadap USD sebesar 1.14% di bulan Mei dan ditutup di level 14,280. Keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga di level 3.5% turut mendukung mata uang domestik. Untuk kedepannya, Rupiah masih berpotensi dapat menguat seiring dengan nilainya yang masih undervalue secara fundamental, dan tentunya didukung oleh ekonomi yang membaik. Kami memperkirakan USDIDR akan diperdagangkan di level 14,200 – 14,400 pada sisa Q2 2021.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPPemulihan global dari pandemi tetap kuat walaupun adanya risiko baru terhadap prospek ekonomi. Pertumbuhan global diperkirakan akan memuncak di 2021 seiring dengan dorongan stimulus global yang mulai berkurang saat kita memasuki 2022. – Eli Lee
Rebound AS yang kuat mendorong naiknya harga konsumen. Tetapi The Fed melihat kenaikan inflasi musim panas di atas target 2% hanya bersifat sementara. Ekonomi Eropa juga sedang booming karena aktivitas dibuka kembali. Sementara Asia menderita gelombang virus baru. Namun lockdown tahun ini tidak separah tahun lalu.
Kami memperkirakan ekonomi global akan berekspansi lebih dari 6.0% untuk tahun ini. Rebound global dipimpin oleh ekonomi yang telah berhasil mengendalikan virus selama 2021 (China dan Korea Selatan), vaksinasi yang cepat tahun ini (AS dan Inggris) atau yang mulai meningkatkan laju suntikan dengan cepat (Zona Eropa).
Sebaliknya, beberapa ekonomi di Asia menderita virus baru. Tetapi lockdown tahun ini jauh tidak separah tahun lalu, dan kuatnya pertumbuhan global menjaga permintaan tetap kuat untuk ekspor Asia.
Gelombang virus Asia adalah salah satu risiko utama baru bagi prospek ekonomi. Ancaman utama lainnya berasal dari tingkat inflasi AS yang lebih tinggi selama musim panas.
Ukuran target inflasi Federal Reserve - perubahan harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) - berjalan jauh di atas tujuan bank sentral 2%.
Inflasi inti AS melonjak dari 1.9% pada Maret menjadi 3.1% pada April setelah harga PCE - tidak termasuk biaya pangan dan energi - naik diatas ekspektasi sebesar 0.7% MoM seiring dengan ekonomi AS yang dibuka kembali.
The Fed, memperkirakan kenaikan inflasi musim panas di atas target 2% hanya akan bersifat sementara. Pembukaan kembali menyebabkan harga konsumen melonjak seiring permintaan yang melampaui pasokan dalam waktu dekat. The Fed memperkirakan bahwa inflasi akan menetap lagi setelah pasokan mengejar ketinggalan selama sisa tahun ini.
Sikap dovish The Fed menjaga imbal hasil obligasi tetap rendah meskipun inflasi inti AS meningkat menjadi sekitar 3% pada bulan April. Selama 12 bulan ke depan, kami memperkirakan bahwa imbal hasil US Treasury hanya akan naik menjadi 1.90% karena pertumbuhan AS yang kuat tahun ini memungkinkan The Fed untuk memulai tapering dari awal tahun 2022.
Untuk sisa 2021, secara historis rendahnya imbal hasil US Treasury dan pertumbuhan yang kuat di AS, Cina, Inggris, dan Zona Eropa ditetapkan untuk mendukung aset berisiko.
Kami percaya masih terlalu dini untuk menyimpulkan penguatan pada saham cycical mengingat pembukaan kembali ekonomi secara bertahap. Kami mempertahankan posisi overweight pada Energi, Keuangan, Industri, Bahan dan Real Estate. – Eli Lee.
Kami tetap positif pada pasar secara luas dan mempertahankan posisi overweight pada ekuitas, terutama pada pasar ekuitas AS.
Kami mengambil posisi netral pada Asia ex-Japan karena kami melihat optimisme pada pemulihan pendapatan, terutama mengingat situasi COVID-19 yang memburuk di beberapa ekonomi utama di Asia. Dalam pasar ekuitas Asia ex-Japan, kami positif pada China, Hong Kong, dan Singapura, dan berhati-hati pada India dan Thailand.
Kami tetap konstruktif pada cyclical dan akan menganjurkan hedging untuk menghadapi risiko inflasi.
Kami tetap optimis, mengingat adanya beberapa faktor seperti pembukaan kembali secara global, tabungan konsumen yang meningkat, serta leverage operasi perusahaan yang kuat. Semuanya dapat membantu mendorong pemulihan yang tajam dalam pertumbuhan ekonomi dan pendapatan. Namun kami melihat potensi risiko seperti reformasi pajak yang lebih besar dari yang diperkirakan, risiko inflasi dan pengetatan kebijakan moneter. Namun, kami percaya bahwa pembicaraan tentang tapering oleh The Fed kemungkinan masih terlalu dini.
Pandangan untuk Eropa terus membaik, dengan kemajuan dalam peluncuran vaksin dan optimisme pembukaan kembali. Dari segi pendapatan perusahaan, terlihat rilisan yang baik baru-baru ini, dengan perusahaan melaporkan penghasilan yang baik. Pada saat penulisan, ekspektasi konsensus untuk pertumbuhan pendapatan 2021 telah direvisi ke atas menjadi 42%.
Ekuitas Jepang sebagian besar terikat pada bulan Mei, karena sentimen investor tetap berhati-hati setelah keadaan darurat Jepang, dan diperpanjang hingga akhir bulan Mei karena peningkatan infeksi COVID-19 yang cepat, serta kecepatan peluncuran vaksin yang masih lambat. Kedepan, kami melihat momentum pertumbuhan pendapatan sebagai kunci kinerja pasar ekuitas; prakiraan konsensus telah dipangkas hingga 18% untuk FYE Maret 2022.
Sementara risiko pada pasar Asia ex-Japan seperti memburuknya situasi COVID-19, telah meningkat selama sebulan terakhir, beberapa faktor pendukung untuk kawasan ini dapat berasal dari pelemahan USD yang berlanjut, seiring dengan pasar negara berkembang cenderung berkorelasi terbalik dengan kekuatan USD. Aliran masuk modal asing yang kuat ke pasar China juga dapat memberikan sentimen dan dorongan likuiditas ke wilayah tersebut.
Kami mempertahankan preferensi kami untuk pasar saham A-share karena lebih sensitif terhadap dukungan kebijakan dan memiliki sedikit exposure terhadap sektor-sektor yang berada di bawah pengetatan peraturan. Kami tetap konstruktif pada pasar China dan merekomendasikan investor untuk fokus pada empat tema investasi utama yang dapat naik pada Rencana Lima Tahun ke-14 (FYP). Konsumsi domestik merupakan salah satu inisiatif utama dalam FYP ke-14. Secara keseluruhan, kami lebih menyukai saham-saham consumer discretionary.
Kami memperkirakan imbal hasil obligasi akan melanjutkan kenaikan pada fase yang moderat, namun tingkat suku bunga akan tetap di level yang rendah berdasarkan rata- rata historis. Kondisi tersebut ditambah valuasi yang menarik, akan tetap mendukung pergerakan HY Bonds negara berkembang. – Vasu Menon
Kami memperkirakan imbal hasil obligasi akan melanjutkan kenaikan pada fase yang moderat, namun tingkat suku bunga akan tetap di level yang rendah berdasarkan rata- rata historis. Kondisi tersebut ditambah valuasi yang menarik, akan tetap mendukung pergerakan HY Bonds negara berkembang. – Vasu Menon
Secara keseluruhan, kami tetap overweight di obligasi High Yield (HY) negara berkembang (EM), yang mana valuasi masih terlihat menarik. Kami netral terhadap obligasi High Yield (HY) negara maju (DM) dan mempertahankan posisi underweight pada obligasi Investment Grade (IG), baik dari negara maju dan negara berkembang, yang akan menghadapi kondisi kurva imbal hasil yang curam.
Penerbitan surat hutang seri baru di bulan April dalam jumlah besar merupakan sinyal awal terjadinya pelemahan. Pada bulan Mei, pasar obligasi HY AS kembali melampaui rekor sebelumnya di 2020, dengan supply mendekati angka USD 47 miliar, membuat bulan Mei 2021 salah satu dari 10 bulan tersibuk. Sementara obligasi IG AS berada dibawah rekor penerbitan tahun lalu, namun masih menjadi fase penerbitan tertinggi di abad ini. Pada negara berkembang, penerbitan obligasi korporasi sejak awal tahun sebesar USD 246 miliar, mendekati rekor yang pernah dicapai di tahun lalu.
Sementara imbal hasil bergerak sideways dalam satu bulan terakhir, kami memandang suku bunga masih akan meningkat dalam tujuh bulan mendatang. Karena itu, kami memandang cukup aman untuk mempertahankan durasi portofolio obligasi, dibawah durasi pasar. Namun, jika memang kita mengulangi apa yang terjadi di awal tahun, yang mana imbal hasil tenor menengah dan panjang meningkat tinggi, menyebabkan harga jatuh ke level yang menarik. Kami melihat hal ini sebagai peluang untuk masuk secara selektif kepada obligasi dalam mata uang USD.
Kami mempertahankan strategi overweight pada obligasi HY negara berkembang dan merekomendasikan underweight pada obligasi IG negara berkembang berdasarkan pandangan berikut:
Terlepas dari kekuatannya baru-baru ini, emas menghadapi tantangan mengingat risiko pembicaraan The Fed mengenai tapering. Emas masih memiliki tempat di portofolio investor, tetapi alokasinya cenderung lebih kecil dari sebelumnya. - Vasu Menon.
Kami memperkirakan kenaikan minyak akan tetap konsisten di semester kedua tahun ini dengan prospek berubah netral pada 2022. Permintaan yang meningkat untuk perjalanan domestik saat musim liburan musim panas di negara-negara Barat akan meningkatkan permintaan minyak. Kami juga bisa melihat investor menggunakan minyak sebagai alat pelindung nilai inflasi. Kami tetap optimis selama 6 bulan ke depan bahwa prospek harga minyak masih baik dan akan berubah netral pada 2022. Pasar minyak kemungkinan harus bersaing dengan meningkatnya pasokan dari OPEC, AS, dan mungkin Iran.
Emas tampaknya telah diuntungkan dari aksi jual bitcoin baru-baru ini. Investor tampak ragu untuk membeli kembali penurunan yang terjadi pada crypto. Hal ini diatur untuk menguji proposisi nilai bitcoin sebagai emas digital. Kenaikan tajam dalam volatilitas bitcoin dapat mengurangi daya tariknya terhadap emas tradisional dalam portofolio institusional. Emas kemungkinan dapat melampaui dan bertahan sedikit di atas USD 1,900/ons dalam waktu dekat.
Dolar AS (USD) akan tetap berada di persimpangan jalan, dengan Indeks DXY mendekati posisi terendah tahun ini, dan pasangan mata uang utama lainnya terjebak dalam kisaran yang baru-baru ini ditetapkan. Ekspektasi tapering / kenaikan suku bunga The Fed masih akan menjadi penentu utama arah USD di bulan Juni. Pergeseran material apa pun kedepannya kemungkinan akan berdampak besar pada arah greenback.
Dengan demikian, rilis data AS menjelang pertemuan kebijakan FOMC Juni akan dicermati dengan ketat oleh pasar mata uang. Hal lain yang akan menjadi perhatian pasar adalah apakah The Fed akan menyebutkan tapering setelah FOMC Juni atau apakah para peserta akan membahasnya pada pertemuan tersebut.
Kenaikan jumlah kasus harian COVID-19 di sejumlah negara kembali menjadi perhatian pasar dalam beberapa pekan terakhir ini, terutama India. Negara ini melaporkan jumlah kasus harian lebih dari 300,000 kasus dan jumlah kematian harian sempat menyentuh lebih dari 3,500 kasus yang merupakan rekor tertinggi sejak terjadinya pandemi. Beberapa negara maju seperti AS dan Eropa, dimana kemajuan vaksinasi lebih tinggi, membuat berkurangnya penerapan protokol kesehatan yang kembali meningkatkan jumlah kasus harian. Oleh karena itu, beberapa otoritas wilayah kembali menerapkan karantina wilayah yang lebih ketat.
Proses pemulihan ekonomi global masih terus berjalan dengan dukungan stimulus ekonomi dan lingkungan suku bunga rendah. Aktivitas manufaktur dan jasa pun mengalami ekspansi. Data ketenagakerjaan di AS sedikit melemah dengan angka pengangguran naik ke 6.1%. Namun, hal ini direspon positif oleh pelaku pasar dengan harapan stimulus longgar akan tetap dipertahankan untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi.
Kondisi ini juga terjadi di Indonesia yang mana pertumbuhan ekonomi domestik pada kuartal I – 2021 masih berada di zona resesi dengan mencatatkan kontraksi sebesar -0,96% secara tahunan. Di kuartal I, pemerintah terus melakukan pembatasan aktivitas untuk mengurangi penyebaran virus. Per awal Mei 2021, tercatat pemerintah telah memberikan sebanyak 21.7 juta dosis vaksin, dimana total 3.1% dari populasi telah mendapat vaksinasi lengkap.
Pemerintah tetap berupaya mendorong pemulihan ekonomi, antara lain dengan memberikan bantuan langsung tunai dan insentif fiskal. Sejalan dengan pemerintah, Bank Indonesia juga terus menerapkan kebijakan yang longgar, dengan menjaga tingkat suku bunga di level yang rendah, serta menjamin tingkat likuiditas di pasar keuangan.
IHSG mencatat kenaikan tipis selama bulan April di 0.17%. Pergerakan yang stagnan ini tercermin dari volume perdagangan harian yang menurun di kisaran Rp 9 Triliun, yang sebelumnya berada diatas Rp 10 Triliun di awal tahun. Beberapa analis menilai, menurunnya aktivitas transaksi di pasar saham dipengaruhi salah satunya dari perpindahan sebagian investor ritel ke instrumen kripto dan menunggu realisasi IPO dari beberapa Unicorn. Beberapa BUMN pun diberitakan siap melantai di bursa di 2021, yang diperkirakan dapat meningkatkan kapitalisasi pasar saham. Memasuki bulan Mei, investor akan tetap mencermati pertumbuhan kasus harian COVID-19 dan akselerasi vaksinasi nasional, sehingga untuk jangka pendek diperkirakan IHSG akan bergerak sideways di kisaran 5,900 hingga 6,100.
Sepanjang bulan April, pasar obligasi terlihat lebih bergairah, tercermin dari pergerakan imbal hasil 10 tahun obligasi pemerintah yang mengalami penurunan sebanyak -4.46%. Penurunan ini tentunya juga dipengaruhi penurunan imbal hasil US Treasury sebanyak -3.9%. Meredanya kekhawatiran akan pengetatan kebijakan moneter AS menjadi salah satu faktor yang mendorong kenaikan harga obligasi domestik. Ke depannya, pasar obligasi domestik dinilai masih akan menarik dengan imbal hasil riil (real yield) yang cukup tinggi akan mendorong kembalinya arus modal asing ke SUN. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun diperkirakan akan berada di kisaran 6.25% – 6.5% untuk jangka menengah.
Mata uang Rupiah bergerak stabil sepanjang bulan April, terlihat dari pergerakannya yang tidak banyak berubah dikisaran Rp 14,400 – Rp 14,500. Namun memasuki bulan Mei, Rupiah terus menguat hingga menembus level Rp 14,200.
Surplus neraca perdagangan dan tingginya cadangan devisa Indonesia di level USD 138.78 Miliar yang merupakan level tertinggi sepanjang sejarah, serta pelemahan US Dollar Index paska meredanya kekhawatiran inflasi AS, membuat investor semakin yakin terhadap kekuatan mata uang Rupiah. Dalam jangka pendek, Rupiah diperkirakan akan bergerak di rentang Rp 14,000 – Rp 14,400.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPKami melihat puncak pertumbuhan global pada 2021 masih berlanjut kuat di 2022 dan imbal hasil obligasi pemerintah yang rendah terus mendukung aset berisiko. – Eli Lee
Ekonomi yang berhasil menahan pandemi akan rebound lebih cepat dari yang diharapkan. Sementara mereka yang menderita gelombang virus baru akan melihat pemulihan yang tertunda.
Pemulihan global dari pandemi diperkirakan akan meningkat dalam beberapa bulan ke depan pada tingkat yang lebih tinggi dari yang diharapkan, seiring dengan negara-negara yang telah berhasil menahan pandemi dan membuka kembali ekonomi mereka.
Kami memproyeksikan ekonomi global akan rebound 6.2% pada 2021 dibandingkan dengan perkiraan kami sebelumnya 5.8%.
Menjelang 2022, kami memperkirakan ekonomi global akan terus mengalami pertumbuhan yang cepat - meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat dari pertumbuhan puncak 2021. Tabel perkiraan PDB kami menunjukkan ekonomi dunia akan berkembang sebesar 4.8% tahun depan.
Puncak pertumbuhan global tahun ini dan tahun depan yang masih berlanjut akan terus mendorong ekuitas, komoditas, pasar negara berkembang, dan aset risiko lainnya.
Pemulihan ini dipimpin oleh dua ekonomi terbesar di dunia - AS dan China - dengan ekonomi penting termasuk Inggris juga rebound lebih cepat daripada yang diantisipasi.
Pemerintahan Biden yang cepat meluncurkan vaksinasi, stimulus fiskal USD 1.9 Triliun yang disetujui oleh Kongres pada bulan Maret, dan usulan program infrastruktur USD 2.3 Triliun yang akan dimulai kemudian pada 2021 semuanya membantu ekonomi AS rebound lebih cepat tahun ini.
Kami telah merevisi perkiraan kami untuk pertumbuhan Inggris menjadi 6.0% untuk 2021.
Dalam waktu dekat kita lebih berhati-hati pada prospek India. Dengan kasus virus baru sekarang melebihi 350,000 sehari, akan memberikan sentimen negatif pada pertumbuhan, dengan ekonomi kemungkinan akan mengalami kemerosotan kedua selama musim panas.
Kami memperkirakan imbal hasil US Treasury akan meningkat lebih jauh selama 12 bulan ke depan karena ekonomi AS pulih dari pandemi dan inflasi inti - tidak termasuk biaya makanan dan energi - sementara naik di atas target 2% The Fed. Kami hanya mengharapkan imbal hasil 10Y meningkat menjadi 1.90%. Sikap dovish bank sentral AS diperkirakan akan menjaga imbal hasil US Treasury berada pada tingkat rendah dan menguntungkan aset berisiko.
Kami melihat, saham cyclical masih memiliki ruang untuk menguat seiring pembukaan aktivitas ekonomi secara bertahap – Eli Lee
Kami mempertahankan pandangan untuk overweight kepada sektor energi, keuangan, industri, material, dan real estate.
Kami mempertahankan posisi overweight di AS dan Asia ex Jepang. Kami menurunkan posisi di India, seiring peningkatan kasus COVID-19 secara signifikan. Untuk Eropa, kami mempertahankan pandangan terhadap saham di bursa Inggris, seiring data yang konsisten kuat yang merupakan cerminan dari akselerasi tingkat vaksinasi dan pemulihan global yang lebih baik.
Musim laporan laba rugi Q1 2021 berjalan dengan baik dengan proporsi yang baik dari perusahaan S&P 500 yang telah melaporkan hasil yang mengalahkan konsensus. Kami telah melihat revisi naik dari perkiraan EPS 2021 konsensus dan kami tidak terkejut jika ada revisi lebih lanjut.
Perubahan pajak yang diusulkan merupakan sumber perhatian investor. Pada tahap ini, kami tidak berharap bahwa tarif pajak yang lebih tinggi akan menghasilkan aksi jual yang signifikan di seluruh pasar saham AS, meskipun penerapannya dapat menjadi hambatan jangka pendek bagi beberapa perusahaan.
Tingkat kematian akibat COVID-19 mulai stabil di Eropa dan laju vaksinasi secara keseluruhan meningkat. Di Inggris, rilisan data secara konsisten kuat yang mencerminkan tingkat vaksinasi dan pertumbuhan global yang lebih baik.
Pasar saham Jepang berkinerja buruk pada bulan April, terpukul oleh sentimen yang lebih lemah karena jumlah kasus yang melibatkan mutasi virus COVID-19 meningkat. Sementara peluncuran vaksin tetap lambat dengan kurang dari 2% populasi diperkirakan telah divaksinasi. Ke depan, momentum pertumbuhan laba menjadi kunci kinerja pasar ekuitas.
MSCI Asia ex-Japan Index mengalami rebound pada bulan April, didorong oleh pasar Asia Utara yang cenderung lebih sensitif terhadap pergerakan suku bunga dan diuntungkan dari penurunan imbal hasil US Treasury 10Y baru-baru ini.
Situasi COVID-19 di beberapa bagian Asia memperlihatkan kemunduran dengan negara-negara seperti India, Korea Selatan, dan Thailand mencatat kasus infeksi harian yang lebih tinggi selama sebulan terakhir. Kami melihat risiko penurunan pada pemulihan ekonomi India dan menurunkan posisi menjadi underweight.
Kami tetap konstruktif di pasar China mengingat pemulihan ekonomi yang solid dan banyak ruang untuk bereaksi terhadap stimulus. Valuasi telah terkoreksi ke level yang lebih murah dengan perdagangan MSCI China, CSI300 dan Indeks Hang Seng pada sekitar 16.7x, 14.2x dan 1.,8x P/E 2021E.
Meskipun kami terus mendukung sektor cyclical seperti Material, Energi, Industri, Real Estat, dan Keuangan, kami juga melihat peluang di bidang lain, salah satunya sektor Penerbangan. Investor jangka panjang juga akan fokus pada perusahaan dengan fokus lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) yang lebih tinggi.
Kami masih lebih menyukai obligasi Emerging Market High Yield (EM HY) seiring dengan investor global yang masih terlihat memburu imbal hasil.
– Vasu Menon.
Setelah melewati tren kenaikan suku bunga dan kurva imbal hasil yang melebar di kuartal pertama tahun ini, pasar obligasi berbalik arah di bulan April seiring dengan imbal hasil US Treasury yang kembali turun. Dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang signifikan akibat mulai dibukanya kembali perekonomian dan kebijakan bank sentral yang akomodatif, kami berekspektasi suku bunga akan terus meningkat (walaupun tidak terlalu agresif seperti di Q1) kedepannya.
Di Q1 2021, tema “reflasi” menjadi fokus para pelaku pasar. Antisipasi atas stimulus fiskal pemerintah Amerika Serikat yang dipimpin oleh Presiden Biden, serta penyaluran vaksin COVID-19 yang lebih efisien dibandingkan ekspektasi, hingga dukungan dari segi kebijakan moneter berhasil mendorong lebih tinggi proyeksi pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, memasuki Q2 2021, narasi tersebut banyak berubah yang didorong dengan kembali meningkatnya penyebaran COVID-19 di beberapa negara seperti India, kemudian isu gagal bayar Huarong dari China, dan juga penyaluran vaksin COVID-19 yang kurang efisien di negara-negara Eropa.
Penerbitan obligasi di pasar perdana masih sangat diminati dan tidak terlihat akan mereda dalam waktu dekat ini. Setelah berhasil mencapai rekor penerbitan di Q1 lalu, pasar obligasi US HY berhasil melampaui rekor yang sebelumnya dicapai di tahun 2014. Walaupun penerbitan US IG masih lebih rendah dibandingkan tahun lalu, namun penerbitan di Q1 2021 merupakan yang kedua terbanyak dalam satu abad terakhir. Di negara berkembang, penerbitan obligasi korporasi sejak awal tahun sejauh ini telah menembus batas USD 200 Miliar.
Walaupun suku bunga bergerak sideways sebulan terakhir, kami masih berekspektasi adanya potensi peningkatan beberapa bulan kedepan. Maka dari itu, sikap bijak kami adalah untuk mempertahankan rata-rata durasi portofolio yang rendah.
Isu gagal bayar Huarong juga menjadi fokus utama investor di bulan April, memicu kekhawatiran atas pasar obligasi korporasi China. Awalnya, perusahaan hanya menyatakan adanya penundaan pengumuman, namun hal tersebut diikuti oleh rumor atas rencana restrukturisasi hutang hingga dukungan pemerintah yang kurang jelas untuk perusahaan. Akibat sikap pemerintah yang cukup ambigu, kejadian tersebut mengklarifikasi bahwa dukungan pemerintah yang sebelumnya dapat dipastikan untuk perusahaan keuangan yang dinilai vital, kini sudah berubah.
Keputusan diambil akibat 3 hal ini: 1) HY saat ini jauh lebih atraktif dari segi valuasi secara historis; 2) Rata-rata durasi obligasi IG jah lebih tinggi dibandingkan obligasi HY, sehingga lebih sensitif terhadap kenaikan suku bunga; 3) Spread obligasi IG yang lebih rendah akan dapat menjadi pelindung terhadap risiko kenaikan suku bunga.
Pembukaan kembali larangan dan jangkauan baru untuk lindung nilai inflasi dapat menguntungkan harga minyak di masa mendatang – Vasu Menon
Permintaan minyak pulih dengan baik di AS, Eropa dan China, dengan permintaan meningkat untuk bahan bakar motor yang kemungkinan akan mengimbangi kerugian dari penerbangan internasional dan India yang disebabkan oleh penyebaran COVID-19. Jangkauan baru untuk lindung nilai inflasi dapat membuat harga minyak mengejar ketertinggalan dengan reli baru-baru ini di industri logam. OPEC tetap yakin bahwa tantangan baru-baru ini tidak akan mengganggu pemulihan permintaan minyak.
Imbal hasil AS yang tak banyak bergerak, USD yang melemah, dan ekspektasi inflasi yang meningkat telah mengangkat harga emas kembali lebih tinggi. Impor emas Asia yang meningkat juga mendukung harga emas. China telah memberikan izin kepada bank komersial untuk mengimpor emas dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan domestik menurut Reuters. Impor emas India naik ke rekor tertinggi secara bulanan sebesar 153 ton pada bulan Maret di tengah permintaan pernikahan yang meningkat. Tetapi lockdown yang baru terjadi di beberapa negara bagian di India sebagai tanggapan terhadap meningkatnya infeksi COVID-19 dapat menahan impor emas untuk sementara waktu pada Q2 2021.
Data ekonomi AS menguat sepanjang April dan sebagian besar mengungguli data di negara-negara besar lainnya. Pernyataan pertemuan The Fed (FOMC) di bulan April menyinggung akan terjadinya penguatan ekonomi. Namun demikian, ketua The Fed, Jerome Powell, mendorong kembali tapering, dengan alasan bahwa The Fed "akan bertindak berdasarkan data aktual, bukan berdasarkan perkiraan", dan perlu "melihat lebih banyak data". Harapan dasar kami adalah agar data ekonomi AS tetap kuat hingga Mei, membuka kemungkinan bahwa The Fed mungkin akan terdengar kurang dovish menjelang pertemuan FOMC di bulan Juni.
Pemulihan ekonomi masih terus berlanjut telah memberikan dampak yang cukup positif, namun memang membutuhkan upaya yang lebih tinggi untuk kembali ke kondisi pra-pandemi.
Pemulihan ekonomi global terlihat dari pernyataan IMF baru-baru ini yang telah merevisi naik untuk perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2021 dari sebelumnya di level 5.5% ke level 6%. Dari dalam negeri, upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia juga telah membuahkan hasil dimana aktivitas manufaktur Indonesia telah kembali berada pada level pra-pandemi di level ekspansi 53.2 untuk bulan Maret 2021. Inflasi pun tercatat terkendali di level 1.38% untuk bulan Februari 2021.
Selain itu, pemerintah Indonesia terus bersinergi dengan Bank Indonesia untuk memulihkan perekonomian yang terpuruk akibat pandemi COVID-19. Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa peranan Bank Indonesia seharusnya tidak hanya mengelola mata uang, tetapi juga harus mendukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan, sambil mempertahankan status independen.
Tekanan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan kembali terjadi di penghujung kuartal I-2021 ini. IHSG mencatatkan pelemahan sebesar 4.11%. Pelemahan bursa dalam negeri ini juga disebabkan oleh keluarnya aliran modal asing dari pasar saham Indonesia sebesar Rp 1.16 triliun selama bulan Maret 2021 kemarin. Minimnya katalis dalam negeri, ditambah dengan berita penjualan saham dari beberapa emiten oleh BPJS, mengakibatkan bursa saham melemah.
Namun seiring dengan peningkatan distribusi vaksin baik global dan domestik, kami menilai prospek saham akan kembali positif. Dalam jangka pendek, kami memperkirakan rentang pergerakan IHSG akan berada di kisaran 6,000 hingga 6,200.
Paska melemah pada bulan Maret, hingga menyentuh level imbal hasil tertinggi sejak awal tahun di 6.8%, imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun turun di awal bulan April. Kenaikan imbal hasil obligasi tersebut mengikuti kenaikan yang terjadi pada imbal hasil obligasi pemerintah AS US Treasury yang menyentuh 1.75%.
Kenaikan imbal hasil obligasi global dan domestik diakibatkan oleh meningkatnya ekspektasi pemulihan ekonomi AS, pernyataan bank sentral AS akan arah kebijakan moneter serta rencana untuk melakukan pengurangan pembelian aset atau tapering. Seiring dengan membaiknya prospek pemulihan ekonomi, maka inflasi diperkirakan akan naik lebih cepat, yang berpotensi mendorong bank sentral mengetatkan kebijakan moneter lebih cepat. Rencana stimulus tambahan Biden untuk infrastruktur juga berpotensi mendorong kenaikan imbal hasil obligasi US Treasury. Imbal hasil US Treasury 10 tahun diperkirakan akan bergerak di rentang 1.5 hingga 2% untuk jangka menengah. Hal ini diperkirakan dapat mendorong kenaikan imbal hasil domestik di kisaran 6.5 hingga 7%.
Paska melemah, Rupiah menguat tipis terhadap Dolar AS sebesar 0.24% dan berada di kisaran Rp. 14,505 di awal bulan April 2021 ini. Dengan prospek pemulihan ekonomi AS yang lebih baik dan imbal hasil obligasi US Treasury yang cenderung meningkat, US Dollar Index (DXY) terlihat menguat sejak awal tahun, yang membatasi pergerakan Rupiah. Kami memperkirakan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS akan berada di kisaran 14,500 – 14,700 dalam jangka pendek.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Jalan pemulihan ekonomi global tetap utuh, menunjuk pada rebound yang kuat dalam pendapatan perusahaan tahun ini karena ekonomi dibuka kembali lebih penuh.
– Eli Lee
Pemulihan ekonomi global dari pandemi diperkirakan terjadi di kuartal kedua 2021, karena gelombang virus musim dingin mereda dan vaksinasi meningkat. Kami memperkirakan PDB global akan berekspansi hampir 6% tahun ini - laju tercepatnya dalam lima dekade - setelah tahun lalu turun -3.4%. China dan Amerika akan memimpin rebound, dengan pertumbuhan yang sangat kuat masing-masing 8.1% dan 6% pada tahun 2021.
Namun, prospek makroekonomi yang menguntungkan aset berisiko berpotensi menghadapi tiga tantangan utama selama beberapa bulan ke depan:
Pembatasan yang diperpanjang pada aktivitas ekonomi dan sosial menimbulkan risiko bahwa Eropa akan mengalami 'musim panas yang hilang' kedua pada industri pariwisata dan perjalanan.
Dengan demikian, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi Zona Eropa akan lebih lambat, dan telah menurunkan perkiraan PDB kami untuk 2021 dari pertumbuhan 5.5% menjadi 4.5%
Kekhawatiran ini telah mendorong imbal hasil 10Y US Treasury naik dari 0.90% pada awal tahun menjadi lebih dari 1.70% karena pasar keuangan khawatir bahwa Federal Reserve akan mulai menaikkan suku bunga dari level saat ini 0.00 – 0.25% segera tahun depan.
Kami tidak begitu khawatir dengan risiko inflasi tahun ini. Ekonomi AS masih memiliki tingkat pengangguran yang tinggi dan belum pulihnya jutaan pekerjaan yang hilang selama pandemi. Kami memperkirakan Federal Reserve tidak akan mulai menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
Ketakutan ini meningkat sejak Kongres Rakyat Nasional Maret menetapkan target pertumbuhan PDB tahun ini "di atas 6%".
Kami percaya, bagaimanapun, PBoC dan pemerintah China tidak akan bertindak untuk memperlambat pertumbuhan tahun ini mengingat prospek yang masih belum pasti untuk pandemi di luar China.
Secara keseluruhan, vaksinasi Eropa, ketakutan inflasi Amerika, dan kekhawatiran utang China dapat membuat pasar keuangan volatile pada bulan April. Tetapi kami memperkirakan adanya pertumbuhan yang kuat, dengan bank sentral yang dovish dan stimulus fiskal lebih lanjut akan terus mendukung aset risiko tahun ini.
Secara garis besar, kami melihat pasar ekuitas secara relatif lebih menarik dibandingkan dengan pasar obligasi di siklus bisnis ini, karena imbal hasil ekuitas lebih tinggi dibanding imbal hasil riil. – Eli Lee
Untuk ekuitas, kami memperkirakan adanya volatilitas pasar dalam jangka pendek, terutama karena kekhawatiran inflasi yang akan memburuk di pertengahan tahun 2021 bersamaan dengan naiknya angka inflasi dibandingkan dengan angka acuan.
Kami menyarankan agar tetap berinvestasi pada aset berisiko karena prospek yang masih baik, didorong oleh vaksinasi, stimulus fiskal yang kuat dari AS dan dukungan dari mmayoritas bank sentral.
Dalam strategi alokasi aset, kami mempertahankan posisi overweight pada pasar ekuitas, terutama AS dan Asia ex-Japan. Untuk sektor, kami mempertahankan posisi overweight pada energi, finansial, industri, material, dan real estate.
Dengan distribusi vaksin dan pemulihan, kami memperkirakan keuntungan untuk S&P 500 akan rebound di 2021, didorong secara parsial oleh meningkatnya profit margins, yang akan mendukung meningkatnya ROE di level indeks, dan terutama untuk beberapa perusahaan cyclical yang cukup tertekan di 2020.
Valuasi terhadap MSCI Eropa relatif meningkat, namun investor terlihat tidak terlalu khawatir dengan third wave. Bursa Eropa juga terlihat lebih fokus terhadap saham value/cyclical yang akan diuntungkan dari pemulihan ekonomi.
Setelah peninjauan kebijakan 18-19 Maret, Bank of Japan (BOJ) memutuskan untuk menghapus lower band dari peraturan pembelian reksadana di bursa efek (ETF) yang menargetkan pembelian 6 triliun yen setiap tahunnya dengan mempertahankan pembelian maksimal di 12 triliun yen per tahun. Hal ini mensinyalkan kesiapan bank sentral untuk mendukung pasar ekuitas Jepang.
Kondisi COVID-19 di Asia sudah lebih stabil dalam beberapa bulan terakhir. Tegangan geopolitik tetap menjadi pertimbangan investor, terutama ketengagan yang meningkat antara Taiwan dan China.
Untuk kedepannya, terdapat revisi terhadap proyeksi laba per saham (earnings per share/EPS) di tahun 2021. Valuasi juga terlihat lebih layak dengan adanya koreksi terhadap harga saham.
Prospek ekonomi fundamental China tetap positif dan kami memperkirakan pemulihan untuk berlanjut di sisa 2021. Kongres Rakyat Nasional China mensinyalkan bahwa pihak yang berwenang akan mengkalibrasi usaha-usaha untuk menormalisasikan kebijakan moneter.
Kami telah menekankan empat tema investasi untuk investor:
Kami memperkirakan ekuitas sektor energi dan material memiliki valuasi yang menarik dan akan diuntungkan dari keputusan White House yang berfokus pada rencana infrastruktur untuk pembangunan, terutama pada asset-asset negara yang telah menua, serta rencana jangka panjang untuk dekarbonisasi dan sustainability.
Dampak dari fase reflasi ekonomi terhadap pasar obligasi global terlihat cukup signifikan. Imbal hasil 10Y US Treasury meningkat hingga 1.75% bulan lalu, naik lebih dari 80 basis poin sejak awal tahun.
– Vasu Menon.
Sementara itu, kurva imbal hasil US Treasury menunjukkan bahwa selisih antara imbal hasil 2Y dan 10Y berada di level terjauh nya sejak tahun 2015, seiring dengan ekspektasi pemulihan ekonomi yang semakin cepat. Volatilitas di pasar obligasi masih akan terjadi saat ini akibat pasar yang masih mencermati langkah-langkah yang diambil oleh The Fed terkait strategi bank sentral untuk mengatur dan menjaga inflasi.
Positifnya, ekspektasi atas pemulihan ekonomi dan rendahnya tren gagal bayar dunia usaha masih akan terus menopang pergerakan imbal hasil pasar obligasi. Penerbitan obligasi global saat ini masih berada di kisaran level tertingginya, ditengah suku bunga yang mulai naik.
Pertahankan durasi portofolio dibawah rata-rata, sementara tetaplah waspada untuk peluang yang dapat terbuka. Seiring dengan perkiraan kami bahwa suku bunga akan cenderung meningkat beberapa bulan kedepan, durasi portofolio yang pendek lebih dianjurkan.
Volatilitas di pasar obligasi HY China memberikan kesempatan akumulasi bagi investor. Secara bulanan, HY China mencatatkan kinerja -0.75% di bulan Maret. Likuiditas di Mainland China, tren gagal bayar dunia usaha, dan kekhawatiran atas penurunan laba perusahaan dari sektor properti saat ini menjadi kekhawatiran utama bagi investor.
Kami mempertahankan pandangan overweight kami terhadap EM HY dan underweight terhadap EM IG akibat alasan-alasan berikut ini:
Siklus kenaikan minyak memiliki ruang untuk kembali berlangsung, tetapi masih terlalu dini untuk menyebutnya sebagai siklus super. Harga minyak yang lebih tinggi akan dipengaruhi oleh tambahan pasokan yang cukup signifikan di kemudian hari, yang dapat meredam kenaikan harga. – Vasu Menon
Pandangan kami tentang minyak tetap tidak berubah, dimana akan ada pelemahan jangka pendek sebelum adanya penguatan lebih lanjut. Kami memperkirakan penurunan harga minyak baru-baru ini bersifat sementara karena OPEC+ bertindak untuk mengimbangi hambatan permintaan Uni Eropa yang disebabkan oleh kembalinya pemberlakuan lockdown. OPEC keliru di sisi kehati-hatian dengan sebagian besar memperpanjang pengurangan produksinya sampai bulan Mei, dengan Arab Saudi memperpanjang pembatasan 1 juta barel per hari secara sukarela selama satu bulan lagi.
Penguatan pada harga emas masih mungkin terjadi setelah dipengaruhi oleh kenaikan imbal hasil riil AS. Prospek imbal hasil AS berubah menjadi dua sisi dalam waktu dekat setelah pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal bulan Maret yang dovish. Kelanjutan pelemahan Dolar AS (USD) dan permintaan yang lebih kuat untuk perhiasan dari China dan India seiring dengan pulihnya pertumbuhan pasar akan mendorong harga emas kembali lebih tinggi. Permintaan fisik menunjukkan tanda-tanda kenaikan, dengan impor India kembali ke jalurnya. Kami memperkirakan harga emas akan kembali ke level USD 1850 / ons (perkiraan lama: USD 1900 / ons) dalam waktu 6 bulan sebelum turun lebih rendah ke level USD 1800 / ons (USD 1850 / ons) dalam waktu satu tahun karena fokus yang kembali bergeser demi mengantisipasi tapering The Fed dan kenaikan suku bunga.
Ada sejumlah argumen mengenai pro-USD seiring dengan kesinambungan penguatan USD di bulan Maret. Dasarnya menurut kami, adalah posisi The Fed akan:
Kenaikan imbal hasil US Treasury telah menjadi fokus pasar modal global sepanjang bulan Februari. Tren kenaikan imbal hasil sejauh ini memiliki dampak negatif bagi aset berisiko seperti saham, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran investor atas dampak dan akibat dari kenaikan imbal hasil US Treasury yang signifikan.
Dari domestik, pasar saham memeriahkan penurunan penyebaran COVID-19 dalam negeri sementara pasar obligasi terpuruk akibat kenaikan imbal hasil US Treasury. Dari segi data, rilisan PDB Q4 2020 diawal bulan Februari menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar 2.19%, lebih rendah dibandingkan estimasi analis dan juga pemerintah. Angka inflasi untuk bulan Januari juga kurang memuaskan, dimana inflasi tercatat turun dari 1.68% menjadi 1.55% secara tahunan.
Maka dari itu, upaya pemerintah untuk menopang perekonomian pun terlihat semakin besar setelah Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menambah anggaran untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari awal nya Rp 300 triliun menjadi Rp 699 triliun untuk tahun 2021. Keputusan tersebut diambil seiring dengan pemerintah yang terus menerus menilai keadaan ekonomi, dan menyetujui bahwa dibutuhkannya dana bantuan yang lebih besar jika ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi 5% tahun ini.
IHSG berhasil menguat diatas level psikolog 6,000 bulan lalu, mencatatkan penguatan sebesar 6.5% untuk menutup bulan perdagangan di rentang level 6,200 – 6,300. Proses vaksinasi yang terus berjalan masih memberikan sentimen positif bagi investor, seiring dengan turunnya angka penyebaran. Namun, pasar saham beberapa pekan terakhir terlihat bergerak sideways akibat para pelaku pasar yang masih mencari - cari katalis berikutnya yang dapat mendorong penguatan pasar saham. Meskipun demikian, kami masih melihat potensi penguatan yang cukup signifikan bagi pasar saham domestik disaat materialisasi peningkatan laba perusahaan di kuartal kedua tahun ini. IHSG diperkirakan akan diperdagangkan di rentang 6,200 – 6,500 dalam jangka pendek kedepan.
Pergerakan pasar obligasi domestik menyerupai pasar obligasi Amerika Serikat, dimana pelemahan yang signifikan terjadi di bulan Februari. Imbal hasil obligasi 10 tahun pemerintah naik 650 basis poin (6.5%) ke level 6.6% untuk menutup bulan Februari. Potensi diperlukannya stimulus yang lebih besar dapat memicu penerbitan obligasi yang lebih banyak. Pada dua sesi lelang terakhir, penawaran yang masuk lebih rendah dibandingkan rata-rata, namun masih berhasil mencatatkan rasio bid-to-cover sebesar 2.5x hingga 3x. Seiring dengan ekspektasi investor global atas pemulihan ekonomi dan inflasi yang lebih cepat, pasar obligasi masih akan tertekan beberapa waktu kedepan.
Mata uang Rupiah melemah terhadap USD sebesar 1.5% di bulan Februari dan menutup bulan di level 14,235. Keputusan Bank Indonesia, seperti yang telah diantisipasi oleh pasar untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke level 3.5% turut mendukung pelemahan mata uang domestik. Dengan naiknya juga dana program PEN, kami melihat USDIDR akan diperdagangkan di level 14,200 – 14,450 pada sisa kuartal satu 2021.
Lingkungan makro tetap positif. Dengan peluncuran vaksin yang berlanjut, mayoritas ekonomi diperkirakan akan mencapai herd immunity dalam 12-24 bulan kedepan. – Eli Lee
Tahun ini, imbal hasil obligasi pemerintah meningkat tajam, didorong oleh ekspektasi inflasi yang lebih tinggi dan prospek ekonomi yang lebih kuat, sebagaimana dijelaskan oleh faktor-faktor berikut:
Selama dekade terakhir, inflasi inti berada di bawah target The Fed sebesar 2%. Dengan demikian, bank sentral saat ini siap untuk membiarkan inflasi cukup melebihi target 2% hingga setahun penuh sebelum mempertimbangkan untuk meningkatkan suku bunga The Fed dari kisaran 0.00-0.25%.
Kami memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah akan meningkat selama 2021. Kami memperkirakan imbal hasil 10Y US Treasury mencapai 1.90% selama 12 bulan ke depan.
Bantuan darurat dari pemerintahan Biden masih akan memberikan stimulus skala besar untuk pemulihan AS. Pada saat yang sama, The Fed telah mentolerir kenaikan imbal hasil tahun ini karena tingkat Treasury berada di tingkat yang sangat rendah.
Dalam waktu dekat, lonjakan imbal hasil US Treasury dapat meningkatkan risiko volatilitas di pasar keuangan. Tetapi penguatan yang terlihat dalam aset risiko selama setahun terakhir berpotensi berlanjut lebih dari 2021, karena sikap The Fed yang sangat dovish terhadap inflasi dan pengangguran kemungkinan akan mencegah penjualan besar di pasar obligasi pemerintah. Dengan demikian, imbal hasil 10Y US Treasury dapat naik lebih jauh tetapi masih berada di level terendah secara historis di bawah 2.00%.
Dengan demikian, perkiraan kami untuk imbal hasil 10Y US Treasury yang akan meningkat ke level 1.9% tampaknya akan menjadi ancaman jangka pendek bagi pemulihan ekonomi global. Tetapi kami berharap The Fed akan melakukan sesuatu jika aset risiko turun dengan tajam, misalnya dengan menunda dimulainya tapering.
Source: Bank of Singapore
Kenaikan lebih lanjut pada imbal hasil dapat menyebabkan lebih banyak volatilitas pada pasar ekuitas kedepan, kami tidak memperkirakan bahwa peningkatan imbal hasil akan menggagalkan kenaikan pasar pasca pandemi dalam jangka panjang. – Eli Lee
Dalam beberapa pekan terakhir, fokus investor global tertuju pada peningkatan imbal hasil US Treasury dan juga ekspektasi akan pemulihan inflasi; yang telah menciptakan volatilitas di pasar. Namun, kami percaya bahwa The Fed masih akan mempertahankan kebijakan yang sangat akomodatif, dan perkembangan seputar proses vaksinasi global akan menjadi katalis positif bagi aset berisiko.
Saham-saham “Cyclical” dan “Value” akan memberikan peluang yang sangat menarik, seiring dengan meningkatnya kepercayaan investor terhadap perekonomian yang didorong oleh proses vaksinasi global yang lancar. Maka dari itu, saat ini kami overweight terhadap sektor Energi, Keuangan, Industri & Industri Dasar, dan Properti. Dari segi regional, kami mempertahankan pandangan overweight kami terhadap Amerika Serikat dan Asia ex-Japan.
Kami masih netral terhadap Eropa, namun overweight terhadap pasar saham Inggris; dimana valuasi terlihat lebih rendah dan prospek ekonomi yang semakin cerah. Untuk China, kami cenderung menyukai saham onshore A-shares (saham yang terdaftar di lantai bursa China) karena memberikan peluang yang lebih besar bagi saham-saham korporasi yang akan berperan dari pertumbuhan structural jangka panjang, dan yang lebih tidak dipengaruhi oleh tensi yang meningkat dengan Amerika Serikat.
Secara keseluruhan, walaupun kenaikan imbal hasil US Treasury masih dapat terjadi dan akan tetap memicu volatilitas, kami menilai hal ini tidak akan terlalu membebani potensi penguatan jangka panjang pasar saham global seusai pandemi COVID-19.
Dengan mayoritas laporan keuangan korporasi untuk Q4 2020 yang positif, kami melihat konsensus pendapatan dunia usaha di 2021 kini meningkat. Kami percaya bahwa perusahaan, terutama di sektor “cyclical”, akan fokus pada peningkatan laba dan margin perusahaan.
Seiring dengan masih berjalannya laporan keuangan korporasi Q4 2020, kami melihat sejauh ini laporan keuangan cukup memuaskan. 62% dari total perusahaan yang telah melaporkan berhasil mengalahkan estimasi, sementara 17% melaporkan dibawah estimasi. Akan tetapi, pergerakan pasar saham terlihat cukup tertekan, mengindikasikan bahwa laporan keuangan Q4 2020 yang positif sudah diperhitungkan oleh pasar di level saat ini.
Di Asia, pasar saham terlihat berada di level yang sehat saat ini. Melihat situasi COVID-19 di Asia, kami melihat tingkat penyebaran di berbagai ekonomi utama, terutama di Asia ex-Japan telah berhasil turun cukup signifikan dan terlihat cukup stabil. Proses vaksinasi di negara-negara Asia yang sedang berjalan telah mendorong optimisme para pelaku pasar, walaupun proses vaksinasi itu sendiri masih terlihat cukup lambat di beberapa negara.
Sementara di China, naiknya imbal hasil US Treasury dan juga kebijakan moneter China yang mulai normal dapat menahan peningkatan valuasi dunia usaha. Maka dari itu, pertumbuhan laba akan menjadi kunci utama yang akan mendorong kinerja pasar saham. Sektor-sektor seperti Energi dan Industri Dasar sejauh ini menunjukkan pemulihan dari segi laporan keuangan yang paling baik.
Mengingat proyeksi kami yang meningkat ke 1.9% untuk imbal hasil 10Y US Treasury dalam 12 bulan, kami menurunkan posisi kami pada obligasi negara berkembang (EM) investment grade (IG), dari netral menjadi underweight dalam seluruh strategi alokasi aset kami. – Vasu Menon
Pasar obligasi menghadapi tantangan karena kenaikan imbal hasil. Namun demikian, kami mempertahankan posisi dalam strategi alokasi aset kami, termasuk posisi overweight dalam (EM) High Yield (HY), yang masih menawarkan imbal hasil yang menarik dan akan diuntungkan dari aksi pencarian imbal hasil oleh investor.
Walaupun, kami mempertahankan posisi underweight, baik pada obligasi investment grade (IG) negara maju (DM) dan negara berkembang (EM), yang saat ini menghadapi hambatan dari semakin curam nya kurva imbal hasil.
Kami telah menurunkan posisi obligasi pada EM IG menjadi underweight dari netral, seiring pandangan kami akan kenaikan imbal hasil US Treasury untuk 12 bulan kedepan.
Pada tahun 2021, suku bunga mendominasi kinerja berbagai segmen obligasi. Ada hampir 100% korelasi antara obligasi dengan durasi yang lebih tinggi dan kinerja yang lebih lemah, dengan segmen obligasi dengan durasi terendah - US HY - memiliki kinerja terbaik. Ini diikuti oleh EM HY, EM IG dan US IG (durasi tertinggi dan performa terburuk).
Dengan hampir 11 juta orang Amerika yang kehilangan pekerjaan disaat pandemi COVID-19, kami percaya bahwa Fed akan terus akomodatif dan akan mendukung pergerakan obligasi. Peluncuran vaksin dan pembukaan ekonomi harus mendukung pertumbuhan, sementara fundamental dari bawah ke atas tetap lebih dari cukup dengan tingkat default di bawah rata - rata.
Karena durasinya pendek, obligasi HY China tidak terlalu terpengaruh oleh kekhawatiran kenaikan suku bunga jangka panjang, tetapi lebih banyak kekhawatiran kredit menyusul potensi gagal bayar di dalam negeri yang akan terjadi saat jatuh tempo. Bulan ke bulan, segmen China HY hanya menghasilkan + 0.009% di bulan Februari sementara rata-rata YTW (Yield – to Worst) berada di 8.5% pada 25 Februari dibandingkan dengan segmen geografis utama lainnya di Asia.
Kami mempertahankan posisi overweight di EM HY. Dari sisi valuasi, tampaknya segmen tersebut paling menarik. Selain itu, komponen kredit yang lebih tinggi harus menyediakan cadangan lebih terhadap keyakinan kami akan potensi kenaikan suku bunga dalam beberapa bulan mendatang. Kami menurunkan rekomendasi kami pada EM IG menjadi underweight berdasarkan alasan berikut:
Mengingat meningkatnya imbal hasil US Treasury, kami telah memangkas target harga emas 6 bulan menjadi USD 1,900 / ons dan target 12 bulan menjadi USD 1,850 / ons. – Vasu Menon
Pengetatan pasokan pasar minyak lebih cepat dari yang diharapkan. Upaya OPEC + untuk menahan pasokan minyak, bersama dengan permintaan minyak global yang lebih kuat, telah mendorong minyak mentah Brent di atas USD 60 / barel, sebagian besar menghapus kerugian yang ditimbulkan COVID-19. Kami menaikkan perkiraan minyak Brent untuk 6 dan 12 bulan masing-masing menjadi USD 72 / barel. Perubahan perkiraan mengantisipasi kenaikan harga minyak jangka pendek lebih lanjut sebelum harga minyak stabil pada akhir tahun 2021.
Ini adalah masa-masa yang menantang untuk komoditas seperti emas karena peningkatan imbal hasil US Treasury sehingga membuat lebih mahal untuk menyimpan emas. Tampaknya, untuk margin, emas juga menghadapi persaingan dari aset alternatif lain seperti Bitcoin. Meskipun kami melihat investasi dalam cryptocurrency sebagai perdagangan spekulatif, besarnya arus masuk kemungkinan telah mengurangi emas. Oleh karena itu, kami memangkas target harga emas 6 bulan menjadi USD 1,900 / ons dan target 12 bulan menjadi USD 1,850 / ons dari sebelumnya USD 2,100 / ons untuk keduanya.
Perputaran dalam imbal hasil US Treasury menyebabkan pasar mata uang mengalihkan fokus dari pendorong pemulihan-sentris ke argumen berbasis imbal hasil. Peningkatan volatilitas suku bunga telah menyebabkan gejolak pasar dan mengurangi selera risiko. Ini akan memacu beberapa permintaan safe-haven untuk Dolar AS (USD) seiring dengan menjaga siklus di bawah tekanan. Dengan demikian, ada ruang bagi USD untuk memperoleh keuntungan lebih lanjut dalam waktu dekat.
Pemulihan ekonomi menjadi penantian utama di tahun 2021 setelah kontraksi yang terjadi tahun sebelumnya. Berbagai kebijakan fiskal dan moneter, serta vaksinasi yang sudah berjalan diharapkan menjadi katalis yang akan mendorong pemulihan.
Melihat AS, kondisi pasar tenaga kerja masih mencatatkan pertumbuhan yang moderat. Inflasi pun masih jauh dibawah target 2%, yang membuat The Fed masih akan mempertahankan kebijakan suku bunga rendah. Paket stimulus fiskal senilai USD 1.9 triliun yang saat ini sudah disetujui DPR AS diharapkan dapat mendongkrak pemulihan ekonomi.
Perbaikan ekonomi juga terlihat dari aktivitas manufaktur mayoritas kawasan Asia yang menunjukkan ekspansi, meski beberapa melambat jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Bank Sentral China (PBoC) memutuskan untuk memperketat kebijakan moneter dengan cara menarik dana dari sistem perbankan. Hal tersebut dilakukan untuk memitigasi risiko terhadap sistem keuangan, dan PBoC akan tetap mendukung perekonomian melalui kebijakannya.
Dari dalam negeri, rilisan data periode Januari 2021 menunjukkan kuatnya fundamental Indonesia ditengah pandemi. PMI manufaktur berekspansi sebesar 52.2 dan cadangan devisa berhasil mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah sebesar USD 138 miliar. Sepanjang 2020, Produk Domestik Bruto (PDB) dirilis terkontraksi -2.70%. Secara keseluruhan, fundamental Indonesia yang baik ditengah proses vaksinasi diharapkan dapat menjadi katalis positif bagi pemulihan ekonomi.
Fenomena January Effect hanya bertahan di 2 minggu pertama di bulan Januari, dan tidak cukup kuat untuk membawa IHSG menguat hingga di penghujung bulan dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan penurunan -1.95% di bulan Januari. Penguatan yang terjadi sejak awal bulan akibat optimisme vaksinasi perdana di Tanah Air, membuat para investor merealisasikan keuntungan di minggu terakhir. Dalam jangka pendek, kami melihat volatilitas pada pasar saham tetap ada, dengan kasus harian COVID-19 yang masih tinggi. Namun, proses vaksinasi serta dukungan Pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi diharapkan dapat memberikan sentimen positif bagi pasar dalam jangka panjang.
Pasar obligasi cukup tertekan selama bulan Januari, imbal hasil pemerintah tenor 10 tahun naik sebesar 5.45% ke level 6.21%. Kami menilai pasar obligasi masih cukup menarik untuk level saat ini, dengan adanya ruang untuk pemangkasan suku bunga acuan, dengan rendahnya inflasi dan Rupiah yang relatif stabil menguat. Pemerintah dan Bank Indonesia akan terus melakukan sinergi kebijakan makroekonomi yang akomodatif untuk mendukung pemulihan. Kami memperkirakan imbal hasil obligasi akan berada di kisaran 6.00-6.20 untuk kuartal pertama tahun ini.
Mata uang Rupiah mengalami penguatan sebesar 0.15% terhadap USD, berhasil ditutup dibawah level 14,000. Rupiah diperkirakan masih dapat menguat, ditambah dengan prospek stimulus fiskal AS membuat berkurangnya permintaan mata uang USD sebagai safe haven.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISPPemulihan global secara keseluruhan diperkirakan dengan ekonomi negara maju akan berekspansi sebesar 5.3%, dan negara berkembang akan rebound sebesar 6.3% di 2021. – Eli Lee
Di tahun 2021 ini, pemulihan ekonomi global diperkirakan akan berekspansi dengan kecepatan tercepat dalam lima dekade, seiring dengan vaksin, stimulus moneter dan fiskal, imbal hasil obligasi pemerintah yang rendah, dan USD yang lebih lemah. Hal-hal tersebut akan memacu rebound yang kuat pada pertumbuhan global, dipimpin oleh China dan AS. Gelombang virus, kemunduran vaksin, inflasi yang rendah, dan pengetatan moneter adalah beberapa ancaman potensial. Namun, prospek makroekonomi cenderung mendukung aset berisiko.
Faktor yang dapat mendukung pemulihan di 2021:
Pandemi yang menyebabkan lockdown di 2020 diperkirakan mendorong era reflasi yang kuat di 2021.
Stimulus fiskal AS dan zona Eropa ditetapkan untuk mendorong pemulihan ekonomi di 2021.
Paket USD 1.9 trilun dari pemerintahan Biden mengubah perkiraan kami untuk pertumbuhan AS di 2021 dari 5.0% meningkat menjadi 6.0%.
Sementara dana pemulihan € 750 miliar Uni Eropa akan memberikan dorongan lebih dari 2% dari PDB setahun untuk ekonomi Zona Euro.
Kami memperkirakan Federal Reserve tidak akan memulai tapering, dan mempertahankan laju quantitative easing (QE) sampai 2022, karena tingkat ketenagakerjaan dan inflasi inti AS yang dibawah target bank sentral sebesar 2%.
Bank Sentral Eropa (ECB) tidak mungkin menskalakan kembali Program Pembelian Darurat Pandemi € 1,85 triliun, mengingat inflasi inti saat ini jauh dari target 2% ECB.
Tingkat inflasi yang sangat rendah di Cina, Jepang, dan Inggris juga akan memungkinkan People's Bank of China, Bank of Japan (BoJ) dan Bank of England (BoE) untuk menahan kenaikan suku bunga pada tahun 2021.
Kombinasi bank sentral yang menjaga suku bunga mendekati 0% (seperti The Fed, ECB, BoJ dan BoE) dan pemerintah yang melakukan stimulus fiskal lebih lanjut dan dapat mendorong imbal hasil obligasi jangka panjang ke level yang lebih rendah.
USD diperkirakan akan tetap lemah pada tahun 2021 karena investor mengurangi permintaan USD sebagai safe-haven, dan karena The Fed akan menjaga suku bunga rendah saat ini untuk mendorong inflasi kembali ke tingkat rata-rata 2%.
Pemuilhan global cenderung berbasis luas dengan perkiraan ekonomi maju akan berekspansi sebesar 5.3%, dan ekonomi negara berkembang akan rebound sebesar 6.3% pada tahun 2021. – Eli Lee
Kami melihat situasi pasar saham global saat ini cukup kondusif, didorong oleh proyeksi pemulihan ekonomi yang membaik, kebijakan moneter yang akomodatif, distribusi vaksin COVID-19 yang sejauh ini lancar, dan juga era reflasi yang telah dimulai.
Pandangan konstruktif kami dapat terlihat lewat posisi overweight terhadap AS dan Asia ex-Japan. Dari segi sectoral, kami cenderung lebih menyukai finansial dan industrial, dan masih mempertahankan overweight juga terhadap sektor properti, industri dasar, dan energi. Namun, jalur pemulihan sendiri tidak akan terlalu mulus, seiring dengan masih adanya beberapa ketidakpastian di pasar.
Pemulihan ekonomi global akan menyebar, dengan ekonomi negara maju diproyeksikan untuk tumbuh 5.3%, sementara ekonomi negara berkembang sebesar 6.3% di tahun 2021.
Dengan berlalu nya proses pelantikan Joe Biden, kami percaya kini peluang di AS akan lebih terbuka bagi sektor-sektor Cyclical dan Value, sementara sektor Growth akan cukup complex dengan ketidakpastian tersendiri.
Pandangan kami terhadap pasar saham AS saat ini masih konstruktif, walaupun penyebaran COVID-19 masih tinggi sehingga masih akan memicu volatilitas jangka pendek di pasar. Kombinasi antara pemulihan ekonomi dan tingkat inflasi yang mulai pulih dari level terendahnya akan menopang kinerja pasar saham. Dan terutama dengan kondisi ekonomi yang saat ini, kami percaya bahwa bank sentral AS The Fed masih akan mempertahankan kebijakan moneter yang longgar untuk mensupport pasar saham.
Walaupun perkembangan seputar vaksin sejauh ini positif, tingkat keyakinan konsumen di beberapa negara inti seperti Perancis dan Jerman cukup tertekan akibat kebijakan lockdown. Tidak dapat dipungkiri bahwa akan ada potensi terjadinya koreksi terhadap pasar saham, sebelum distribusi vaksin yang lebih besar.
Saat ini kami masih netral terhadap pasar saham kawasan Eropa, sementara untuk pasar saham Inggris kami semakin positif, seiring dengan kesepakatan Brexit yang baru dicapai pada Desember 2020.
Kami masih mempertahankan posisi dan pandangan kami terhadap saham-saham pertumbuhan (Growth Stocks), namun juga percaya akan adanya rotasi sektoral; dimana sektor yang tahun lalu underperform (dan memiliki valuasi yang kurang menarik) memiliki potensi yang cukup baik tahun ini seperti sektor energi, finansial, industrial, dan properti.
Indeks MSCI Asia ex-Jepang terlihat masih melanjutkan tren penguatannya di tahun 2021, dan mencatatkan kinerja yang terbaik dibandingkan regional lainnya. Penguatan terutama didorong oleh penguatan pasar saham China.
Kami mempertahankan preferensi kami terhadap saham-saham A-shares (saham korporasi China yang terdaftar di lantai bursa China). Kami percaya A-shares memiliki prospek yang lebih baik dengan adanya pertumbuhan struktural jangka panjang, dan akan lebih tidak terpengaruhi oleh tensi antara AS dengan China.
Walaupun potensi koreksi jangka pendek masih akan ada, kami percaya bahwa pelemahan akan memberikan peluang bagi investor untuk kembali mengakumulasi saham-saham yang akan dapat diuntungkan dari perubahan tren structural dan kebijakan pemerintah yang akomodatif dalam “Five Year Plan” ke-14 pemerintah China.
Pada instrumen pendapatan tetap, kami mempertahankan pandangan yang positif pada obligasi High Yield (Non-Investment Grade) negara berkembang, yang akan diuntungkan dari kebutuhan investor akan imbal hasil yang tinggi - Vasu Menon
Awal tahun 2021 tidak memberikan keuntungan kepada instrumen pendapatan tetap, kondisi ini tercermin dari pergerakan harga obligasi High Yield dan Investment Grade yang berasal dari negara berkembang, yang rata – rata mengalami penurunan -0.1%, sementara obligasi AS mengalami penurunan -0.8%.
Walaupun sejauh ini, arus modal masuk kepada obligasi negara berkembang relatif masih cukup besar, baik ke dalam mata uang utama atau mata uang lokal, jumlah yang masuk di bulan pertama 2021 hampir menyamai total arus masuk sepanjang 2020.
Tingkat default pasar negara berkembang (Emerging Market) relatif rendahMeskipun kita mungkin telah mengalami resesi terburuk dalam hampir satu abad, namun kondisi ini tidak tercermin dalam tingkat gagal bayar EM. Tingkat gagal bayar EM High Yield di akhir tahun 2020 di bawah 3%, di bawah rata-rata jangka panjang. Rasio gagal bayar saat ini telah menurun dan tidak menunjukkan peningkatan ke arah default dalam waktu dekat.
Persingkat durasiSelama beberapa minggu terakhir, imbal hasil obligasi AS telah naik dan kurva imbal hasil menunjukkan antisipasi adanya peningkatan pengeluaran fiskal, seiring usulan paket bantuan stimulus COVID-19 senilai USD 1.9 triliun, yang diharapkan dapat mendorong pemulihan ekonomi melalui peningkatan konsumsi, sehingga berangsur dapat mengakhiri tren suku bunga rendah. Menjaga durasi portfolio yang lebih rendah akan lebih bijak dilakukan dalam kondisi saat ini.
Pertahankan posisi overweight pada obligasi “High Yield” (Non-Investment Grade)Kami mempertahankan posisi overweight pada obligasi HY negara berkembang, namun netral pada obligasi Investment Grade. Dengan kondisi risk on seperti saat ini, obligasi korporasi non-IG negara berkembang dinilai baik untuk disimpan, karena akan memberikan keuntungan lebih. Disamping itu, jika dibandingkan dengan obligasi korporasi non-IG milik AS dan rata- rata secara historis, valuasinya jauh lebih menarik.
Kami merevisi naik perkiraan harga minyak seiring dengan aturan suplai OPEC+ dan permintaan komoditi AS yang tinggi – Vasu Menon
Kami merevisi naik perkiraan harga minyak. Industri minyak AS sedang mempersiapkan diri untuk periode pergolakan setelah pelantikan Joe Biden sebagai presiden. Salah satu langkah pertamanya adalah memblokir proyek pipa Keystone. Biden juga mengatakan bahwa beliau akan berusaha membatasi aktivitas pengeboran di darat dan perairan federal. Langkah-langkah awal yang diambil oleh pemerintahan Biden mungkin tidak berdampak pada aktivitas produsen jangka pendek AS, tetapi kemungkinan akan menjaga pertumbuhan pasokan agar tetap terkendali dalam jangka panjang.
Emas telah berusaha untuk pulih melewati level psikologis USD 1.850 / ons, tertahan oleh kekhawatiran rencana awal tapering Federal Reserve. Kami tidak berpikir bahwa Fed akan mulai memperlambat atau menurunkan laju pelonggaran kuantitatif saat ini dari USD 120 miliar sebulan terhadap pembelian obligasi hingga 2022. Hal ini disebabkan karena tingkat pengangguran AS ditetapkan harus di atas skenario tingkat pekerjaan penuh - yaitu tingkat pengangguran sekitar 3.5% - untuk beberapa tahun ke depan. Demikian pula, kami tidak mengharapkan Fed untuk mulai menaikkan suku bunga The Fed dari kisaran 0.00-0.25% hingga akhir tahun 2024 atau 2025.
Kami memperkirakan dinamika bank sentral relatif mempengaruhi pasar mata uang. Bank sentral utama masih dalam skenario ultra akomodatif. Namun, ada tanda-tanda bahwa beberapa bank sentral mungkin keluar (atau mengisyaratkan keluar) lebih awal daripada yang lain. Retorika dari Fed dan ECB menunjukkan bahwa mereka akan tetap berada pada spektrum ekstrim yang dovish, terutama setelah kekhawatiran baru atas momentum pemulihan di AS dan Eropa.
Secara keseluruhan, perkirakan arah jangka pendek USD akan dipengaruhi oleh pasar ekuitas, terutama untuk pasangan mata uang yang sensitif terhadap risiko seperti AUD/USD. Lebih jauh, kami masih belum mendeteksi kemajuan yang cukup pada pertumbuhan AS dan pengurangan Fed untuk membangun analisa kuat - USD yang koheren. Pergerakan USD saat ini merupakan hasil konsolidasi yang terbaik.
New Year, New Hope
Dengan semakin dekatnya tenggat waktu hasil voting final dari Pilpres AS di bulan Desember, hampir dapat dipastikan bahwa Joe Biden terpilih menjadi Presiden AS ke-46. Dengan terpilihnya Joe Biden, diperkirakan AS akan mengadopsi pendekatan kesepakatan dagang yang lebih diplomatis dan tidak terlalu keras terhadap beberapa mitra dagang AS khususnya China. Selain itu, wacana penunjukan Janet Yellen sebagai Menteri Keuangan dalam era Joe Biden, dapat menjadi katalis positif untuk perekonomian AS. Janet Yellen, sebagai mantan Gubernur Fed, terkenal memiliki pandangan yang sangat dovish dalam kebijakan suku bunga acuan, yang sangat diperlukan untuk menopang proses pemulihan ekonomi saat ini. Selain itu, wacana stimulus saat ini masih menjadi pembicaraan yang belum menemukan kata sepakat antara partai Republik dengan partai Demokrat. Perbedaan jumlah stimulus menjadi hambatan dalam merealisasikan stimulus tersebut.
Dari risiko pandemi, jumlah kasus infeksi COVID-19 secara global telah mencapai 68 juta jiwa dengan AS masih menjadi negara dengan tingkat infeksi tertinggi dengan capaian kasus mencapai 15 juta jiwa. Beberapa analis sendiri melihat risiko peningkatan akan terus terjadi akibat libur Thanksgiving dan seiring AS memasuki masa musim dingin. Namun demikian, para pelaku pasar terlihat telah mengantisipasi risiko ini, terutama dengan keberhasilan uji coba sejumlah perusahaan farmasi seperti Pfizer/ BioNTech dan Moderna. Bahkan, beberapa produsen vaksin telah memproduksi dan berhasil mendistribusikan vaksin ke sejumlah negara di awal bulan Desember. Perusahaan farmasi seperti Astra Zeneca, yang walaupun efektivitas vaksinnya tercatat lebih rendah dibandingkan kedua perusahaan lainnya, vaksin Astra Zeneca memiliki keunggulan dalam hal penyimpanan vaksin, proses distribusi, serta harga yang lebih terjangkau, sehingga menjadi pilihan utama negara-negara di dunia yang saat ini berperang dengan pandemik.
Sementara itu di Eropa, meningkatnya infeksi COVID-19 dan ketidakpastian atas hubungan Inggris-Uni Eropa pasca Brexit masih menjadi fokus para pelaku pasar saat ini. Inggris sendiri diberitakan akan menjadi negara pertama yang akan melakukan vaksin masal dalam waktu dekat. Kebijakan pembatasan sosial ataupun karantina wilayah di Eropa kembali menekan aktivitas ekonomi. Sejumlah indikator ekonomi seperti kegiatan manufaktur dan ketenagakerjaan kembali mencatatkan kontraksi. Bank sentral Eropa diperkirakan akan tetap mengucurkan stimulus untuk mendorong proses pemulihan perekonomian di kawasan ini.
Beralih ke regional, dari negara dengan perekonomian terbesar di Asia, China merupakan negara satu-satunya yang diperkirakan akan menutup tahun 2020 ini dengan pertumbuhan ekonomi yang positif. Indikator ekonomi China masih menunjukkan level yang cukup resilient di tengah resesi ekonomi secara global. China sendiri diperkirakan akan mencapai puncak pemulihan ekonominya pada kuartal I di 2021 mendatang. Akan tetapi, wacana pemerintah China untuk menetapkan regulasi baru (SAMR) terkait undang-undang anti-trust perusahaan yang bergerak di bidang internet dapat memberikan sentimen negatif untuk beberapa perusahaan e-commerce di China. Risiko jangka pendek juga terlihat dari tereskalasinya ketegangan perang dagang terhadap China akhir-akhir ini.
Di dalam negeri, indikator ekonomi yang dirilis pada akhir November bulan lalu telah menunjukkan pemulihan yang berkelanjutan dan telah memberikan dukungan untuk pasar modal domestik. Angka neraca pembayaran untuk Q3 2020 menunjukan surplus sebesar USD 2.1 miliar dan hal ini menunjukan ketahanan ekonomi Indonesia sangat baik. Dari sisi konsumsi, inflasi bulan November menunjukan kenaikan dari level 1.44% di bulan Oktober menjadi 1.59% dan hal ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat lokal menunjukan peningkatan. Berbagai upaya kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia cukup memberikan keyakinan terhadap keberlangsungan perbaikan perekonomian, dan terbukti juga untuk data aktivitas PMI Manufaktur bulan November yang menunjukkan ekspansi dari sebelumnya di level 47.8 menjadi 50.6. Selain itu, cadangan devisa bank sentral kembali mencatatkan sedikit penurunan bulanan karena pembayaran utang luar negeri, turun sebesar USD 100 juta pada November 2020 dan saat ini berada di USD 133.6 milyar.
Equity Market
Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG pada bulan November lalu mencatatkan penguatan bulanan tertinggi sepanjang tahun 2020 sebesar 9.44%. Namun, sejak awal tahun IHSG masih membukukan pelemahan sebesar 10.9%. Kembalinya minat risiko investor didukung oleh perkembangan positif vaksin COVID-19 dalam negeri dan berlimpahnya likuiditas global berhasil mendorong kinerja pasar saham. Secara fundamental, kedua hal ini diperkirakan masih akan mendukung kinerja pasar saham di akhir tahun atau window-dressing. Di tengah risiko terus meningkatnya jumlah kasus COVID-19 terutama akibat pilkada dan masa liburan panjang, hal ini meningkatkan risiko kembalinya pembatasan sosial, yang jika terjadi dapat mengakibatkan koreksi teknis pada pasar saham. Koreksi ini dapat dimanfaatkan oleh investor untuk kembali mengakumulasi kelas aset secara bertahap.
Kedepannya, dengan jumlah ketersediaan vaksin dalam negeri yang diperkirakan akan semakin meningkat di awal tahun, minat risiko diperkirakan akan terus membaik. Likuiditas yang berlimpah, suku bunga rendah, perbaikan laba korporasi, dan Omnibus Law akan mendukung kinerja IHSG untuk kembali di kisaran 6,500 – 6,800 di 2021.
Bond Market
Kinerja positif juga terlihat pada pasar obligasi, dengan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun turun dari level 6.6% ke kisaran level 6.1% pada akhir bulan November lalu. Beberapa hal telah mendukung pasar obligasi pada awal Q4 2020 seperti penguatan Rupiah juga berperan sangat penting bagi pasar obligasi pada Oktober dan awal pekan November lalu. Kemudian, dengan risk appetite para investor global yang mulai meningkat seiring dengan perkembangan positif vaksin, maka Indonesia sebagai negara EM akan diuntungkan dengan limpahan aliran dana asing. Real yield yang menarik, lingkungan suku bunga rendah serta rendahnya imbal hasil obligasi global mendorong kenaikan permintaan obligasi pemerintah.
Pada dua lelang terakhir dari obligasi pemerintah pada 17 Nov dan 1 Des 2020, tercatat total penawaran yang masuk mencapai Rp 198.9 triliun, dengan jumlah yang diserap sebesar Rp 50.2 triliun. Kenaikan permintaan ini menunjukkan tingginya minat investor terhadap obligasi domestik, pasca pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia dari level 4% menjadi 3.75%. Kedepannya, kami menilai imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun berpotensi berada di kisaran 5.8% hingga 6.2% di 2021, terutama dengan potensi pemangkasan suku bunga lanjutan oleh Bank Indonesia.
Currency Market
Mata uang dalam negeri, Rupiah saat ini sedang menunjukkan kinerja terbaiknya di tahun 2020 seiring dengan meningkatnya sentimen dalam negeri. Rupiah menguat 3.55% terhadap USD pada bulan November 2020, menutup bulan di level 14,120 per USD, dan saat ini diperdagangkan pada 14,110 per USD per 10 Desember 2020. Indeks Dolar AS atau US Dollar Index DXY melemah hingga menyentuh level 90.7 di awal bulan Desember. Pencalonan Janet Yellen sebagai Menteri Keuangan AS, mendorong ekspektasi suku bunga rendah yang lebih lama hingga ke tahun 2025. Hal ini mengakibatkan Dolar AS melemah, seiring dengan kembalinya minat risiko investor ke mata uang dan aset berisiko, terutama ke emerging currency, dalam hal ini termasuk Rupiah. Namun di saat yang sama, tentunya penguatan yang terlalu tinggi dapat membebani kinerja ekspor dalam negeri, sehingga dengan adanya potensi lanjutan pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia untuk menahan penguatan mata uang, kami memperkirakan USD/IDR dapat diperdagangkan di kisaran 13,800 – 14,300 hingga awal 2021.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
GLOBAL OUTLOOK
Harapan baru di tahun baru
Memasuki 2021, jalan untuk menuju pemulihan yang didorong oleh vaksin di tahun baru terlihat semakin jelas, meskipun adanya tantangan dalam jangka pendek seiring dengan lonjakan kasus COVID-19 di AS, Eropa, Jepang, dan Inggris. – Eli Lee
Tahun yang baru kemungkinan akan membawa harapan baru bagi perekonomian dunia. Prospek makro ekonomi akan mendukung pasar keuangan karena pertumbuhan global yang rebound dengan kuat di 2021, vaksin baru yang akan mencegah gelombang virus, bank sentral tetap sangat dovish, ketidakpastian politik di AS, Eropa, dan Asia mereda, imbal hasil obligasi pemerintah tetap rendah, dan USD akan melanjutkan pelemahan dan keuntungan bagi aset berisiko.
Prospek reflasi yang kuat
Seiring dengan adanya guncangan terburuk pada perekonomian global sejak 1930s Great Depression, pandemi COVID-19 yang mengakibatkan lockdown di tahun 2020 akan memberi jalan bagi kebijakan reflasi yang sangat kuat di 2021.
Masih ada beberapa risiko dalam jangka pendek sebelum tahun ini berakhir. AS, Inggris, Zona Eropa, dan Jepang sedang mengalami gelombang virus kedua atau ketiga. Selain itu, Uni Eropa dan Inggris harus menyepakati perjanjian perdagangan sebelum akhir Desember, untuk menghindari “no deal” ketika pandangan mereka saat ini berakhir di akhir tahun 2020. Terakhir, Presiden Trump masih belum mengakui hasil pemilihan presiden AS.
Ekonomi yang rebound dengan kuat di 2021
Meskipun ada beberapa risiko, pasar keuangan ke depan cenderung tidak akan melihat ancaman jangka pendek, dan sebaliknya akan berfokus pada prospek jangka panjang yang menguntungkan aset berisiko di tahun 2021.
Pertama, ekonomi global diperkirakan akan rebound sangat kuat di tahun baru karena distribusi vaksin yang memungkinkan konsumen untuk belanja dengan bebas lagi, melepaskan pent up demand dari lockdown tahun ini.
Kami memproyeksikan perekonomian dunia akan berekspansi sebesar 5.6% di tahun 2021 setelah terkontraksi -4.1% di 2020. Ini akan menjadi laju pertumbuhan yang jauh lebih cepat dibanding tingkat rata-rata tahunan sebesar 3.5% yang dicapai oleh ekonomi dunia selama lima dekade terakhir.
Lebih lanjut, pemulihan global cenderung berbasis luas. Kami memproyeksikan China akan terus memimpin rebound dengan PDB yang ditetapkan untuk bertumbuh 8.1% di 2021 setelah ekspansi sebesar 2.5% di tahun 2020.
Sama hal nya, kami melihat ekonomi negara-negara emerging di Asia akan rebound sebesar 7.9% untuk tahun depan, dibandingkan dengan kontraksi sebesar -7.4% tahun ini.
Ekonomi negara maju juga diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang kuat di 3032. Kami memperkirakan AS, Zona Eropa, Jepang dan Inggris akan berekspansi sebesar 5.0%, 3.6% dan 4.7%.
Pasar keuangan mengalami ketidakpastian lebih lanjut. Pemilihan umum di AS telah berlalu, namun perhitungan suara di beberapa negara bagian sedang ditantang di pengadilan. Selain itu, AS, Inggris dan Zona Eropa sedang dilanda gelombang virus baru.
Tetapi begitu hasil pemilu AS jelas, pasar keuangan akan kembali fokus pada prospek yang menguntungkan untuk aset berisiko, yang didukung oleh pemulihan global, vaksin yang akan datang, bank sentral yang sangat dovish, imbal hasil obligasi yang rendah, dan pelemahan USD.
Perkembangan positif akan vaksin
Kedua, perkembangan vaksin yang potensial akan mencegah gelombang virus baru dalam beberapa kuartal ke depan.
Pemerintah telah menjadi lebih efektif dalam mengelola gelombang virus baru, bahkan sebelum distribusi vaksin dimulai di 2021.
Selama lockdown pertama pada musim semi di 2020, aktivitas ekonomi terkontraksi seiring dengan sekolah, pabrik, perkantoran, restoran dan tempat rekreasi yang ditutup. Namun dalam lockdown kedua yang terjadi di musim dingin ini, pemerintah di AS, Eropa dan Jepang telah membatasi gym, acara olahraga, makan indoor dan hiburan lainnya, namun telah memperbolehkan sekolah, pabrik dan beberapa perkantoran untuk tetap buka.
Indeks manajer pembelian - indikator aktivitas ekonomi yang menandakan kontraksi untuk pembacaan di bawah 50.0 dan ekspansi untuk pembacaan di atas 50.0 - menunjukkan bahwa PMI komposit telah jatuh tajam lagi di Inggris dan Zona Europa pada Q4 20. Tetapi survei PMI bulanan tidak selemah seperti di Q2 20.
Pada tahun 2021, vaksin yang potensial seharusnya mengurangi wabah gelombang virus baru dan pemerintah akan lebih banyak pengalaman dalam membatasi dampak buruk pada aktivitas ekonomi.
Bank sentral dapat menambahkan stimulus moneter
Ketiga, bank sentral ditetapkan untuk tetap sangat dovish dan cenderung menambah stimulus moneter lebih lanjut jika diperlukan untuk mendukung pemulihan ekonomi.
Federal Reserve dapat meningkatkan laju pembelian obligasi saat ini dari USD 80 miliar per bulan US Treasuries dan USD 40 miliar mortgage-backed securities jika ekonomi AS menderita dari gelombang virus saat ini.
Terlebih lagi, bahkan jika The Fed tidak memperluas quantitative easing (QE) lebih lanjut, bank sentral akan menjaga suku bunga The Fed tetap di level 0.00-0.25% hingga akhir 2024 atau 2025.
Inflasi – sebagaimana diukur oleh perubahan pada pengeluaran konsumsi pribadi inti (PCE) – tetap akan jauh dibawah tujuan The Fed sebesar 2%, hanya 1.4% YoY di bulan Oktober. Kami memperkirakan bahwa inflasi inti PCE tidak akan pulih menjadi rata-rata 2% selama beberapa tahun mengingat adanya guncangan dari pandemi.
Dengan demikian, The Fed, setelah beralih ke strategi baru akan penargetan inflasi rata-rata pada Agustus tahun ini untuk mencapai inflasi sekitar 2% dari waktu ke waktu, tampaknya tidak mungkin untuk menaikkan tingkat suku bunga sebelum 2024 atau 2025.
Demikian pula, Bank Sentral Eropa juga tampaknya akan menambah stimulus moneter lebih lanjut. ECB telah mensinyalkan bersedia untuk memperluas Program Pembelian Darurat Pandemi (PEPP) sebesar EUR 1.35 triliun mengingat inflasi inti saat ini hanya di atas nol persen di Zona Euro.
Kami memperkirakan bank sentral akan mengumumkan pada pertemuan terakhir bulan Desember tahun ini pada bulan Desember bahwa mereka akan meningkatkan pembelian obligasi yang direncanakan sebesar EUR 500 miliar dan menjaga QE PEPP sepanjang 2021.
Suku bunga tetap sangat rendah untuk beberapa tahun ke depan
Kelima, imbal hasil obligasi pemerintah cenderung berada di level yang sangat rendah meskipun ekonomi global kembali rebound pada 2021. Prospek ekonomi yang membaik telah membuat proyeksi jangka panjang kami untuk imbal hasil US Treasury dan tingkat swap direvisi naik, sementara perkiraan jangka pendek kami untuk imbal hasil obligasi sebagian besar tidak berubah.
Dengan demikian, kami sekarang mengharapkan imbal hasil US Treasury 10Y dan 30Y naik menjadi masing-masing 1.20% dan 2.15% selama setahun ke depan setelah mencapai perkiraan jangka panjang kami sebelumnya 0.90% dan 1.75%. Tetapi kami masih memproyeksikan imbal hasil obligasi pemerintah untuk tetap berada di level yang rendah secara historis secara keseluruhan mengingat The Fed tidak akan menaikkan suku bunga sampai pertengahan dekade dan inflasi kemungkinan akan tetap di bawah target bank sentral sebesar 2% rata-rata selama beberapa tahun ke depan.
USD diperkirakan akan melanjutkan pelemahan
Terakhir, USD diperkirakan tetap melemah di 201 karena investor mengurangi permintaan akan safe haven, dan The Fed akan menjaga suku bunga di level saat ini mendekati nol untuk mendorong inflasi kembali ke tingkat rata-rata 2%.
Risiko politik telah mereda
Keempat, risiko politik tampak mereda pada 2021. Uni Eropa dan Inggris kemungkinan akan menyetujui kesepakatan perdagangan sebelum akhir 2020, Presiden terpilih Biden akan pindah ke Gedung Putih pada Januari dan pemerintahan AS yang baru tidak mungkin menaikkan tarif lebih jauh pada impor dari China, Eropa, Meksiko dan Kanada, menandakan kejelasan dengan kebijakan perdagangan yang tidak dapat diprediksi pada pemerintahan Trump.
Prospek makro yang menguntungkan secara keseluruhan
Dengan demikian, prospek makro ekonomi cenderung menguntungkan bagi pasar keuangan pada tahun 2021. Rebound ekonomi global pada 2021 akan sangat kontras dengan guncangan besar yang diderita selama pandemi pada 2020.
Maka, prospek makro ekonomi secara keseluruhan – pertumbuhan yang rebound, risiko politik yang berpotensi lebih sedikit, USD yang lebih lemah, imbal hasil obligasi yang rendah, dan bank sentral yang dovish - terus mendukung aset risiko meskipun adanya gelombang virus baru hingga 2020 berakhir.
EQUITY
Harapan akan new normal
Kami memiliki pandangan overweight secara keseluruhan pada instrumen saham, dengan preferensi untuk pasar Asia ex-Japan. Dalam pandangan kami, arah pertumbuhan China yang solid akan menjadi dorongan utama pertumbuhan Asia dalam siklus ekonomi pasca pandemi.- Eli Lee
Dalam pandangan kami, risiko jangka panjang untuk pasar telah berkurang secara signifikan dengan hasil pemilu AS yang menguntungkan, kemajuan yang positif dalam pengembangan vaksin, dan kebijakan moneter global yang masih sangat mendukung instrumen aset berisiko. Di AS dan Eropa, lonjakan kasus COVID-19 yang sedang berlangsung dapat menyebabkan turbulensi pasar jangka pendek, meskipun kami memperkirakan investor akan melihat melalui volatilitas ini untuk mengantisipasi normalisasi aktivitas ekonomi. Di China, data terus menunjukkan perbaikan, sementara inflasi yang rendah juga dapat memberikan ruang bagi PBOC untuk memungkinkan pemulihan berlanjut tanpa harus menaikkan suku bunga.
Namun, kami melihat tingkat volatilitas yang normal dalam waktu dekat, mengingat perintah eksekutif Presiden Trump yang melarang orang-orang AS berinvestasi di perusahaan China tertentu yang dianggap memiliki hubungan dengan militer China, serta rilis draft pedoman anti-trust terhadap praktek monopoli dalam industri internet Cina.
Kami telah merekomendasikan klien dengan eksposur yang signifikan dalam saham growth / momentum untuk menyeimbangkan kembali menjadi value / cyclical - ini memang telah terjadi sejauh ini. Kami yakin kondisi rotasi ini masih memiliki ketertinggalan, dengan base - case kami melihat bahwa setidaknya satu produsen obat besar akan menerima persetujuan peraturan pada Q1 2021.
Amerika Serikat
Dapat dipahami bahwa pasar terapresiasi karena beberapa alasan. Ketidakpastian seputar pemilihan umum AS sebagian besar sudah berkurang, dengan Kepresidenan Biden diperkirakan secara luas akan melihat AS mengadopsi pendekatan diplomatik untuk kesepakatan perdagangan global. Berita positif terkait vaksin telah mengangkat sentimen, sementara pendapatan perusahaan Q3 2020 secara luas lebih baik dari perkiraan. The Fed juga cenderung tetap dovish, sejalan dengan pandangan kami bahwa suku bunga Fed dapat tetap di 0-0.25% hingga akhir 2025.
Namun, kami melihat adanya potensi volatilitas jangka pendek; valuasi tidak murah, Senat tetap memegang kendali, dan peristiwa seperti permintaan tak terduga Menteri Keuangan Mnuchin kepada Fed untuk mengembalikan dana akan membutuhkan perhatian investor. Sementara lonjakan kasus COVID-19 juga dapat menambah turbulensi ke depan, kami akan menjadi pembeli di level rendah, dengan asumsi perkembangan lebih lanjut yang menggembirakan terkait vaksin.
Eropa
Sejak pengumuman vaksin Pfizer dan BioNTech pada awal November, diikuti oleh perkembangan tentang vaksin lainnya, optimisme investor di Eropa terlihat dari apresiasi harga aset. Sementara pasar menyambut baik perkembangan positif dari sisi vaksin, kepercayaan konsumen di negara-negara utama seperti Perancis dan Jerman telah dipengaruhi oleh karantina wilayah, dan kami tidak akan terkejut dengan kehati-hatian pasar sebelum peluncuran vaksin yang lebih luas.
Kami juga mencermati tujuan Hongaria dan Polandia untuk secara efektif memveto anggaran UE karena keberatan terhadap persyaratan aturan hukum yang lebih ketat dari dana UE, yang dapat menunda pelaksanaan dana pemulihan. Meskipun hal ini sangat penting, para pemangku kepentingan utama di kedua belah pihak berkepentingan untuk menemukan solusi dalam struktur kelembagaan anggaran multi-tahun Uni Eropa.
Jepang
November adalah bulan yang positif untuk ekuitas Jepang, karena pasar mengikuti reli ekuitas dunia menyusul kemajuan pengembangan vaksin COVID-19 yang lebih cepat dari yang diharapkan. Reli bulan lalu didorong oleh minat beli yang cukup sama pada value & growth stocks karena ekspektasi pertumbuhan membaik, yang membantu MSCI Jepang memulihkan kerugiannya tahun ini. Kami mengharapkan perbaikan dalam panduan perusahaan ke depan dan kontraksi triwulanan yang lebih kecil dalam laba karena aktivitas ekonomi semakin normal, yang seharusnya mendukung pasar ekuitas.
Asia ex-Japan
Tahun 2020 telah menjadi tahun yang volatile tetapi memuaskan bagi MSCI Asia Ex-Japan Index dalam hal pengembalian investasi, karena telah menjadi yang berkinerja terbaik di antara kawasan utama.
Saat memasuki tahun 2021, kami melihat ruang lingkup untuk kinerja yang lebih baik ini untuk terus berlanjut, mengingat dorongan yang akan memberikan dukungan untuk prospek yang lebih baik. Kami melihat hal positif dari terobosan pada bagian depan vaksin COVID-19, meskipun kami menyadari bahwa jalan menuju pemulihan kemungkinan akan tetap bergelombang. MSCI Asia Ex-Japan Index juga diproyeksikan akan mengalami rebound dua digit dalam laba per saham pada tahun 2021, meskipun pertumbuhan pendapatan diperkirakan hanya sedikit negatif pada tahun 2020 karena pandemi COVID-19. Dengan Joe Biden sebagai Presiden terpilih AS, kami melihat pendekatan yang lebih multilateral terhadap hubungan China - AS, sementara masalah de-globalisasi juga dapat dikurangi. Ekspektasi penguatan mata uang Asia relatif terhadap USD juga memberikan lebih banyak fleksibilitas bagi bank sentral untuk mengejar kebijakan moneter yang lebih longgar. Faktor-faktor tersebut dapat mendukung aliran modal masuk ke Asia.
Dalam ASEAN lebih memilih Singapura dan Indonesia
Di ASEAN, preferensi kami adalah Singapura dan Indonesia. Kami melihat Singapura sebagai penerima manfaat utama dari peningkatan kepercayaan bisnis dan konsumen yang akan mendukung sektor keuangan, real estate, dan industri. Iklim politik yang stabil dan pengendalian pandemi juga akan mendukung pemulihan industri pariwisata dan terus menarik aliran dana, terutama dari kantor keluarga. Untuk Indonesia, kami melihat potensi dari
Salah satu tema utama yang tetap utuh pada tahun 2021 akan menjadi pencarian untuk imbal hasil, karena investor mencari peluang di tengah lingkungan suku bunga rendah. Kami Overweight pada sektor S-REIT untuk memainkan tema ini, mengingat valuasi yang tidak terlalu tinggi, dan kami juga melihat pemulihan yang kuat dalam distribusi dengan efek dasar yang rendah dan perbaikan dalam kondisi makro.
China
Kami tetap konstruktif pada pasar saham China di belakang pemulihan yang solid dan aktivitas yang kuat. Namun, mungkin ada masalah dalam waktu dekat sehubungan dengan perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Presiden Trump yang melarang orang AS berinvestasi di 31 perusahaan China yang dianggap memiliki hubungan dengan militer China oleh Departemen Pertahanan AS. Ada ketidakpastian mengenai ruang lingkup dan aturan implementasi, dan ada juga risiko apakah pemerintahan Trump akan memperluas daftar dengan menambahkan lebih banyak perusahaan.
Rilisan data yang membaik, seperti keuntungan industri dan indikator PMI menunjukkan pemulihan ekonomi yang lebih luas.
Pemulihan yang solid dan rebound yang kuat pada keuntungan industri mendukung kinerja “sektor ekonomi lama”, terutama sektor hulu, seperti material. Pada saat yang sama, Rencana Lima Tahun ke-14 berfokus pada pertumbuhan yang berkualitas, inovasi dan reformasi pasar, dan juga menekankan pada strategi “sirkulasi ganda”. Ini harus mendukung industri pilar yang muncul untuk pertumbuhan dan perkembangan di masa depan. Meskipun pedoman dan kebijakan sektor terperinci belum diumumkan, dan versi lengkapnya hanya akan dirilis setelah mendapat persetujuan Kongres Rakyat Nasional pada Maret 2021, kami yakin ini akan menguntungkan sektor-sektor seperti energi bersih dan terbarukan, konsumsi domestik, industri kelas atas, internet dan “infrastruktur baru”.
Sektor keuangan ditingkatkan
Dengan kurva imbal hasil yang lebih curam diharapkan dari waktu ke waktu dan peningkatan kepercayaan pada kekuatan pemulihan ekonomi global memasuki tahun 2021, kami telah menaikkan peringkat sektor Keuangan kami ke Netral dengan pandangan bahwa risiko-risiko tambahan lebih berkurang dan sektor ini akan mendapat manfaat dari siklus penarik, sebagai operasi yang lebih kondusif.
Tetap berhati-hati pada sektor teknologi
Di sisi teknologi, kami telah memperingatkan klien tentang valuasi yang mahal dan potensi koreksi jangka pendek dan ini terlihat dalam rotasi baru-baru ini dari growth ke value stock. Selain itu, China memutuskan untuk menggunakan kunci pas dalam pekerjaan dengan merilis draf yang meminta umpan balik publik tentang pedoman anti-trust terkait dengan praktik monopoli di industri internet. Meskipun peraturan yang berkaitan dengan anti-trust telah diluncurkan selama bertahun-tahun, ini adalah pertama kalinya pedoman terperinci yang dirancang khusus untuk aktivitas anti-trust di ruang internet telah dipetakan.
BONDS
Masih menyukai obligasi EM HY
Suku bunga di negara maju diperkirakan akan berada di level yang sangat rendah dalam periode yang cukup lama. Hal ini akan mendorong investor untuk mencari alternatif investasi lain yang memberikan imbal hasil lebih tinggi sepanjang tahun 2021, sehingga diharapkan akan dapat menguntungkan obligasi EM HY. – Vasu Menon
Memasuki tahun 2021, mayoritas bank sentral negara maju telah memberikan indikasi untuk mempertahankan suku bunga acuan di level mendekati nol, demi menopang perekonomian yang sedang berada dalam proses pemulihan. Dengan beradanya suku bunga di level yang sangat rendah, kami melihat imbal hasil obligasi pemerintah tidak akan lagi cukup untuk menutupi pelemahan aset berisiko di dalam suatu portofolio. Investor akan mencari aset alternatif lainnya untuk menopang kinerja portofolio, seperti obligasi EM HY.
November yang sangat baik bagi obligasi korporasi global
Spread EM HY terlihat turun sebanyak 70 basis poin di bulan November. Imbal hasil secara keseluruhan mencapai 2.9%, salah satu bulan dengan kinerja terbaik bagi obligasi EM HY sejak tahun 2010. Sementara itu, spread EM IG turun 18 basis poin. Di negara maju, spread US HY turun sebanyak 100 basis poin untuk imbal hasil sebesar 3.8%; dan US IG turun 22 basis poin.
Positif terhadap obligasi korporasi EM
Outook untuk obligasi korporasi negara berkembang (EM) saat ini berada di salah satu waktu yang paling menjanjikan. Pertumbuhan semakin cepat, seiring dengan perkembangan positif dari segi vaksin COVID-19. Dolar AS sedang dalam tren pelemahan, sementara harga komoditas seperti timah sedang menguat – dan biasanya pertanda baik bagi obligasi korporasi EM. Dibawah kepresidenan Joe Biden, kebijakan luar negeri AS akan lebih menyokong dan diplomatis, dan akan menjadi hal yang baik untuk pasar obligasi secara keseluruhan. Terlebih lagi, walaupun Kongres saat ini terlihat terbagi, stimulus fiskal AS diperkirakan akan cukup signifikan dan akan dapat menopang perekonomian, terutama bagi industri ketenagakerjaan. Kami menyarankan untuk overweight terhadap obligasi EM HY dan netral terhadap obligasi EM IG.
Aliran masuk yang meluap terhadap obligasi korporasi EM
Aliran dana masuk terhadap obligasi korporasi EM sangat signifikan dalam tiga bulan terakhir. Total aliran dana yang keluar YTD hanya USD -3.85 miliar dibandingkan lebih dari USD -20 miliar sebulan yang lalu. Obligasi domestik dengan mata uang lokal masih mencatatkan dana keluar sebanyak USD -6.2 miliar YTD, namun aliran masuk terhadap obligasi domestik dengan mata uang luar tercatat sebesar USD -5.85 miliar YTD.
Tingkat default EM tidaklah tinggi
Walaupun kita berhasil melawan resesi terburuk dalam hampir satu abad terakhir, hal ini tidak tercermin pada tingkat gagal bayar (default) EM. Saat ini, JP Morgan berekspektasi tingkat gagal bayar di 3.5% untuk akhir tahun 2020 untuk kredit negara berkembang. Mereka memproyeksi adanya penurunan lebih lanjut ke level 2.8% di tahun 2021.
Preferensi terhadap Asia
Kami mempertahankan preferensi terhadap Asia di kategori EM HY. Pasar obligasi di Asia lebih diuntungkan dibandingkan Brazil atau Rusia yang memiliki imbal hasil yang lebih rendah. Kami percaya bahwa tren gagal bayarnya beberapa perusahaan di China belakangan ini patut untuk diamati, namun tidak percaya bahwa hal tersebut memiliki risiko sistemik terhadap pasar diluar China. Terlebih lagi, seperti yang telah kami utarakan, kami melihat kepresidenan Biden akan lebih tradisional dan diplomatis dibandingkan Presiden Trump, sehingga akan dapat menguntungkan obligasi korporasi China.
Mempertahankan rating overweight terhadap EM HY dan netral terhadap EM IG
Kami akan mempertahankan pandangan overweight kami terhadap obligasi EM HY dan netral terhadap obligasi EM IG. Dalam scenario Risk-On, obligasi HY akan lebih diuntungkan. Terlebih lagi, valuasi dari segi historis dan jika dibandingkan obligasi US HY masih lebih menarik saat ini. Dan yang terakhir, komposisi kredit yang lebih tinggi akan memberikan ruang yang lebih besar dengan potensi kenaikan suku bunga di bulan-bulan kedepan.
FX & COMMODITIES
Secercah cahaya untuk pasar minyak
Ada potensi kenaikan harga minyak yang lebih tinggi pada tahun 2021 seiring dengan berkurangnya gangguan perjalanan di tengah kemajuan vaksin. Fundamental minyak berada di jalur yang benar untuk menjamin peningkatan perkiraan kami terhadap harga minyak Brent dalam 12 bulan menjadi USD 56 / barel dari sebelumnya USD 50 / barel – Vasu Menon
Minyak
Fundamental minyak berada di jalur yang benar untuk menjamin peningkatan perkiraan kami terhadap harga minyak Brent dalam 12 bulan menjadi USD 56 / barel dibandingkan sebelumnya USD 50 / barel. Adapun potensi kenaikan harga minyak yang lebih tinggi pada tahun 2021 dikarenakan berkurangnya gangguan perjalanan di tengah kemajuan vaksin dan OPEC+ yang mungkin akan menunda peningkatan produksi minyak di bulan Januari.
Terlepas dari gelombang baru COVID-19 di AS dan Eropa, prospek permintaan minyak jangka menengah berubah menjadi semakin positif di tengah kemajuan vaksin yang dapat memutus hubungan antara infeksi dan mobilitas. Meskipun masih ada ketidakpastian pada logistik dan kerangka waktu peluncuran, peluncuran vaksin, jika terjadi, akan mengarah pada normalisasi kegiatan ekonomi, terutama pada sektor-sektor yang memiliki korelasi relatif tinggi dengan permintaan minyak, seperti perjalanan, perhotelan, dan layanan makanan. Permintaan energi AS, misalnya, pada prinsipnya masih didorong oleh sektor transportasi (68% menurut Administrasi Informasi Energi AS) dan untuk industri (26%).
Kami memperkirakan OPEC+ akan terus menyesuaikan durasi pemangkasan pasokan secara sukarela seiring dengan perkembangan pasar. Dengan OPEC+ yang kemungkinan akan menunda kenaikan produksi pada bulan Januari yang telah direncanakan, ini akan membantu membatasi risiko jangka pendek dari pasar minyak yang kembali melimpah.
Emas
Prospek ketersediaan vaksin yang segera mungkin dan efektif dapat membatasi ruang untuk kenaikan harga emas dalam jangka menengah. Kekhawatiran bahwa perkembangan vaksin dapat memperlambat atau mengurangi kebutuhan akan stimulus moneter lebih lanjut, menyebabkan kenaikan imbal hasil AS yang lebih tinggi dan harga emas yang lebih rendah. Namun, masih terlalu dini untuk menyerah pada emas. Kami yakin pendorong utama emas – pelemahan USD dan suku bunga riil yang rendah - kemungkinan akan memberikan dukungan selama beberapa tahun mendatang. Kami memperkirakan depresiasi USD dapat berlanjut hingga 2021. Kebijakan Fed yang lebih rendah untuk jangka panjang akan mempertahankan USD, sebagai mata uang pendanaan pilihan. Dengan kata lain, suku bunga AS yang rendah membuatnya menarik bagi investor asing untuk melakukan lindung nilai terhadap aset dalam mata uang USD untuk menjaga dari penurunan greenback.
Kami juga positif pada emas karena kebijakan Fed yang lebih rendah untuk jangka panjang akan membantu membatasi kenaikan imbal hasil AS jangka panjang. Emas harus mendapat keuntungan dari prospek reflasi yang lebih baik yang mendorong ekspektasi inflasi dan menjaga suku bunga riil negatif. Kami mendukung pendekatan pembelian saat turun dan memperkirakan harga emas akan cenderung lebih tinggi ke USD 2,100 dalam waktu 6 hingga 12 bulan.
Mata Uang
Kesuksesan yang cepat dari perkembangan vaksin yang positif, dan kegagalan dari gugatan Trump, memungkinkan pasar untuk beralih dari pemilu AS dengan suasana hati yang agak positif. Hal ini diimbangi dengan meningkatnya kasus COVID-19 di AS, dan perkembangan risiko positif lainnya, seperti penundaan dukungan fiskal AS.
Namun, pasar sebagian besar telah kebal terhadap kasus pandemi yang meningkat. Sentimen pasar telah risk-on, tetapi tidak meningkat menjadi keadaan euforia. Hingga Desember, kami berharap ini akan terus berlanjut. Pasar akan menyeimbangkan ekspektasi persetujuan vaksin pertama terhadap meningkatnya kasus COVID-19. Pertanyaan tentang ketersediaan dan penyerapan vaksin akan berlanjut ke tahun 2021. Secara keseluruhan, ini diterjemahkan ke dalam postur yang agak negatif untuk USD secara luas, karena permintaan safe-haven terus turun. Namun demikian, kami tidak melihat adanya katalis langsung untuk USD secara luas akan turun tajam, meninggalkan pelemahan USD menjadi lebih lambat. Hal ini memberikan ruang untuk potensi rebound akan USD yang didorong secara teknis dan berkala, yang tidak kami perkirakan untuk menghilangkan prediksi kami.
Kami memperkirakan antipodean mendapat manfaat paling besar dari kelemahan USD. Isyarat risiko global dan menguatnya harga komoditas, bersama dengan pemeringkatan ulang ekspektasi tentang Reserve Bank of New Zealand, akan menyambut baik USD dan NZD.
Euro seharusnya juga terus melampaui level resistensi terhadap USD dalam pergerakan yang sebagian besar didorong oleh USD. Perhatikan, bagaimanapun, bahwa gambaran makro di Eropa sebagian besar masih lemah dan mungkin sulit untuk membenarkan Euro yang menguat secara signifikan.
Namun, untuk USD/JPY mungkin sebagian besar tetap berada pada kisaran saat ini, seiring dengan pelemahan USD yang diimbangi oleh sentimen risiko.
Di Asia, kami terus mendukung kekuatan Renminbi (RMB). RMB yang tangguh akan terus membantu mata uang Asia lainnya untuk menguat juga. Selain itu, prospek pertumbuhan yang lebih baik juga memungkinkan aliran masuk portofolio kembali ke negara berkembang di Asia, memberikan dukungan lebih lanjut untuk mata uang lokal. Hal positif ini ditujukan terhadap bank sentral yang semakin gelisah, yang khawatir tentang dampak negatifnya terhadap ekspor. Hal ini seharusnya memperlambat apresiasi mata uang Asia, tanpa harus menghilangkan keseluruhan prediksi.
Pemilu AS yang telah lama dinantikan akhirnya mencapai keputusannya, dimana Joe Biden telah dinyatakan sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-46, mengalahkan Donald J. Trump dalam pemungutan suara pemilu dengan hasil 290 - 214 di 50 negara bagian Amerika Utara. Joe Biden, bersama dengan wakil presidennya Kamala Harris, wanita kulit hitam pertama dan wanita Asia Amerika pertama yang memegang posisi seperti itu akan mengambil kemudi mereka dalam pelantikan resmi pada 20 Januari 2021 mendatang untuk masa jabatan 2021 - 2025. Untuk kedepannya, meskipun masih ada beberapa tantangan dengan mayoritas Senat masih Republik, investor cukup optimis karena ini akan memberikan lebih banyak keseimbangan kepentingan di masa depan dalam meloloskan kebijakan dan peraturan baru.
Dengan segala sesuatu yang telah terjadi secara politik di Amerika Serikat, negara ini baru saja melampaui angka 10 juta untuk infeksi COVID-19; yang masih menghadirkan ketidakpastian lain bagi pasar modal. Namun, investor menjadi semakin tangguh terhadap berita seputar COVID-19, karena kemajuan vaksin tetap positif. Akhirnya, fokus investor sekarang akan diarahkan kembali pada paket stimulus AS yang telah diantisipasi beberapa bulan ini.
Sementara di Eropa, meningkatnya infeksi COVID-19 dan ketidakpastian atas hubungan Inggris-Uni Eropa pasca Brexit masih menjadi dua berita utama bagi investor. Negara-negara hotspot seperti Inggris, Jerman, dan Prancis telah memberlakukan langkah-langkah lockdown baru karena infeksi harian dan jumlah kematian terus meningkat. Dari perspektif data, pengetatan yang sedang berlangsung mulai mempengaruhi aktivitas ekonomi. Baik kegiatan manufaktur maupun jasa mengalami kontraksi pada bulan Oktober, sementara pengangguran naik ke level tertinggi sejak 2009 karena meningkatnya pemecatan. Jika Inggris tidak dapat mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa segera, dampak ekonomi COVID-19 pada perekonomian kedua negara akan menjadi lebih tertekan.
Indeks MSCI Asia Pasifik mencatatkan penguatan 3.43% pada Oktober, dipimpin oleh China dan saat ini berada di jalur untuk membuat level baru tertinggi di 2020. China, satu-satunya negara yang diperkirakan mencatat pertumbuhan pada tahun 2020, membukukan angka PDB Q3 dengan pertumbuhan sebesar 4.9%, merupakan pertumbuhan kuartalan tertinggi untuk negara mana pun selama krisis pandemi ini. Sementara itu, Jepang dan Hong Kong masih berjuang dengan konsumsi mereka. Meskipun demikian, investor Asia bersorak karena penyebaran COVID-19 telah turun secara signifikan di daerah tersebut, sementara situasi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa memburuk. Pada kuartal terakhir 2020, sebagian besar negara Asia berada di jalur yang tepat untuk pemulihan yang kuat dari perspektif ekonomi.
Di dalam negeri, indikator ekonomi yang dirilis awal November telah menunjukkan pemulihan yang berkelanjutan; dan telah memberikan dukungan untuk pasar modal. Angka PDB untuk Q3 dirilis sebesar -3.49% YoY, naik dari kuartal sebelumnya -5.32%; menunjukkan bahwa ekonomi domestik berada pada fase pemulihan pada kuartal ketiga. Infeksi harian COVID-19 juga turun secara signifikan pada bulan Oktober, dari sekitar lima ribu dalam sehari menjadi satu hingga dua ribu. Hal ini juga memberikan sentimen positif bagi pasar, khususnya bagi investor konservatif. Dari sisi konsumsi, inflasi bulan Oktober cukup stabil, bahkan sedikit lebih tinggi di 1.44% YoY dibandingkan dengan bulan sebelumnya 1.42%. Pelonggaran peraturan PSBB oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah memberikan dorongan yang sangat dibutuhkan untuk konsumsi dalam negeri, dan juga untuk data PMI Manufaktur bulan Oktober yang mencatat sedikit penguatan dari 47.2 menjadi 47.4. Di sisi lain, cadangan devisa bank sentral kembali mencatat penurunan bulanan karena pembayaran utang luar negeri, turun USD 1.5 miliar pada Oktober dan saat ini berada di USD 133.7 miliar.
IHSG menguat sebesar 5.3% pada bulan Oktober, mencatatkan penguatan bulanan terbesar di tahun 2020 setelah turun sebanyak 7.0% pada bulan September. Namun, hingga akhir Bulan Oktober, IHSG masih 18.6% lebih rendah dibandingkan awal tahun 2020. Bagi investor yang bergantung pada teknis, hal ini mengindikasikan bahwa pasar saham masih memiliki potensi besar untuk meminimalkan kerugiannya pada Q4 yang didorong oleh pemulihan ekonomi yang terlihat dari indikator ekonomi baru-baru ini. Hasil pemilihan presiden AS juga telah menjadi pendorong bagi pasar domestik, bersama dengan kemajuan positif pada vaksin terdepan. Investor asing mencatat net buy pada bulan Oktober, yang juga meningkatkan kepercayaan bagi investor domestik. Dari dalam negeri, investor juga menyambut positif legitimasi Omnibus Law oleh pemerintah Indonesia, di tengah kacaunya aksi demonstrasi di Jakarta oleh pasar tenaga kerja. Omnibus Law diyakini sebagai elemen vital pada kuartal-kuartal mendatang, karena bisnis asing akan menganggap Indonesia sebagai tempat yang layak dan menarik untuk memperluas bisnis mereka, yang tentunya akan sangat menguntungkan pasar saham. Dari sisi forward Price-to-Earnings Ratio (PER) untuk IHSG, saat ini berada di level 14x-15x. Namun, dengan meningkatnya perkiraan positif untuk pendapatan perusahaan di Q4, kami menganggap level saat ini akan dapat memperbaiki harga saham menjelang akhir tahun. Kami telah meningkatkan perkiraan kami untuk IHSG menjadi 5,700 – 5,900 pada akhir 2020.
Pasar obligasi juga terapresiasi pada bulan lalu, dengan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun turun dari 6.93% ke 6.6% pada akhir bulan; penurunan sekitar 4.6%. Bahkan dalam dua minggu pertama di bulan November, imbal hasil terus mencatatkan penurunan dan saat ini berada di kisaran 6.2% - 6.3%. Beberapa hal telah mendukung pasar obligasi pada awal Q4 2020, yang pertama adalah penawaran real yield obligasi domestik yang relatif lebih tinggi. Ketika investor global beralih risk-on, obligasi EM seperti indonesia sangat menarik bagi pemburu imbal hasil. Kedua, penguatan rupiah juga berperan sangat penting bagi pasar obligasi pada Oktober dan awal pekan November. Terakhir, skema burden sharing oleh pemerintah dan bank sentral yang memberikan dukungan dasar untuk tidak hanya pasar obligasi, tetapi juga pasar mata uang, memainkan peran utama dalam stabilitas pasar; dengan tetap memperhatikan inflasi sepanjang waktu. Kami memperkirakan bank sentral, Bank Indonesia akan melakukan pemangkasan suku bunga lagi dalam waktu dekat untuk memberikan dorongan bagi konsumsi domestik. Kami juga telah merevisi perkiraan akhir tahun kami untuk imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun ke kisaran 6.0% - 6.5%.
Mata uang dalam negeri, Rupiah saat ini sedang menunjukkan performa terbaiknya di tahun 2020. Rupiah menguat 1.4% terhadap USD pada bulan Oktober, menutup bulan di level 14,600 per USD, dan saat ini diperdagangkan pada 14,000 per USD per 11 November 2020. Pendorong utama untuk Rupiah beberapa minggu terakhir ini adalah "Biden effect". Dengan Joe Biden terpilih sebagai presiden baru, probabilitas paket stimulus baru menjadi lebih tinggi; dan telah mendorong investor untuk meninggalkan aset mata uang safe-haven. Potensi peningkatan uang beredar di AS juga akan memberikan tekanan pada the greenback. Selain itu, peningkatan arus masuk ke pasar EM seperti Indonesia telah menciptakan permintaan ekstra untuk mata uang domestik; dengan semakin banyak investor asing yang membutuhkan mata uang lokal untuk melakukan investasi. Namun, dari saat ini dan seterusnya kami melihat upside yang terbatas untuk Rupiah karena bank sentral sendiri tidak menginginkan jika mata uang terlalu kuat yang dapat membebani ekspor. Oleh karena itu, kami melihat USDIDR akan diperdagangkan di kisaran 13,950 – 14,200 pada akhir tahun.
Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan melemah sebesar 4.1% tahun ini, sebelum pulih sebesar 5.6% tahun depan dengan ekonomi China memimpin penguatan. – Eli Lee
Pasar keuangan akan menghadapi ketidakpastian lebih lanjut. Pemilihan presiden AS telah selesai namun perhitungan suara di beberapa negara bagian sedang mengalami tantangan di pengadilan. Selain itu, AS, Inggris, dan Zona Eropa juga masih mencatatkan lonjakan kasus baru.
Namun, setelah hasil pemilu AS selesai, pasar keuangan akan cenderung fokus kembali kepada prospek yang menguntungkan untuk aset berisiko yang didukung oleh pemulihan global, vaksin yang akan datang, bank sentral yang sangat dovish, imbal hasil obligasi pemerintah yang rendah, dan USD yang lebih lemah.
Lonjakan kasus COVID-19 yang kembali terjadi di seluruh AS, Inggris, dan Zona Eropa merupakan ancaman yang signifikan dalam jangka pendek. Namun, dampak dari pembatasan yang diperbarui pada aktivitas sosial dan ekonomi di Q4 2020 tidak akan separah seperti lockdown pertama di Q2 2020. Dengan demikian, pemulihan global tidak akan terganggu dengan gelombang virus kedua menjelang akhir 2020.
Misalnya, composite Purchasing Managers’ Index (PMI) Zona Eropa - indikator kedepan yang mencakup sektor manufaktur dan jasa - turun dari tertinggi dua tahun 54.8 di Juli menjadi 50.0 di Oktober. Pembacaan dibawah 50.0 mengindikasikan perusahaan mengekspektasi aktivitas untuk berkontraksi sementara pembacaan di atas 50.0 mengindikasikan perusahaan mengharapkan bisnis untuk berekspansi. Untuk November dan Desember, survei PMI Zona Euro ditetapkan untuk jatuh lebih jauh karena pembatasan aktivitas ekonomi untuk menahan pandemi. Tetapi data PMI tidak mungkin kembali ke tingkat yang sangat lemah seperti di bulan Maret, April dan Mei ketika survei komposit turun menjadi masing-masing 29.7, 13.6 dan 31.9.
Meskipun pemerintah Eropa telah menutup beberapa tempat sosial termasuk restoran, bar, bioskop dan acara olahraga, sekolah dan sebagian besar bisnis tetap buka. Dengan demikian, dampak ekonomi dari pembatasan yang diperbarui kemungkinan akan jauh lebih sedikit dibandingkan lockdown pertama di Q2 2020.
Kami memperkirakan gelombang virus baru di Q4 2020 akan menyebabkan PDB Zona Eropa terkontraksi sebesar 3.8% QoQ, mirip dengan penurunan sebesar 3.7% QoQ di awal pandemi Q1 2020, namun jauh daripada penurunan 11.8% QoQ di Q2 2020. Kami juga memperkirakan PDB AS akn melemah sebesar 0.8% QoQ di Q4 2020 mendatang.
Tetapi proyeksi PDB kami secara keseluruhan untuk 2020 tetap tidak berubah untuk Zona Eropa dan AS, mengikuti rebound di Q3 2020 sebesar 12.7% QoQ di Zona Eropa dan 7.4% QoQ di AS setelah ekonomi mereka kembali dibuka selama musim panas setelah lockdown pertama mereka.
Dengan demikian, seperti yang ditunjukkan pada tabel, kami masih memperkirakan PDB Zona Eropa akan terkontraksi sebesar 7.6% tahun ini sebelum rebound sebesar 5.5% tahun depan. Demikian pula, kami masih mempertahankan perkiraan kami untuk PDB AS dengan kontraksi sebesar 4.0% di 2020 sebelum berekspansi sebesar 5.0% pada tahun 2021.
Gelombang virus baru juga telah menyebabkan kami menurunkan perkiraan PDB untuk pasar negara berkembang menjadi -3.3% tahun ini dengan Asia ex-China diperkirakan terkontraksi sebesar 7.4% di tahun 2020. Keberhasilan Beijing dalam menahan pandemi juga telah merubah pandangan kami untuk pertumbuhan PDB China, naik dari 1.7% menjadi 2.5% di 2020 dan 7.1% menjadi 8.1% di 2021.
Maka, kami melihat PDB dunia secara keseluruhan melemah sebesar 4.1% tahun ini sebelum pulih sebesar 5.6% tahun depan, dengan ekonomi China memimpin penguatan.
Dalam pandangan kami, pemulihan global secara keseluruhan akan terus berlanjut meskipun gelombang virus kedua di Q4 2020, dengan pengembangan dan distribusi vaksin pada tahun 2021 yang akan mendukung ekonomi untuk rebound.
Skenario politik AS setelah hasil pemilihan suara terkonfirmasi, terlihat sangat mendukung prospek aset berisiko.
Prospek pemerintahan Biden yang didukung oleh Dewan Perwakilan Demokrat dan ditentang oleh mayoritas Partai Republik di Senat akan menghasilkan ‘gridlock' antara Gedung Putih dan Kongres.
Hal ini kemungkinan akan mempersulit pembalikan pemotongan tarif pajak perusahaan yang dilakukan oleh pemerintahan Trump untuk kepentingan aset risiko, dan juga dapat mengurangi ancaman peningkatan regulasi di bawah pemerintahan Biden yang ditujukan untuk sektor-sektor seperti teknologi.
Dengan mobilitas yang tertahan di AS, bagaimanapun, kemungkinan akan sulit untuk meloloskan program stimulus fiskal skala besar yang kedua untuk mendukung pemulihan AS. Pada puncak pandemi di bulan Maret dan April, anggota Parlemen AS menyetujui bantuan darurat sebesar USD 3 triliun untuk ekonomi. Namun, manfaat pemerintah senilai USD 1.5 triliun telah berakhir, membuat pemulihan ekonomi AS berisiko untuk kembali menurun jika gelombang virus kedua tidak dapat ditangani.
Kami masih mengharapkan paket fiskal akan disahkan pada Q1 2021 tetapi pemerintahan Biden yang dihadapi dengan Senat Republik mungkin hanya dapat membuat Kongres menyetujui putaran baru bantuan darurat yang lebih terbatas senilai USD 0.5 - 1.0 triliun.
Imbal hasil obligasi US Treasury jangka panjang 10 tahun dan 30 tahun telah terganjal untuk mengantisipasi Demokrat memenangkan Gedung Putih dan Senat. Tetapi di bawah skenario 'gridlock', kami memperkirakan stimulus fiskal akan terbatas untuk menjaga imbal hasil US Treasury yang sangat rendah oleh standar historis.
Dengan demikian, kami mempertahankan perkiraan suku bunga kami untuk imbal hasil Treasury jangka panjang naik menjadi 0.90% untuk obligasi 10 tahun dan 1.75% untuk obligasi 30 tahun dengan ekonomi AS pulih selama satu tahun ke depan. Tingkat imbal hasil yang rendah secara keseluruhan akan terus mendukung aset berisiko.
Pemerintahan Biden juga cenderung menguntungkan aset risiko melalui sikap yang kurang agresif pada perdagangan. Tarif pemerintahan Trump mendorong USD pada 2018- 2019. Tetapi kami berharap greenback akan terus melemah karena permintaan untuk mata uang safe-haven melemah dan eksportir di Eropa, Cina, Jepang dan seluruh Asia mendapat manfaat dari lingkungan perdagangan yang lebih dapat diprediksi.
Kami melihat prospek jangka panjang akan terus mendapat manfaat dari bank sentral yang sangat dovish.
Kami memperkirakan The Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan dari kisaran saat ini 0.00 – 0.25% hingga akhir 2024 atau 2025 mengingat pergeseran bank sentral baru-baru ini dengan penargetan inflasi rata-rata.
Saat ini The Fed mengharapkan inflasi rata-rata 2% selama siklus bisnis. Karena inflasi telah jatuh dari target bank sentral sebesar 2% dalam dekade terakhir, The Fed menargetkan inflasi untuk melebihi 2% untuk beberapa tahun ke depan. Hal ini membuat sangat mungkin bank sentral akan menjaga Fed Funds di dekat level nol hingga empat sampai lima tahun ke depan sampai inflasi rata-rata berada di 2% secara berkelanjutan.
Dengan demikian, untuk prospek makro ekonomi secara keseluruhan – pertumbuhan yang rebound, risiko politik yang menurun, USD yang melemah, imbal hasil obligasi yang rendah, dan bank sentral yang dovish – akan terus mendukung aset berisiko ditengah adanya gelombang virus menjelang akhir 2020.
Kami melihat, dengan terpilihnya Biden sebagai presiden dan terpecahnya suara di Kongres akan menjadi pendorong bagi pasar saham Asia, terutama Greater China. Karena itu, kami meningkatkan posisi di Asia ex-Japan dari netral menjadi overweight.
Pemilihan presiden AS telah menjadi sentimen utama global yang berkelanjutan. Dengan Biden menjadi Presiden dan Kongres yang terpecah, administrasi yang baru diharapkan akan lebih kompeten dalam hal penanganan pandemi COVID-19, serta akan mendorong program stimulus yang baru menjadi undang-undang di Q1 2021. Selain itu, Biden juga akan menerapkan pendekatan multilateral terkait ketegangan AS dan China.
Kami melihat hal ini menguntungkan bagi pasar saham Asia, khususnya Greater China, dan kami meningkatkan posisi di ekuitas Asia ex-Japan dari netral menjadi overweight. Dari sisi valuasi, kami melihat Asia ex-Japan relatif lebih murah dibandingkan dengan peers global.
Kami percaya bahwa fase awal dari penguatan saham pasca pemilu akan dipimpin oleh saham-saham yang menguat, terutama sektor teknologi. Tetapi jika pemulihan berlanjut dan aktivitas ekonomi menjadi normal dengan vaksin yang tersedia secara luas di pertengahan 2021, kami berharap perubahan sektor akan bergilir ke segmen value dan cyclical. Hal ini akan lebih menguntungkan pasar saham Asia, karena segment value dan cyclical membentuk komponen pasar Asia yang lebih besar dibandingkan dengan AS, yang lebih didominasi oleh teknologi.
Per tanggal 2 November, berdasarkan 62% perusahaan S&P 500 yang telah melaporkan sejauh ini, 87% telah melampaui estimasi pendapatan Q3 2020, sementara 78% telah mengalahkan estimasi pendapatan. Terlepas dari tingkat kenaikan laba yang tinggi, harga saham belum terealisasi – terutama untuk perusahaan dengan kinerja baik; menandakan bahwa pasar telah memperhitungkan sebagian kenaikan laba.
Kami melihat beberapa hal positif dengan kepresidenan Biden dan Kongres yang terpecah. Pajak yang lebih tinggi dan perubahan peraturan dalam waktu dekat tampaknya tidak mungkin, memberi keuntungan ke sektor-sektor tertentu seperti teknologi dan perawatan kesehatan. Sementara paket stimulus bantuan dan belanja infrastruktur yang lebih rendah dari yang diharapkan (dibandingkan dengan kemenangan blue wave), akan diimbangi dengan respons yang lebih kuat ditengah pandemi yang sedang berlangsung, serta positif untuk korporasi dari perdagangan yang lebih sistematis dan kebijakan luar negeri.
Musim laporan laba Q3 2020 telah dimulai dan pada saat penulisan, sekitar setengah dari perusahaan di MSCI Eropa telah melaporkan pendapatan.
Dari jumlah tersebut, 59% diantaranya melaporkan laba per saham sebesar 5% atau lebih, sementara 18% melaporkan di bawahnya, sehingga mencatatkan kenaikan bersih 41% dari perusahaan yang telah melaporkan. Jika dipertahankan, hal ini merupakan kenaikan terbesar berdasarkan data pada tahun 2007, meskipun moderat seiring berlangsungnya musim penghasilan. Penghasilan tertimbang saat ini berada di jalur untuk berkontraksi sebesar 23% YoY, peningkatan tajam dari kontraksi 61% yang terlihat di Q2 2020.
Bagaimanapun, pergerakan harga sejauh ini cenderung negatif, menunjukkan bahwa sampai taraf tertentu, rilis pendapatan Q3 sudah diperkirakan, dan mungkin pendorong yang lebih besar untuk pasar adalah meningkatnya kasus COVID-19 di Eropa dan PMI yang lebih rendah untuk kawasan Eropa.
Pasar saham Jepang tertinggal dari rekan-rekan global mereka pada bulan Oktober dengan aksi ambil untung yang terlihat di sektor perawatan kesehatan dan utilitas yang lebih defensif dengan kepentingan rotasi yang mendukung sektor material, teknologi, dan konsumsi.
Sementara rilis laba Q2 yang sedang berlangsung untuk perusahaan dengan akhir tahun fiskal Februari-Maret (FY) masih akan menghasilkan penurunan laba kuartal YoY. Kami memperkirakan panduan perusahaan yang relatif kurang hati-hati dan kontraksi laba kuartalan yang lebih kecil karena aktivitas ekonomi perlahan kembali normal. Karena kekhawatiran tentang pandemi terus mereda, panduan perusahaan juga dapat direvisi menjadi nada yang lebih konstruktif, yang akan membantu mendukung pasar dan meningkatkan perkiraan pendapatan konsensus yang saat ini memproyeksikan penurunan pendapatan mendekati -10% untuk tahun fiskal yang berakhir Maret 2021.
Kami meningkatkan posisi di Asia ex-Japan dari netral menjadi overweight. Dengan kepresidenan Biden dan Kongres yang terpecah, diharapkan pemerintahan baru akan memiliki posisi yang kuat untuk mengelola pandemi COVID-19 dan munculnya perdagangan dan kebijakan luar negeri yang lebih multilateral dan terukur berpotensi mengurangi ketidakpastian terkait ketegangan AS-China. Valuasi Asia ex-Japan juga lebih masuk akal dibandingkan dengan AS.
Di Asia, juga ada beberapa perkembangan positif mengenai COVID-19. India melaporkan peningkatan terendah kasus harian sejak Juli, sementara Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengatakan bahwa negaranya telah tertular virus. Moon juga menyoroti dalam pidato parlemennya bahwa pemerintahannya berusaha meningkatkan anggarannya sebesar 8.5% pada tahun 2021 untuk menciptakan lapangan kerja dan membantu pemulihan ekonomi.
Ke depan, tren ini kemungkinan akan berlanjut di masa mendatang, tetapi peningkatan secara berurutan dalam distribusi per unit masih mungkin dilakukan selama jumlah kasus COVID-19 yang ditularkan secara lokal tetap stabil. Ketiga bank lokal juga telah melaporkan laba Q3 2020 mereka, dengan ketiganya mengalahkan perkiraan pendapatan konsensus Bloomberg.
Kami terus bersikap konstruktif pada China dan percaya investor harus meningkatkan eksposur ke sektor-sektor yang akan mendapatkan keuntungan dari strategi "sirkulasi ganda" China, yang bertujuan untuk mendorong konsumsi domestik, sumber dalam negeri, dan substitusi impor.
Rapat pleno kelima Partai Komite Komunis China yang ke-19 ditutup pada akhir Oktober. Fokus utamanya adalah pada pertumbuhan kualitas, inovasi dan reformasi pasar, dan menekankan strategi pembangunan "sirkulasi ganda" China. Selama beberapa bulan kedepan, Komite Pembangunan dan Reformasi Nasional akan menyiapkan draft Rencana Lima Tahun (FYP) ke-14 yang lebih rinci (2021-2025) dalam konsultasi dan koordinasi dengan kementerian pemerintah lainnya, yang akan diserahkan untuk persetujuan akhir di “Two Session” pada Maret 2021. Selanjutnya, berbagai regulator sektor akan mengeluarkan kebijakan sektor masing-masing. Kami juga akan memperhatikan Konferensi Kerja Ekonomi Pusat pada akhir Q4 2020, yang akan memiliki rincian lebih lanjut tentang implikasi dan pedoman sektor.
Ringkasan pleno menegaskan kembali arah menuju pertumbuhan berkualitas dan menyoroti tujuan non-numerik jangka panjang dari visi pembangunan China 2035 dan pedoman untuk FYP ke-14. Dalam hal fokus jangka panjangnya, Tiongkok bertujuan untuk mencapai modernisasi sosialis dengan PDB per kapita mencapai tingkat ekonomi maju berpenghasilan menengah pada tahun 2035 dan untuk memperluas populasi berpenghasilan menengah, dengan penekanan kuat pada inovasi dan reformasi pasar.
Sorotan utama dari sidang pleno meliputi:
Pengurangan penekanan pada ekspektasi target pertumbuhan, tanpa target pertumbuhan khusus untuk lima tahun ke depan;
“Sirkulasi Ganda” sebagai strategi pembangunan utama bersama dengan reformasi lainnya, seperti “urbanisasi baru”, “infrastruktur baru”, reformasi badan usaha milik negara (BUMN), dan pembukaan pasar, terutama di pasar dan jasa keuangan; dan,
Fokus pada pilar industri yang muncul - teknologi dan inovasi, dan energi bersih dan terbarukan.
Baik MSCI China (offshore) dan CSI 300 (onshore A-share) mengungguli pasar regional selama sebulan terakhir. Valuasi MSCI China tetap tinggi pada 15.2x FY 21E P/E dan diperdagangkan pada lebih dari 2 standar deviasi di atas rata-rata historis. Penilaian CSI 300 relatif tidak terlalu menuntut. Dengan perdagangan MSCI China menuju batas atas kisaran perdagangan, kami akan fokus pada tema investasi dari penerima manfaat kebijakan utama.
Meskipun panduan dan kebijakan sektor yang terperinci belum diumumkan, kami yakin penekanan pada strategi pembangunan "sirkulasi ganda" untuk mendukung pertumbuhan yang berkualitas, inovasi dan reformasi pasar akan menguntungkan sektor-sektor seperti energi bersih dan terbarukan, konsumsi domestik, industri kelas atas, sektor internet dan "infrastruktur baru" seperti pusat data, kecerdasan buatan, aplikasi 5G, hal-hal yang berkaitan dengan internet, kendaraan energi baru, tiang pengisian kendaraan listrik, dan proyek transmisi daya bertegangan sangat tinggi.
Kami mempertahankan preferensi kami pada otomotif, internet dan asuransi. Kami menjadi kurang negatif pada bank-bank China dan mengharapkannya untuk menunjukkan siklus rebound dalam waktu dekat. Hasil kuartalan terbaru menyoroti tanda-tanda stabilnya tekanan kompresi margin bunga bersih dan bank-bank China sebagai sektor yang diperdagangkan mendekati nilai terendah dari penilaian mereka.
Tidak terjadinya blue wave kembali menyebabkan reli pada saham teknologi. Kami terus percaya bahwa teknologi harus menjadi kepemilikan inti bagi investor, mengingat:
Tren digital sekuler yang semakin cepat akibat COVID-19;
Posisi keuangan yang kuat dari nama-nama teknologi kunci;
Asumsi kami naik tetapi hasil sedikit lebih tinggi.
Namun, bagi mereka yang memiliki posisi terlalu besar di sektor ini, kami telah dan terus merekomendasikan investor untuk menyeimbangkan kembali bobot portofolio menjadi nama value dan cyclical dengan neraca yang tangguh dan model bisnis yang stabil.
Risiko regulasi juga menjadi perhatian tidak hanya bagi investor AS - risiko ini menjadi sorotan bagi investor di seluruh dunia ketika IPO ANT Group ditangguhkan pada menit terakhir karena regulasi baru yang berdampak pada sektor ini.
Sedangkan untuk energi, sektor ini telah terbebani oleh harga minyak yang lebih rendah karena kebangkitan COVID-19. Di sisi lain, setidaknya di AS, Kongres yang terpecah dapat mengartikan bahwa opsi legislatif untuk membatasi industri minyak dan gas akan lebih sulit diterapkan dibandingkan dengan skenario blue wave.
Kredit negara berkembang (EM) mencatatkan penguatan di bulan Oktober di tengah ketidakpastian pemilu kepresidenan AS. Dengan terpilihnya Joe Biden, aset obligasi dapat diuntungkan dari tensi yang mereda dengan China. – Vasu Menon
Dalam kategori aset pendapatan tetap, pandangan dan alokasi kami telah berpindah dari overweight ke netral, dengan posisi underweight terhadap obligasi Investment Grade (IG) negara maju (DM) yang diseimbangkan dengan posisi overweight kami terhadap obligasi High Yield (HY) negara berkembang (EM), yang dapat memberikan imbal hasil yang menarik. Didalam EM HY, kami mempertahankan kecenderungan terhadap HY Asia.
Kami menurunkan posisi terhadap DM IG ke underweight dari netral untuk menyesuaikan kurva imbal hasil yang lebih curam. Kami memproyeksikan imbal hasil 10 tahun US Treasury di level 0.90% untuk 2 tahun kedepan. Dengan spread DM IG yang berada cukup sempit di level saat ini, kami melihat potensi imbal hasil dari aset kelas tersebut akan kurang menarik dari segi risk-reward.
Kepresidenan Joe Biden seharusnya akan dapat memberikan keuntungan bagi kredit negara berkembang. Kebijakan luar negeri seharusnya akan lebih diplomatis, terukur dan tenang. Kerjasama dengan negara-negara kawasan Eropa juga akan menjadi salah satu objektif utama.
Terlebih lagi, bahkan dengan Kongres yang terbagi, kami melihat potensi stimulus fiskal yang tetap besar dan dapat menjadi penopang risiko pasar.
Indikator-indikator ekonomi global yang terbaru menunjukkan pemulihan ekonomi yang tidak seimbang. Terlebih lagi, walaupun virus COVID-19 masih menjadi musuh ekonomi global dan dengan gelombang kedua penyebaran yang terjadi terutama di Eropa dan AS, tingkat penyebaran secara keseluruhan telah menurun.
Ditambah lagi, dengan kepresidenan Joe Biden, AS akan dapat lebih mengimplementasikan cara penanganan COVID-19 yang lebih disiplin dan jelas. Dan yang mungkin lebih penting lagi adalah rendahnya probabilitas penutupan para ekonomi di awal tahun depan. Namun, peran terpenting masih dipegang oleh bank sentral AS terkait obligasi korporasi dalam jangka menengah ke depan, di tengah lingkungan kebijakan suku bunga yang rendah.
Proyeksi kami untuk suku bunga acuan The Fed masih akan tetap di kisaran nol persen hingga akhir 2025. Proyeksi The Fed sendiri untuk inflasi kembali ke level 2% adalah di tahun 2023.
Dalam kategori HY, Asia berkinerja kurang baik dalam beberapa bulan terakhir seiring dengan Amerika Latin sejak awal tahun. Obligasi Asia akan lebih unggul daripada obligasi Brazil atau Rusia dengan imbal hasil yang lebih rendah.
Maka dari itu, kami masih mempertahankan preferensi kami terhadap Asia dan percaya bahwa kinerja yang kurang baik membuat valuasi menjadi lebih menarik.
Namun, pemulihan ekonomi global seharusnya akan dapat memberikan peluang bagi negara-negara diluar Asia juga; dan akan kami perhatikan sebagai alternatif investasi.
Di Dalam IG, kami akan berpindah dari Amerika Latin ke Asia. Perubahan ini diakibatkan oleh beberapa faktor:
Dalam kepresidenan Biden, Asia (terutama China) akan diuntungkan akibat kebijakan yang lebih longgar.
Amerika Latin memiliki durasi yang lebih rendah, dimana akan menjadi penarik di situasi global saat ini dengan kurva imbal hasil yang semakin curam.
Pelemahan sentimen terhadap HY China berlanjut di bulan Oktober, hal ini didorong oleh turunnya risk appetite investor yang dipengaruhi oleh kejadian-kejadian global di tengah masa pemilu AS. Pasokan obligasi yang tinggi setelah perayaan minggu emas oleh penerbit China (lebih banyak IG dibandingkan HY) juga menciptakan pelemahan di pasar sekunder. Kinerja penerbitan baru di pasar sekunder sejauh ini bervariatif; dengan obligasi IG yang berkinerja lebih baik dibandingkan obligasi HY; mensinyalkan turunnya risk appetite investor.
Pada tanggal 29 Oktober, Partai Komite Komunis China yang ke-19 (CPC) memberikan proyeksi jangka panjang untuk pengembangan negara dalam proposal 5 tahun yang ke-14. Hal ini mencakupi keinginan untuk mengubah China menjadi negara teknologi yang berkembang, untuk mengembangkan ekonomi domestik dengan tujuan China untuk menjadi negara maju di tahun 2035.
Walaupun tidak secara langsung menguntungkan sektor properti, pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh pengembangan teknologi dan konsumsi akan menyokong sektor properti dan tren urbanisasi. Hal ini akan menjadi fundamental yang positif bagi sektor properti China.
Setelah pemilu Amerika Serikat, posisi overweight kami untuk obligasi sektor properti China tidak berubah, didorong oleh fundamental yang stabil dan valuasi yang menarik.
The Fed terlihat berkomitmen untuk menjaga suku bunga acuan di level yang rendah (di kisaran nol) untuk setidaknya beberapa tahun kedepan. Namun, pada akhirnya akan tetap ditentukan oleh pasar.
Pandangan kami adalah untuk peningkatan suku bunga yang lebih lama dan untuk kurva imbal hasil US Treasury semakin curam di tahun mendatang. Alhasil, kami mempertahankan durasi-durasi yang lebih pendek di dalam portofolio kami.
Kami mempertahankan pandangan overweight terhadap EM HY dan Netral terhadap EM IG.
Pandangan konstruktif kami terhadap aset HY tidak berubah, akibat dukungan oleh bank sentral AS, semakin rendahnya alternatif obligasi lain, pemulihan ekonomi yang semakin terlihat dan juga stimulus fiskal AS. Kepresidenan Joe Biden dapat memberikan manfaat tambahan dengan turunnya tensi dengan China.
Emas – stabil menguat
Penguatan emas masih akan terus berlanjut dan reflasi akan menjadi pendukung harga emas. Bantuan fiskal, bank sentral yang akomodatif, serta permintaan yang kuat dari pasar negara berkembang akan terus mendukung harga emas. – Vasu Menon
Pesimisme akan harga minyak memberikan tekanan pada OPEC+ untuk menunda peningkatan produksi yang saat ini dijadwalkan bulan Januari. OPEC+ memiliki waktu hingga 1 Desember untuk memutuskan apakah akan menunda rencana untuk menambah 1.9 juta barel per hari pada produksi minyak mentah, karena pemangkasan saat ini 7.7 juta barel per hari diturunkan menjadi 5.89 juta barel per hari di bawah rencana awal.
Harga minyak masih akan mengalami tantangan dalam jangka pendek.
Pertama, harga minyak mentah yang stagnan mencerminkan pemulihan permintaan yang melambat seiring dengan meningkatnya kasus COVID-19. Lonjakan kasus COVID-19 telah membuat pemerintah Eropa untuk memperketat langkah-langkah penahanan, yang memberatkan prospek ekonomi jangka pendek.
Kedua, peningkatan pasokan minyak juga merupakan hambatan bagi minyak. Pasokan minyak Libya kembali pada waktu yang tidak tepat. Risiko bearish lainnya untuk minyak di bagian pasokan adalah bahwa kemungkinan kemenangan Biden dalam pemilihan AS meningkatkan prospek titik balik diplomatik antara AS dan Iran yang dapat membuka pintu untuk kembalinya minyak mentah Iran.
Pasar emas melingkar, istilah yang dikaitkan dengan pasar yang relatif beragam yang bersiap untuk melakukan pergerakan besar. Penguatan emas akan masih berlanjut menurut pandangan kami.
Pertama, kami memperkirakan kebijakan reflasi pasca pemilu akan mendukung emas. Suku bunga riil yang lebih rendah juga akan positif untuk emas. Tingkat riil dapat turun jika pasar percaya bahwa ekonomi akan pulih dengan dukungan lebih The Fed untuk ekonomi ditengah pemerintah yang mengalami kebuntuan. Prospek inflasi yang lebih tinggi akan menguntungkan emas sebagai pelindung nilai inflasi.
Kedua, kami positif terhadap emas karena bank sentral dapat mencetak uang tetapi tidak emas. Gelombang besar kedua COVID-19 dapat menyebabkan lebih banyak stimulus bank sentral. Ketika bank sentral meningkatkan pelonggaran kuantitatif, kekhawatiran penurunan nilai mata uang akan mendorong emas lebih tinggi terhadap mata uang utama seperti USD, EUR, dan AUD.
Ketiga, permintaan pasar negara berkembang untuk perhiasan emas dapat menguat seiring dengan peningkatan pertumbuhan. Satu titik terang adalah China di mana peningkatan basis pertumbuhan menjadi lebih luas.
Vaksin yang tersedia secara luas akan membuat kita lebih berhati-hati terhadap prospek emas, tetapi itu lebih menjadi perhatian untuk tahun 2022 atau seterusnya. Kami terus memperkirakan harga emas akan naik menjadi USD 2150 / ons dalam waktu satu tahun.
Dengan blue wave yang gagal terwujud, kami tidak mengharapkan landasan di bawah USD untuk melemah. Namun demikian, selama pasar tetap fokus pada pemilu AS dan setelahnya, USD mungkin masih berada di bawah tekanan.
Pertama, harapan untuk stimulus fiskal cepat yang cukup besar untuk memacu kinerja makro AS relatif dibandingkan terhadap Asia dan Eropa telah menghilang secara efektif. Dengan Kongres yang terpecah, negosiasi stimulus fiskal kemungkinan akan tetap berlarut-larut dan paket terakhir lebih terbatas pada bantuan pandemi. Ini akan menjadi negatif USD.
Kedua, pasar ekuitas telah menemukan alasan yang cukup untuk menguat lebih tinggi. Ini akan mengurangi daya tarik safe-haven dari USD.
Akhirnya, jika kampanye Trump memilih untuk meluncurkan tantangan yang kuat terhadap hasil pemilu, ini dapat menyebabkan USD melemah. Kami lebih memilih untuk membeli JPY jika Trump menentang hasil pemilu.
Namun, di luar pemilu, kami seharusnya tidak secara otomatis mengharapkan tren pelemahan USD dalam jangka waktu satu hingga tiga bulan. Banyak hal tergantung pada situasi pandemi secara global pada saat itu juga.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa bank sentral utama lainnya sekarang bergerak lebih seperti ke Fed dalam hal dovish.
Bank Sentral Australia (RBA) telah berjanji untuk tidak menaikkan suku bunga kebijakannya sampai inflasi dapat dipertahankan dalam kisaran targetnya. Ini tidak berbeda dengan penargetan inflasi rata-rata yang diadopsi oleh Fed. RBA dan Bank Sentral Inggris (BOE) juga telah mengumumkan program pembelian aset yang lebih dovish dari perkiraan semula.
Bank Sentral Eropa (ECB) juga dapat memperluas Program Pembelian Darurat Pandemi (PEPP; program pembelian aset sementara sebagai tanggapan terhadap COVID-19) pada bulan Desember. Ini berbeda dengan The Fed, yang diperkirakan tidak akan memperluas program pembelian asetnya untuk saat ini. Jadi, Fed bukan lagi “merpati terbesar di kota”, dan ini mungkin terbukti menguntungkan bagi USD.
Di Asia, hasil ini dapat dikatakan positif-RMB, dan kenaikan tajam dalam RMB menunjukkan hal itu. Dalam jangka menengah, jika pemerintahan baru AS mengadopsi pendekatan yang lebih konvensional dan berbasis aturan terhadap China, kami mungkin melihat risiko penurunan geopolitik. Ini ditambah dengan RMB-positif China-sentris (misalnya pemulihan ekonomi di jalur yang tepat dan perbedaan imbal hasil yang mendukung) akan menjadi pertanda baik untuk RMB dalam jangka menengah.
Opportunities amid risks
Pemulihan ekonomi yang berlanjut masih menjadi perhatian utama para pelaku pasar, dimana pasar ketenagakerjaan AS yang merupakan salah satu indikator penting terus menunjukkan perbaikan. Angka pengangguran pun kembali mencatatkan penurunan menjadi 7.9% dari bulan sebelumnya di 8.4%. Namun untuk pemulihan pasar tenaga kerja AS sepenuhnya, masih cukup berat karena pandemi yang sangat memukul perekonomian. Risiko pelemahan ekonomi juga diperbesar oleh fakta bahwa negosiasi stimulus fiskal tidak berjalan mulus. Pemilihan Presiden AS juga akan menjadi perhatian dalam waktu dekat dan dapat meningkatkan ketidakpastian di pasar.
Sementara itu di Eropa, risiko ketidakpastian meningkat, selain dari proses negosiasi Brexit yang belum mencapai kesepakatan, serta melonjaknya kembali kasus COVID-19 di kawasan ini. Beberapa kawasan Eropa seperti Inggris, Rusia, Spanyol dan Prancis menjadi episentrum COVID-19 seiring dengan lonjakan yang terjadi. Beberapa negara ini sudah mulai menerapkan kembali lockdown secara parsial. Hal ini dapat kembali menekan proses pemulihan ekonomi dan memperpanjang resesi di Eropa.
Di Asia, bulan September lalu merupakan bulan yang bergejolak. Meningkatnya infeksi COVID-19 di beberapa negara Asia, serta faktor global seperti ketidakpastian stimulus AS dan pemilu mendatang mendorong volatilitas dan membebani sentimen. Namun, rilisan data di negara-negara Asia masih menunjukkan menunjukkan perbaikan, dipimpin oleh China. Laju pemulihan ekonomi China terlihat on track, dengan indikator PMI manufaktur yang masih mencatatkan kenaikan di bulan September. China pun diperkirakan masih akan tumbuh di zona positif pada tahun ini dan terhindar dari resesi. Hal ini kemungkinan akan membuat bank sentral China (PBoC) menjadi kurang agresif dalam melakukan pelonggaran kebijakan moneter, tetapi kebijakan akan tetap bersifat akomodatif. Bahkan saat ini fokus PBoC adalah menjadikan Yuan menjadi mata uang digital dunia. Rencana tersebut tentunya akan memberikan dampak pada sistem moneter internasional.
Dari dalam negeri, bulan September merupakan bulan yang cukup challenging bagi pasar modal Indonesia. Beberapa indikator ekonomi terlihat menunjukkan penurunan. Karena PSBB yang lebih ketat di bulan September, aktivitas manufaktur kembali terkontraksi ke level 47.2, setelah bulan sebelumnya menunjukkan ekspansi. Deflasi pun masih terjadi untuk bulan ketiga secara berturut-turut yang mengindikasikan konsumsi masyarakat semakin menurun. Sementara cadangan devisa pada akhir bulan September juga turun menjadi US$ 135.2 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya yang menyentuh rekor US$ 137 miliar. Penurunan dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk membuat Rupiah stabil di tengah ketidakpastian pasar keuangan global. Secara keseluruhan, kami melihat fundamental ekonomi Indonesia masih cukup bertahan ditengah lonjakan kasus infeksi COVID-19 dalam negeri yang menghambat pemulihan. UU Omnibus Law Cipta Kerja yang akhirnya disahkan diharapkan dapat menjadi katalis positif kedepannya, dimana UU tersebut berpotensi mengubah iklim investasi dalam negeri yang dapat menarik aliran modal masuk ke dalam negeri.
Pasar Saham
Bulan September cukup memberikan tekanan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dengan pelemahan yang signifikan sebesar 7.03%. Kekhawatiran akan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi negatif membuat para pelaku pasar meninggalkan aset berisiko. Pandemi yang masih berlangsung terus memberikan tekanan terhadap perekonomian, dan resesi diperkirakan akan berlanjut pada kuartal III. Ditambah lagi dengan adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara total di Jakarta pada bulan September membuat aktivitas ekonomi jadi kembali terhambat. Sebagai ibukota, ekonomi Jakarta berkontribusi sekitar 17 persen terhadap perekonomian nasional. PSBB total tersebut dijalankan karena kasus COVID-19 di dalam negeri yang masih belum menunjukkan tren penurunan. Dalam upaya menangani COVID-19, kami melihat peran Pemerintah nyata dalam mendukung pemulihan ekonomi. Bank Indonesia pun terus menambah likuiditas demi mempercepat penyaluran kredit.
Dalam jangka pendek, kami melihat volatilitas masih akan tetap ada seiring dengan lonjakan kasus harian COVID-19 yang masih tinggi, dan juga perkembangan vaksin yang masih dinantikan. Faktor eksternal seperti stimulus AS dan pemilihan presiden juga akan mempengaruhi pasar. Namun, dengan pencabutan PSBB yang ketat dan kembali ke masa transisi di bulan Oktober, kami berharap aktivitas ekonomi yang sempat terhenti dapat berjalan kembali untuk mendukung pemulihan. Di sisi lain, pengesahan UU Omnibus Law di awal Oktober, termasuk rencana Sovereign Wealth Fund diharapkan dapat memberikan sentimen positif bagi perekonomian Indonesia secara umum dan pasar modal dalam jangka panjang.
Pasar Obligasi
Pasar obligasi juga mencatatkan pelemahan di bulan September, dengan imbal hasil pemerintah tenor 10 tahun naik sebesar 1.32% ke level 6.96%. Pasar obligasi domestik dinilai masih cukup stabil di tengah berbagai ketidakpastian yang ada, didorong oleh skema burden sharing Pemerintah dan Bank Indonesia. Skema burden sharing kemungkinan akan berlanjut hingga tahun depan, karena diperlukannya waktu untuk menggenjot lebih banyak realisasi anggaran seiring dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Gubernur BI Perry Warjiyo juga menyatakan bahwa pihaknya masih terus mengkaji dampak dari penerapan tersebut terhadap inflasi dan juga neraca keuangan BI. Di sisi lain, kami melihat permintaan yang tinggi baik dari investor asing maupun domestik pada pasar obligasi terutama dengan real yield yang menarik. Dengan demikian, berlanjutnya skema burden sharing dan terus bertambahnya arus modal pada pasar obligasi Indonesia dapat mendorong penurunan imbal hasil ke level 6.5 – 6.6% hingga akhir tahun.
Pasar Mata Uang
Sama hal nya dengan pasar saham dan obligasi, mata uang Rupiah juga mencatatkan pelemahan bulan lalu. Rupiah melemah sebesar 2.18% terhadap Dolar AS, dan berakhir di level 14,880. Pelemahan dipengaruhi oleh tingginya ketidakpastian pasar keuangan, baik karena faktor global maupun domestik, sehingga membuat tingginya permintaan Dolar AS sebagai mata uang safe-haven. Untuk kedepannya, Bank Indonesia melihat bahwa Rupiah berpotensi untuk menguat karena levelnya yang secara fundamental masih undervalued, didukung oleh potensi capital inflow dari UU Ciptaker. Kebijakan suku bunga rendah dari AS juga akan menahan Dolar AS relatif lemah jika dibandingkan dengan mata uang negara lain. Sehingga, Rupiah diperkirakan akan bergerak di kisaran 14,700 – 14,900 hingga akhir tahun.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
Pandangan Global
Mempertimbangkan risiko jangka pendek
Meskipun ada ancaman jangka pendek, kami melihat prospek makro ekonomi terus mendukung aset berisiko. Kami memperkirakan ekonomi global akan pulih lebih jauh di tahun 2021 dan suku bunga tetap rendah karena The Fed yang kemungkinan akan mempertahankan suku bunga acuan setidaknya sampai akhir 2025 untuk mendukung ekonomi AS. – Eli Lee
Tren yang sangat jelas selama musim panas akan penguatan ekuitas, pelemahan USD, imbal hasil obligasi pemerintah yang sangat rendah, kurva imbal hasil yang lebih curam dan harga emas yang menyentuh rekor telah memberikan volatilitas pasar keuangan.
Investor menjadi lebih berhati-hati karena risiko jangka pendek yang lebih besar akan prospek.
Lonjakan virus di Eropa
Pertama, gelombang virus baru di seluruh Eropa telah mempengaruhi sentimen perusahaan, seiring dengan pemerintah nasional yang memberlakukan kebijakan baru pada aktivitas ekonomi untuk menekan penyebaran virus baru.
Stimulus fiskal yang memudar
Kedua, ketidakmampuan Kongres Amerika untuk menyetujui stimulus fiskal lebih lanjut meningkatkan kekhawatiran bahwa ekonomi AS akan mengalami pertumbuhan yang jauh lebih lemah pada Q4 2020 setelah rebound yang kuat pada Q3 2020. Hal ini dikarenakan USD 1.5 triliun dari bantuan darurat federal sebesar USD 3 triliun yang besar yang disahkan awal tahun ini untuk mendukung ekonomi pada awal pandemi telah expired.
Sejauh ini, anggota parlemen AS tidak dapat menyetujui dukungan fiskal dan tidak mungkin melakukannya, terutama menjelang pemilihan presiden pada 3 November.
Namun, kurangnya dukungan tambahan dari pemerintah mungkin sudah menahan pertumbuhan dan dengan demikian memperlambat pemulihan pasar tenaga kerja AS. Klaim tunjangan pengangguran melonjak pada awal pandemi dari sekitar 200 ribu aplikasi dalam seminggu menjadi hampir 7 juta. Setelah Kongres mengesahkan bantuan darurat pada bulan Maret dan April, pekerjaan mulai pulih, dan klaim pengangguran terus mencatatkan penurunan. Tetapi, baru-baru ini, aplikasi telah berhenti memperlihatkan penurunan dan tetap tinggi berada di bawah 900 ribu dalam seminggu. Demikian pula, klaim yang terus berlanjut - total angka pengangguran - menunjukkan lebih dari 12 juta pekerja terus mengajukan permohonan tunjangan pengangguran.
Kekhawatiran bahwa pemilu AS dapat diperebutkan
Ketiga, pasar keuangan juga telah menjadi lebih khawatir bahwa hasil pemilu AS yang dekat pada 3 November tidak pasti dan mengakibatkan pengulangan pemungutan suara dan kasus pengadilan dapat berlangsung selama berminggu-minggu. Hasil pemilu yang diperebutkan bahkan dapat menyebabkan krisis konstitusional besar jika Presiden Donald Trump atau lawannya dari Partai Demokrat Joe Biden tidak menerima hasilnya.
Ketegangan AS-China yang meningkat
Keempat, ketegangan antara AS dan China terus meningkat di berbagai isu mulai dari perdagangan hingga teknologi.
Kekhawatiran akan kekacauan Brexit
Terakhir, risiko 'no deal' yang meningkat antara Inggris dan Uni Eropa jika kedua belah pihak tidak dapat mencapai kesepakatan perdagangan ketika kesepakatan perdagangan mereka saat ini berakhir pada akhir 2020. Bahkan jika kesepakatan perdagangan UE-Inggris baru diselesaikan sebelum akhir tahun, kami memperkirakan PDB Inggris masih akan berkontraksi sebesar -10% pada tahun 2020 - kinerja yang jauh lebih buruk daripada AS, Zona Eropa atau Jepang seperti yang ditunjukkan tabel perkiraan PDB kami. Tetapi jika tidak ada kesepakatan yang disepakati pada akhir tahun dan Inggris kehilangan akses bebas tarif ke pasar UE, maka Inggris akan mengalami penurunan serius yang kedua di tahun 2021.
Kami tidak negative walaupun risiko tetap ada
Risiko jangka pendek yang signifikan dengan demikian cenderung membuat investor berhati-hati pada bulan Oktober. Namun, pasar keuangan tampaknya sudah priced in akan potensi banyaknya berita buruk didepan - mengingat volatilitas yang ada baru-baru ini - dan kami melihat ancaman hanya sebagai ekor untuk skenario dasar kami akan pemulihan ekonomi global yang berkelanjutan yang dipimpin oleh Cina dan bank sentral yang sangat dovish menjaga aset berisiko dalam jangka panjang.
Sebagai contoh, gelombang virus kedua di seluruh Eropa telah menekan sentimen bisnis setelah musim panas, tetapi pemerintah memilih menjalankan pembatasan, daripada kembali pada kebijakan lockdown secara luas yang diberlakukan selama gelombang virus pertama.
Demikian pula, stimulus fiskal tidak mungkin terjadi sebelum pemilu AS, tetapi prospeknya akan naik lagi setelah pemungutan suara November karena kedua belah pihak mendukung bantuan pemerintah lebih lanjut untuk mendukung pemulihan ekonomi Amerika.
Lebih lanjut, Presiden Trump - ketika beliau tetap tertinggal dalam jajak pendapat - terus mengklaim tanpa bukti bahwa peningkatan penggunaan mail-in ballots karena pandemi akan menyebabkan kecurangan pemungutan suara yang meluas selama pemilu November. Dengan demikian, investor khawatir bahwa Trump tidak akan menerima hasilnya jika beliau kalah dan sebaliknya akan menuntut Mahkamah Agung terlalu banyak menunggangi penghitungan suara. Tetapi senior Partai Republik termasuk pemimpin Senat Mitch McConnell dan Senator Mitt Romney telah menegur Trump dan bersikeras akan ada transisi yang tertib jika presiden kalah dalam pemilihan November.
Trump masih cenderung akan membantah hasilnya jika beliau kalah. Namun beliau hanya dapat mencoba jika hasil November sangat ketat.
Demikian pula, risiko ketegangan AS-China yang mempengaruhi pasar keuangan akan dibatasi oleh prospek tarif yang diberlakukan sebelum pemilu AS. Sementara ketidakpopuleran pemerintah Inggris - karena penanganannya yang buruk terhadap pandemi - telah meningkatkan tekanan pada London untuk berkompromi dan mengamankan kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa untuk menghindari no-deal pada akhir tahun.
Pasar Saham
Mempertahankan posisi netral pada ekuitas
Untuk saat ini, kami masih percaya bahwa investor harus melakukan rotasi posisi dari saham growth / momentum ke saham cyclical / value, dan kami mempertahankan posisi keseluruhan yang netral dalam pasar saham. – Eli Lee
Terlepas dari kinerja buruk yang tercatat di seluruh pasar global baru-baru ini, kami yakin bahwa volatilitas belum akan mereda dalam jangka pendek. Dalam pandangan kami, pemilihan presiden AS yang akan datang akan menjadi sentimen risiko utama untuk pasar saham, dengan ketidakpastian yang semakin besar seiring dengan potensi penundaan debat capres.
Namun, kami tetap konstruktif pada prospek pasar jangka panjang, dengan China khususnya sebagai titik terang, karena data aktivitas terbaru menunjukkan bahwa ekonomi China terus memimpin pemulihan global pada Q3 2020 setelah pemulihan berbentuk V pada Q2 2020.
Amerika Serikat
Meskipun kami tetap konstruktif dalam jangka panjang, kami percaya bahwa alasan penurunan baru-baru ini tetap valid untuk melihat prospek jangka pendek pasar saham AS. Pertama, masih ada ketidakpastian yang signifikan mengenai apakah paket stimulus dapat disahkan sebelum pemilu. Kedua, gelombang baru infeksi COVID-19 tetap mungkin terjadi. Ketiga, beberapa pelaku pasar khawatir bahwa inflasi berpotensi menjadi hambatan bagi ekuitas, meskipun kami ingin menunjukkan bahwa sejarah menunjukkan valuasi yang multiple dapat tetap tinggi atau terus berkembang ketika inflasi meningkat dari titik awal yang relatif rendah. Terakhir, dan mungkin yang paling penting, proses pemilu yang berlangsung dalam waktu lama tetap menjadi risiko utama untuk pasar bergerak maju.
Eropa
Di Eropa, sejauh ini kondisi untuk tahun 2020 adalah ekspansi ganda yang kuat untuk mengimbangi jatuhnya laba. Pertanyaan kuncinya adalah apakah pendapatan berubah dan seberapa jauh P/E multiple dapat berkembang. Terkait dengan yang pertama, laporan terbaru perusahaan telah menunjukkan revisi pendapatan negatif stabil dan Q2 2020 mungkin menandai level terendah, tetapi ini dengan asumsi bahwa wilayah tersebut tidak melakukan karantina skala besar yang diperbarui karena peningkatan kasus COVID-19. Saat ini, situasinya sedang berubah-ubah, karena kasus yang tampaknya meningkat lagi.
Memang, di Inggris, negara tersebut tampaknya berada dalam posisi yang lebih berbahaya sehubungan dengan COVID-19, bersama dengan kekhawatiran baru tentang Brexit tanpa kesepakatan. Investor di ekuitas Inggris mungkin ingin diingatkan bahwa saham-saham Inggris yang terekspos di dalam negeri biasanya berkinerja lebih buruk dari saham-saham yang terekspos asing dalam periode pelemahan sterling dan sebaliknya.
Jepang
Menyusul transisi kepemimpinan pada akhir September, di mana Yoshihide Suga memenangkan pemilihan internal partai LDP dan ditunjuk sebagai Perdana Menteri berikutnya untuk sisa masa jabatan satu tahun mantan PM Shinzō Abe, kami mengharapkan keberlanjutan kebijakan fiskal dan moneter ekspansif di Jepang, dengan fokus jangka pendek pada penanganan pandemi dan pembukaan kembali ekonomi. Dengan meningkatnya peringkat persetujuan untuk pemerintahan baru, pemilihan umum yang lebih awal dapat dilakukan sebelum berakhirnya masa jabatan resmi PM pada September 2021, bergantung pada situasi pandemi.
Dengan track record PM Suga tentang reformasi masa lalu dalam pemerintahan Abe, pasar tampaknya lebih berharap reformasi struktural baru yang mendorong produktivitas dan pertumbuhan. Namun, kami memiliki pandangan yang lebih hati-hati, mengingat kemajuan yang berarti dalam reformasi akan membutuhkan waktu. Sektor-sektor utama PM Suga diharapkan untuk memfokuskan upaya pemulihan termasuk pariwisata dan pertanian, sementara sektor telekomunikasi kemungkinan besar akan terus menghadapi tekanan harga. Valuasi tetap diperpanjang. MSCI Jepang terakhir diperdagangkan pada 15.4x forward P/E, mendekati 2 standar deviasi di atas kelipatan rata-rata 10-tahun 12.8x. Perkiraan pendapatan perusahaan untuk tahun keuangan yang berakhir Maret 2021 telah dipangkas selama tiga bulan terakhir, dan diperkirakan akan berkontraksi 7% tahun-ke-tahun dari tahun lalu, dengan rebound yang lebih kuat sebesar +40% diharapkan pada FY Maret 2022E .
Asia ex-Japan
MSCI Asia ex-Japan Index membalikkan kenaikan tiga bulan berturut-turut, turun sedikit di bulan September. Namun, kinerjanya relatif lebih tangguh dibandingkan pasar AS.
Ada beberapa perkembangan positif di sisi geopolitik, karena China dan India telah mengadakan putaran baru diskusi diplomatik dengan tujuan mengurangi ketegangan mengingat sengketa perbatasan mereka yang sedang berlangsung. Sementara jumlah harian kasus COVID-19 baru di India tetap tinggi, tampaknya ada beberapa pemulihan dalam permintaan konsumen karena penguncian berkurang, ditambah dengan peningkatan pengeluaran menjelang musim perayaan utama.
Di Asia Tenggara, ketidakpastian tetap ada di wilayah politik Malaysia. Parlemen Indonesia menyetujui anggaran negara untuk tahun 2021 dengan target membawa pertumbuhan PDB menjadi 5% dan defisit fiskal diperkirakan mencapai 5.7% dari PDB. Pemerintah Singapura mengumumkan pada akhir September bahwa mereka mengizinkan lebih banyak karyawan untuk kembali ke kantor, meskipun sebagian karyawan masih harus bekerja dari rumah setidaknya separuh waktu dan tidak lebih dari separuh karyawan diizinkan bekerja di kantor setiap saat. Sementara pembatasan masih berlaku, sedikit pelonggaran ini memberikan dorongan sentimen positif terhadap bisnis REIT, ditambah dengan laporan media terbaru dari Bytedance, Tencent dan Amazon yang mempertimbangkan untuk melakukan ekspansi di Singapura. Pelonggaran tempat kerja juga memberikan manfaat nyata langsung untuk REIT ritel dengan mal di pusat kota dekat gedung perkantoran seperti CapitaLand Mall Trust, Starhill Global REIT, dan Suntec REIT (35% dari campuran tenant di mal Suntec City adalah F&B). Gerai makanan dan minuman di kawasan pusat kota pasti menderita dengan sebagian besar tenaga kerja yang bekerja dari rumah.
Ke depan, Oktober akan dimulai musim pendapatan, dengan S-REIT yang memulai. Meskipun kami mengharapkan pemulihan secara bertahap dibandingkan dengan Q2 20 karena dampak dari konsesi sewa yang diberikan kepada penyewa, kinerja dari tahun ke tahun kemungkinan akan tetap lemah dengan pengecualian pusat data dan logistik yang terpapar S-REIT. Indikator utama yang harus diperhatikan mencakup tarif penagihan sewa dan laju pemulihan lalu lintas pembeli dan penjualan penyewa.
China
China akan mengadakan sidang pleno pada akhir Oktober untuk membahas Rencana Lima Tahun ke-14 (2021-2025), yang akan menjadi acara penting yang harus diwaspadai. Kami berharap strategi “sirkulasi ganda” menjadi fokus kebijakan utama dan kebijakan pemerintah tertentu akan diperlukan untuk memfasilitasi perkembangan ini. Strategi “sirkulasi ganda” akan fokus pada permintaan domestik sebagai penggerak utama, didukung oleh jaringan sirkulasi domestik dan internasional yang saling melengkapi. Dalam pandangan kami, strategi ini adalah pergeseran menuju kemandirian dan penekanan kembali pada potensi skala besar ekonomi domestik Tiongkok di tengah lingkungan global yang tidak pasti dan ketegangan AS-Tiongkok yang sedang berlangsung, yang telah mengakibatkan ketidakpastian pada permintaan eksternal.
Konsumsi domestik dapat didorong dan didukung oleh reformasi struktural dan investasi yang efektif tidak hanya dalam proyek infrastruktur tradisional, tetapi juga melalui investasi dalam proyek infrastruktur baru dan urbanisasi baru. Dengan demikian, penerima manfaat potensial akan diperluas ke sektor infrastruktur baru seperti pusat data, kecerdasan buatan, aplikasi 5G, internet of things, tumpukan pengisian kendaraan listrik, dan proyek transmisi daya tegangan sangat tinggi. Kami lebih memilih sektor yang berfokus pada konsumsi domestik, seperti otomotif, internet, dan asuransi, dan berharap sektor ini memiliki lebih banyak dukungan kebijakan. Sementara sektor kesehatan juga akan mendapatkan keuntungan, kami hanya akan mengakumulasi pada perusahaan yang mengalami penurunan tajam dengan fokus domestik, mengingat kinerja sektor ini relatif positif dan memiliki valuasi yang menarik.
Pasar Obligasi
Masih overweight terhadap obligasi EM High Yield (HY)
Pasar obligasi masih terus mendapatkan dukungan bank sentral melalui pelonggaran-pelonggaran kebijakan. Kami mempertahankan pandangan overweight terhadap kredit EM HY dengan preferensi terhadap obligasi HY kawasan Asia. – Vasu Menon
Reli pasar obligasi korporasi yang telah terjadi selama 4 bulan berturut-turut akhirnya terhenti di bulan September. Obligasi korporasi negara berkembang (EM) turun -0.3%, dengan EM HY yang mencatatkan penurunan -0.8%, dan EM IG sebanyak -0.1%. Di negara maju (DM), HY turun -1.3% sementara IG berhasil naik sebesar 0.3%.
Sebulan terakhir, untuk kategori obligasi HY, Asia merupakan yang paling tertekan turun -2.7% dibandingkan Amerika Latin yang turun -1.5%, dan -0.6% untuk EMEA. Penurunan di Asia didorong oleh China (terutama oleh sektor properti), yang mencatatkan pelemahan -3.6%. Namun, pelemahan imbal hasil HY China tidak mempengaruhi imbal hasil IG.
Antisipasi adanya volatilitas dalam jangka pendek
Pemilu kepresidenan Amerika Serikat semakin mendekat, dimana hasil polling menunjukkan potensi terjadinya kemenangan telak oleh partai demokrat, yang dapat memicu respons yang ekstrim oleh President Trump. Terlebih lagi, perbincangan stimulus fiskal tambahan beberapa pekan lalu yang diasumsikan tampaknya menjadi suatu mimpi yang jauh mengingat Kongres yang semakin terpecah-pecah. Kemudian, gelombang kedua COVID-19 yang saat ini melanda mayoritas negara kawasan Eropa termasuk Perancis, Inggris, dan Spanyol juga dapat menimbulkan volatilitas tambahan. Beberapa faktor diatas dapat membebani pasar obligasi global beberapa pekan kedepan.
Pandangan konstruktif jangka menengah masih dipertahankan
Data-data ekonomi (housing starts, PMI, retail sales) terbaru menunjukkan pemulihan ekonomi AS yang berkelanjutan, walaupun tidak seimbang. Terlebih lagi, walaupun situasi COVID-19 global masih memburuk, tingkat kematian di mayoritas negara semakin menurun. Dan yang mungkin menjadi faktor lebih penting, adalah rendahnya toleransi ekonomi global terhadap lockdown para negara di masa lalu. Kemudian, tensi politik Amerika Serikat di bulan November berpotensi menurun seiring dengan progres pemilu dan juga stimulus fiskal tambahan oleh pemerintah yang hampir dapat dipastikan akan disalurkan. Namun, kunci peran saat ini masih dipegang oleh bank sentral Amerika Serikat, dimana pernyataan terakhir mengarah kepada pelonggaran kebijakan suku bunga yang akan lebih panjang.
Preferensi terhadap HY di Asia
Di kategori HY, Asia berkinerja buruk beberapa bulan terakhir seiring dengan Latin Amerika yang masih membukukan pelemahan sejak awal tahun. Namun, kami masih mempertahankan pandangan terhadap Asia dan percaya bahwa pelemahan yang terjadi akan menjustifikasi valuasi saat ini. Akan tetapi, seiring dengan ekonomi global yang membaik, akan ada negara-negara diluar Asia yang juga akan memberikan peluang yang baik.
Walaupun obligasi HY China memberikan imbal hasil -2.8% secara bulanan, pandangan overweight kami terhadap obligasi HY sektor properti China tidak berubah. Kami masih lebih menyukai obligasi BB hingga B- seiring dengan masih adanya ketidakpastian ekonomi secara makro. Pelemahan obligasi HY di sektor properti China memberikan peluang bagi investor untuk kembali menambah posisi mereka saat ini dibandingkan bulan lalu. Saat ini, YTM obligasi HY China berada di angka 9.4% dibandingkan Indonesia yang juga di angka 9.4%, dan India di 7.43%.
Di kategori IG, kami cenderung menyukai Amerika Latin. Dari segi valuasi, Asia dan terutama China terlihat menarik.
Pasar Mata Uang dan Komoditas
Dasar yang kuat untuk kenaikan harga emas
Seiring dengan ekspektasi The Fed yang menjaga suku bunga mendekati level nol setidaknya sampai dengan akhir tahun 2025, ada dasar yang kuat untuk kenaikan harga emas yang lebih tinggi dalam jangka menengah. Kami memprediksi harga emas meningkat menjadi USD 2,150 / ons dalam waktu satu tahun. – Vasu Menon.
Minyak
Pandangan jangka pendek untuk harga minyak tetap menjadi tantangan. Pertama, harga minyak mentah yang stagnan mencerminkan perlambatan pemulihan akan permintaan seiring dengan kasus COVID-19 yang kembali meningkat. Data lalu lintas dan penerbangan menunjukan pemulihan yang melambat.
Kedua, OPEC secara bertahap dijadwalkan untuk memangkas pasokan. Ketiga, pasokan minyak Libya kembali pada waktu yang tidak tepat setelah produksi minyak sebelumnya ditutup karena konflik yang sedang berlangsung.
Akan tetapi, kami mengharapkan keseimbangan sisi penawaran untuk mengimbangi perlambatan peningkatan permintaan minyak untuk menjaga harga minyak tetap didukung. Meskipun belum tercermin dalam tren penurunan dalam persediaan minyak, kami memperkirakan hal itu akan terjadi dalam beberapa bulan mendatang.
Pertama, kami berharap OPEC secara kolektif melanjutkan peningkatan tingkat kepatuhan yang tinggi dengan memangkas pasokan yang dijanjikan untuk sisa tahun 2020 ini. Arab Saudi mengisyaratkan bahwa mereka siap untuk pemangkasan produksi baru dan mengecam anggota OPEC yang curang.
Kedua, pengurangan secara radikal dalam pengeboran di seluruh dunia harus tetap diterapkan sampai harga minyak mulai naik di atas USD 50 / barel. Menurut survei Fed Dallas, harga USD 50-60 / barel untuk minyak mentah diperlukan untuk memberikan stimulus aktivitas pengeboran yang baru.
Emas
Emas mengalami likuidasi pada bulan September, karena USD yang lebih kuat dan kenaikan suku bunga riil menekan selera investor.
Meningkatnya kekhawatiran pertumbuhan telah membebani ekspektasi inflasi dan mendorong tingkat riil lebih tinggi (dan harga emas lebih rendah) dengan imbal hasil obligasi nominal AS 10 tahun tidak berubah.
Akan tetapi, kami percaya emas sebagai safe haven akan tetap kuat, karena pembuat kebijakan tidak mampu untuk mengabaikan peningkatan volatilitas lebih lanjut di pasar ekuitas dan mengizinkan kemungkinan pengetatan kebijakan fiskal yang tidak disengaja terjadi. Semakin adanya aksi risk-off, semakin besar pula the Fed akan mengambil tindakan.
Dengan the Fed yang diekspektasi akan menjaga suku bunga the Fed mendekati level nol sampai akhir tahun 2025, akan ada alasan yang kuat untuk kenaikan harga emas lebih tinggi dalam jangka waktu menengah.
Kami memprediksi harga emas meningkat menjadi USD 2,150 / ons dalam satu tahun.
Pasar Mata Uang
Memasuki Q4 2020, lingkungan global menjadi semakin tidak menentu karena adanya beberapa perkembangan.
Pertama adalah peningkatan jumlah virus di Eropa yang telah memaksa negara-negara untuk mempertimbangkan dan memulai kembali pembatasan pergerakan.
Kedua adalah momentum pemulihan ekonomi global yang dirasakan terhenti.
Pengembalian ke pembatasan dapat berdampak lebih jauh pada sektor jasa di Eropa yang sudah terhenti.
Pasar keuangan juga memandang bahwa pemulihan ekonomi AS akan memudar jika putaran stimulus fiskal berikutnya gagal terwujud.
Akhirnya, perdagangan reflasi yang dipicu oleh bank sentral juga mulai terurai dan menghentikan sentimen pasar untuk risk-on.
Dengan adanya beberapa faktor di atas, dengan sendirinya, mungkin tidak cukup untuk membalikkan pelemahan USD, konvergensi faktor-faktor tersebut telah merusak risk appetite dan menguntungkan USD.
Jika perkembangan-perkembangan ini tetap terjadi atau lebih buruk, USD kembali mendapatkan dukungan dibalik pembelian safe haven. Melihat latar belakang ini, kami mungkin dapat melihat Euro dan AUD berkinerja dibawah greenback.
Risiko peristiwa penting yang akan datang adalah pemilihan presiden AS. Jika hasil yang diperebutkan menjadi mungkin, berharap hal tersebut akan diterjemahkan ke dalam episode risk-off yang berpusat pada AS. Ini bisa menjadi katalis negatif untuk USD dalam jangka pendek. Namun, pelemahan USD kemungkinan akan terbatas pada mata uang cadangan lainnya, terutama Yen Jepang.
Di Asia, secara struktural positif untuk Renminbi (RMB) tetap berada di tempatnya. Dapat disebutkan bahwa pemulihan ekonomi on track pasca pandemi terlihat di China, dan perbedaan imbal hasil yang menguntungkan ini semakin mendukung mata uang China.
Kami mempertahankan pandangan positif untuk RMB, mengharapkannya untuk menguat ke 6,7100 terhadap USD dalam waktu dekat. Pemulihan yang stabil di China dan RMB yang kuat telah memungkinkan pasar untuk mengabaikan kondisi pemulihan yang sebagian besar lemah di Asia (kecuali China). Hal ini memberikan tingkat perlindungan bagi mata uang Asia. Bahkan jika USD rebound lebih lanjut, kami memperkirakan kenaikan terhadap mata uang Asia akan lebih terbatas.
Pemulihan yang berlanjut menjadi berita utama pada bulan Agustus, dengan aset risiko global terlihat melanjutkan penguatan. Saham teknologi telah menjadi yang terbesar mendorong kinerja Wall Street, seperti Tesla, Apple, Amazon, dan Microsoft memimpin penguatan. Data pekerjaan dari AS, yang merupakan salah satu indikator ekonomi yang sangat diperhatikan untuk menunjukkan pemulihan ekonomi global masih menunjukkan perbaikan. Tingkat pengangguran akhirnya turun menjadi satu digit di 8.4%, dibandingkan dengan 10.2% pada bulan Juli; karena lonjakan Non-Farm Payrolls dan penurunan data klaim pengangguran mingguan. Jumlah pertumbuhan kasus COVID-19 di AS terlihat menurun secara substansial pada bulan Agustus meskipun CDC telah mengubah pedoman pengujiannya tentang COVID-19, dimana kasus asimtomatik mungkin tidak perlu pengujian.
Namun, beberapa minggu terakhir telah mengkonfirmasi bahwa selera risiko investor juga telah sedikit menurun seiring dengan pemilihan Presiden AS sebentar lagi. Mengenai jajak pendapat dan survei, Joe Biden masih menjadi favorit saat ini; meskipun hal yang sama dapat dikatakan empat tahun yang lalu akan Hillary Clinton. Kesempatan terakhir Presiden Trumps adalah stimulus fiskal pemerintah; diyakini mempunyai peran penting dalam probabilitas agar beliau terpilih kembali. Investor mengambil pendekatan yang lebih konservatif terhadap investasi, karena sifat ketidakpastian selama pemilihan; oleh karena itu menyebabkan koreksi baru-baru ini di pasar saham yang telah menguat pada valuasi yang meningkat.
Beralih ke Eropa, Eurostoxx 600 mencatat bulan terbaiknya pada Agustus 2020, sejak 2009. Harapan untuk pemulihan "v-shaped" semakin terlihat; dengan pemerintah merevisi pertumbuhan PDB 2020 dari -6.3% menjadi -6.0%. Namun, zona Eropa menemukan hambatan baru, dari angka inflasi untuk bulan Agustus. Zona Euro mengalami deflasi -0.2%, bertentangan dengan ekspektasi pasar untuk inflasi 0.2% dan jauh di bawah target inflasi yang ditetapkan oleh ECB sebesar 2%. Presiden ECB Christine Lagarde percaya bahwa inflasi hanya akan mulai meningkat pada awal 2021, sementara sisa 2020 masih akan berada di sekitar pemulihan. Bank sentral diperkirakan akan mempertahankan program pembelian obligasi sebesar EUR 1.35 triliun, dengan probabilitas untuk meningkatkannya menjadi 1.7 triliun pada pertemuan mendatang; sementara suku bunga deposito tetap, dan diperkirakan berada di -0.5% hingga akhir 2022.
MSCI Asia ex-Japan mencatatkan peningkatan sebesar 3.39% pada bulan Agustus, dengan saham China memimpin penguatan meskipun data ekonomi dari China menunjukkan perlambatan dalam jalur pemulihan ekonomi, terlihat dari data PMI dan angka inflasi. Mayoritas bursa Asia lainnya mencatatkan penguatan moderat pada bulan Agustus. Investor khususnya di Asia terkejut setelah menerima berita Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe untuk mundur karena komplikasi kesehatan. Namun, tampaknya investor dengan cepat menerima kandidat pengganti; Yoshihide Suga, Sekretaris Kabinet untuk menggantikan Abe.
Di dalam negeri, data ekonomi untuk bulan Agustus menunjukkan jalur pemulihan yang tidak merata bagi perekonomian. Angka inflasi turun lebih lanjut menjadi 1.32% dari 1.54% pada Juli; membawa angka inflasi year to date menjadi 0.93%. Konsumsi belum meningkat dan sepertinya akan tetap sama untuk sisa tahun 2020. Sisi baiknya, data PMI manufaktur dan indeks kepercayaan konsumen tetap pada jalur pemulihannya. Bank sentral juga telah meningkatkan cadangan devisa dari USD 135.1 miliar menjadi USD 137.0 miliar untuk lebih membuktikan komitmennya dalam menjaga stabilitas ekonomi dan pasar.
Pasar Saham
IHSG mencatat kenaikan untuk bulan kelima berturut-turut pada Agustus, ditutup 1.72% lebih tinggi. Penguatan pada pasar ekuitas seharusnya lebih tinggi pada bulan Agustus jika bukan karena rebalancing Indeks MSCI, yang berkontribusi pada penurunan 2.02% pada tanggal perdagangan terakhir di bulan Agustus. Hal ini segera diikuti oleh rebound di hari berikutnya. Namun, berita baru-baru ini mengenai rencana pemerintah untuk merevisi independensi bank sentral, telah membawa kekhawatiran lain di pasar domestik, ditambah dengan sentimen negatif pada saham teknologi global, telah berhasil menurunkan selera risiko pada investor lokal. Ketika investor mencoba menyeimbangkan dan mengamati situasi, Gubernur Ibu Kota, Anies Baswedan, memutuskan untuk melakukan karantina total, karena jumlah kasus COVID-19 telah tumbuh pada tingkat eksponensial lebih dari 3.000 kasus per hari secara nasional. Tindakan tersebut dianggap perlu untuk mengurangi kekhawatiran akan fasilitas kesehatan yang terbatas. Tanpa karantina total, Jakarta akan kehabisan tempat tidur rumah sakit pada 17 September. Keputusan ini sendiri menyebabkan gejolak pasar saham di hari berikutnya. IHSG turun lebih dari 5% pada hari itu, bahkan perdagangan sempat dihentikan. Namun, dibandingkan dengan karantina total pertama di awal pandemi, yang dianggap sebagai kurangnya pedoman, persiapan, apalagi protokol kesehatan yang tepat; dalam karantina saat ini, sebagian besar perusahaan dan orang-orang yang berpengalaman pada pedoman kerja dan protokol kesehatan dan bagaimana untuk menjaga bisnis berjalan dengan beberapa pengaturan kerja yang fleksibel. Pemerintah juga mengizinkan lebih banyak sektor untuk dibuka selama karantina, dibandingkan dengan sebelumnya.
IHSG saat ini diperdagangkan sekitar 18 kali rata-rata dari estimasi laba perusahaan, tetapi juga mencerminkan penurunan laba sekitar 17% untuk 2020. Dana asing juga terus mengalir keluar dari pasar saham sejak awal pandemi, meninggalkan investor domestik sebagai satu-satunya pilar pendukung untuk pasar saham. Jumlah investor saham harian lokal terlihat meningkat dari 51k pada bulan Maret menjadi 93k pada bulan Juli 2020 karena semakin banyak investor ritel mengambil minat di pasar saham domestik dan mendorong IHSG. Ke depan, volatilitas mungkin masih akan ada, karena investor mengamati apakah karantina akan diperluas ke lebih banyak kota, yang berarti akan ada jeda dalam pemulihan ekonomi. Namun demikian, untuk kedepannya pasar ekuitas akan berusaha untuk melakukan price in pada setiap pemulihan ekonomi di masa depan seiring dengan bangsa berlomba-lomba pada pengembangan vaksin dan lebih banyak stimulus fiskal untuk menghindari resesi berkepanjangan. Dengan demikian, IHSG diperkirakan akan ditutup pada kisaran antara 5,000 – 5,400 di sisa tahun ini.
Pasar Obligasi
Pasar obligasi ditutup stagnan pada bulan Agustus, seperti yang ditunjukkan oleh imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang berada di kisaran 6.8%. Bank sentral dan pemerintah telah memutuskan untuk memperpanjang skema "burden sharing" mereka hingga 2022, yang berarti defisit anggaran akan terus melebar karena lebih banyak penerbitan obligasi. Hal ini telah meredam sentimen pasar, terutama untuk pasar obligasi dan FX. Selain itu, diskusi yang sedang berlangsung tentang revisi peraturan independensi bank sentral telah memberikan lebih banyak tekanan pada aset. Namun demikian, karena selera risiko investor secara bertahap meningkat dalam beberapa bulan mendatang, terutama setelah pemilihan AS; obligasi domestik akan kembali menjadi sorotan karena memberikan imbal hasil riil yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN dan EM lainnya.
Imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun diperkirakan berada di kisaran 6.5% - 7.2% pada Q4 2020, dengan probabilitas yang lebih tinggi condong ke arah batas bawah karena potensi pemotongan suku bunga oleh bank sentral serta ekonomi global yang membaik yang akan mendorong investor untuk memilih imbal hasil yang lebih baik.
Pasar mata uang
Untuk Rupiah, USD/IDR mengalami volatilitas pada pertengahan Agustus, namun ditutup flat sekitar 14.500 di akhir bulan; setelah mengalami lonjakan sekitar 14,800 pada pertengahan bulan. Nilai tukar dalam beberapa bulan terakhir telah cukup stabil, menyiratkan bahwa apa yang dilakukan pemerintah dan bank sentral saat ini dapat diterima dan cukup baik bagi investor. Namun, volatilitas di pasar FX dalam waktu dekat diperkirakan akan lebih tinggi, dengan probabilitas yang lebih tinggi untuk depresiasi Rupiah dalam waktu dekat. Hal ini dapat diimbangi dengan meningkatnya jumlah cadangan devisa yang telah disiapkan Bank Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Dengan ketidakpastian yang ada baik dari domestik maupun global, rentang perdagangan USD/IDR kemungkinan besar akan berada di kisaran 14,500 – 15,500; dengan mempertimbangkan langkah karantina total, serta selera risiko global yang dapat menggerakkan greenback untuk menguat terhadap Rupiah.
Juky Mariska, Wealth Advisory Head, OCBC NISP
GLOBAL OUTLOOK
Pemulihan berlanjut
Aktivitas ekonomi di seluruh dunia mulai rebound selama musim panas karena aktivitas ekonomi yang dibuka kembali setelah lockdown pada semester pertama di 2020 yang disebabkan oleh pandemi. Kami memperkirakan prospek makro ekonomi akan terus mendukung aset berisiko tahun ini. – Eli Lee
Pasar keuangan telah melihat tren yang sangat jelas dalam beberapa bulan terakhir, dengan kenaikan ekuitas, pelemahan USD, imbal hasil obligasi yang rendah, dan emas yang mencapai rekor tertinggi. Tren yang luas ini telah didorong oleh pemulihan ekonomi global dari guncangan virus dan bank sentral yang menetapkan suku bunga mendekati nol. Kami memperkirakan prospek makro ekonomi akan mendukung aset berisiko tahun ini.
Aktivitas ekonomi di seluruh dunia telah mulai rebound karena aktivitas ekonomi yang dibuka kembali setelah lockdown di semester pertama 2020.
Pemulihan siklus dalam ekonomi global seharusnya tidak mengejutkan, mengingat skala penurunan pada kuartal kedua 2020.
Negara-negara berkembang rebound pada semester kedua di 2020
Kami memperkirakan negara berkembang di Asia dan seluruh dunia untuk pulih pada semester kedua di 2020 dan selama 2021. Namun hanya China yang kemungkinan akan mengalami pertumbuhan PDB positif tahun ini diantara negara-negara berkembang lainnya.
Kami memperkirakan ekonomi China akan berkembang sebesar 1.7% pada tahun 2020, dan sebesar 7.1% di tahun 2021 karena pihak berwenang berhasil menahan COVID-19, setelah China menjadi negara pertama dunia yang succumb virus di Q1 2020.
Laju pemulihan ekonomi di China telah melambat pada Q3 2020, dibandingkan dengan rebound berbentuk v-shaped di Q2 2020, dengan PDB China meningkat 11.5% secara kuartalan (QoQ), setelah mengalami kontraksi -10% QoQ pada Q1 2020. Namun hal tersebut tidak mengejutkan, mengingat bahwa keuntungan pasca lockdown telah direalisasikan, dengan produksi industri telah meningkat sebesar 4.8% secara YoY pada bulan Juli.
Konsumen China, bagaimanapun, tetap harus lebih berhati-hati. Penjualan ritel turun -1.1% YoY di bulan Juli, meninggalkan lebih banyak ruang bagi China untuk melanjutkan pemulihan jika penduduk menjadi kurang peduli akan virus atau prospek pekerjaan yang tidak pasti dan sebaliknya konsumsi yang meningkat.
Sebaliknya, kami memperkirakan mayoritas negara maju utama lainnya mengalami kontraksi selama 2020.
Perkiraan PDB AS ditingkatkan namun perkiraan Zona Euro tidak berubah
Kami telah meningkatkan perkiraan kami untuk Produk Domestik Bruto (PDB) AS setelah data Amerika untuk Q2 2020 direvisi lebih tinggi, dan juga karena ekonomi terus rebound pada Q3 2020 meskipun adanya gelombang kedua akan virus. Kami sekarang melihat PDB AS turun sebesar -4.0% di 2020.
Kami telah mempertahankan perkiraan kami untuk Zona Eropa; kami memperkirakan wilayah ini masih akan mengalami kontraksi yang lebih dalam dibanding AS, salah satu dari -7.6% pada tahun 2020, sementara kami telah menurunkan proyeksi kami untuk Jepang, memperkirakan PDB akan terkontraksi sebesar -4.4% tahun ini, karena negara tersebut menghadapi gelombang kedua infeksi COVID-19 dan setelah PDB Q2 2020 lebih buruk dari yang diharapkan.
Prospek makro yang mendukung ekuitas
Terlepas dari semua penurunan kami terhadap pertumbuhan dan risiko dari gelombang infeksi baru, kami berpendapat prospek makro ekonomi saat ini mendukung ekuitas, komoditas, pasar negara berkembang dan aset risiko lainnya, seiring dengan ekonomi yang memulih.
Yang penting, pasar keuangan kedepan diatur untuk mengantisipasi kembalinya tingkat pertumbuhan yang lebih normal di masa depan setelah vaksin COVID-19 dikembangkan dan didistribusikan secara luas. Dengan demikian aset risiko cenderung akan tetap didukung, dengan aktivitas ekonomi terus meningkat selama beberapa kuartal ke depan (seperti yang kami perkirakan), meyakinkan investor bahwa ekonomi global dapat kembali ke tingkat pertumbuhan tren pra-krisis dari waktu ke waktu.
Fed bahkan lebih dovish
Bulan lalu, bank sentral AS membuat perubahan besar dengan mengalihkan strateginya yang bertujuan agar inflasi mencapai 2%, menjadi mencari inflasi rata-rata 2% dari waktu ke waktu.
Hal ini sebagai tanggapan terhadap The Fed yang tidak mencapai target inflasi 2% sejak mulai menargetkan tingkat 2% dari 2012. Bank sentral mengamati: "Mengikuti periode ketika inflasi telah berjalan terus-menerus di bawah 2%, kebijakan moneter yang tepat kemungkinan akan bertujuan untuk mencapai inflasi cukup di atas 2% untuk beberapa waktu."
Kami mengira pergeseran Fed untuk mencari inflasi sederhana di atas 2% untuk menebus ketika inflasi jatuh dari target 2% sangatlah signifikan. Bank sentral saat ini mempertahankan suku bunga Fed tidak berubah pada 0,00-0,25% hingga lima tahun dengan imbal hasil US Treasury pada tingkat saat ini, secara historis level yang rendah.
Kesediaan The Fed untuk membiarkan inflasi cukup melebihi 2% adalah meningkatkan ekspektasi inflasi. Imbal hasil obligasi pemerintah AS jangka panjang 10 tahun dan 30 tahun meningkat, menyebabkan kurva treasury semakin curam. Namun secara keseluruhan, kami memperkirakan imbal hasil akan tetap sangat rendah karena tekanan inflasi yang kuat akan sulit dihasilkan selama beberapa tahun ke depan, mengingat dampak dari pandemi pada pekerjaan.
Dengan demikian, tren luas mendukung peningkatan ekuitas, pelemahan USD dan harga emas yang tinggi akan tetap didukung oleh imbal hasil treasury yang rendah secara historis dan oleh pemulihan ekonomi global dalam beberapa kuartal ke depan.
PASAR SAHAM
Prospek jangka panjang tetap kuat
Untuk pasar saham, kami percaya untuk jangka panjang, potensi imbal hasil terhadap risiko tetap sehat, seiring keluarnya perekonomian dari jurang resesi dan memasuki siklus ekspansi, kondisi ini mendukung pandangan kami yang tetap mempertahankan porsi yang sama di instrumen saham dalam strategi aset alokasi kami – Eli Lee
Pada pasar saham, kami percaya untuk jangka panjang, potensi imbal hasil terhadap risiko tetap sehat, seiring keluarnya perekonomian dari jurang resesi dan memasuki siklus ekspansi, kondisi ini mendukung pandangan kami yang tetap mempertahankan bobot yang sama di instrumen saham dalam strategi aset alokasi kami – Eli Lee
Namun, untuk jangka waktu yang lebih pendek, kami melihat volatilitas saham akan lebih tinggi dibandingkan rata-rata, mengingat valuasi rata-rata untuk pemulihan di awal 2021 telah diperhitungkan saat ini, dan juga memperhitungkan risiko terkait penyebaran wabah COVID-19 baru di AS, serta pemilu dan kondisi geopolitik AS China yang masih melatar belakangi.
Dalam pandangan kami, sementara investor mempertahankan posisi utama di sektor pertumbuhan seperti teknologi dan kesehatan, ini adalah waktu yang tepat untuk menyeimbangkan kembali bobot portofolio dari saham pertumbuhan dan momentum yang telah mengungguli secara signifikan, ke dalam siklikal dan saham -saham yang memiliki laporan keuangan yang bagus dan model bisnis yang stabil, yang berpotensi mendapatkan keuntungan dari pemulihan ekonomi jangka panjang.
Amerika Serikat
Indeks S&P 500 telah naik ke level tertinggi sepanjang sejarah, menghapuskan kerugian yang terkait dengan COVID-19. Namun, ada perbedaan yang jelas dalam kinerja seluruh sektor dan nama, dengan perusahaan teknologi utama yang mendorong sebagian besar pemulihan indeks.
Pemilu AS di bulan November akan menjadi fokus yang besar. Peristiwa ini secara historis berkontribusi pada peningkatan volatilitas ekuitas di bulan-bulan sebelum pemilu. Volatilitas ini dapat semakin diperburuk oleh potensi meningkatnya ketegangan terhadap China oleh Presiden Donald Trump, yang tetap tertinggal dalam jajak pendapat nasional. Selain itu, kegagalan Kongres untuk memperkenalkan paket bantuan fiskal baru dapat menyebabkan dampak dari jurang fiskal yang tajam melukai pemulihan yang signifikan di pasar ekuitas AS.
Eropa
Pada saat penulisan, sekitar 85% perusahaan telah merilis laba H1 2020, dengan 65% mengalahkan perkiraan laba per saham (EPS), mengejutkan secara positif sebesar 23%, meskipun pertumbuhan EPS secara keseluruhan turun 26% YoY. Sektor yang berhasil memberikan pertumbuhan laba positif adalah kesehatan dan teknologi.
Namun, pasar selalu melihat ke depan, dan pemulihan ekonomi secara bertahap telah menyebabkan lebih banyak minat pada sektor siklikal / value seperti industri dan material. Dengan asumsi pemulihan tidak dihentikan oleh kenaikan signifikan dalam kasus COVID-19, kami melihat cakupan yang lebih besar untuk sektor siklikal / value untuk mengungguli. Kami mencatat bahwa sektor-sektor dengan nilai yang lebih dalam seperti bank-bank Eropa dan energi hampir tidak berpartisipasi dalam reli pemulihan sejauh ini, karena keduanya tertahan oleh faktor-faktor seperti dinamika dividen yang merugikan. Kami melihat ruang bagi energi untuk berpartisipasi dalam pemulihan global dengan perkiraan kenaikan harga minyak.
Jepang
Ekuitas Jepang mengikuti pergerakan ekuitas dunia untuk sebagian besar bulan Agustus, meskipun beberapa ketidakpastian muncul menjelang akhir bulan dari pengunduran diri Perdana Menteri Shinzo Abe karena kesehatan yang buruk.
Dengan waktu yang tersisa untuk penggantinya dalam sisa masa jabatannya, yang berakhir pada September 2021, kami mengharapkan keberlanjutan kebijakan dan dampak yang terbatas dari kebijakan Bank of Japan, meskipun sentimen mungkin terbebani oleh ketidakpastian politik. Korporasi Jepang melaporkan hasil Q1 2020 yang lemah, dengan penurunan pendapatan dua digit dari tahun lalu, meskipun ada beberapa kejutan yang terlihat di sektor-sektor tertentu dalam material, layanan komunikasi, dan konsumsi.
Panduan perusahaan tetap berhati-hati sementara perusahaan menerapkan disiplin biaya yang kuat untuk mengurangi dampak negatif terhadap laba. Sementara berbagai bank sentral secara global telah menginstruksikan pembatasan dividen pada bank dalam upaya mereka untuk menghemat modal, namun Jepang kemungkinan besar menjadi pengecualian. Prospek pertumbuhan untuk sektor perbankan tetap moderat, meskipun sebagian besar tercermin dalam penilaian sektor. Kami memperkirakan fokus sektor pada manajemen biaya akan tetap ada, dengan ruang yang sederhana untuk meningkatkan pendapatan dalam latar belakang ekonomi yang lemah, dan ekspektasi untuk tekanan margin bunga bersih rata-rata sekitar 4 basis poin per tahun selama beberapa tahun ke depan.
Asia ex-Japan
MSCI Asia ex-Japan Index terapresiasi selama tiga bulan berturut-turut di bulan Agustus, sejalan dengan sentimen pasar yang lebih risk-on.
Bank sentral Korea Selatan mempertahankan suku bunga acuan tidak berubah di 0.5%, dengan pertemuan berikutnya diharapkan hanya pada 14 Oktober. Di sisi data ekonomi, produksi industri Korea Selatan naik 1.6% bulan ke bulan (MoM), tetapi turun 2.5% YoY, dengan yang terakhir ini kurang dari perkiraan konsensus Bloomberg (-2.0%).
India terus berada di bawah pengawasan ketat mengingat situasi COVID-19 yang memburuk. Perekonomiannya mengalami kontraksi sebesar 23.9% YoY di kuartal kedua, jauh lebih rendah dari ekspektasi penurunan 18% karena dampak dari pandemi. Sejumlah menteri utama India seperti Menteri Dalam Negeri Amit Shah juga dinyatakan positif COVID-19, menggarisbawahi tantangan dalam mengatasi virus tersebut. Namun, saham perbankan India baru-baru ini mengalami reli. Hal ini kemungkinan didorong oleh ekspektasi bahwa Reserve Bank of India yang tidak akan memperpanjang moratorium pembayaran hutang setelah tanggal 31 Agustus.
China
Kekhawatiran pasar atas ketegangan AS – China terus meningkat, dengan AS yang semakin membatasi akses Huawei ke teknologi AS dan pemisahan keuangan AS – China tampaknya semakin cepat baru-baru ini. Ini kemungkinan akan membatasi kenaikan di pasar saham luar negeri dalam waktu dekat.
Sementara itu, MSCI China (offshore) dan CSI300 (onshore A-share) mengungguli pasar regional pada bulan Agustus. Pada tingkat pasar, valuasi MSCI China meningkat pada 14.4 kali Estimated Price Earnings Ratio (E PER) FY21 dan diperdagangkan melampaui standar deviasi +2 di atas rata-rata historis. Penilaian CSI300 relatif kurang membentang pada 13.7 kali PER FY21E, yang berada di bawah tingkat standar deviasi +2.
Dengan semakin dekatnya pemilu AS, kami memperhatikan valuasi MSCI China yang meluas. Peningkatan lebih lanjut dari ketegangan AS – China dapat membuat pasar rentan terhadap konsolidasi dan aksi ambil untung.
Sementara kami konstruktif pada ekuitas China, terutama dengan pemulihan pendapatan yang menggembirakan, preferensi kami adalah pasar saham-A dari level atas-bawah karena
Pada tingkat sektor, kami lebih memilih yang mendapatkan keuntungan dari investasi dan konsumsi dalam negeri, mengingat fokus pemerintah pada strategi "sirkulasi ganda". Sektor siklikal yang berkualitas juga bisa mendapatkan keuntungan dalam meningkatkan pendapatan dan margin operasi yang stabil. Kami lebih memilih sub-sektor yang terkait dengan kebijaksanaan konsumen, konstruksi dan infrastruktur seperti mesin dan material. Kami mempertahankan rekomendasi underweight kami pada bank dengan kontraksi pendapatan.
PASAR OBLIGASI
Overweight pada EM High Yield
Obligasi masih akan terus didukung oleh kebijakan dari sentral bank. Kami tetap overweight pada obligasi EM HY dan mempertahankan preferensi kami pada obligasi HY Asia. – Vasu Menon
Kami memiliki posisi overweight pada pendapatan tetap, dimana kami masih akan overweight pada segmen EM HY, yang memberikan imbal hasil yang menarik. Pada EM HY, kami mempertahankan preferensi kami pada HY Asia, terutama pada sektor properti di China, dimana pandangan kami masih konstruktif untuk jangka menengah.
Obligasi EM HY masih menarik
Spread pada EM HY menyempit sebesar 26 basis poin (bps) di bulan Agustus dan di +589 bps telah menghapus kerugian sejak 23 Maret. Bagaimanapun, spread EM HY lebih tinggi dibandingkan spread pada obligasi EM IG yang menyempit 18 bps di bulan Agustus menjadi +203 bps, masih jauh dari pra-pandemi 2020 sebesar +150bps.
Spread EM HY juga berada 71 bps diatas rata-rata 5 tahun 518 bps dan 27 bps diatas 5 tahun terendah di 318 bps.
Lebih menyukai HY Asia dalam EM
Dalam hal HY, Asia telah mencatatkan kinerja yang kurang baik dalam beberapa minggu terakhir dan apa yang kami percaya adalah “rally bantuan” di Amerika Latin, yang masih underperform sejak awal tahun. Meskipun demikian, kami masih mempertahankan preferensi kami untuk Asia.
Dalam HY Asia, kami masih overweight pada obligasi properti China. Selama Agustus, obligasi HY China melanjutkan kinerja yang lebih baik dari obligasi IG China. Kami mengakui bahwa nilai relatif obligasi HY China saat ini terlihat kurang menarik relatif terhadap IG China. Namun, mengingat bahwa kami lebih memilih peringkat kredit BB daripada B dalam menghadapi ketidakpastian, termasuk dampak COVID-19 yang sedang berlangsung pada ekonomi global dan pemilihan Presiden AS pada bulan November, kami menemukan bahwa nilai relatif pada properti HY Cina yang berkualitas masih menarik.
Dengan keadaan pasar saat ini, strategi yang tepat untuk sisa tahun 2020 adalah mencari return yang lebih tinggi. Di satu sisi, kami melihat sisi negatifnya didukung oleh fundamental yang stabil, karena sektor properti China terfokus di dalam negeri dan kurang terpengaruh oleh konflik antara AS – China. Di sisi lain, kami melihat bahwa pemulihan China dari COVID-19 sebagian besar telah tercermin dalam spread obligasi, oleh karena itu, penguatan terbatas. Kurva US Treasury yang curam menjelang akhir Agustus juga memberikan keuntungan pada obligasi HY China yang lebih pendek.
Mempertahankan posisi overweight pada rating HY dan market pada IG
Kami mempertahankan posisi overweight kami pada EM HY dan sikap netral pada EM IG. Namun, mengingat potensi volatilitas yang lebih tinggi yang berasal dari ekonomi dan politik dalam beberapa bulan mendatang, kami akan fokus pada beta "BB" yang lebih rendah dari pasar. HY telah mengungguli dalam beberapa bulan terakhir, karena pasar telah berbalik dari yang fokus pada hasil terburuk menjadi hasil yang lebih baik pada data ekonomi dari re-openings dan dukungan bank sentral yang berlangsung, digerakan dari The Fed. Kecuali ada pengulangan yang signifikan dari pandemi di pasar utama, kami mengekspektasi tren ini akan berlanjut dalam beberapa bulan mendatang.
Emas diuntungkan dengan sikap Fed yang dovish
Jika kami benar bahwa penurunan kurva imbal hasil AS cenderung tetap dan ekspektasi akan inflasi yang lebih tinggi dapat menahan imbal hasil riil, keuntungan biaya rendah dari memegang emas, dan potensi pelemahan USD dapat mengangkat harga emas menjadi USD 2,150 / ons dalam waktu 12 bulan. – Vasu Menon
Minyak
Pemulihan permintaan minyak global sejak pandemi COVID-19 di bulan April berlanjut pada Q3 2020, meskipun ada tanda-tanda bahwa kenaikan permintaan minyak mulai berkurang. Permintaan bahan bakar untuk kendaraan di jalan raya semakin jelas, dengan tingkat mobilitas yang meningkat tetapi pemulihan bahan bakar untuk pesawat tetap lambat. Kami juga memperkirakan sejauh mana peningkatan permintaan bahan bakar kendaraan di jalan raya bukan merupakan tanda normalisasi kegiatan ekonomi dan lebih merupakan cerminan dari peningkatan tajam orang yang pergi berlibur dengan mobil, menjadikan orang lebih memilih berlibur di dalam negeri daripada bepergian ke luar negeri. Masih banyak ketidakpastian tentang apakah permintaan bahan bakar transportasi akan kembali normal.
Kami mengharapkan rebalancing sisi pasokan untuk mengimbangi permintaan minyak yang melambat untuk tetap mendukung harga minyak. Kepatuhan OPEC+ kemungkinan akan tetap kuat dan mendukung harga minyak, sementara pengurangan radikal dalam pengeboran di seluruh dunia harus tetap berlaku sampai harga minyak mulai naik di atas USD 50/bbl.
Emas
Pergeseran sikap dovish The Fed ke target inflasi rata-rata pada konderensi di Jackson Hole berada pada keseimbangan yang mendukung emas meskipun prospek untuk kurva imbal hasil AS yang lebih curam. Laju aliran masuk ETF emas melambat pada bulan Agustus menyusul pembelian yang kuat pada bulan Juli. Kami memperkirakan arus masuk akan rebound kuat pada bulan September, setelah pertemuan FOMC September. Kerangka kebijakan Fed yang direvisi dengan peningkatan untuk inflasi yang tinggi atau pasar tenaga kerja untuk memicu pergeseran kebijakan yang hawkish. Sementara kombinasi toleransi inflasi yang jauh lebih tinggi dengan tidak adanya batas imbal hasil menunjukkan suku bunga jangka panjang nominal dapat naik lebih dari yang diperkirakan pasar saat ini, Fed sepertinya tidak akan menerima rendahnya kurva imbal hasil tanpa adanya kenaikan ekspektasi inflasi. Jika kami benar bahwa penurunan kurva imbal hasil kemungkinan kecil dan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi akan menahan imbal hasil riil, keuntungan biaya rendah untuk memegang emas, dan potensi melemahnya USD dapat mengangkat emas menjadi US$ 2,150 per ounce dalam waktu 12 bulan. Jika kami benar bahwa penurunan kurva imbal hasil AS cenderung tetap dan ekspektasi akan inflasi yang lebih tinggi dapat menahan imbal hasil riil, keuntungan biaya rendah dari memegang emas, dan potensi pelemahan USD dapat mengangkat harga emas menjadi USD 2,150 / ons dalam waktu 12 bulan.
Mata Uang
Setelah menghabiskan seluruh bulan Agustus dalam pergerakan flat cenderung melemah, USD dapat melanjutkan pelemahan karena beberapa sentimen negatif terhadap USD yang tetap ada. Dalam waktu dekat, dinamika kenaikan pasar saham tidak menunjukkan adanya tanda-tanda penurunan, dan korelasi positif antara pasar saham dan pasar valas membuat USD semakin menunjukan arah penurunan.
Lebih jauh, masih ada bantuan terbatas dari stimulus fiskal AS karena partai Demokrat dan partai Republik belum mencapai kesepakatan. Hal ini membuat pasar berhati-hati terhadap pemulihan makro ekonomi AS, dan USD relatif melemah dari perspektif prospek makro. Mungkin yang lebih penting, The Fed telah berubah menjadi lebih dovish setelah simposium tahunan di Jackson Hole, yang secara efektif berkomitmen pada sikap kebijakan moneter yang ultra-akomodatif di masa mendatang. Sementara bank sentral lainnya diharapkan dapat mengikuti pada akhirnya, dinamika bank sentral lainnya, seperti yang terjadi sekarang, tidak menguntungkan untuk USD.
Dengan demikian, keadaan tetap sangat negatif untuk USD. Salah satu potensi positif adalah perbedaan suku bunga back-end. Jika Fed dapat mendorong kepercayaan pasar yang cukup dalam kemampuan kerangka kebijakan barunya untuk meningkatkan inflasi sampai ke seluruh lapisan masyarakat bawah, imbal hasil obligasi pemerintah AS yang bertahan lebih lama di level saat ini dapat bereaksi dan bergerak lebih tinggi. Namun, untuk mendapatkan daya tarik, imbal hasil Treasury AS 10 tahun perlu bergerak lebih tinggi menuju area 1%. Secara keseluruhan, penurunan USD masih bias karena sentimen risiko didukung oleh akomodasi bank sentral. Harapkan mata uang cyclical (terutama AUD dan NZD) berpotensi memimpin terhadap pelemahan USD berikutnya.
Di Asia, sentimen secara keseluruhan tetap positif setelah hubungan perdagangan AS – China diperkuat kembali, dan pasar terus mengabaikan ketegangan di area lain. Selain itu, fakta bahwa RMB telah menguat karena pelemahan USD memberi kesan baik bagi mata uang Asia vis-à-vis USD. Namun, berhati-hatilah terhadap pelemahan domestik yang khusus, terutama dari mata uang seperti Won Korea dan Baht Thailand.
And the beat goes on
Optimisme akan pemulihan ekonomi AS masih terus berlanjut hingga saat ini, diperkuat dengan rilisan angka pengangguran bulan Juli mencatatkan penurunan menjadi 10.2%, dari bulan sebelumnya 11.1%, seiring dengan para pengangguran yang mulai diserap kembali. Hal ini menunjukkan bangkitnya perekonomian AS setelah mengalami resesi, dengan pertumbuhan yang terkontraksi sebesar 32.9% QoQ di kuartal II 2020. Di sisi lain, kasus COVID-19 juga masih menjadi perhatian, dengan AS menjadi negara yang menyumbang sekitar 25% dari total kasus di dunia. Investor menaruh harapan penuh pada beberapa kandidat vaksin potensial yang masih berada pada tahap uji klinis. Investor global juga masih menantikan arah dari realisasi kebijakan mengenai stimulus AS yang saat ini masih diperbincangkan, dimana masih terjadi kesenjangan pendapat mengenai belanja negara secara keseluruhan dan beberapa isu lainnya antara partai demokrat dan partai republik.
Zona Eropa secara resmi mengalami resesi, dengan PDB terkontraksi sebesar 15% YoY di kuartal II 2020, yang disebabkan oleh terhambatnya aktivitas ekonomi seiring dengan lockdown yang diberlakukan di banyak negara pada kuartal II. Spanyol merupakan negara yang mengalami resesi terdalam, dengan kontraksi 22.1% YoY pada kuartal II ini, dibandingkan Jerman yang melaporkan -11.7% YoY, dan Prancis -5% YoY. Namun, para investor sudah melakukan antisipasi akan resesi yang terjadi, dan masih merespon positif stimulus sebesar EUR 750 miliar yang disepakati pada pertengahan Juli. Anggaran inti sebesar EUR 1.1 triliun juga telah disetujui untuk periode 2021 – 2027. Langkah-langkah yang diambil oleh Eropa memberikan kepastian pemulihan yang lebih kuat.
Sementara itu di Asia, indeks MSCI Asia ex-Japan menguat signifikan sebesar 8.02% di bulan Juli. Sentimen positif di Asia terjadi seiring dengan kebijakan bank sentral untuk melakukan upaya dengan pelonggaran kebijakan fiskal maupun moneter, di tengah kekhawatiran terkait tingkat pertumbuhan negara-negara di kawasan Asia. Bank Sentral China juga kembali menyuntikan likuiditas sebesar CNY 50 miliar ke dalam sistem keuangan untuk menjaga likuiditas. China melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal II dengan ekspansi 3.2% YoY, menunjukan perbaikan dari kuartal I yang terkontraksi -6.8%. Rilisan data PMI manufaktur di negara-negara Asia juga menunjukkan perbaikan, seiring dengan kebijakan New Normal yang berjalan. Namun ketegangan yang akhir-akhir ini meningkat antara AS – China menjadi katalis negatif yang menjadi perhatian pasar.
Dari dalam negeri, bulan Juli merupakan bulan yang baik untuk pasar modal Indonesia. Terlihat dari indikator ekonomi yang semakin menunjukkan perbaikan. Hanya saja terjadi deflasi sebesar 0.1% seiring dengan turunnya harga sejumlah bahan makanan di Indonesia, sehingga secara tahunan inflasi tercatat sebesar 1.54%. Tidak berbeda dengan mayoritas negara lainnya, perekonomian Indonesia juga terkontraksi sebesar -5.32% YoY di kuartal II 2020. Namun, cadangan devisa pada akhir Juli tercatat sebesar USD 135.1 miliar, meningkat cukup signifikan dari bulan Juni yang sebesar USD 131.7 miliar. Peningkatan didorong oleh penerbitan global bond dan juga penarikan pinjaman pemerintah. Begitu juga dengan angka PMI manufaktur yang meningkat menjadi 46.9, dari bulan sebelumnya di 39.1. Secara keseluruhan, mayoritas data ekonomi memang menunjukkan perbaikan, di tengah lonjakan kasus infeksi COVID-19 di dalam negeri. Akan tetapi, berbagai respons kebijakan pemerintah dalam negeri terus memberikan optimisme bagi pasar.
Pasar Saham
Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG mengalami penguatan sebesar 4.91% di bulan Juli, masih didorong dengan optimisme akan pemulihan ekonomi, menunjukkan bahwa pasar saham telah menguat hampir 30% dari titik terendah di bulan Maret. Para investor merespon positif perbaikan di bulan Juli yang terlihat dari aktivitas bisnis dan rilisan data ekonomi, setelah cukup tertekan pada kuartal II. Saat ini price-to-earning ratio berada di kisaran 19x, dimana investor cukup optimis dengan ekonomi Indonesia yang akan pulih di kuartal ke III, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dijaga di kisaran 0 hingga 1%.
Di sisi lain, kasus COVID-19 yang masih belum menunjukkan tren penurunan di dalam negeri dan juga ketegangan yang masih meningkat antara AS – China masih dapat menjadi resiko bagi pasar saham. Namun, dengan berbagai peran Pemerintah Indonesia yang cukup nyata dalam mendukung perekonomian Indonesia yang tertekan akibat COVID-19, serta vaksin hasil kerjasama perusahaan Indonesia Bio Farma dengan perusahaan bioteknologi China Sinovac yang saat ini sedang berada di tahap ketiga uji klinis, IHSG berpotensi melanjutkan penguatannya. Sehingga, koreksi pada pasar saham dapat dimanfaatkan momentum untuk berinvestasi di pasar saham.
Pasar Obligasi
Pasar obligasi turut mencatatkan penguatan di bulan Juli, dengan imbal hasil pemerintah tenor 10 tahun menurun dari 7.2% menjadi 6.8%; dan cukup stabil di kisaran 6.8% hingga pertengahan Agustus ini. Permintaan yang tinggi baik dari investor asing maupun domestik pada pasar obligasi menunjukkan bahwa obligasi Indonesia masih cukup menarik. Terlihat arus modal ke negara berkembang, termasuk Indonesia mulai pulih setelah terjadinya capital outflow secara masif di bulan Maret. Investor asing saat ini terlihat terus menambah porsi kepemilikan pada pasar obligasi Indonesia. Skema burden sharing antara Bank Indonesia dan Pemerintah juga sudah mulai berjalan, dimana pada awal bulan Agustus ini transaksi pertama untuk pemenuhan sebagian pembiayaan public goods telah dilakukan oleh Pemerintah. Penerbitan surat utang dengan skema private placement kepada Bank Indonesia mencapai total sebesar Rp 82.10 triliun. Skema burden sharing ini diekspektasi akan mengurangi beban supply pada obligasi. Oleh karena itu, obligasi pemerintah tenor 10 tahun diperkirakan masih akan menguat di tengah rendahnya angka inflasi, serta adanya ruang pemangkasan suku bunga lebih lanjut untuk mendongkrak perekonomian.
Pasar Mata Uang
Berbeda dengan pasar saham dan obligasi, mata uang Rupiah berakhir melemah 2.35% terhadap greenback pada akhir bulan Juli, berada di level 14,600. Rupiah mengalami tren pelemahan di tiga minggu pertama, dan baru membaik pada pekan terakhir. Lonjakan kasus yang masih terjadi di berbagai negara membuat para investor meninggalkan rupiah dan beralih ke aset safe haven, bahkan emas mencatatkan penguatan hampir 11% selama bulan Juli. Permintaan terhadap Dolar AS sebagai mata uang safe haven juga masih cukup tinggi, seiring dengan ketidakpastian yang masih melanda. Dengan ruang pemangkasan suku bunga lebih lanjut, Rupiah diperkirakan akan bergerak dalam kisaran 14,500 – 15,000 hingga akhir tahun 2020.
Juky Mariska, Wealth Management Head, OCBC NISP
PANDANGAN GLOBAL
Penguatan di tengah ketidakpastian yang masih berlanjut
Resesi telah berakhir seiring dengan pembatasan dan aktivitas ekonomi yang meningkat, namun kondisi bisnis kemungkinan besar masih akan tetap mengalami masa yang sangat sulit. – Eli Lee
Walaupun kami yakin bahwa siklus rendah telah berlalu, pemulihan penuh ke tahap sebelum COVID-19 tidak akan terjadi hingga tahun 2022.
China tampaknya akan mencatatkan pertumbuhan PDB positif untuk tahun 2020 ini, sementara Eropa akan mengalami kontraksi sebesar 7.9% dan AS sebesar 5.1%, keduanya sedikit lebih buruk dari perkiraan sebelumnya. Sebagai hasil, Produk Domestik Bruto (PDB) dunia akan terkontraksi sebesar 2.2% pada tahun 2020, dengan prospek yang lebih baik untuk China, memperhitugkan revisi naik dari perkiraan bulan lalu sebesar -2.5% pertumbuhan PDB global.
Setelah shutdowns pada kuartal II 2020, kami tidak perlu terkejut bahwa hanya dengan menyalakan lampu kembali dapat menghasilkan lonjakan tajam pada pertumbuhan dari titik yang sangat rendah. Namun kekhawatiran terletak pada lonjakan tajam di awal ini menjadi V-shaped recovery. Jalan pemulihan global masih sangat tidak pasti dan sangat bergantung pada dukungan kebijakan yang berlangsung.
Berkurangnya dukungan kebijakan, dan dalam beberapa kasus, wabah baru COVID-19 berpotensi merusak momentum. Di beberapa negara maju, aktivitas tidak akan kembali ke tingkat sebelum krisis sampai akhir tahun 2021 atau 2022. Akibatnya, pembuat kebijakan cenderung melanjutkan dengan lebih berhati-hati ketika mencoba untuk melonggarkan langkah-langkah dukungan kebijakan.
Secara keseluruhan, laju dari pemulihan ekonomi dunia diatur untuk menjadi lebih tidak merata setelah lonjakan awal dari pelonggaran lockdowns.
Momentum pertumbuhan yang mulai terbatas
Dalam skenario dasar kami, kenyataan bahwa proses pemulihan yang berlarut-larut akan menghilang dengan optimisme di pasar saat ini, dan kami sudah melihat tanda-tanda momentum pertumbuhan berhenti.
Pada pasar tenaga kerja AS, setelah adanya penurunan angka klaim pengangguran selama 15 minggu berturut-turut, dari puncaknya di bulan Maret sebanyak 6.9 juta menjadi 1.3 juta, angka tersebut telah berubah dan meningkat dalam dua minggu hingga 24 Juli. Sebagai catatan, indeks keyakinan konsumen conference board juga turun pada bulan Juli, menjadi 92.6, setelah tiga bulan berturut-turut meningkat ke 98.3 bulan Juni.
Bahkan di China, yang lebih maju dalam proses pengendalian pandemi, monitor frekuensi tinggi menunjukkan bahwa kecepatan dalam normalisasi aktivitas moderat. Hal ini tidak mengejutkan, mengingat bahwa ekonomi global yang lemah memberikan hambatan yang signifikan bagi China, dimana perdagangan dan ekspor internasional merupakan komponen ekonomi utama.
Meningkatnya kasus infeksi tidak akan membuat adanya shutdowns yang luas
Momentum pemulihan telah terhalang oleh meningkatnya tingkat infeksi di beberapa hotspots. Di AS, kabar baiknya adalah tingkat kasus baru yang mulai menurun.
Kami tidak mengekspektasi pembuat kebijakan AS akan kembali memberlakukan lockdowns yang luas, mengingat berkurangnya kemauan politik dan tingkat kematian yang lebih tenang karena usia rata-rata yang lebih rendah dari mereka yang terinfeksi.
Namun, dengan tidak adanya vaksin yang efektif, ancaman gelombang infeksi berikutnya akan terus meningkat. Hal ini terus mempengaruhi laju kecepatan re-opening dan berdampak negatif terhadap kepercayaan konsumen dan investor.
Stimulus yang luas tetap ada
Pada FOMC bulan Juli, The Fed menegaskan kembali sikap "apapun yang diperlukan" untuk mendukung pemulihan.
The Fed juga memperpanjang tujuh program krisis tahun ini, termasuk Primary and Secondary Market Corporate Credit programmes dan Paycheque Protection Programme Liquidity Facility, yang semuanya akan berakhir pada September hingga akhir Desember.
Pada semester kedua di 2020, kami selanjutnya mengharapkan Fed untuk lebih memperkuat komitmen mereka untuk menjaga suku bunga pada tingkat mendekati nol, menggunakan kerangka 'penargetan inflasi rata-rata' yang secara efektif mewakili pelonggaran lebih lanjut dalam kebijakan moneter AS.
Di sisi fiskal, menyusul stimulus bersejarah EUR 750 miliar yang disahkan di Uni Eropa, kami mengekspektasi akan adanya paket fiskal AS kedepan.
Perlombaan vaksin memberikan momentum
Rilisan dari treatments COVID-19 yang berhasil pada akhirnya akan membatasi dampak jangka panjang virus pada pertumbuhan global.
Seiring memasuki paruh kedua di tahun 2020, para ilmuwan di seluruh dunia berpacu dengan waktu untuk mengatasi rintangan terkait COVID-19 yang menghalangi pembukaan kembali aktivitas ekonomi global sepenuhnya.
Pada akhir Juli, setidaknya ada 139 kandidat vaksin yang menjalani evaluasi praklinis, dan 26 kandidat vaksin dalam tahap evaluasi klinis.
Mengingat kecepatan perkembangan uji klinis di tengah krisis kesehatan yang semakin parah, ada kejelasan dan keselarasan yang terbatas pada saat ini dari berbagai regulator global tentang apa yang merupakan standar yang dapat diterima untuk vaksin yang aman dan efektif. Ini merupakan tantangan.
Definisi vaksin yang berhasil juga dapat bervariasi, mengingat bahwa beberapa vaksin bekerja dalam memicu sistem kekebalan untuk melawan, daripada mencegah infeksi, sementara yang lain tidak menghasilkan kekebalan yang mensterilkan (produksi antibodi penetral yang menghalangi virus memasuki sel).
PASAR SAHAM
Mempertahankan posisi netral
Kami mempertahankan posisi berimbang kami di pasar saham, dengan pertimbangan potensi risiko dan ketidakpastian kedepan, walaupun data perekonomian mensinyalkan pemulihan ekonomi seiring dengan pelonggaran karantina wilayah – Eli Lee
Untuk pasar saham, kami melihat potensi keuntungan untuk jangka yang lebih panjang akan lebih baik, seiring berakhirnya fase resesi yang diakibatkan pandemi COVID -19 dan memasuki fase pemulihan ekonomi, sehingga mendukung strategi berimbang pada alokasi aset kami di pasar saham.
Namun, untuk jangka pendek, kami melihat volatilitas di pasar saham akan lebih tinggi dibandingkan rata-rata, mengingat valuasi telah memperhitungkan fase awal pemulihan di 2021, dan risiko utama terkait gelombang kedua infeksi COVID-19, pemilu di AS, serta tensi geopolitik AS – China, menjadi latar belakang yang membayangi.
Dalam pandangan kami, disaat investor mempertahankan posisi inti di sektor yang bertumbuh seperti teknologi dan kesehatan, saat ini merupakan saat yang baik untuk melakukan rebalancing portofolio dari saham yang telah menguat secara signifikan, menuju saham-saham siklikal, yang memiliki kinerja yang resilient serta model bisnis yang stabil, yang diperkirakan akan diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Amerika Serikat
Pada musim laporan keuangan kuartal II 2020, secara konsensus mengharapkan rata–rata laba perusahaan yang termasuk dalam indeks S&P 500 mengalami penurunan sebanyak 42% secara tahunan.
Dorongan dari tren digital serta tingkat suku bunga rendah, menyediakan kondisi yang kondusif untuk jenis saham growth stock di AS. Namun, catatan konsentrasi pasar merupakan risiko terhadap kinerja indeks agregat. Bobot indeks yang sangat besar dari nama-nama teknologi kapitalisasi raksasa dapat menyebabkan indeks S&P 500 rentan terhadap guncangan khusus sektor atau perusahaan.
Pandangan kami, potensi katalis yang akan mendukung perubahan dari jenis saham growth ke value/cyclical adalah:
Eropa
Eropa tidak mengecewakan, disaat semua sepakat menyetujui dana pemulihan Uni Eropa. Persetujuan tersebut cukup tercermin di pasar valuta asing dengan apresiasi Euro yang cepat.
Pada pasar saham, bagaimanapun, pergerakan harga indeks Eropa seperti MSCI Eropa telah relatif tenang, dengan valuasi relatif tinggi. Meskipun perkembangan ini harus menurunkan premi risiko di wilayah ini, dampak langsung dari tindakan tersebut lebih bersifat jangka menengah (daripada jangka pendek) dan karenanya tidak mungkin tercermin dalam perkiraan laba dalam waktu dekat. Selain itu, reli Euro yang tajam akan berdampak negatif bagi eksportir yang memperoleh sebagian besar pendapatan dari luar negeri.
Untuk kedepannya, investor kemungkinan akan fokus kepada seberapa lancar pemulihan ekonomi, dan pandangan manajemen pada prospek selama musim laporan keuangan ini, setelah sejumlah perusahaan menarik panduan pendapatan perusahaan hingga akhir tahun.
Jepang
Dengan pendorong pertumbuhan yang terbatas, pasar saham Jepang mengikuti peers globalnya dan bergerak dalam kisaran yang tipis untuk bulan Juli, dengan beberapa minat beli berlanjut pada saham-saham kecil dan menengah dengan eksposur pertumbuhan yang lebih tinggi. Selama bulan tersebut, peningkatan tingkat kewaspadaan di Tokyo pada kasus infeksi virus yang baru, membebani sentimen investor.
Dalam waktu dekat, kami memperkirakan konsolidasi pasar lebih lanjut dengan sentimen yang minim, karena kekhawatiran yang sedang berlangsung atas meningkatnya kasus COVID-19, meningkatnya ketegangan AS-China dan perkiraan yang lemah dari musim pelaporan kuartal I 2020. Fokus selanjutnya adalah pedoman akan laba korporasi perusahaan Jepang hingga akhir tahun 2020, mengingat hal ini sebelumnya ditunda karena pandangan yang lemah akibat wabah COVID-19 selama periode pelaporan tahun 2019.
Secara keseluruhan, valuasi indeks Topix ada di kisaran 16-17 kali, untuk perkiraan hingga tahun 2021, level price to earnings ratio terlihat sudah memperhitungkan skenario pemulihan, walaupun likuiditas pasar yang tinggi dapat memberikan dukungan akan peningkatan valuasi. Dalam tren pertumbuhan yang moderat saat ini, kami cenderung mengakumulasi saham yang berkualitas secara bertahap, mengingat pandangan kami tetap optimis terhadap perkiraan hingga akhir tahun.
Asia ex-Japan
Indeks MSCI Asia di luar Jepang mengalami penguatan untuk bulan kedua secara berturut-turut di bulan Juli, melanjutkan penguatan yang kuat di bulan Juni.
Namun, dampak dari pandemi COVID-19 terus memberikan tekanan pada sistem keuangan, seperti yang diilustrasikan oleh Laporan Stabilitas Keuangan terbaru dari Reserve Bank of India. Laporan tersebut menggaris bawahi bahwa non-performing ratio dari semua bank komersial dapat meningkat dari 8.5% pada Maret 2020 menjadi 12.5-14.7% pada Maret tahun depan.
China
Data makro kuartal II 2020 menunjukkan aktivitas ekonomi terus menuju pemulihan, dengan aktivitas infrastruktur dan properti yang lebih baik dari perkiraan. Sementara pertumbuhan ritel masih berada di wilayah negatif, momentum kuat untuk penjualan ritel online tetap terjaga. Rebound di kuartal II 2020 dapat menurunkan insentif pemerintah untuk meningkatkan intensitas dukungan kebijakan dalam waktu dekat, tetapi kami yakin kemungkinan penurunan suku bunga kebijakan tetap ada.
Pasar saham A-share dalam negeri mengungguli pasar saham China luar negeri, Hong Kong dan Asia ex-Japan pada bulan Juli. Membandingkan kinerja yang kuat dari pasar saham China A-shares dengan reli sebelumnya pada tahun 2014-15, pandangan kami adalah bahwa situasi saat ini relatif sehat, dengan kontrol yang lebih baik dalam leverage keseluruhan dan pelonggaran moneter yang lebih bertarget dan disiplin. Kami yakin pemerintah akan siap turun tangan untuk mencegah tayangan ulang "reli 2015" jika diperlukan.
Pada level saat ini, penilaian PER dari indeks MSCI China terlihat melebar dan berada melebihi tingkat standar deviasi +2 terhadap rata-rata historis. Peluncuran Hang Seng TECH Index akan menjadi positif untuk sentimen pasar dan diharapkan dapat menarik aliran dana pasif dengan peluncuran dana yang diperdagangkan di bursa (ETF) yang diharapkan mengikuti indeks HS TECH.
Mengingat valuasi yang diperlebar, pasar bersiap untuk bergerak lebih berfluktuasi dan rentan terhadap konsolidasi dan aksi ambil untung karena ketegangan AS-China yang meningkat dan hasil laporan keuangan kuartal II 2020 yang berpotensi mengecewakan. Berbagai berita tentang ketegangan AS – China akan menambah ketidakpastian dalam waktu dekat dan ini tetap menjadi perhatian terbesar kami untuk pasar saham China.
PASAR OBLIGASI
Masih optimis terhadap EM High Yield
Potensi dampak penyebaran virus COVID-19 terhadap pemulihan ekonomi dunia masih menjadi ketidakpastian utama bagi pasar obligasi korporasi. – Vasu Menon
Reli penguatan pasar obligasi korporasi telah berlangsung selama tiga bulan terakhir, didukung oleh pelonggaran kebijakan bank sentral The Fed. Obligasi korporasi negara berkembang (EM) menguat 2.2% secara keseluruhan, dengan High Yield (HY) naik 2.3% dan Investment Grade (IG) naik 2.1%. Di negara maju (EM), IG naik 3.1% sementara HY naik signifikan sebesar 4.4%.
Spread negara berkembang semakin menipis
Spread terhadap obligasi EM HY turun 26 basis poin (bps) di bulan Juli dan di +630 bps telah menghapus sekitar 60% kerugian sejak tanggal 23 Maret. Sementara itu, spread EM IG juga turun 20bps menjadi +270 bps, masih cukup jauh dibandingkan spread Pre-COVID-19 di +190 bps.
Aliran dana yang positif menopang dari segi teknikal
Untuk pekan yang berakhir 29 Juli, pasar obligasi EM mencatatkan aliran dana masuk sebesar USD 0.18 miliar diatas USD 1.22 miliar dan USD 1.89 miliar aliran dana masuk di minggu-minggu sebelumnya. Namun, aliran dana masuk belakangan ini belum dapat menutupi aliran dana keluar yang mencapai USD 47.4 sepanjang 2020. Aliran dana yang keluar dari pasar obligasi hard currency masih lebih terbatas, hanya USD 7.1 miliar dari total aliran dana yang keluar.
Preferensi terhadap High Yield Asia
Kami masih overweight terhadap HY Asia, terutama terhadap obligasi HY China di sektor properti. Di bulan Juli, obligasi HY China berkinerja lebih baik dibandingkan obligasi IG. Hal tersebut mencerminkan optimisme pembukaan ekonomi China, pemulihan di sektor properti, dan likuiditas pasar yang tinggi akibat stimulus bank sentral. Spread kredit antara obligasi IG dan HY China telah turun ke 587bps, dari 671bps pada akhir Juni; dibandingkan 473bps di awal tahun. Ini menandakan bahwa obligasi HY China masih memberikan valuasi yang atraktif. Likuiditas pasar yang tinggi saat ini juga membatasi risiko utama, yaitu risiko pembiayaan untuk penerbit obligasi HY. Faktor ini menjadi dorongan untuk pandangan overweight kami terhadap obligasi HY sektor properti China.
Kami melihat masih adanya ketidakpastian yang mengkhawatirkan seperti pemilu kepresidenan AS di bulan November, seiring dengan meningkatnya tensi AS – China. Semakin meningkatnya tensi antara kedua ekonomi terbesar di dunia akan mendorong volatilitas untuk kembali naik, terlebih lagi bagi obligasi HY China. Alhasil, kami lebih menyukai obligasi HY berkualitas dengan investor yang akan lebih selektif, seiring dengan penguatan obligasi HY dibandingkan obligasi IG sejak bulan Maret.
Mempertahankan rating overweight terhadap High Yield dan market weight terhadap Investment Grade
Kami mempertahankan pandangan overweight kami terhadap EM HY dan netral terhadap EM IG. Namun, dengan dengan adanya potensi kenaikan volatilitas di pasar seiring dengan isu ekonomi maupun politik di beberapa bulan mendatang, kami akan fokus terhadap obligasi “BB” dengan beta rendah.
HY berhasil berkinerja baik beberapa bulan terakhir seiring dengan optimisme pasar terhadap perekonomian yang semakin dibuka kembali, dan juga dukungan oleh para bank sentral yang dipimpin oleh The Fed. Dengan tidak adanya lonjakan penyebaran COVID-19 yang terlalu signifikan, kami melihat bahwa tren penguatan ini akan terus berlanjut untuk beberapa bulan kedepan.
PASAR MATA UANG & KOMODITAS
Harga emas yang lebih tinggi untuk jangka panjang
Dengan kemungkinan beberapa bank sentral mencoba menggelembungkan hutang yang membengkak secara global dengan suku bunga hampir nol dan kekhawatiran penurunan nilai mata uang, mengartikan bahwa emas akan tetap menarik sebagai safe haven – Vasu Menon
Minyak
Kami menaikkan target harga minyak Brent 12 bulan menjadi USD50 / barel dibandingkan dengan harga sebelumnya USD 45 / barel. Harga minyak dapat bergerak choppy lebih lama karena gelombang infeksi lain dan pemulihan pasokan minyak Amerika Utara kemungkinan akan membebani sentimen harga minyak. Meningkatnya persediaan bensin dan sulingan minyak, yang terjadi di tengah musim panas AS - ketika permintaan biasanya meningkat tajam, dan persediaan biasanya turun - juga memperingatkan bahwa kenaikan harga minyak yang mudah terjadi ada di belakang kita. Ini semua terjadi karena pasar sedang mempersiapkan aliansi OPEC+ untuk menarik diri dari pengurangan produksi yang belum pernah terjadi sebelumnya pada bulan Agustus. Tetapi setiap pelemahan harga minyak kemungkinan hanya bersifat sementara.
Kami memperkirakan permintaan minyak akan terus meningkat lebih tinggi dan tahun depan secara mengejutkan akan meningkat jika perdagangan internasional pulih. Selain itu, kepatuhan OPEC+ sepertinya akan tetap kuat dan mendukung harga minyak, sementara pengurangan secara radikal dalam pengeboran di seluruh dunia akan tetap berlaku sampai harga minyak mulai naik di atas USD 50 / barel.
Emas
Emas telah mengalahkan mata uang cadangan lainnya seperti Dolar AS (USD), Yen Jepang (JPY), Euro (EUR) dan Swiss Franc (CHF) tahun ini. Risiko bank sentral yang mencoba menggelembungkan hutang yang membengkak di dunia dengan suku bunga mendekati nol dan kekhawatiran penurunan nilai mata uang harus menjadikan emas sebagai aset pilihan.
Emas didukung dengan baik oleh penurunan imbal hasil riil AS. Ini akan membatasi koreksi dan menjaga emas sebagai aset pilihan dibandingkan "aset aman" tradisional lainnya seperti obligasi pemerintah, mengingat bahwa manfaat dari penurunan imbal hasil nominal sebagian besar berkurang dengan suku bunga hampir nol di AS dan sedikit indikasi bahwa Fed bermaksud untuk menurunkan suku bunga mereka ke wilayah negatif.
Kenaikan emas juga merupakan indikasi kekhawatiran penurunan nilai mata uang yang dipicu oleh ekspansi neraca bank sentral. Emas tidak memiliki nilai perbandingan negatif dari mata uang safe haven lainnya seperti USD, JPY, EUR atau CHF, karena bank sentral dapat mencetak uang tetapi tidak dapat mencetak emas.
Mata Uang
Penurunan lanjutan Dolar AS (USD) telah terjadi selama empat minggu terakhir, dan mungkin ada sedikit rentang waktu yang dapat menghentikan penurunan ini. Apa yang mungkin kita lihat adalah aksi jual USD secara luas di luar dinamika risk-on / risk-off yang biasa terjadi.
Dalam waktu dekat, situasi virus di AS tetap parah, dan ini merupakan faktor negatif bagi USD. Ketidakpastian tentang dukungan kebijakan fiskal untuk ekonomi AS juga membebani greenback dan bahkan mungkin secara struktural akan menjadi negatif untuk greenback. Sementara itu, Federal Reserve yang dovish berarti imbal hasil Treasury AS akan tertekan, selanjutnya memperpendek keuntungan perbedaan harga dengan suku bunga USD.
Dengan demikian, arah pergerakan negatif USD sudah terlihat jelas. Masalahnya adalah semua orang berada di sisi yang sama sekarang, dan pergerakan harga mulai terlihat melebar. Ini menyisakan ruang untuk potensi rebound USD. Secara khusus, mata uang utama lainnya mengalami level support / resistance terhadap USD, dan tanda jenuh beli dapat dengan cepat berkembang menjadi USD yang lebih kuat saat aksi ambil untung dimulai.
Di Asia, pelemahan USD secara luas berarti mata uang Asia lebih kuat terhadap greenback. Namun, kami melihat beberapa faktor yang juga mendukung penguatan USD terhadap mata uang Asia. Dalam waktu dekat, ketegangan AS – China dan korelasi yang erat antara USD – CNH (mata uang Tiongkok) dan pasangan mata uang USD – Asia tertentu, dapat menawarkan dukungan penguatan untuk USD terhadap mata uang Asia.
Arus modal masuk portofolio ke Asia juga melemah. Selain itu, kami mencatat pelemahan yang sedang berlangsung dari data ekonomi Asia (kecuali China) secara relatif terhadap AS dan Eropa. Ini juga membatasi ruang penguatan yang telah terjadi pada mata uang Asia.
Penguatan di tengah ketidakpastian yang masih berlanjut
Pelonggaran lockdown telah memberikan optimisme bahwa perekonomian sedang berada dalam tahap pemulihan. Salah satu cakupan utama untuk melihat perbaikan adalah dengan melihat angka pekerjaan yang menunjukkan perbaikan; jumlah pekerja meningkat sebanyak 4.8 juta, mendorong tingkat pengangguran turun dari 13.3% menjadi 11.1%. Terlihat bahwa ketenagakerjaan di AS telah mengambil lompatan besar dari tekanan yang terjadi. Namun, jumlah pengangguran masih sebesar 17.8 juta secara nasional. Sementara, laju infeksi COVID-19 belum menunjukkan perbaikan, seiring dengan beberapa negara bagian utama kembali memulai social distancing untuk mengendalikan hal ini. Investor global juga mulai menerima probabilitas Joe Biden sebagai Presiden ke-46 di Amerika Serikat selanjutnya, dengan Joe Biden dari Partai Demokrat yang saat ini memimpin jajak pendapat dibanding lawannya.
Inggris secara jelas merupakan wilayah yang lebih buruk dibandingkan negara maju lainnya seperti AS dan Jepang. Sementara Uni Eropa, secara keseluruhan, telah memperlihatkan perbaikan dalam beberapa bulan terakhir walaupun masih cukup pesimis diantara pembuat kebijakan, karena proyeksi pertumbuhan telah diturunkan menjadi -8.7% untuk tahun ini. Dalam hal Brexit, Perdana Menteri Boris Johnson dan Uni Eropa mengalami bentrokan mengenai hubungan perdagangan. Uni Eropa telah mendorong Johnson untuk memperpanjang Brexit hingga 2021, namun ide tersebut ditolak oleh Perdana Menteri. Johnson telah menyatakan bahwa Inggris siap untuk meninggalkan Uni Eropa, terlepas dari adanya kesepakatan atas perdagangan atau tidak.
Memasuki Asia, indeks MSCI Asia ex-Japan mencatatkan penguatan sebesar 5.4% di bulan Juni, kinerja terbaik selama era COVID-19. Sentimen positif di Asia terjadi seiring dengan gelombang kedua dari COVID-19 tidak seburuk yang diprediksi. Negara-negara seperti China, Korea, Jepang, dan Singapura telah menunjukkan penurunan dalam kasus harian, walaupun perekonomian negara-negara tersebut telah kembali menuju New Normal. Namun, selama vaksin COVID-19 masih belum tersedia, akan selalu ada ancaman munculnya kembali virus baru. Para investor di Asia kini lebih fokus terhadap tensi geopolitik di antara beberapa negara, seperti AS – China, China – Hong Kong, dan China – India. Tensi politik ini dapat menghambat pemulihan ekonomi, terlebih lagi jika ketegangan meningkat.
Dari dalam negeri, bulan Juni merupakan bulan yang baik untuk pasar modal. Secara fundamental, indikator ekonomi di bulan Juni telah menunjukkan adanya pemulihan. Bank Sentral juga telah menurunkan tingkat suku bunga sebesar 25 bps menjadi 4.00% untuk 7-Days Reverse Repo Rate. Meskipun inflasi tercatat lebih rendah seiring dengan permintaan konsumsi yang menurun, dari 2.19% menjadi 1.96% dari Mei ke Juni; indikator lain terlihat sebaliknya. Cadangan devisa naik dari USD 130.5 miliar ke USD 131.7 miliar, dan telah memberikan sentimen positif pada apresiasi mata uang domestik. Jumlah tersebut setara dengan 8.1 bulan impor ditambah pembayaran utang internasional. Akhirnya, data manufaktur PMI juga melonjak, dari 28.6 menjadi 39.1. Secara keseluruhan, terlihat jelas bahwa pembukaan kembali perekonomian domestik telah mendorong pemulihan yang lebih cepat dibanding yang telah diantisipasi.
Pasar Saham
Pasar saham mengalami penguatan sebesar 3.19% di bulan Juni, didorong oleh optimisme akan pembukaan kembali aktivitas ekonomi dengan adanya kebijakan New Normal. Saat ini rasio price-to-earnings berada di 17.2x, di atas rata-rata 5 tahun, para investor sedang melakukan price in akan adanya potensi pemulihan untuk semester kedua di tahun ini, dengan laba perusahaan yang diturunkan menjadi 15% dari 20% pada April lalu. Investor domestik masih menjadi pemain utama yang mendominasi aktivitas perdagangan. Namun, jumlah kasus masih melanjutkan peningkatan di dalam negeri, pemerintah telah menunjukkan kekecewaan terhadap alokasi anggaran untuk menanggulangi COVID-19. Hal ini telah memberikan spekulasi akan adanya reshuffle pada kabinet. Secara historis, dalam masa jabatan Jokowi yang pertama, reshuffle kabinet telah memberikan dampak positif pada pasar modal.
Walaupun pasar saham telah kembali meningkat sebesar 29% dari titik terendah di bulan Maret, harus diingat bahwa Jakarta Composite Index masih diperdagangkan di harga discount sebesar 21% dari titik tertinggi di Januari. Seiring dengan perekonomian dan perusahaan yang akan melanjutkan pemulihan selama 2021, JCI diestimasi akan kembali ke titik tertinggi sebelumnya. Namun, risiko masih ada seperti ketegangan yang meningkat antara AS – China, dan juga jumlah kasus COVID-19 yang masih meningkat. Oleh karena itu, investor lebih disarankan untuk mengelola risiko dengan melakukan dollar cost averaging, dengan memanfaatkan koreksi pasar sebagai entry window.
Pasar Obligasi
Pasar obligasi mencatatkan pelemahan di bulan Juni, dengan imbal hasil pemerintah tenor 10 tahun meningkat dari 7.15% menjadi 7.21%; namun bisa dikatakan pergerakannya cukup stagnan karena arus masuk dan keluar, terutama oleh investor domestik. Dapat dikatakan bahwa pasar obligasi akan lebih tertekan dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan penerbitan obligasi dalam rangka membiayai stimulus fiskal untuk COVID-19 sebesar IDR 695.2 trilliun, yang setara dengan 6.34% dari PDB nasional untuk mendukung ekonomi yang tertekan. Permintaan yang besar telah menunjukkan bahwa obligasi global masih menarik, dan tidak kurang harapan baik untuk investor domestik maupun asing. Dari bulan Juni hingga Desember tahun ini, Pemerintah masih berencana untuk menerbitkan obligasi pemerintah sebesar IDR 990 triliun, termasuk obligasi Samurai dan Diaspora untuk menutupi defisit yang melebar.
Di awal Juli, Bank Indonesia telah menyetujui skema burden sharing untuk menyerap obligasi dengan kupon 0% di tahun 2020 sebesar IDR 397.56 triliun melalui private placement, yang akan dialokasikan untuk pembiayaan kegiatan publik. Lebih lagi, Bank Indonesia akan berpartisipasi melalui mekanisme pasar untuk mendukung pembiayaan kegiatan non-publik yang mencapai IDR 505.9 triliun, dengan menerima kupon yang di discount untuk 2020. Skema ini diekspektasi akan mendukung permintaan bagi peningkatan penerbitan obligasi, dan juga mengurangi volatilitas. Investor domestik, terutama Bank telah meningkatkan kepemilikan obligasi. Kepemilikan meningkat dari 26% di Januari menjadi 33% di bulan Juni.
Oleh karena itu, kami mengekspektasi imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun akan berada di kisaran 6.8% - 7.2% sampai akhir tahun ini, dengan kesempatan berada di kisaran lebih rendah di akhir tahun.
Pasar Mata Uang
Untuk Rupiah, volatilitas cukup tinggi dalam bulan Juni ni, dengan berakhir menguat sekitar 1.0% terhadap greenback. Untuk sesaat, USD-IDR menguat tajam di minggu pertama dengan level di bawah 13,900; terendah sejak Februari. Namun, nilai tukar telah kembali ke level 14,265 di akhir Juni dan saat ini berada dalam tren depresiasi terhadap USD. Beberapa faktor baik di dalam negeri maupun global telah menyebabkan pergerakan ini;
Rupiah akan bergerak dalam kisaran 14,300 – 14,750 sampai akhir tahun 2020, seiring dengan Pemerintah yang tetap akan menjaga pergerakan sampai akhir tahun.
Juky Mariska, Wealth Advisory Head, OCBC NISP